Share

Suami Pura-pura Dari Desa
Suami Pura-pura Dari Desa
Penulis: Aong_Zee

Bab 01

“Tuhaaaaaan ... Tolong keluarkan aku dari masalah ini! Tolong keluarkan aku dari jeratan mereka semuaaa ...” Teriak Jihan ketika berada di atas motor.

Hujan mulai turun, namun, Jihan tetap mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Tak di hiraukan orang-orang yang mulai menepi menghindar dari guyuran hujan, dia tetap menarik gas motor.

Guyuran hujan di kota Bogor mulai deras, Jihan tidak lagi bisa melihat dengan jelas jalan yang dia tempuh, entah seberapa jauh dan entah di mana sekarang berada pun tak tahu. Hanya saja dia mengikuti jalan yang ada di depan matanya.

“Tuhaaaann, tolong akuuuu,” teriaknya lagi dengan kepala mendongak ke atas dan mata yang terpejam.

Duuuaaarrrr!!! Tabrakan pun terjadi.

Sebuah mobil Alphard berwarna hitam yang menabrak tak peduli dengan keadaannya. Sisi mobil berada tepat di samping tubuh Jihan, namun perlahan pergi begitu saja.

Di keheningan malam hanya terdengar suara derasnya hujan, Jihan tergeletak di tepi jalan tanpa ada satu orang pun yang lewat di jalan saat itu.

Samar-samar Jihan melihat ada sorotan lampu sepeda motor yang mengarah padanya. Benar saja, motor itu berhenti namun Jihan tidak lagi sanggup untuk membuka mata.

“Astaghfirullah, Mbaaak ...” Seorang pemuda yang mengendarai sepeda motor mengangkat Jihan ke tepi jalan lalu menghubungi ambulan.

Tidak menunggu lama, sebuah mobil ambulan sampai di tempat kejadian perkara. Beberapa orang petugas mengangkat Jihan masuk ke dalam mobil lalu membawanya ke rumah sakit terdekat. Pemotor itu mengikutinya dari belakang.

Sayup-sayup Jihan mendengar pembicaraan sang pemotor dengan seorang dokter laki-laki di ruang di mana dia di rawat saat ini.

“Tidak ada luka serius, hanya saja korban merasakan panik sampai akhirnya dia pingsan,” ucap sang dokter.

“Iya. Terimakasih, Dok,” jawab pemuda itu.

Perlahan Jihan mencoba membuka mata, samar-samar dia melihat seorang pemuda berhidung bangir tengah menatap wajahnya.

Pemuda itu memberikan senyum termanis untuknya, “Alfian,” ucapnya.

Jihan hanya bisa menganggukkan kepala, semua tubuh terasa sakit akibat tubuhnya yang terpental.

“Mbak, cepat sehat, ya. Aku masih harus menempuh perjalanan jauh,” ujar pemuda berjaket kulit itu.

Jihan hanya bisa mengangguk lagi, wanita itu tak tahu lagi harus bagaimana. Seolah dia telah mengaku kalah dengan usaha yang dia lakukan untuk pergi dari kedua orang tuanya.

Jihan belum sanggup membuka hati untuk yang lain karena dia memiliki kisah cinta yang kurang beruntung, cintanya di khianati di saat sedang sayang-sayangnya. Sampai detik ini memang tidak ada laki-laki yang berhasil mendapatkan hati seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan ternama di kota Bogor.

“Mbak, apa yang mbak rasakan sekarang?” Tanya Alfian.

Jihan menelan ludah, “Aku enggak tahu apa yang aku rasakan. Yang pasti aku benci dengan hidupku.”

“Mbak, ada masalah?” Tanya Alfian. Jihan tidak menjawab, hanya saja air matanya sudah tampak mengambang di kelopak mata.

“Mbak, sebesar apapun masalah itu kita harus selesaikan. Kalau kita pergi dari masalah pasti masalah itu akan terus menghantui,” ucap Alfian dengan nada datar. “Aku juga punya masalah besar, Mbak, tapi aku malah pengen hadir di masalah itu,” lanjutnya.

Jihan tertarik dengan kata-kata Alfian, wanita itu memandang wajah Alfian. Ternyata mata pemuda itu sembab yang berarti pemuda itu belum lama ini menangis dengan waktu yang lama.

Alfian menopang dagu seolah tak peduli dengan tatapan mata Jihan, pemuda itu tahu kalau Jihan pasti penasaran dengan masalahnya.

“Apa masalah kamu, Al?” Tanya Jihan. “Panggil saja Jihan, jangan mbak. Nanti terlihat tua akunya,” lanjutnya.

