"Mamiiiiiiii!!" jerit Rhein kesal.
Tanpa menunggu lebih lama, Rhein bergegas naik ke atas ranjang untuk membuang hadiah memalukan itu. Sebuah kertas yang teronggok di tengah cambuk berbulu membuat Rhein berhenti melemparkan barang-barang laknat itu. Ia meraih dan membacanya dalam hati.'Surpriseeee! Semoga kalian berdua suka dengan kejutan mami kali ini. Dan semoga suasana malam pertama kalian lebih berwarna berkat hadiah kecil dari mami. Selamat menguleni Sean dan Rhein Junior!'..Selama empat hari di Swiss, Rhein lebih banyak menghabiskan waktunya dengan tiduran daripada jalan-jalan bersama Sean. Ada saja alasan wanita itu untuk menolak bepergian. Alhasil, tiket kereta dan tempat pariwisata yang telah dihadiahkan oleh Veronica hangus begitu saja. Hanya Sean yang memanfaatkan tiket itu dengan baik karena ia ingin menapak tilas beberapa tempat yang dulu pernah ia datangi.Naik kereta menuju Zermatt Matterhorn untuk melihat salju, juga berkeliling memutari gunung salju menggunakan helikopter Air Zermatt yang sudah di sewa sejak jauh-jauh hari oleh Veronica, pada akhirnya Sean nikmati seorang diri.'Apa untungnya berpelesir tanpa jalan-jalan? Buang-buang uang saja!' omel Sean dalam hati setiap kali teringat pada Rhein yang memilih untuk istirahat di hotel.Sementara itu di hotel, bukan tanpa alasan Rhein tak ikut Sean berkeliling. Ia memilih untuk mengunjungi toko skincare setempat untuk melakukan riset. Setidaknya sepulang dari Swiss, Rhein mendapat ilmu baru terkait komposisi dan packaging serta marketing produk skincare lokal Eropa.Besok, pasutri itu akan kembali ke Indonesia dan menjalani rutinitas seperti semula. Koper milik Rhein bahkan sudah siap sejak sore. "Kamu yakin tidak mau mengunjungi tempat wisata di sekitar sini?" tanya Sean ketika mereka sudah bersiap untuk sarapan terakhir sebelum cek out.Dengan tegas Rhein menggeleng. "Aku bisa mengunjunginya lagi suatu saat nanti, Sean. Jangan khawatir!" sahutnya santai. "Tapi saat aku kembali ke mari, aku pastikan aku akan datang bersama pria yang aku cintai."Sean melirik 'istrinya' itu sekilas. "Baiklah, semoga kamu beruntung!" pungkasnya datar.Bukan sekali dua kali Rhein seolah memperjelas status keduanya dengan cara berbicara seperti itu. Setiap kali mengatakan kalimat itu, entah mengapa Sean jadi sedih dan kecewa pada dirinya sendiri yang tak berguna karena hanya berfungsi sebagai suami sewaan semata.Tiba di bandara, rupanya Rhein menukar tiketnya dengan penumpang lain tanpa Sean ketahui. Dengan alasan ingin tenang selama beristirahat di pesawat, Rhein meminta ijin pada pramugari agar diloloskan bertukar kursi.Kecewa, jelas. Sean merasa semakin kerdil dan tak diinginkan. Sementara Rhein tak pernah berpikir bila perbuatannya telah melukai hati 'suami' yang ia sewa.Selama 18 jam perjalanan, Sean memilih untuk tidur sementara Rhein merangkum beberapa hasil riset yang sudah ia kumpulkan selama di Swiss. Sesekali Rhein menoleh kepo pada kursi Sean yang letaknya di depan. Saat melihat pria itu tak menampakkan emosi apapun, diam-diam Rhein merasa bersyukur. Sean tak banyak menyusahkan dirinya selama ini.Tiba di Indonesia, Veronica sudah berada di bandara menunggu anak dan menantunya. Ia tentu saja sangat bahagia ketika melihat dua manusia kesayangannya pulang dari bulan madu."Apa kalian sudah makan malam?" sosor Veronica setelah mereka masuk ke dalam mobil."Aku sih sudah, Mi. Kayanya Sean yang belum, deh!" sahut Rhein datar sembari tak lepas memandang tablet di tangannya, memeriksa email-email yang masuk.Veronica melongok pada menantunya yang duduk di kursi depan. "Kenapa kamu belum makan, Sean? Apa kamu tidak enak badan? Energimu sudah habis ya selama di Swiss?" sindirnya terkekeh.Rhein menghela napas kasar, ia melirik Sean dengan sinis dari kaca spion. Tatapan keduanya bertemu sekilas."Saya belum laper, Mi. Nanti saja makan di rumah.""Kalian sudah nggak sabar pengen segera sampe di rumah, yaaaa?" Veronica terkekeh lagi sembari menolehi Rhein yang duduk di sebelahnya. "Duh, pengantin baru maunya berduaan terus! Mami jadi iri.""Ya