Share

Suami Rahasia
Suami Rahasia
Penulis: Butiran Rinso

Prolog

Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh Anna. Gairah yang bergejolak membuat tubuhnya serasa panas ketika hentakan demi hentakan keras melambungkannya ke angan, membawanya terbang menikmati setiap sentuhan pada tubuhnya.

Anna memejamkan mata, menengadah ke langit-langit kamar saat hentakan kian keras menghujam dirinya. Cengkraman tangannya kian erat, kuku-kukunya menancap di bahu kokoh yang menjadi kesukaannya. Napasnya tak lagi terkendali, ia terus terengah, dengan tubuh yang bergetar saat mencapai pelepasan.

Lega, ya Anna merasakan kelegaan saat sesuatu yang hangat mengalirinya. Anna membuka mata, ketika tubuhnya jatuh di atas dada bidang yang selalu ia kagumi. Tatapannya yang sendu, memandangi wajah tampan di bawahnya yang tampak begitu kelelahan. Hanya lewat binar matanya yang bercahaya, siapa pun bisa menebak betapa besar Anna mencintai sosok itu.

Anna benar-benar mengagumi setiap pahatan sempurna dari wajah tampan itu. Mata beriris hitam pekat, alis tebal, hidung mancung, bibir seksi dan rahang tegasnya membuat ketampanannya begitu benar-benar sempurna. Anna tak bosan memandanginya, ia seperti tak ingin melewatkan setiap detiknya untuk memuaskan matanya menatap laki-laki itu.

"Kapan kamu akan menyingkir dari sana?" Suara serak nan dingin menusuk, sukses membuat lamunan Anna buyar seketika.

"Ya?" Mata Anna bertemu dengan sorot mata tegas yang selalu membuatnya tak berdaya.

"Bisa menyingkir dari tubuhku sekarang, kamu semakin berat," tutur laki-laki itu yang tak lain Revan Bagas Raharjo, bosnya di kantor sekaligus suami siri Anna.

"Oh, iya." Anna buru-buru menyingkir dari atas tubuh Revan, meski terlihat enggan. Ia menempatkan tubuhnya berbaring miring di samping Revan yang tampak kelelahan. "Kamu haus? Mau aku ambilkan minum?" tawar Anna, seperti biasa menawarkan minum selepas perduelan panas yang menguras tenaga.

"Hm." Revan menyahut datar, memilih memejamkan mata dengan lengan yang menimpa dahinya.

"Tunggu sebentar, aku akan ambilkan air dingin." Anna bergegas bangun, menyambar cepat kemeja putih kebesaran milik Revan. Ia selalu suka mengenakan pakaian suaminya itu, meski hanya sesaat.

Walaupun berstatus suami istri, tapi hubungan Anna dan Revan tampak canggung dan kaku. Ditambah sikap Revan yang tampak dingin terhadap Anna, bahkan selepas mereka bercinta.

Bukan tanpa alasan Revan bersikap seperti itu pada Anna dan Anna sendiri tahu alasannya kenapa. Ya, karena Revan tak pernah mencintainya, bahkan mungkin tak pernah menganggap Anna ada selain di kantor ataupun di atas ranjang. Di mata Revan, Anna hanyalah sekretarisnya di kantor dan juga pemuas hasratnya di atas kasur.

Anna tahu itu, ia sadar betul bahwa sampai kapan pun posisinya hanya dibutuhkan di saat Revan inginkan dan ketika Revan tak menginginkannya lagi, bisa saja ia dibuang begitu saja. Seperti ampas permen karet.

Anna tahu, dirinya tampak begitu bodoh karena menempatkan diri di posisi seperti ini. Tapi seperti yang pepatah bilang, bukankah cinta itu memang buta? Ya, benar, cinta itu buta dan Anna dibutakan cintanya sampai ia rela jadi pelampiasan hasrat bosnya sendiri.

"Kamu sudah mau pergi?" tanya Anna ketika memasuki kamar dan mendapati Revan tengah mengenakan celana panjang berbahan yang ia kenakan untuk tadi pagi.

