Tapi ngomong- ngomong ia harus tidur dimana?Mungkinkah ia harus tidur seranjang dengan Qasam di kasur itu? Kepala Qizha mulai terayun- ayun. Ngantuk sekali. Gludak!Sial. Kepalanya kejeduk meja saking kuatnya rasa kantuk, kepala terayun keras dan menghantam meja. "Aduh!" Qizha mengusap keningnya. Lalu berjalan mendekati ranjang, berbaring di kasur, posisinya berada di paling pinggir. Bukan ia takut tersentuh Qasam, sebab hubungan mereka sudah sangat jauh, imposible jika masih membahas takut tersentuh.“Kenapa kau tidur di sini?” Suara dari arah belakang mengejutkan Qizha. Padahal ia sudah hampir tertidur, tapi malah jadi melek lagi gara- gara suara itu.Qizha menoleh.“Jangan tidur di sini!” titah Qasam.Qizha mengernyit. Ia lalu bangkit duduk. “Lalu aku harus tidur dimana? Udah bener aku tidur di sofa tadi, kenapa malah disuruh amsuk kamar? Sekarang setelah di kamar, kamu mengusirku? Bagiaman ini sebenarnya?”Qasam mendorong bantal yang baru saja digunakan Qizha hingga b
Qasam sudah selesai memasang pakaiannya. Ia tengah asik menyisir rambut yang baru saja diuyel- uyel menggunakan minyak rambut.Tatapannya tertuju ke cermin, tepat pada pantulan wajah di belakangnya. Yaitu wajah Qizha.“Kau jangan beranggapan kalau hidupmu di sini adalah bagian dari keluargaku. Rumah tangga kita akan seperti neraka sampai kau menua!” tegas Qasam.“Aku malah kasihan kepadamu, karena hidupmu nggak akan bermanfaat saat memupuk dendam, justru akan memupuk dosa,” lembut Qizha sambil merapikan kasur.“Akhir jaman memang banyak manusia berilmu tinggi, sama sepertimu. Kulihat kau ini memiliki ilmu tinggi dalam beragama, tapi percuma jika hanya berilmu tinggi saja, iblis pun ilmunya jauh lebih tinggi.”Qizha menarik napas panjang. Sampai kapan Qasam terus menyudutkannya begini?“Pun tidak ada gunanya ibadah tanpa ilmu, menjadi manusia bodoh juga sama celakanya jika tidak mau mencari ilmu. Tapi akan lebih baik manusia bodoh berakhlak baik yang sedang mencari ilmu, dari pad
“Qizha, ayo duduk! Makanlah!” ucap Habiba. Situasi dan kebersamaan keluarga besar Qasam benar- benar sangat membuat Qizha merasa canggung sekali. Apa lagi ia merasa sendirian. Hanya Habiba yang berada di pihaknya.Qizha memutari meja, lalu duduk di sisi Amira. Di sini lebih baik dari pada berada di sisi Husein. Qizha bingung harus mengambil makan apa. Ia membalikkan piring di depannya, ada meja putar di tengah- tengah meja yang di sana tersaji berbagai menu untuk sarapan. Sebenarnya Qizha menginginkan pastel, tapi ia tak berani memutar meja. Untuk menjulurkan tangan saja rasanya canggung, apa lagi memutar meja. Habiba bangkit berdiri, ia mengambilkan pastel untuk Qizha. “Ayo, makanlah!” Qizha tersenyum. Mertua idaman. Tau banget selera menantu. “Bagaimana malammu, Qasam? Apakah berjalan dengan baik? Kau tidak tidur sendiri tadi malam bukan?” tanya Amira. “Aku tidak bisa tidur. Mungkin karena ini adalah awal dari segalanya,” jawab Qasam datar saja. “Aku berharap kau
“Aku sebenarnya juga nggak suka Mas Qasam menikah dengan wanita yang nggak Mas Qasam cintai. Itu pasti hanya akan membuat beban hidup Mas Qasam jadi makin berat. kasihan sekali Mas Qasam,” sambung Wafa lagi. Qasam diam saja. membiarkan Wafa mengungkapkan apa saja. Jika Qizha memiliki suami yang mencintainya, tentu sang suami akan membelanya., menjaga hatinya dari serangan kalimat- kalimat julid yang menyakiti. Tapi ini Qizha harus berjuang sendiri.“Cepat habiskan makanmu! Kita akan ke kantor!” Qasam melangkah pergi meninggalkan meja.Qizha buru- buru menghabiskan makan, lalu meneguk minum separuh. “Hei, jangan tinggalkan minummu begitu saja! ini maish ada separuh. Kau harus menghabiskannya. Sususmu ini mahal!” seru Amira.Qizha yang sudah dua langkah meninggalkan meja, kembali ke meja dan meneguk susu sampai habis. Sebenarnya perutnya mual menghabiskan susu itu karena sudah kenyang, tapi nenek itu pasti akan memakinya jika ia membantah.Beginilah nasib menantu yang sed
