Kepala Jihan celingukan ke arah ruang keluarga, tidak ada seorangpun yang ada di sekitar. Matanya mengarah pada jam yang menempel di dinding, matanya membelalak lebar ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.
Jihan membuka tudung saji yang tertutup rapat di atas meja, sudah tersedia sarapan dengan sangat rapi di sana. Bening bayam, sambal, dan juga ikan teri yang di goreng. Wanita itu mencomot satu ekor teri lalu memasukkannya ke dalam mulut."Mandi, Neng, nanti baru sarapan," ujar sang nenek yang tiba-tiba ada di belakangnya."Eh." Jihan menoleh, "Iya, Nek," lanjutnya sambil meringis."Alfian belum bangun? Bangunkan saja, ini sudah siang," ujar sang nenek."Belum mau bangun, Nek, tadi sudah aku bangunkan," ucap Jihan sambil mengikuti langkah sang nenek yang menuju ke dapur.Nek Rum membuka pintu belakang, di sana sudah tersedia banyak kelapa yang di belah menjadi dua. Beberapa keping kelapa sudah terlepas dari tempurungnya.Nek Rum mengambil posisi duduk di sebuah kursi kecil nan pendek, tangannya yang sudah keriput mengambil sebilah pisau berukuran agak besar. Jihan memperhatikan pergerakan sang nenek lalu ikut duduk di sampingnya."Nek, ini kelapa sebanyak ini memang mau di lepas semua dari tempurungnya?" Tanya Jihan."Iya, Neng. Inilah kerjaan nenek setiap harinya, kalau mereka yang masih muda kumpul jadi satu di lahan. Karena nenek sudah tua, nenek di beri pekerjaan di rumah saja," ucap sang nenek menjelaskan.Tampak dari pergerakannya sang nenek sudah benar-benar lihai dalam bekerja, Nek Rum sudah bisa menghasilkan banyak kelapa yang di lepas dari tempurungnya dalam waktu sebentar.Jihan mencoba mengambil sebilah pisau lagi yang ada di sana, namun, wanita itu hanya bisa melepaskan beberapa saja."Nek, orang tua Alfian tinggal di mana?" Tanya Jihan. Sang nenek menghentikan tangannya."Memangnya kamu belum tanya sama suami kamu?" Tanya Nek Rum."Belum. Aku takut mau bertanya, Nek," jawab Jihan. Padahal wanita itu belum sempat menanyakan hal ini kepada Alfian.Nek Rum tidak langsung menjawab, wanita tua itu melanjutkan tangannya mencongkel kelapa."Nenek sendiri enggak tahu di mana orang tuanya sekarang, sejak Alfian kecil, ibu dan ayahnya berpisah dan mereka memilih melanjutkan hidup masing-masing. Keduanya pergi ke kota dan sampai saat ini belum pernah pulang," ucap sang nenek."Sekalipun?" Tanya Jihan. Nek Rum mengangguk."Jadi, Alfian tidak pernah mencari atau ingin tahu keberadaan orang tuanya?" Selidik Jihan."Untuk apa?" Tanya nenek. "Mereka bisa meninggalkan bayi mungil berusia dua bulan, nenek kira orang tuanya akan pulang setahun atau dua tahun kemudian, tapi nyatanya tidak. Nenek yang melarang Alfian mencari mereka, nenek yang bilang orang tuanya sudah meninggal," ucap Nek Rum dengan nada geram.Hati Jihan trenyuh mendengarnya. Bertapa malang nasib Alfian, dari kisah orang tuanya yang berpisah dan dia di tinggalkan begitu saja sedangkan sekarang pemuda itu di tinggal menikah oleh sang kekasih.Tak sadar mata Jihan berkaca-kaca setelah mendengar cerita rahasia tentang Alfian, wanita itu meyakinkan hati harus membantu Alfian mendapatkan hati Hanum kembali. Hanya Hanum lah yang bisa membuat Alfian semangat hidup."Nek, dari kemarin aku belum ganti pakaian. Di mana ada jualnya?" Tanya Jihan dengan nada lirih."Kalian pun lucu, niat pulang