Share

Bab 05

Kepala Jihan celingukan ke arah ruang keluarga, tidak ada seorangpun yang ada di sekitar. Matanya mengarah pada jam yang menempel di dinding, matanya membelalak lebar ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.

Jihan membuka tudung saji yang tertutup rapat di atas meja, sudah tersedia sarapan dengan sangat rapi di sana. Bening bayam, sambal, dan juga ikan teri yang di goreng. Wanita itu mencomot satu ekor teri lalu memasukkannya ke dalam mulut.

"Mandi, Neng, nanti baru sarapan," ujar sang nenek yang tiba-tiba ada di belakangnya.

"Eh." Jihan menoleh, "Iya, Nek," lanjutnya sambil meringis.

"Alfian belum bangun? Bangunkan saja, ini sudah siang," ujar sang nenek.

"Belum mau bangun, Nek, tadi sudah aku bangunkan," ucap Jihan sambil mengikuti langkah sang nenek yang menuju ke dapur.

Nek Rum membuka pintu belakang, di sana sudah tersedia banyak kelapa yang di belah menjadi dua. Beberapa keping kelapa sudah terlepas dari tempurungnya.

Nek Rum mengambil posisi duduk di sebuah kursi kecil nan pendek, tangannya yang sudah keriput mengambil sebilah pisau berukuran agak besar. Jihan memperhatikan pergerakan sang nenek lalu ikut duduk di sampingnya.

"Nek, ini kelapa sebanyak ini memang mau di lepas semua dari tempurungnya?" Tanya Jihan.

"Iya, Neng. Inilah kerjaan nenek setiap harinya, kalau mereka yang masih muda kumpul jadi satu di lahan. Karena nenek sudah tua, nenek di beri pekerjaan di rumah saja," ucap sang nenek menjelaskan.

Tampak dari pergerakannya sang nenek sudah benar-benar lihai dalam bekerja, Nek Rum sudah bisa menghasilkan banyak kelapa yang di lepas dari tempurungnya dalam waktu sebentar.

Jihan mencoba mengambil sebilah pisau lagi yang ada di sana, namun, wanita itu hanya bisa melepaskan beberapa saja.

"Nek, orang tua Alfian tinggal di mana?" Tanya Jihan. Sang nenek menghentikan tangannya.

"Memangnya kamu belum tanya sama suami kamu?" Tanya Nek Rum.

"Belum. Aku takut mau bertanya, Nek," jawab Jihan. Padahal wanita itu belum sempat menanyakan hal ini kepada Alfian.

Nek Rum tidak langsung menjawab, wanita tua itu melanjutkan tangannya mencongkel kelapa.

"Nenek sendiri enggak tahu di mana orang tuanya sekarang, sejak Alfian kecil, ibu dan ayahnya berpisah dan mereka memilih melanjutkan hidup masing-masing. Keduanya pergi ke kota dan sampai saat ini belum pernah pulang," ucap sang nenek.

"Sekalipun?" Tanya Jihan. Nek Rum mengangguk.

"Jadi, Alfian tidak pernah mencari atau ingin tahu keberadaan orang tuanya?" Selidik Jihan.

"Untuk apa?" Tanya nenek. "Mereka bisa meninggalkan bayi mungil berusia dua bulan, nenek kira orang tuanya akan pulang setahun atau dua tahun kemudian, tapi nyatanya tidak. Nenek yang melarang Alfian mencari mereka, nenek yang bilang orang tuanya sudah meninggal," ucap Nek Rum dengan nada geram.

Hati Jihan trenyuh mendengarnya. Bertapa malang nasib Alfian, dari kisah orang tuanya yang berpisah dan dia di tinggalkan begitu saja sedangkan sekarang pemuda itu di tinggal menikah oleh sang kekasih.

Tak sadar mata Jihan berkaca-kaca setelah mendengar cerita rahasia tentang Alfian, wanita itu meyakinkan hati harus membantu Alfian mendapatkan hati Hanum kembali. Hanya Hanum lah yang bisa membuat Alfian semangat hidup.

"Nek, dari kemarin aku belum ganti pakaian. Di mana ada jualnya?" Tanya Jihan dengan nada lirih.

"Kalian pun lucu, niat pulang kampung apa cuma jalan-jalan?" Tanya sang nenek sambil tertawa lepas.

Ketegangan mulai mereda setelah sang nenek tertawa, tadinya nenek hanya bisa diam sambil menahan luka. Ada satu hal lagi yang ingin Jihan tanyakan namun wanita itu sudah tidak tega, takutnya malah menambah luka hati sang nenek.

Jihan merasa malu, wanita itu beranjak dari duduknya sambil menyelipkan poni panjangnya ke belakang telinga.

"Sana bangunkan Alfian, ajak dia jalan-jalan ke pasar. Di pasar banyak yang jual pakaian, kebetulan ini hari Rabu," ujar sang nenek.

"Apa hubungannya dengan hari Rabu, Nek?" Tanya Jihan penasaran.

"Di sini memang pasar adanya hari Rabu, tidak seperti di kota yang setiap hari ada pasar," jawab Nek Rum.

Jihan mengangguk-anggukkan kepala, wanita itu tersenyum lalu berlari kecil ke arah kamar. Sudah terbayang di matanya betapa serunya jalan-jalan di pasar. Seumur-umur wanita itu hanya bisa memandang dari kejauhan atau melewatinya saja karena dia belanja selalu di mal.