“Nona Qizha!” Gafar yang berjalan dari arah ujung koridor, berseru seraya mendekati Qizha.“Ya, pak?” Qizha menghadap Gafar.“Selamat ya, Nona. Akhirnya posisi Anda kembali seperti yang seharusnya yaitu menjadi sekretaris,” ungkap Gafar bangga.“Terima kasih, Pak.” “Tidak sia- sia Nona Qizha selama ini menjadi OB. Pada akhirnya kesabaran Nona pun terjawab juga.”Qizha tersenyum. “Oh ya, tolong sampaikan kepada Bu Weni, suruh temui sekretaris sekarang. Saya ada perlu.”“Bu Weni?”“Iya. Staf administrasi itu.” “Apakah ada pekerjaan Non Qizha yang berkaitan dengan Bu weni? Ataukah ada hal pentingdi luar pekerjaan yang perlu dibahas dengan Bu Weni?” gafar bingung. Setahunya, tak ada kaitan antara pekerjaan Qizha dan Weni.Qizha hanya tersenyum, kemudian berkata, “Saya minta tolong panggil saja beliau. Sampaikan supaya dia menghadap saya ya, Pak!”Qizha kemudian masuk ke ruangannya. Ia tersenyum melihat ruangan itu. sudah sejak dulu ia mendambakan kursi tersebut, akhirnya Allah
“Saya nggak yakin Pak Qasam akan memecat saya,” balas Weni.“Kok bisa?”“Karena saya kan disuruh Pak Qasam.”“Maksudmu?” Qizha membelalak.“Mm… duh keceplosan.” Weni menabok bibirnya sendiri sambil menunduk.“Udah. Bicara saja. Nggak apa- apa kok.”Weni menggeleng.“Kalau nggak mau bicara, ya nggak apa- apa. palingan masuk daftar nama- nama yang dipec…”“Kemarin itu yang menyuruh saya menindas Bu qizha ya Pak Qasam,” potong Weni cepat.Qizha mendengus. Owalah, rupanya biang keroknya Qasam juga. Pantesan Weni berani berbuat semena- mena terhadapnya, rupanya dibackingi sama bos besar.“Saya nggak berani membantah, ya sudah saya lakukan saja. Jadi tolong jangan kasih saya nilai jelek untuk kemudian dipecat. Semua itu saya lakukan atas perintah Pak Qasam.” Weni memohon.“Lalu… OB bernama Zola dan semua orang yang menjahatiku itu juga atas perintah Pak Qasam?” tanya Qizha.“Benar. Mereka melakukannya karena disuruh Pak Qasam. Sebenarnya kami juga tidak tega berbuat hal itu. T
"Ini nggak lucu!" Qizha sedikit melirik ke arah sekitar, ia menjadi pusat perhatian semua orang."Dimana suamimu?" tanya Hasan."Lebih baik kamu tenangkan dirimu sebelum bicara dengannya.""Aku sudah mencarinya di ruangannya, tapi tidak menemukannya. Sepertinya Qasam tidak akan mau keluar jika tidak dipancing." Hasan menarik pergelangan tangan Qizha."Hei, lepaskan!" Hasan menggeret Qizha, tubuh mungil itu terseret mengikuti tarikan Hasan. "Apa yang kau lakukan?" Fahri mengejar Hasan dan menarik lengan Qizha hingga wanita itu terlepas dari pegangan Hasan. "Ini di kantor. Kenapa kau berbuat seperti ini?""Pecundang itu tidak mau menemuiku. Maka dia harus dipancing dengan cara ini," sahut Hasan."Apa yang kau mau?" tanya Fahri."Aku mau menuntut banyak pada Qasam. Kenapa dia memecatku? Ini menjijikkan sekali.""Sebaiknya kau selesaikan urusan pribadimu dengan Qasam. Kalian punya urusan pribadi yang seharusnya tidak bisa dicampurkan dengan urusan pekerjaan.”“Qasam lakukan ini karena d
Qizha menekan handle, tapi pintu terkunci. Ia meraih hp di tas. Menelepon Qasam. Telepon tersambung, tapi tak ada sahutan. "Qasam, jawab dong. Duh!" Qizha mendengus. Kalau seandainya Qizha keluar dari mobil dan membuka kunci begitu saja, apakah semua akan baik- baik saja? Apakah alarm tidak akan berbunyi? Pastinya alarm akan berbunyi sangat keras dan membuat seisi penghuni rumah kaget. Okelah, sehubungan Qasam tak mau menolongnya, maka jangan salahkan Qizha jika ia membuat ulah.Qizha menekan kunci di sisi handle. Klek. Pintu terbuka dan didorong.Benar, dugaannya. Wing tot wing tot wing tot... Alarm mobil berbunyi sangat kuat sekali. Mana bunyinya naeh sekali. Seketika, satpam pun menghambur ke garasi, mengecek garasi dengan tatapan mata seperti elang, yang menyorot dengan sempurna ke arah mobil milik Qasam."Hei, maling!" Satpam berlari mendekat ke arah Qizha. Ia langsung mencengkeram pergelangan tangan majikannya itu dengan erat. Dia menatap seperti seorang hakim pada terdakw