Alfian tertawa lepas tapi tidak bisa di pungkiri bahwa dalam hatinya saat ini tengah terluka. Pemuda itu menarik nafas panjang lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

“Aku akan pulang ke desa, aku akan tinggal di sana. Percuma aku merantau sudah satu tahun lamanya tapi akhirnya kekasih yang aku perjuangkan menikah dengan orang lain,” ucapnya tanpa memandang Jihan.

Setelah mendengar cerita itu, Jihan memaksakan diri untuk bangkit dan duduk di ranjang itu. Spontan Alfian membantu Jihan untuk duduk.

“Jadi, kekasih kamu itu tinggal di desa atau di kota ini?” Tanya Jihan penasaran.

“Di desa. Besok adalah hari pernikahannya maka malam ini aku harus cepat pulang ke sana supaya bisa menyaksikan ijab qobul.”

“Apa kamu akan kuat melihat orang yang kamu sayang bersanding dengan yang lain?” Selidik Jihan.

“Aku akan coba,” jawabnya dengan kepala mendongak ke atas. “Jika aku enggak kuat aku akan pulang lagi ke kota ini,” lanjutnya.

“Terus jika kamu kuat kamu akan selamanya tinggal di sana?”

Alfian mengangguk, “Supaya dia tahu kalau cintaku ini memang untuknya, bukan untuk yang lain.”

Jihan memalingkan wajah, tak bisa di cerna oleh pikirannya rencana Alfian. Tapi Jihan malah memiliki ide cemerlang.

“Aku ikut!” Ucapnya sambil tersenyum.

“Apa?” Tanya Alfian dengan mulut terperangah.

Jihan menceritakan asal usulnya, semua jalan hidup yang telah dia lalui beserta masalah yang saat ini sedang menghantuinya.

Jihan memberanikan diri memegang kedua tangan Alfian dengan tatapan penuh harap karena inilah jalan satu-satunya supaya dia masih bisa merasakan keindahan hidup.

“Kamu lucu, Jihan. Hidup kamu sudah enak, orang tua kaya raya, rumah mewah mobil ada tapi kamu malah milih pergi ke desa. Di sana kamu mau cari apa coba?” Tanya Alfian sambil cekikikan.

“Yang pasti aku mencari kehidupan yang baru, yang enggak semuanya harus dengan keinginan orang tua.”

“Terus motor kamu?”

“Itu bukan milikku tapi milik penjaga pintu gerbang di mana aku bekerja, tapi tenang, kunci mobilku sudah berada di tangannya,” ucapnya menjelaskan.

Alfian masih saja cekikikan sambil menggelengkan kepala setelah mendengar cerita demi cerita dari Jihan. Banyak sedikitnya pemuda itu kini bisa memalingkan pikirannya yang tidak harus menuju ke sang kekasih yang akan menempuh hidup baru.

Alfian mengangguk-anggukkan kepala sambil berpikir, tidak lama pemuda itu beranjak lalu meninggalkan ruangan itu begitu saja. Jihan hanya bisa memandang, pikirannya kalut jika Alfian tega meninggalkan Jihan begitu saja di rumah sakit itu.

.

.

Setelah beberapa saat kemudian, pintu terbuka dan seorang perawat perempuan masuk ke dalamnya.

“Mbak, kita buka infus, ya. Mbak sudah bisa pulang dan di tunggu di kasir oleh keluarga,” ucap perawat itu.

Sakit hati yang Jihan rasakan sama dengan di saat dia di tinggal menikah oleh sang kekasihnya dulu. Karena mau tidak mau Jihan harus pulang ke rumah, wanita itu tidak memiliki keberanian untuk mengendarai motor lagi setelah kecelakaan yang baru saja menimpanya.

Selangkah demi selangkah Jihan keluar dari kamar menuju kasir tapi dia tidak menemukan siapapun di sana. Wanita itu langsung saja keluar dari rumah sakit itu untuk pulang ke rumah. Pandangannya mengarah pada halaman rumah sakit, beberapa kendaraan roda empat berjejer di sana.

Tin!

Alangkah terkejutnya Jihan ketika melihat sebuah motor berhenti di hadapannya, bibirnya kini merekah lebar. Wanita itu berlari kecil seolah sudah lupa dengan rasa sakit yang dia derita.

Tanpa basa-basi Jihan langsung naik di jok bagian belakang dengan tangan melingkar di pinggang.

“Terimakasih, Al. Aku enggak nyangka kamu akan bawa aku ke sana,” ucapnya sambil menempelkan pipi ke punggung Alfian.

“Aku enggak akan sia-siakan kesempatan ini,” ucapnya sambil tersenyum.

“Maksudnya?” Tanya Jihan dengan nada panik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status