Dengan hati riang, Jihan membangunkan Alfian kembali. Menepuk pipi, paha, bahkan meniup telinga Alfian. Namun, usahanya sia-sia. Alfian tetap diam sambil memejamkan mata. Akhirnya Jihan berada di titik kecewa.

.

.

Jihan nekat ke pasar naik angkot bersama ibu-ibu yang hendak berbelanja sayur. Untungnya Jihan masih sempat meminta ongkos pada sang nenek karena dia tidak memiliki uang tunai.

Sesampainya di pasar, Jihan celingukan seperti orang kebingungan. Beberapa pasang mata menyaksikan kebingungan wanita berambut panjang nan lurus itu.

"Mbak! Mbak! Di sini ada bank? Saya mencari dari tadi tapi tidak jumpa," ucap Jihan pada wanita yang hendak melintas.

"Oh, jalan saja terus ke sana, mbak. Ikuti aja terus jalan lintas ini, nanti ada di sebelah kiri di dekat toko emas," jawab wanita itu.

"Terimakasih, Mbak," ucap Jihan sambil melangkah.

Jihan mengambil sebuah ATM pribadi miliknya, semua tabungan selama dia bekerja dulu ada di sana sehingga wanita itu tidak segan-segan menarik dalam jumlah yang banyak.

Niatnya dalam hati, Jihan akan membuat perubahan di rumah Alfian guna membahagiakan sang nenek dan kakek.

"Narik berapa, Mbak?" Tanya kasir.

"Di sini maksimal bisa narik berapa, Mas?"

"Cuma dua puluh juta karena di sini teras, Mbak. Kalau mau lebih, lebih baik, Mbak ke pusat."

"Ya, sudah, dua puluh juta," ucap Jihan tanpa ragu.

Jihan memasukkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah ke dalam saku baju, sisanya dia masukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam berhubung wanita itu tidak membawa tas dari rumah.

Dengan santai Jihan menenteng kantong plastik berwarna hitam berisi uang, sepertinya tidak ada satu orangpun yang menyangka bahwa itu isinya adalah uang.

Setelah berkeliling dan sudah menggendong ransel yang baru saja dia beli, wanita itu belum juga puas jalan-jalan di sana. Jihan menelusuri seisi pasar, tak lupa dia membelikan pakaian untuk nenek dan kakek.

Jihan terkejut ada seseorang yang menarik lengannya. "Astaga! Alfian!" Ucapnya terkejut.

"Kamu ih! Kenapa enggak bilang aku kalau mau ke pasar?" Tanya Alfian dengan nada kesal.

"Gimana aku mau bilang dengan orang yang sedang tertidur pulas?" Tanya Jihan balik sambil mendengus kesal. "Ya, sudah sana pulang! Aku bisa sendiri kok dan aku masih ingat jalan pulang," ujar Jihan.

Alfian menggaruk-garuk kepalanya, pemuda itu merasa bersalah telah menelantarkan Jihan begitu saja. Jihan yang masih kesal melanjutkan langkahnya sambil memandang kanan dan kiri.

"Jihan, tunggu!" Ujar Alfian. Namun, Jihan masih saja terus berjalan. "Jihan!"

Beberapa pasang mata menyaksikan mereka, ada yang tersenyum dan ada pula yang menggelengkan kepala. Namun Jihan tidak memedulikan mereka yang sedang memperhatikannya.

Bruk! Alfian bertabrakan dengan seseorang.

"Hanum!" Alfian berdiri tepat di depan Hanum yang tengah sibuk memunguti barang yang terjatuh akibat dari tabrakan tubuh.

Seketika Jihan menoleh, bibirnya merekah ketika melihat Hanum berhadapan dengan Alfian. Wanita itu sedikit menggeser kan tubuh dan langsung menempelkan tubuhnya di sebuah tembok pembatas toko supaya tidak terlihat sedang memantau mereka.

"Hanum, apa maksud dari ucapan kamu kemarin? Apa salahku dan apa maksudmu menikah dengan Danu?" Tanya Alfian. "Hanum, sampai kapanpun hati ini tetap untukmu," lanjutnya.

"Lupakan! Lupakan semua tentang kita dan jangan pernah berharap lagi padaku. Aku sudah memiliki suami," ucap Hanum dengan nada datar. Perasaannya trenyuh ketika berhadapan langsung dengan mantan kekasihnya, jauh di dalam hatinya, wanita itu masih sangat mencintai Alfian.

"Hanum, sampai kapanpun aku akan tetap menunggumu," ujarnya. "Biarlah aku menunggu jandamu."

Plak! Satu tamparan mendarat di pipi kanan Alfian.

Seketika Alfian memegang dan mengelus pipinya, Hanum pergi meninggalkannya dengan rasa kesal yang sangat luar biasa. Bagai di permainkan, wanita itu mendengus lalu berjalan tanpa menoleh sekalipun. Suara tawa Jihan terdengar oleh Alfian.

Alfian kesal setelah melihat tingkah Jihan yang tertawa dengan sangat puas, pemuda itu membalik badan lalu meninggalkan Jihan begitu saja. Kini gantian Jihan berlari kecil untuk mengejar langkah Alfian.

"Al! Al! Tunggu!" Teriaknya. "Alfian!" Teriak Jihan sambil terus berlari kecil berusaha untuk mendapatkan Alfian yang terus berjalan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status