Revan mengangguk datar, mengabaikan Anna yang mendekat ke arahnya. "Anggita minta aku pulang sekarang."

Mendengar nama wanita yang Revan sebut, hati Anna berdenyut sakit. Padahal ia tahu, tak sepantasnya ia sakit hati mengingat wanita itu adalah istri sahnya Revan. Tapi melihat bagaimana Revan selalu terburu-buru pulang setiap kali Anggita menyuruhnya pulang, rasanya ego Anna seperti ingin menjerit dan melarang Revan pulang kepada istrinya.

"Ini." Anna menyodorkan segelas air dingin yang ia ambil dari dapur.

Tanpa berkata apa-apa Revan menerimanya, menenggak sampai tersisa setengah lalu menyerahkan kembali pada Anna. Ia memperhatikan sejenak Anna, wajah istri simpanannya itu begitu murung. Revan tahu alasannya kenapa, tapi ia malah bersikap tak mau tahu dan tak peduli pada apa pun yang tengah Anna rasakan.

"Lepas," suruh Revan, menyuruh Anna melepaskan kemeja yang dikenakannya.

Alih-alih menurut, Anna justru memberanikan diri menatap Revan, tatapan sendunya berusaha menerobos mata tegas yang menatap balik dirinya. Perlahan, Anna mendekat, memangkas jarak di antara keduanya setelah ia meletakkan gelas di atas nakas. Lalu fokusnya berpusat pada Revan yang terdiam dan matanya tak sedetik pun beranjak dari wajah Anna.

Anna menghela napas sejenak, mati-matian melepas sesak di dada ketika matanya menatap bibir Revan yang tampak menggoda. Dalam pikirannya, muncul berbagai macam pertanyaan menyakitkan. Salah satunya, apakah bibir itu juga pernah menjamah wanita lain?

"Ada apa?" Suara Revan merusak imajinasi Anna, menarik kembali atensinya.

"Bisakah untuk malam ini saja kita menginap?" pinta Anna, penuh harap.  Meski ia tahu mustahil Revan akan mengiyakan. Laki-laki itu lebih mementingkan permintaan istri sahnya, ketimbang Anna.

"Enggak." Seperti yang Anna duga, Revan akan menjawab seperti itu.

Namun, bukan berarti Anna akan menyerah. Ia akan selalu melakukan segala upaya untuk menahan Revan lebih lama bersamanya. "Kalau begitu, bisakah kita main satu kali lagi?"

"Enggak." Dan jawaban yang sama kembali terlontar dari mulut Revan.

Penolakan, Anna sudah terbiasa dengan penolakan yang Revan berikan. Jika biasanya ia akan menerimanya begitu saja, entah mengapa kali ini ia ingin bersikap egois.

"Why?" Anna mendongak, menatap Revan lebih lekat.

Revan menelan kasar ludahnya. Meski ia tak tertarik secara emosional terhadap Anna, tapi mata penuh kilat menggoda itu selalu sukses membuatnya kelimpungan. Ditambah saat Anna dengan berani melepas satu per satu kancing kemejanya dan menanggalkannya, mana bisa Revan mengabaikan lekukan tubuh Anna yang begitu membuatnya panas dingin ingin menjamahnya lagi.

"Aku nggak pernah menuntut apa-apa dari kamu, tapi untuk malam ini saja, bisakah kamu tetap tinggal di sini?" Anna memainkan jemari tangannya di atas dada bidang Revan. "Hari ini, hari anniversary pernikahan kita. Meski tak bisa merayakannya, paling enggak aku boleh kan minta hadiah dari kamu dan hadiah yang aku minta cuma pengen bersama kamu semalaman."

Revan tak tahan dengan godaan tangan Anna yang merayapi dada turun ke bawah. Bahkan tangan itu nyaris melepas kaitan celananya, beruntung tangan Revan lebih sigap menghentikannya. "Anna," tegur Revan, menurutnya Anna kali ini terlalu berani dan lancang. "Apa kamu lupa dengan perjanjian kita?"

