“Aku sebenarnya juga nggak suka Mas Qasam menikah dengan wanita yang nggak Mas Qasam cintai. Itu pasti hanya akan membuat beban hidup Mas Qasam jadi makin berat. kasihan sekali Mas Qasam,” sambung Wafa lagi. Qasam diam saja. membiarkan Wafa mengungkapkan apa saja. Jika Qizha memiliki suami yang mencintainya, tentu sang suami akan membelanya., menjaga hatinya dari serangan kalimat- kalimat julid yang menyakiti. Tapi ini Qizha harus berjuang sendiri.“Cepat habiskan makanmu! Kita akan ke kantor!” Qasam melangkah pergi meninggalkan meja.Qizha buru- buru menghabiskan makan, lalu meneguk minum separuh. “Hei, jangan tinggalkan minummu begitu saja! ini maish ada separuh. Kau harus menghabiskannya. Sususmu ini mahal!” seru Amira.Qizha yang sudah dua langkah meninggalkan meja, kembali ke meja dan meneguk susu sampai habis. Sebenarnya perutnya mual menghabiskan susu itu karena sudah kenyang, tapi nenek itu pasti akan memakinya jika ia membantah.Beginilah nasib menantu yang sed
“Nona Qizha!” Gafar yang berjalan dari arah ujung koridor, berseru seraya mendekati Qizha.“Ya, pak?” Qizha menghadap Gafar.“Selamat ya, Nona. Akhirnya posisi Anda kembali seperti yang seharusnya yaitu menjadi sekretaris,” ungkap Gafar bangga.“Terima kasih, Pak.” “Tidak sia- sia Nona Qizha selama ini menjadi OB. Pada akhirnya kesabaran Nona pun terjawab juga.”Qizha tersenyum. “Oh ya, tolong sampaikan kepada Bu Weni, suruh temui sekretaris sekarang. Saya ada perlu.”“Bu Weni?”“Iya. Staf administrasi itu.” “Apakah ada pekerjaan Non Qizha yang berkaitan dengan Bu weni? Ataukah ada hal pentingdi luar pekerjaan yang perlu dibahas dengan Bu Weni?” gafar bingung. Setahunya, tak ada kaitan antara pekerjaan Qizha dan Weni.Qizha hanya tersenyum, kemudian berkata, “Saya minta tolong panggil saja beliau. Sampaikan supaya dia menghadap saya ya, Pak!”Qizha kemudian masuk ke ruangannya. Ia tersenyum melihat ruangan itu. sudah sejak dulu ia mendambakan kursi tersebut, akhirnya Allah
“Saya nggak yakin Pak Qasam akan memecat saya,” balas Weni.“Kok bisa?”“Karena saya kan disuruh Pak Qasam.”“Maksudmu?” Qizha membelalak.“Mm… duh keceplosan.” Weni menabok bibirnya sendiri sambil menunduk.“Udah. Bicara saja. Nggak apa- apa kok.”Weni menggeleng.“Kalau nggak mau bicara, ya nggak apa- apa. palingan masuk daftar nama- nama yang dipec…”“Kemarin itu yang menyuruh saya menindas Bu qizha ya Pak Qasam,” potong Weni cepat.Qizha mendengus. Owalah, rupanya biang keroknya Qasam juga. Pantesan Weni berani berbuat semena- mena terhadapnya, rupanya dibackingi sama bos besar.“Saya nggak berani membantah, ya sudah saya lakukan saja. Jadi tolong jangan kasih saya nilai jelek untuk kemudian dipecat. Semua itu saya lakukan atas perintah Pak Qasam.” Weni memohon.“Lalu… OB bernama Zola dan semua orang yang menjahatiku itu juga atas perintah Pak Qasam?” tanya Qizha.“Benar. Mereka melakukannya karena disuruh Pak Qasam. Sebenarnya kami juga tidak tega berbuat hal itu. T
"Ini nggak lucu!" Qizha sedikit melirik ke arah sekitar, ia menjadi pusat perhatian semua orang."Dimana suamimu?" tanya Hasan."Lebih baik kamu tenangkan dirimu sebelum bicara dengannya.""Aku sudah mencarinya di ruangannya, tapi tidak menemukannya. Sepertinya Qasam tidak akan mau keluar jika tidak dipancing." Hasan menarik pergelangan tangan Qizha."Hei, lepaskan!" Hasan menggeret Qizha, tubuh mungil itu terseret mengikuti tarikan Hasan. "Apa yang kau lakukan?" Fahri mengejar Hasan dan menarik lengan Qizha hingga wanita itu terlepas dari pegangan Hasan. "Ini di kantor. Kenapa kau berbuat seperti ini?""Pecundang itu tidak mau menemuiku. Maka dia harus dipancing dengan cara ini," sahut Hasan."Apa yang kau mau?" tanya Fahri."Aku mau menuntut banyak pada Qasam. Kenapa dia memecatku? Ini menjijikkan sekali.""Sebaiknya kau selesaikan urusan pribadimu dengan Qasam. Kalian punya urusan pribadi yang seharusnya tidak bisa dicampurkan dengan urusan pekerjaan.”“Qasam lakukan ini karena d