sudah kalo gitu Mami nikah lagi gih!" gerutu Rhein risih.Tawa Veronica semakin membahana, ia paham bila Rhein malu. Terlebih Sean tak banyak berkata-kata."Ya sudah. Kita langsung antar Rhein dan Sean pulang ke apartemen saja, Pak Rusli!" perintah Veronica pada supirnya."Apa diperutmu sudah ada calon cucu Mami?" Dengan lembut Veronica membelai perut putrinya.Rhein membeku dan kembali melirik Sean dari spion. Pria itu terlihat memejamkan mata dan tak mengindahkan kepanikan Rhein atas pertanyaan maminya."Mami nggak sabar pengen lihat kamu versi junior. Pasti lucu banget!" timpal Veronica dengan wajah berseri-seri. "Mirip Sean juga nggak apa-apa. Sean ganteng, pasti anakmu akan jadi idola para cewek-cewek nanti!""Ih, Mami! Belum juga hamil sudah mikir anakku dikerubungi cewek!" protes Rhein gugup."Memangnya kenapa? Mami, kan, ikut bangga kalo cucu Mami punya banyak pengagum rahasia!"Sean membuka matanya sejenak. Ia memperhatikan interaksi ibu dan anak itu melalui bias bayangan mereka di kaca samping. Mendengar kata pengagum rahasia entah mengapa membuatnya merasa tersindir.Tiga puluh menit kemudian, mereka sudah tiba di apartemen. Rhein dan Sean tak mengijinkan Veronica ikut turun dengan alasan mereka berdua sudah lelah dan ingin cepat beristirahat."Baiklah, cepatlah beristirahat kalian berdua!" pamit Veronica sebelum kemudian mobilnya berlalu pergi.Office boy membantu pasutri itu membawa koper-koper besar milik mereka naik ke apartemen. Sementara Rhein lebih dulu masuk ke dalam lift tanpa menunggu Sean yang masih menata koper-koper mereka di troli. Sekali lagi, Sean mengelus dada pada sikap acuh Rhein padanya."Letakkan saja koperku di depan pintu kamarku. Aku mau keluar bertemu Ralp!" pamit Rhein begitu Sean membuka pintu apartemen."Malam-malam begini?" Sean berbalik badan dengan cepat."Aku hanya punya waktu malam hari untuk bersenang-senang, Sean. Jadi biasakan dirimu mulai hari ini melihatku keluar di jam malam!" jelas wanita yang sudah menyandang tas mungilnya itu sebelum akhirnya benar-benar pergi.Di kelab malam seperti biasanya, Rhein sudah memesan segelas bir dan kentang goreng. Ralp baru saja datang ketika wanita itu sudah meminum setengah isi gelas besar itu."Bagaimana perjalananmu? Apa masih merasa jetlag?" Ralp menaiki kursi tinggi di meja bar dan mengawasi sahabat karibnya itu penuh kerinduan."Sedikit jetlag, sih. Tapi segelas bir sepertinya akan membuat tidurku lelap malam ini! Btw, Ralp, aku bertemu Harvey ketika di Swiss!"Mata Ralp membulat ketika mendengar nama pria itu disebut. "Harvey?" ulangnya tak percaya.Seketika itu, binar di mata dark grey milik Rhein semakin berkilauan. "Iya. Harvey Alan, cinta pertama dan terakhirku!" jeritnya tertahan."Lupakan dia, Rhein! Kamu harus ingat berapa bulan waktu yang kamu habiskan untuk meratapi seorang Harvey! Aku tak siap melihatmu seperti itu lagi.""Omong kosong! Aku masih mencintainya, Ralp! Saat kami berpelukan, debaran-debaran itu masih ada." Rhein memeluk dirinya sendiri dengan erat sambil memejamkan mata, membayangkan pelukan terakhir yang ia lakukan bersama cinta pertamanya.Ralp mengibaskan tangannya dengan kesal. Ia lantas memesan segelas bir yang sama dengan milik Rhein."Apa kamu yakin Harvey juga merasakan debaran yang sama? Sudah tujuh tahun berlalu, Rhein! Tidak mungkin Harvey belum memiliki seorang kekasih!""Ck!" Rhein berdecak kesal mendengar penuturan sahabatnya. "Kamu menghancurkan imajinasiku!"Ia melayangkan sebuah pukulan tepat di lengan pria yang sudah menjadi kawan karibnya sejak SMA."Bagaimana dengan 'suamimu'? Apa dia tidak melakukan hal-hal yang kurang ajar padamu? Atau jangan-jangan kalian sudah melakukannya!!" cecar Ralp dengan rentetan pertanyaan."Shut up, Ralp! Sean nggak akan berani macam-macam padaku. Dia masih bisa aku kendalikan dengan baik sejauh ini."Ralp mencomot kentang milik Rhein dan mengunyahnya dengan santai."Baguslah!" desisnya sebelum kembali membuka mulut. "Karena sejujurnya aku kurang menyukai 'suamimu' itu, dia terlalu misterius!"Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p