Anna menelan ludah, memalingkan muka. Ia tak pernah lupa dengan perjanjian yang Revan usulkan dulu saat mereka memutuskan untuk memulai hubungan terlarang ini. Ya, Anna tak boleh menuntut apa pun, Anna hanya berhak menerima apa pun yang Revan berikan, ia tak boleh meminta apa pun, termasuk waktu Revan.

"Aku ingat," lirih Anna, putus asa, "tapi apa tak bisakah kamu buat pengecualian buat hari ini?" Anna menatap Revan kembali, kali ini matanya berair menahan tangis. "Jika kamu tak bisa menemaniku semalaman tak apa. Tapi bisakah kamu memberiku kesempatan untuk menjadi dominan dalam satu kali permainan saja? Anggap saja ini hadiah yang kuminta, setelah itu kamu boleh pulang."

Revan terdiam sejenak, menimang-nimang permintaan yang Anna ajukan. Ia memang tak keberatan jika Anna ingin mendominasi permainan panas mereka, tapi jika ia mengiyakan lalu bagaimana dengan Anggita yang menyuruhnya cepat pulang.

"Sekali ini saja," ucap Anna, menarik dagu Revan yang sempat melirik ke arah ponselnya di atas nakas. "Aku janji nggak akan lama dan aku yakin istrimu bisa menunggu."

Benar, permainan ini tak akan lama pikir Revan. Lantas ia pun akhirnya mengiyakan permintaan Anna, membiarkan wanita itu mendorongnya ke atas kasur dan mulai melakukan aksi yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Kali ini Anna tak menahannya lagi, ia merealisasikan semua imajinasinya selama ini terhadap Revan.

Sementara di sisi lain, Anggita tengah berdiri di depan rumah orangtuanya. Mondar-mandir dengan gelisah dan sesekali mengomel ketika melihat layar ponselnya yang menyala. Chat terakhir yang ia kirim lima belas menit lalu pada suaminya belum juga dibalas.

"Revan mana sih? Kenapa nggak bales -bales!" Anggita merutuk. "Apa dia lupa kalau malam ini ada makan malam keluarga?" Anggita berdecak, kembali mengirim pesan singkat kepada suaminya.

Kamu sudah di mana?

Kamu sudah jalan kan?

Hei!

Setidaknya balas pesanku, jangan membuatku gusar! Mama papa sudah menanyaimu dari tadi!

Tak tahan karena tak kunjung mendapat balasan atas pesan singkatnya, lantas Anggita memilih menelepon suaminya. Cukup lama ia menunggu telepon diangkat, membuatnya semakin gusar. Bahkan panggilan pertama tak terjawab, Anggita tak menyerah dan kembali mencoba kedua kalinya. Namun, ternyata langsung diangkat, ia sudah bersiap akan membuka mulut guna melampiaskan kekesalannya pada sang suami, tapi suara rintihan dari seberang telepon membuatnya mendadak gagu.

Anggita bukan wanita bodoh, ia juga tak sepolos anak kecil yang tak bisa mengenali suara macam apa rintihan barusan. Bahkan suara rintihan itu semakin menyeramkan, membuat tubuh Anggita mendadak menggigil kedinginan. Ia tak tahan lagi mendengar suara rintihan wanita sialan yang entah siapa, ia pun memilih mematikan sambungan telepon.

Emosi Anggita membuncah, tangannya menggenggam erat ponsel yang seakan ingin ia remuk sebagai pelampiasan kekesalannya pada sang suami. "Revan berengsek! Kamu benar-benar berengsek Revan!"

"Sialan!"

"Arrrrgh!!!"

Dan tanpa bisa dikontrol, Anggita benar-benar menghancurkan ponselnya, membantingnya dengan keras sampai benar-benar rusak. Seperti hubungan pernikahannya yang sudah rusak atas pengkhianatan suaminya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status