kampung apa cuma jalan-jalan?" Tanya sang nenek sambil tertawa lepas.Ketegangan mulai mereda setelah sang nenek tertawa, tadinya nenek hanya bisa diam sambil menahan luka. Ada satu hal lagi yang ingin Jihan tanyakan namun wanita itu sudah tidak tega, takutnya malah menambah luka hati sang nenek.Jihan merasa malu, wanita itu beranjak dari duduknya sambil menyelipkan poni panjangnya ke belakang telinga."Sana bangunkan Alfian, ajak dia jalan-jalan ke pasar. Di pasar banyak yang jual pakaian, kebetulan ini hari Rabu," ujar sang nenek."Apa hubungannya dengan hari Rabu, Nek?" Tanya Jihan penasaran."Di sini memang pasar adanya hari Rabu, tidak seperti di kota yang setiap hari ada pasar," jawab Nek Rum.Jihan mengangguk-anggukkan kepala, wanita itu tersenyum lalu berlari kecil ke arah kamar. Sudah terbayang di matanya betapa serunya jalan-jalan di pasar. Seumur-umur wanita itu hanya bisa memandang dari kejauhan atau melewatinya saja karena dia belanja selalu di mal.Dengan hati riang, Jihan membangunkan Alfian kembali. Menepuk pipi, paha, bahkan meniup telinga Alfian. Namun, usahanya sia-sia. Alfian tetap diam sambil memejamkan mata. Akhirnya Jihan berada di titik kecewa...Jihan nekat ke pasar naik angkot bersama ibu-ibu yang hendak berbelanja sayur. Untungnya Jihan masih sempat meminta ongkos pada sang nenek karena dia tidak memiliki uang tunai.Sesampainya di pasar, Jihan celingukan seperti orang kebingungan. Beberapa pasang mata menyaksikan kebingungan wanita berambut panjang nan lurus itu."Mbak! Mbak! Di sini ada bank? Saya mencari dari tadi tapi tidak jumpa," ucap Jihan pada wanita yang hendak melintas."Oh, jalan saja terus ke sana, mbak. Ikuti aja terus jalan lintas ini, nanti ada di sebelah kiri di dekat toko emas," jawab wanita itu."Terimakasih, Mbak," ucap Jihan sambil melangkah.Jihan mengambil sebuah ATM pribadi miliknya, semua tabungan selama dia bekerja dulu ada di sana sehingga wanita itu tidak segan-segan menarik dalam jumlah yang banyak.Niatnya dalam hati, Jihan akan membuat perubahan di rumah Alfian guna membahagiakan sang nenek dan kakek."Narik berapa, Mbak?" Tanya kasir."Di sini maksimal bisa narik berapa, Mas?""Cuma dua puluh juta karena di sini teras, Mbak. Kalau mau lebih, lebih baik, Mbak ke pusat.""Ya, sudah, dua puluh juta," ucap Jihan tanpa ragu.Jihan memasukkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah ke dalam saku baju, sisanya dia masukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam berhubung wanita itu tidak membawa tas dari rumah.Dengan santai Jihan menenteng kantong plastik berwarna hitam berisi uang, sepertinya tidak ada satu orangpun yang menyangka bahwa itu isinya adalah uang.Setelah berkeliling dan sudah menggendong ransel yang baru saja dia beli, wanita itu belum juga puas jalan-jalan di sana. Jihan menelusuri seisi pasar, tak lupa dia membelikan pakaian untuk nenek dan kakek.Jihan terkejut ada seseorang yang menarik lengannya. "Astaga! Alfian!" Ucapnya terkejut."Kamu ih! Kenapa enggak bilang aku kalau mau ke pasar?" Tanya Alfian dengan nada kesal."Gimana aku mau bilang dengan orang yang sedang tertidur pulas?" Tanya Jihan balik sambil mendengus kesal. "Ya, sudah sana pulang! Aku bisa sendiri kok dan aku masih ingat jalan pulang," ujar Jihan.Alfian menggaruk-garuk kepalanya, pemuda itu merasa