Share

02. Pemakaman

                 πŸ€ Happy Reading πŸ€

Langit seolah ikut bersedih ketika orang-orang mengantarkan Kakek Latief ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Nampak di sana tamu-tamu dari berbagai macam kalangan ikut menyaksikan bagaimana pria pendiri dari Group Latief itu disemayamkan. Sementara keluarga dan sanak saudara berbaris rapi di samping makam sembari menabur bunga beserta doa untuk mengiringi kepergian sang Kakek menuju pangkuan Sang Khalik. 

Sellandra, gadis itu menjadi sangat pendiam sejak dokter menyatakan kalau kakeknya sudah meninggal dunia. Dia kembali kehilangan satu orang yang begitu menyayanginya setelah kepergian ayahnya sepuluh tahun yang lalu. Di samping Sellandra berdiri ibunya yang masih terisak lirih sambil menatap sendu ke arah makam yang masih basah. Nadia, dia kehilangan sosok pahlawan yang selalu mengayomi dan melindungi dia dan juga putrinya selama ini.

"Sell....

"Iya Bu," sahut Sellandra lirih. 

"Bagaimana nasib kita ke depannya nanti. Ayah dan Kakekmu sudah meninggal, Ibu rasa kita sudah tak pantas lagi berada di rumah itu," ucap Nadia sedih. "Mereka pasti akan langsung mengusir kita setelah ini."

Sellandra menghela nafas. Ini juga yang mengusik pikirannya sejak tadi. Nenek dan anggota keluarga yang lain begitu membenci dia dan ibunya, sudah pasti mereka akan menggunakan kesempatan ini untuk berbuat semena-mena terhadap mereka berdua.

"Kalau benar kita diusir ya sudah kita pergi saja, Bu. Uang tabunganku sudah lumayan banyak, itu bisa kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ibu tenang saja, aku yang akan bertanggung jawab ke depannya nanti."

Nadia mengeratkan pelukan ke lengan putrinya. Terlahir sebagai gadis dari keluarga sederhana membuat Nadia tak mempunyai kemampuan apapun dalam hal berbisnis. Juga selama ini dia memang tak pernah diizinkan untuk terlibat dalam bisnis keluarga suaminya yang bergerak di bidang kecantikan. Sebenarnya suami dan ayah mertuanya tidak masalah kalau dia ikut bergabung, hanya saja ibu mertua dan juga adik iparnya terus melarang dengan mengatakan kalau dia tak pantas maju di dunia bisnis. Hanya membuat malu, pikir mereka. Karena tak ngin ada keributan di keluarga suaminya, Nadia memutuskan untuk mengalah saja. Dia cukup tahu diri dengan statusnya sebelum masuk ke keluarga Latief. 

"Ciih, lihat kedua wanita itu. Mereka terus saja berbisik-bisik di saat semua orang sedang berkabung," sindir Kasturi sambil melirik sinis kearah cucu dan menantunya. "Mereka pasti sedang sibuk membahas seberapa banyak harta yang akan mereka dapatkan dari suamiku nanti."

Ziko dan Feli pun menoleh ke arah kakak ipar mereka. Keduanya nampak tersenyum sinis. 

"Wajarlah Bu. Namanya juga orang susah, ya pasti mereka harus memikirkan jalan lain agar tetap bisa hidup mewah seperti kita," sahut Ziko penuh ejek. 

"Yang dibilang Mas Ziko benar, Bu. Aku sangat hafal dengan trik-trik murahan yang biasa dilakukan orang miskin seperti Kak Nadia dan juga Sellandra. Lihat saja, begitu kita kembali mereka pasti akan langsung menangis tersedu-sedu untuk mengambil simpatik dari semua orang supaya tidak di usir dari rumah," tambah Feli ikut memanaskan keadaan. 

"Jangan harap aku akan merasa simpatik pada mereka berdua. Cihh," decih Kasturi. "Ziko, apa kau sudah memanggil pengacara pribadi keluarga kita?"

"Sudah Bu,"

"Bagus. Setelah pulang dari sini aku akan langsung mengusir mereka dari rumah. Enak saja ingin menikmati harta keluarga kita, memangnya mereka pikir mereka itu siapa!" 

Bima dan Kintan menyeringai senang saat mendengar perkataan nenek mereka yang ingin mengusir Sellandra dan juga ibunya dari rumah utama keluarga Latief. Karena dengan diusirnya Sellandra dari rumah, itu berarti sepupunya itu juga akan ditendang keluar dari perusahaan. Dengan begini Bima dan Kintan akan semakin mudah menguras habis harta milik almarhum sang kakek karena selama ini Sellandralah yang memegang kendali penuh di Latief Group sejak Paman Riandi meninggal. 

"Selamat siang Nyonya Kasturi. Selamat siang Tuan Ziko, Nyonya Feli," sapa Ibrahim, pengacara pribadi keluarga Latief. "Maaf saya terlambat datang ke pemakaman. Ada beberapa berkas penting yang harus saya urus dulu sebelum datang kemari."

"Selamat siang juga, Ibrahim. Tidak apa-apa, aku maklum dengan kesibukanmu," sahut Kasturi sambil tersenyum ramah. "Oh ya, apa mendiang suamiku meninggalkan surat wasiat kepadamu?"

"Iya, Nyonya. Almarhum Tuan Latief menitipkan dua surat wasiat kepada saya. Kita akan membahasnya setelah pemakaman ini selesai," jawab Ibrahim kemudian menoleh kearah dua orang wanita yang sedang mengelus nisan milik Tuan Latief. Dia tersenyum. 