Qizha menekan handle, tapi pintu terkunci. Ia meraih hp di tas. Menelepon Qasam. Telepon tersambung, tapi tak ada sahutan. "Qasam, jawab dong. Duh!" Qizha mendengus. Kalau seandainya Qizha keluar dari mobil dan membuka kunci begitu saja, apakah semua akan baik- baik saja? Apakah alarm tidak akan berbunyi? Pastinya alarm akan berbunyi sangat keras dan membuat seisi penghuni rumah kaget. Okelah, sehubungan Qasam tak mau menolongnya, maka jangan salahkan Qizha jika ia membuat ulah.Qizha menekan kunci di sisi handle. Klek. Pintu terbuka dan didorong.Benar, dugaannya. Wing tot wing tot wing tot... Alarm mobil berbunyi sangat kuat sekali. Mana bunyinya naeh sekali. Seketika, satpam pun menghambur ke garasi, mengecek garasi dengan tatapan mata seperti elang, yang menyorot dengan sempurna ke arah mobil milik Qasam."Hei, maling!" Satpam berlari mendekat ke arah Qizha. Ia langsung mencengkeram pergelangan tangan majikannya itu dengan erat. Dia menatap seperti seorang hakim pada terdakw
Habiba melipat tangan di dada. Tatapannya tegas ke Qizha."Benarkah kau berniat maling?" tanya Habiba."Sebelumnya, apakah boleh aku bertanya, Ma?""Apa?""Apakah mama percaya aku memiliki niat maling?"Jika bukan kepada Habiba, Qizha tentu tak akan bersedia menanyakannya. Namun, ia sadar sedang berhadapan dengan wanita berhati baik, maka ia berani mengutarakannya. "Tidak. Aku tidak yakin kamu melakukannya. Rasanya hati busuk itu tidak tercermin dalam dirimu." Habiba mengangkat alis. "Benarkah begitu?"Qizha tersenyum. Betapa beruntung memiliki.mertua sebaik Habiba."Aku pulang bareng sama Qasam. Tapi aku ketiduran di mobil. Jam segini aku baru terjaga karena merasa kehabisan oksigen." Qizha menjelaskan dengan detil. "Pintu mobil terkunci saat aku terjaga, dan mama pasti tahu sendiri apa yang terjadi saat pintu mobil dibuka dari dalam saat dalam keadaan terkunci. Alarmnya bunyi. Akhirnya aku dipergoki sebagai maling."Habiba menatap satpam. "Sudah, Pak. Biar aku yang urus. Bapak kemb
Qizha tersenyum lebar menatap wajah sangar Qasam. Biarkan saja Qasam tak menyukai tingkahnya. Qizha tak akan berhenti berusaha mengubah keadaan. Entah keadaan itu akan berubah atau tidak, namun Qizha tak akan putus asa untuk berikhtiar.“Jangan marah padaku, sebab keadaannya memang sulit. Kamu meninggalkan aku dalam keadaan aku sedang tidur pulas. Semuanya nggak akan terjadi kalau kamu…”“Diamlah! Tidur sana!” Qasam melempar bantal ke wajah Qizha, membuat wanita itu spontan menangkapnya.Ya Allah… begini amat menjadi istri yang dibenci suami sendiri. Qizha meletakkan bantal ke lantai. Seperti biasa, ia menggelar selimut untuk dijadikan alas badannya.Tubuhnya direbahkan di atas selimut, tak lupa menyelimuti badan dengan selimut pula. Setengah jam berbaring, ia tak bisa tidur. Gelisah.“Qasam, kamu udah tidur?” Qizha menatap cermin di depannya, wajah Qasam terpantul di sana. Pria tu berbaring menghadap ke arah cermin hingga Qizha dengan mudah menatapnya.“Jangan berisik!”
Tak mau terus mengobrol dengan Qizha, Qasam melenggang keluar. Ingin menjauh dari Qizha supaya telinganya tak lagi mendengar suara wanita itu.Namun, bukannya terlepas dari Qizha, Qasam malah diikuti oleh wanita itu. Istrinya itu bahkan kini mengiringi langkahnya. Dengan cepat, tangan mungil Qizha membukakan pintu kamar untuk suaminya. Senyum Qizha mengembang lebar menatap Qasam yang malah berhenti. Pria itu menoleh. Kemudian melenggang keluar bersamaan dengan Qizha yang juga melangkah keluar kamar.Mereka terkejut saat berpapasan dengan seorang wanita asing. Dipastikan wanita itu adalah pembantu, mengenakan pakaian seragam warna hitam khas pembantu di rumah itu. Bukan karena ada pembantu baru yang membuat keduanya terkejut saat bertemu dengan pembantu baru, tapi wajah pembantu itulah yang membuat mereka merasa kaget. Mereka sangat mengenali wajah itu. “Sina?” Qizha menyebut nama adiknya. Tak lain adik tiri yang selama ini selalu menguji kesabarannya. “Kamu?”Sama terk