bersalah telah menelantarkan Jihan begitu saja. Jihan yang masih kesal melanjutkan langkahnya sambil memandang kanan dan kiri."Jihan, tunggu!" Ujar Alfian. Namun, Jihan masih saja terus berjalan. "Jihan!"Beberapa pasang mata menyaksikan mereka, ada yang tersenyum dan ada pula yang menggelengkan kepala. Namun Jihan tidak memedulikan mereka yang sedang memperhatikannya.Bruk! Alfian bertabrakan dengan seseorang."Hanum!" Alfian berdiri tepat di depan Hanum yang tengah sibuk memunguti barang yang terjatuh akibat dari tabrakan tubuh.Seketika Jihan menoleh, bibirnya merekah ketika melihat Hanum berhadapan dengan Alfian. Wanita itu sedikit menggeser kan tubuh dan langsung menempelkan tubuhnya di sebuah tembok pembatas toko supaya tidak terlihat sedang memantau mereka."Hanum, apa maksud dari ucapan kamu kemarin? Apa salahku dan apa maksudmu menikah dengan Danu?" Tanya Alfian. "Hanum, sampai kapanpun hati ini tetap untukmu," lanjutnya."Lupakan! Lupakan semua tentang kita dan jangan pernah berharap lagi padaku. Aku sudah memiliki suami," ucap Hanum dengan nada datar. Perasaannya trenyuh ketika berhadapan langsung dengan mantan kekasihnya, jauh di dalam hatinya, wanita itu masih sangat mencintai Alfian."Hanum, sampai kapanpun aku akan tetap menunggumu," ujarnya. "Biarlah aku menunggu jandamu."Plak! Satu tamparan mendarat di pipi kanan Alfian.Seketika Alfian memegang dan mengelus pipinya, Hanum pergi meninggalkannya dengan rasa kesal yang sangat luar biasa. Bagai di permainkan, wanita itu mendengus lalu berjalan tanpa menoleh sekalipun. Suara tawa Jihan terdengar oleh Alfian.Alfian kesal setelah melihat tingkah Jihan yang tertawa dengan sangat puas, pemuda itu membalik badan lalu meninggalkan Jihan begitu saja. Kini gantian Jihan berlari kecil untuk mengejar langkah Alfian."Al! Al! Tunggu!" Teriaknya. "Alfian!" Teriak Jihan sambil terus berlari kecil berusaha untuk mendapatkan Alfian yang terus berjalan."Tunggu!" Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertubuh tinggi besar menahan lengan Jihan hingga Jihan tak mampu melepasnya."Alfian! Tolong!" Teriak Jihan dengan nada panik.Seketika Alfian menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang setelah suara Jihan terlihat gugup. Secepatnya Alfian berjalan ke arah lelaki berwajah sangar yang saat ini tengah memegang lengan Jihan.Jihan meringis kesakitan karena lelaki itu sangat kuat. Penampilan lelaki itu seperti preman pasar hingga tak ada seorangpun yang berani menolongnya. Kumis tebal, kepala botak, dan matanya yang melotot, membuat semua orang hanya bisa diam dan menyaksikan."Apa-apaan ini?" Tanya Alfian ketika berada di hadapan lelaki itu."Kalian yang apa-apaan? Buat aku pusing. Tadi kau kejar dia, sekarang dia kejar kau. Apa kalian masih main kejar-kejaran di sini?" Tanya lelaki bertubuh tinggi besar yang memakai jaket kulit berwarna hitam. "Ini pegang! Jangan kau lepaskan lagi," ujarnya sambil memberikan lengan Jihan pada Alfian.Seke