Bima yang menyadari senyum tak biasa di bibir Tuan Ibrahim langsung merasa curiga. Tak ingin kecolongan, dia segera mendekati pengacara tersebut untuk mencari tahu sesuatu. 

"Ekhmm permisi Tuan Ibrahim. Apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?"

"Oh Tuan Bima. Maaf lupa menyapa," jawab Ibrahim. 

"Tidak masalah. Tuan Ibrahim, apa aku boleh bertanya sesuatu mengenai surat wasiat yang ditinggalkan oleh almarhum Kakek?" sahut Bima mengulang pertanyaannya. 

Sadar kalau pria ini mencoba untuk menjilatnya, Ibrahim dengan santai menolak keinginan pria tersebut.

"Maaf Tuan Bima, seperti yang saya sampaikan pada Nyonya Kasturi tadi kalau masalah surat wasiat ini akan kita bahas setelah sampai di rumah. Saya rasa sangat tidak etis jika kita membahasnya di atas makam Tuan Latief yang bahkan tanahnya saja masih basah. Mohon anda bisa bersabar sebentar lagi."

Bima mengeratkan gigi saat keinginannya di tolak oleh mentah-mentah oleh Tuan Ibrahim. Padahal dia sangat penasaran tentang siapa yang akan menggantikan posisi kakeknya sebagai direktur utama di Group Latief. 

"Baiklah, terima kasih untuk waktunya, Tuan Ibrahim."

"Sama-sama, Tuan Bima. Kalau begitu saya pamit menyapa Nyonya Nadia dan Nona Sellandra dulu. Permisi."

Bima mengangguk. Dia terus memperhatikan Tuan Ibrahim yang sedang berjalan ke arah sepupunya. Bima kemudian menoleh saat bahunya ditepuk dari arah samping. 

"Bagaimana? Kakak mendapatkan sesuatu tidak dari pengacara itu?" tanya Kintan penasaran. 

"Dia benar-benar orang yang setia pada Kakek. Mulutnya sangat rapat," jawab Bima sembari menghela nafas. 

"Huhh, sudah aku duga. Ya sudahlah, lebih baik kita tunggu di rumah saja. Ayo pulang....

"Dimana Ayah dan Ibu?" tanya Bima celingukan mencari keberadaan orangtuanya. 

"Mereka sudah ke mobil bersama Nenek. Ayo!" jawab Kintan kemudian menarik tangan kakaknya untuk pergi dari pemakaman. 

Sementara itu, Nadia dan Sellandra saat ini masih terus berbincang dengan Tuan Ibrahim di samping makam. Keduanya terasa enggan untuk pergi dari sana meskipun para pelayat sudah mulai kembali ke rumah masing-masing, termasuk juga para anggota keluarga yang lain. 

"Selamat siang....

Ibrahim, Nadia, dan Sellandra menoleh. Ketiganya menatap bingung ke arah pria asing yang tengah tersenyum ke arah mereka. 

"Selamat siang. Maaf, anda siapa ya?" tanya Nadia ramah. 

"Aku Ero, cucu dari teman lama almarhum Kakek Latief," jawab Ero sambil melirik ke arah wanita cantik yang tengah memperhatikannya. 

"Mungkinkah ini adalah pria yang dimaksud oleh Kakek? Akan tetapi kenapa penampilannya kumal sekali? Apa iya Kakek ingin aku menikah dengan pria seperti ini?" batin Sellandra.

Nadia dan Ibrahim memperhatikan dengan seksama penampilan dari pria bernama Ero ini. Kumal dan berantakan. Jelas sekali kalau pria ini bukan berasal dari kalangan berada. 

"Apa kau datang dengan surat wasiat yang dititipkan oleh almarhum Kakekku?" tanya Sellandra memastikan. 

"Iya," jawab Ero kemudian menunjukkan satu surat ke hadapan semua orang. 

"Sell, kau mengenal pria ini?" tanya Nadia bingung. 

"Tidak Bu," jawab Sellandra. "Akan tetapi sebelum Kakek meninggal beliau bilang akan ada pria yang datang untuk menemuiku. Jika tidak salah mungkin Tuan Ero adalah pria yang dimaksud oleh Kakek,"

"Lalu apa hubungannya denganmu Nak?"

Sellandra menghela nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan ibunya. 

"Pria ini adalah calon suami yang sudah dipilihkan Kakek untukku, Bu."

"APA!"

Nadia syok. 

"Bu, kita bicarakan masalah ini di rumah saja ya. Langit semakin mendung,sebaiknya kita semua segera pulang," ajak Sellandra sambil menahan rasasesak di dada. "Tuan Ero, bisakah kau ikut pulang bersama kami? Kita akan bahas masalah ini di rumah nanti."

Ero mengangguk. Dia kemudian mengikuti langkah ketiga orang tersebut. Sambil berjalan menuju tempat parkir, Ero terus memperhatikan punggung Sellandra. Berbagai macam pertanyaan mulai berkecamuk di benaknya tentang apakah wanita ini akan bersedia menikah dengan pria sepertinya atau tidak. Sellandra terlihat begitu cantik dan anggun, sangat berbeda sekali dengannya yang jauh dari kata layak. Biarlah semua ini menjadi urusan Tuhan saja, begitu pikir Ero. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yunia Afida
ero pasti sebenarnya orang kaya, dan penguasa yang besar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status