"Aku berangkat, Sean!"
Rhein berpamitan sembari memasang sepatunya dengan terburu-buru. Dengan menggunakan setelan blazer merah dipadu dengan sepatu high heels 7 cm berwarna senada, penampilan Rhein pagi ini sangat mempesona. Rambutnya yang panjang ia biarkan tergerai dengan blow ikal, hanya sebuah jepitan kecil yang bertengger di atas dahinya sebagai aksesori untuk menjepit poninya.Sean yang tengah mencuci gelas bekas kopinya, tertegun untuk beberapa saat memandangi sosok cantik yang kini berjalan dengan tergesa-gesa menuju pintu keluar."Hati-hati, Rhein."Teriakan Sean terdengar sia-sia karena 'istrinya' sudah menutup pintu sebelum ia berhasil menyelesaikan perkataannya. Sambil meletakkan gelas yang sudah ia bilas di rak, Sean memperhatikan ponselnya yang bergetar di atas meja pantry.Mami Veronica is calling ...Dahi Sean berkerut heran, tumben mertuanya menelepon sepagi ini."Halo, Mami?" sapa Sean cepat sambil menggosok tangannya yang masih basah ke celana."Sean, apa acaramu hari ini?" tanya Veronica tanpa basa-basi.Sean berpikir sejenak. "Tidak ada sih, Mi. Memangnya ada apa, Mi?""Bagus, kalo begitu kamu bisa dong anterin Mami arisan! Sekalian Mami mau kenalin kamu sama temen-temen Mami!""Sekarang?" tukas Sean memastikan."Iya dong, sekarang! Buruan kamu siap-siap. Sebentar lagi Pak Rusli jemput kamu," pungkas Veronica sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon mereka.'Arisan?' Sean bergumam dalam hati sambil masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap.Mengantarkan saja sih tidak masalah, tapi bila berkenalan dengan para ibu-ibu itu?Sean bergidik ngeri. Veronica saja sudah membuatnya kewalahan, apalagi bila ditambah dengan 10 atau 20 orang lagi yang mirip dengan mertuanya! Bisa-bisa giginya kering karena harus selalu tersenyum.Tiga puluh menit kemudian, Sean benar-benar mengantarkan Veronica menuju sebuah restoran. Pak Rusli turun di apartemen dan di istirahatkan selama mertua dan menantu itu ber-quality time.Tiba di sebuah restoran yang dari pintu masuknya saja sudah terlihat seberapa mahal harga makanan di dalam, Sean memarkir mobil mertuanya. Deretan mobil-mobil mahal berjejer di sepanjang tempat parkir luas itu. Hati Sean mencelos ketika melihat salah satu mobil yang ia kenal juga terparkir diantara puluhan mobil yang lain."Ayo, turun!" ajak Veronica berbinar sembari melepas seat belt di sisi kanan pinggulnya."Hhmm, Mi, saya ijin keluar sebentar untuk membeli liquid vapor, boleh? Saya lupa mau beli pas di perjalanan kemari tadi," pamit Sean.Veronica menoleh pada menantunya, ia urung membuka pintu mobil."Gimana sih, Sean! Kan, Mami mau kenalin kamu sama temen-temen Mami!" keluh wanita paruh baya itu manyun.Sean berusaha mengulas senyum terbaiknya. "Sebentar saja kok, Mi. Setelah itu Sean ke sini lagi."Mau tak mau akhirnya Veronica mengangguk dan membiarkan menantunya itu pergi. Sambil melangkahkan kaki memasuki restoran berinterior klasik eropa itu, Veronica mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Teman-teman sosialitanya sudah bercengkrama dengan akrab di dalam ruangan khusus yang di sewa untuk customer VVIP."Hai, Veronica! Mana menantu yang mau kau kenalkan itu!?"Salah seorang wanita sosialita yang memakai barang branded dari ujung kepala sampai ujung kaki, merentangkan tangan untuk menyapa temannya yang baru datang. Veronica tersenyum dan memeluk kawannya itu dengan hangat."Dia masih keluar sebentar untuk membeli sesuatu," sahut Veronica sambil memindai penampilan semua teman-teman arisannya yang mahal."Hai, Nyonya Chevalier, tumben sekali anda datang!" sapa Veronica terbelalak ketika melihat salah satu anggota arisan yang paling kaya diantara yang lain."Hai, Veronica. Aku datang karena penasaran seperti siapa menantumu yang katanya tampan itu!"Veronica terkekeh dan memeluk wanita yang masih saja cantik meskipun usianya sudah menjelang senja. Tidak bisa berbohong, aroma wangi parfum dari orang yang benar-benar kaya memang berbeda dengan aroma parfum OKB. Veronica terbius ketika wangi yang sangat mahal terendus oleh indra penciumannya kala memeluk Nyonya Chevalier."Saya suka parfum anda, Nyonya Chevalier. Sangat mahal dan classy!" puji Veronica sepenuh hati.Wajah yang dipenuhi gurat kerutan itu tersenyum."Aku akan memberimu satu bila kita bertemu di arisan berikutnya nanti!""Sungguh!?" Veronica terbelalak tak percaya."Ini adalah parfum turun temurun dari