Alfian diam seolah berpikir sambil menatap wajah Jihan, memang selama mereka berteman, Danu lebih suka cewek bar-bar ketimbang cewek pendiam seperti Hanum. Bahkan Danu sendiri pernah mengatakan pada Alfian perempuan seperti Hanum bukanlah tipenya.Mata Jihan yang bulat menatap Alfian sambil tersenyum, wanita sangat ingin membantu Alfian untuk mendapatkan cintanya."Ji, benar juga katamu. Aku harus selidiki semua ini," ucap Alfian setelah beberapa saat terdiam."Nah, sekarang yang harus kamu tahu dulu, kenapa Hanum mau menikah dengan Danu? Sedangkan hubungan kalian sudah bertahun-tahun lamanya, bahkan sudah ada rencana mau menikah 'kan?" Tanya Jihan.Alfian mengangguk-anggukkan kepala, pikirannya saat ini sangat kacau. Di sisi lain sebenarnya dia sudah tidak mau tahu dengan urusan Hanum karena wanita itu sudah milik orang lain. Tapi di sisi lain dia juga harus tahu karena semua ini berjalan dengan tiba-tiba.Alfian menghidupkan mesin motor, dengan perlahan motornya meninggalkan area gu
Alfian hanya bisa meratapi nasib yang sedang menimpanya. Hati yang sakit membuat tubuhnya lemah tak berdaya, jiwanya tak ingin hidup walau raganya masih ingin bergerak.Hari terus berganti, pemuda itu masih berusaha untuk terus berjalan walau hanya bisa diam. Beban yang harus dia pikul membuat raganya harus tetap bekerja.* * *"Al! Kantin, yuk." Lamunan Alfian buyar ketika mendengar suara wanita yang menyebut namanya."Enggak ah. Enggak lapar aku," jawabnya setelah dia memandang wanita itu adalah Safitri.Jam istirahat kantor telah tiba, namun, Alfian masih saja seperti biasanya yang hanya duduk di kursi miliknya tanpa melakukan aktivitas apapun kecuali melamun.Safitri memutarkan kursinya menghadap Alfian, wanita itu sejak lama memperhatikan teman sekantornya itu tapi baru kali ini dia memberanikan diri untuk mengajaknya berbicara."Al, coba cerita sama aku. Sebenarnya kamu ini ada apa? Apa akan selamanya kamu seperti ini?" Tanya Safitri dengan nada lirih."Sa, aku enggak tahu harus
Alfian tersenyum sambil menggelengkan kepala, tangan kanannya sudah memegang tali ransel sebelah kanan yang menempel di dada. "Tidaklah. Aku sudah tidak punya harapan lagi," jawab Alfian sambil berbisik."Yakin? Terus rencana kita bagaimana?""Nanti kita bicarakan di sana.""Jihan. Masuk!" Cetus Brahma dengan nada sedikit sinis.Seketika Jihan memandang sang papa dengan mata membelalak, jantungnya berdegup kencang seolah takut sifat asli sang papa kembali lagi seperti sebelumnya.Tanpa pikir panjang Jihan melangkah ke sisi mobil sambil memegang lengan Alfian."Aku naik motor saja, Ji," ucap Alfian setelah Jihan duduk di dalam mobil."Kenapa?" Tanya Jihan memandang Alfian."Naik mobil saja. Di rumah kami tidak terbiasa memajang motor," timpal Brahma yang hendak naik di bagian depan.Alfian memandang Brahma sambil masuk dan duduk di samping Jihan. Pemuda itu masih saja berpikir positif pada Brahma, namun, sang nenek sudah memiliki firasat tak enak sehingga wanita tua itu memandang sang
"Bisa. Pasti bisa," ucap Jihan meyakinkan."Sekarang istirahat lah di kamar, sayang," ucap Brahma sambil terisak.Jihan mengangguk, wanita itu melangkah ke kamar di ikuti Alfian di belakangnya. Semua orang yang ada di di sana masih fokus dengan pulih nya sang ratu dalam rumah.Bruk!Jihan menghempaskan tubuhnya di ranjang, tubuhnya menggeliat untuk melepaskan rasa lelah yang sangat luar biasa. Kelegaan dalam hati dan pikiran membuatnya terasa kantuk."Ji, besar banget kamar kamu," ucap Alfian sambil duduk di tepi ranjang."Biasa saja," jawab Jihan dengan mata terpejam."Kamu kan punya adik, kok tadi adik kamu tidak ada?" Tanya Alfian sambil melepaskan ransel yang masih di gendong sedari tadi."Mungkin dia lagi keluar. Al, sekarang apa yang akan kamu lakukan?""Maksudnya?""Almera. Kamu tidak cari tahu di mana dia?"Alfian tersenyum sambil menghela nafas, "Biarlah, biar semua berjalan dulu. Siapa tau suatu saat nanti ada jalan terbaik," ucap Alfian sambil tersenyum.Jihan beranjak dari
Mata Jihan membulat memandang sang mama yang saat ini tersenyum padanya, wanita itu sekilas melirik ke arah Alfian namun Alfian masih sibuk dengan gawainya."Tanya Alfian, Ma. Kalau aku belum siap," jawab Jihan sambil mengambil air mineral yang sedari tadi ada di samping piring miliknya."Loh, kenapa belum siap?" Tanya Sandra."Nanti keburu tua," cetus Tasya."Untuk apa cepat-cepat punya anak yang akhirnya bukan dia sendiri yang urus," timpal Jihan kesal.Alfian mematikan gawai yang ada di tangannya, pesan yang baru saja masuk ternyata dari Safitri. Wanita itu memberi kabar oleh Alfian kalau bos pemilik perusahaan itu memintanya untuk kembali bekerja di sana.Alfian bingung dengan sifat mereka yang diam, sementara dia benar-benar tidak mendengar obrolan apa yang baru saja di bahas oleh mereka."Al, di tanya mama tuh," jawab Jihan."Ada apa, Ma?" Tanya Alfian memandang Sandra."Kapan kalian berencana punya anak? Mama pengen gendong cucu dari kalian," ucap Sandra.Alfian menelan ludah,
Mata Tasya fokus memandang papa karena lelaki berkumis tebal itulah yang merespon ceritanya dari antara mereka yang ada di sana. Tasya lebih terlihat ceria di hari-hari biasanya, seperti telah melepaskan beban yang selama ini dia pikul sendiri.Tasya terus menyuap nasi sambil sesekali melirik ke arah Alfian. Wanita itu tidak segan-segan tersenyum lebar di depan kakaknya, dalam hatinya dia telah menemukan sahabat baru dalam hidupnya."Memangnya selama ini kamu enggak pernah jalan sama suami kamu? Sampai-sampai mereka kepikiran kalau kamu sudah menikah lagi. Kapan terakhir kamu jalan dengan suami kamu? Lima bulan kah atau setahun?" Tanya Jihan dengan nada datar tanpa memandang Tasya."Jangan pernah tanyakan hal itu padaku," ucap Tasya sedikit ketus."Kenapa? Kalau suami istri jalan bareng itu hal yang wajar 'kan?" Jihan meraih segelas air mineral lalu meneguknya.Kedua orang tuanya hanya bisa diam dan saling tatap, mereka sekarang mengerti kalau putri sulungnya tidak suka suaminya jalan
"Enggak. Enggak apa-apa kok, emang hawanya malam ini panas aja mungkin," jawab Jihan gugup. Wanita itu mengibaskan beberapa kali telapak tangannya di dekat bagian leher.Alfian percaya begitu saja, pemuda itu mengambil bantal dan selimut miliknya yang ada di dekat Jihan tanpa curiga sedikitpun.Jihan membenahi bantal miliknya lalu merebahkan tubuhnya, seperti biasanya Alfian tidur di sofa sedangkan Jihan tidur di ranjang.Jihan tidak bisa tidur, pikirnya jauh pergi entah kemana setelah membaca pesan dari Safitri yang ada di gawai Alfian, sesekali wanita itu merubah posisi untuk mendapatkan posisi ternyaman. Namun, sampai jam menunjukkan pukul satu dini hari pun matanya belum juga terpejam."Ih, ada apa sih dengan pikiranku ini?" Bisiknya kesal sambil menghela nafas panjang. Matanya terbuka dengan wajah yang menghadap meja rias. Ingin rasanya mencari tahu apa maksudnya tapi wanita itu mengerti kalau dia tidak boleh gegabah."Sebenarnya ini ada apa sih? Apa bener Safitri hamil karena Al