keluargaku, Vero. Hanya diproduksi untuk kami. Dan tidak dijual di manapun!""Really? Oh, waw! Saya merasa terhormat sekali bila anda mau berbagi parfum itu, Nyonya Chevalier," cicit Veronica tak enak hati."Veronica, di mana menantumu?" Salah seorang teman Veronica yang lain menyapanya dan mereka pun berpelukan.Hampir semua menanyakan keberadaan menantu yang selalu Veronica banggakan seminggu terakhir. Karena tak ada satupun temannya yang diundang ke acara pernikahan Rhein, alhasil mereka kepo sehebat apa menantu yang selalu dielu-elukan oleh Veronica.Sementara itu di tempat yang berbeda, Sean turun dari mobil dan masuk ke sebuah cafe. Ia berdusta lagi pada Veronica, alasan untuk membeli liquid vapor hanyalah sebuah ide agar ia bisa kabur dari ibu-ibu arisan yang pasti cerewet dan selalu ingin tahu. Terlebih setelah ia melihat salah satu mobil kenalannya juga terparkir di situ, semakin bulat lah keinginan Sean untuk kabur.Telepon dari Veronica berdering setelah satu jam Sean meninggalkannya di restoran itu. Ia buru-buru mengangkatnya dan mendekat ke jendela."Hal--""Sean, di mana kamu!?"Belum sempat Sean menyapa, Veronica sudah lebih dulu mengomelinya."Maaf, Mi. Ban mobilnya kempes, ini saya masih di bengkel." Sekali lagi, terpaksa Sean harus berdusta."Haduuuh, ada-ada saja! Apa kamu masih jauh dari tempat Mami arisan?""Sepertinya begitu, Mi. Apa Mami sudah mau pulang?" tebak Sean berbinar."Belum, ini masih makan. Ya, sudahlah, kalo kamu sudah selesai segeralah kemari, Sean!" perintah Veronica sebelum memutuskan sambungan telepon mereka.Helaan napas panjang dan berat terhembus kala Sean meletakkan ponselnya di meja. Ia lantas menyesap kopi ke dua yang ia pesan selama satu jam terakhir. Sudah dua gelas ia habiskan seorang diri sambil merenung. Dua bulanan ini hidupnya terasa jungkir balik, kejadian demi kejadian diluar nalar entah mengapa malah membuatnya bersemangat. Sean penasaran, akan seperti apa hari-hari berikutnya bersama Rhein.Satu jam berikutnya, Sean sudah menjemput Veronica di restoran. Tentu saja mertuanya itu marah dan kesal karena Sean tak jadi berkenalan dengan teman-temannya. Setelah Sean berjanji bila arisan berikutnya ia akan menuruti kemauan Veronica, barulah mertuanya itu kembali sabar dan luluh."Apa Rhein nggak membuatmu kerepotan, Sean?" tanya Veronica tiba-tiba.Sambil tetap berusaha fokus pada kemudi, Sean melirik mertuanya sekilas."Tidak kok. Rhein baik, Mi."Helaan napas lega terdengar dari Veronica."Syukurlah. Tadinya Mami khawatir banget, takut Rhein nggak bisa menekan egonya yang tinggi. Sampe Mami pesimis, apa ada pria yang mau menikah dengan dia yang kepala batu?""Ada. Buktinya saya sudah jadi suaminya!" sela Sean mencoba menghibur Veronica."Mungkin karena terbiasa hidup mandiri, jadinya Rhein tumbuh seperti itu. Padahal ketika dulu papanya masih ada, dia termasuk anak yang sangat manja!" jelas Veronica sembari menerawang ke pemandangan di luar jendela."Usia berapa papanya Rhein meninggal, Mi?" tanya Sean kepo."Bukan meninggal Sean, dia yang pergi meninggalkan kami. Waktu itu usia Rhein sekitar 4 tahun seinget Mami. Dia masih kecil, masih butuh sosok papa untuk melindunginya.""Apa Rhein pernah punya saudara?"Veronica menoleh cepat pada menantunya. "Punya. Saudara berbeda ibu."Hening. Sean tak lagi berani bertanya lebih jauh karena tak ingin menggores kembali kenangan lama mertuanya."Rhein kecil sangat suka kelinci, tapi sayang semua kelincinya selalu mati. Dia juga suka bunga! Sampai sekarang pun sepertinya masih begitu," sambung Veronica dengan seutas senyum kala mengenang masa kecil putrinya."Kenapa kamu mencintai Rhein, Sean? Apa yang membuatmu tertarik padanya?"Seketika itu bibir Sean mengatup semakin rapat, pertanyaan dari Veronica ibarat jebakan yang siap menjatuhkannya bila asal menjawab. Untuk beberapa detik Sean merenung, mencari jawaban terbaik yang bisa ia utarakan."Kamu suka karena dia cantik?" tebak Veronica terkekeh. "Hampir semua laki-laki yang melamar Rhein mengatakan alasan itu pada Mami!"Sean tersenyum sumbang. Rhein memang cantik, tak ada yang cacat pada visualnya yang sempurna luar biasa."Saya menyukai Rhein karena dia sangat menyayangi Mami. Dia rela melakukan apapun untuk kebahagiaan Mami. Dan itulah alasan saya menikahinya."Veronica menoleh dan menatap menantunya penuh rasa haru. "Ooow, Sean! Kamu membuat hatiku meleleh!"Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga