Adrian punya rahasia yang tak pernah ia ceritakan pada Rani. Malam setelah pesta, ia menemui seseorang di “tempat biasa” mereka. Tapi siapa yang sebenarnya menunggu di sana—dan kenapa wajahnya terlihat seperti bayangan dari masa lalu?
Mobil hitamku melaju pelan di bawah gerimis.
Jam menunjukkan pukul delapan malam. Jalanan Jakarta basah, lampu-lampu kota memantul di aspal, membuat segalanya terasa seperti film.
Aku menoleh sekilas ke kursi penumpang. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tapi aroma parfum melati samar masih tercium. Aroma yang sejak tadi membuatku tersenyum tanpa sadar.
Pesan di ponselku dari sore tadi masih belum kubalas.
"Aku di sini jam delapan. Jangan terlambat."
Tempat biasa.
Sebuah kafe kecil di pojok jalan yang hampir tak pernah ramai. Penerangannya remang, musiknya pelan, dan meja di sudut kanan selalu jadi milik kami.
Aku memarkir mobil, menarik napas panjang, lalu masuk.
Dia sudah ada di sana. Duduk sambil memainkan sendok di gelas cappuccino-nya. Rambut hitamnya tergerai, wajahnya tersenyum begitu melihatku.
“Adrian,” suaranya lembut, seperti bisikan. “Kamu datang.”
Aku duduk di depannya. “Maaf kalau agak telat.”
Namanya Maya.
Wanita ini bukan sekadar selingkuhan. Dia adalah bagian dari masa laluku—bagian yang seharusnya terkubur sejak aku menikah dengan Rani.
Tapi aku tak pernah benar-benar bisa melepaskannya.
Flashback, 4 Tahun Lalu
Aku bertemu Maya saat masih menjadi wakil direktur. Dia bekerja di divisi kreatif, penuh ide liar dan tawa renyah yang menular.
Kami dekat. Terlalu dekat.
Awalnya, kupikir ini hanya pelarian. Tapi semakin aku mencoba menjauh, semakin aku sadar: aku merasa hidup saat bersamanya.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Maya, memecah lamunanku.
Pertanyaan itu membuatku menegang. Aku jarang membicarakan Rani dengan Maya. Bukan karena aku takut, tapi karena aku tidak ingin membandingkan keduanya.
“Dia baik,” jawabku singkat.
Maya mengangguk, tapi matanya mengatakan hal lain. Dia tahu. Dia selalu tahu kalau aku menghindari topik itu.
“Kamu ingat janji kamu, kan?” katanya pelan.
Aku menatapnya lama. Kata-kata itu seperti pisau yang menggores rasa bersalah di dadaku.
Tapi janji itu makin terasa mustahil.
Kami menghabiskan waktu hampir dua jam di sana. Bicara tentang hal-hal remeh, tertawa, saling diam, lalu bicara lagi.
Saat hendak pulang, Maya menatapku serius.
Aku tidak menjawab. Karena di satu sisi, aku ingin itu terjadi. Tapi di sisi lain, aku tahu melepaskan Rani berarti membiarkan keluargaku kehilangan dukungan yang selama ini menopang bisnis kami.
Dan… bagian terdalam diriku masih merasa punya tanggung jawab pada Rani.
Aku kembali ke rumah hampir tengah malam. Lampu kamar sudah redup. Rani tampak tertidur, tubuhnya meringkuk di sisi ranjang.
Aku berdiri di depan pintu, memandanginya. Ada rasa bersalah yang menekan dadaku.
Dia tidak tahu apa-apa.
Aku mematikan lampu dan berbaring, memunggunginya seperti biasa. Tapi kali ini, aku sulit memejamkan mata.
Maya menginginkan keputusan.
Dan aku… terjebak di antara keduanya.
Dua Hari Kemudian
Aku sedang memeriksa laporan keuangan di kantor ketika ponselku bergetar. Nomor tak dikenal mengirim sebuah foto.
Tanganku langsung dingin.
Foto itu menampilkan aku dan Maya di kafe dua malam lalu. Kami duduk terlalu dekat, tertawa.
Pesan yang menyertainya hanya dua kata:
"Aku tahu."
Aku mematung.
Siapa yang mengirim ini?
Kalau ini darinya… berarti semuanya akan segera terbongkar.
Aku menatap foto itu lama.
Tanganku bergetar ketika mencoba menelusuri identitas pengirim. Nomor asing. Tidak ada nama. Tidak ada foto profil.
Aku mengetik balasan singkat:
Siapa kamu?
Tidak ada jawaban. Hanya tanda centang dua yang tetap abu-abu.
Aku menyandarkan punggung di kursi, mencoba berpikir jernih.
Jadi… siapa?
Pintu ruanganku diketuk. Sekretarisku, Mita, masuk dengan tumpukan berkas.
Aku mengangguk tanpa melihatnya. Pandanganku masih tertuju pada layar ponsel.
Aku mengangkat kepala dan menatapnya. Sekilas, aku hampir bilang ya. Tapi aku menahan diri.
Mita meletakkan berkas itu, lalu keluar.
Begitu pintu tertutup, aku kembali menatap foto itu.
Pikiranku langsung terhubung ke satu nama: Bayu.
Bayu adalah rekan bisnis lama yang pernah gagal menutup kontrak karena aku. Dia kehilangan banyak uang, dan sejak itu hubungan kami dingin. Aku tahu dia tipe yang menyimpan dendam.
Tapi kenapa menyeret Maya?
Sore itu, aku memutuskan untuk menghubungi Maya.
Maya menarik napas. “Kamu pikir itu siapa?”
Dia menghela napas. “Aku sudah lelah hati-hati, Adrian.”
Nada suaranya meninggi. Aku menutup mata, mencoba menahan emosi.
Malamnya, aku pulang lebih awal. Rani sedang menata bunga di ruang makan. Dia tersenyum tipis melihatku, tapi tatapannya hanya sekilas.
Ada sesuatu di matanya yang membuatku gelisah.
Kami makan malam dalam diam. Tidak ada percakapan, hanya bunyi sendok dan garpu yang sesekali terdengar.
Di tengah makan, Rani berkata pelan, tanpa menatapku:
Aku menelan ludah. “Ya. Banyak pekerjaan.”
Aku memandangnya lama, mencoba membaca pikirannya. Apakah dia tahu? Atau dia hanya… merasa?
Setelah makan, aku masuk ke ruang kerja. Kututup pintu rapat-rapat, lalu menyalakan laptop. Aku mengakses server kantor yang punya rekaman CCTV dari beberapa proyek di luar.
Bukan untuk mencari bukti bisnis—tapi untuk mencoba melacak siapa saja yang sempat berada di dekat kafe malam itu.
Tapi bahkan setelah satu jam menelusuri, aku tidak menemukan petunjuk jelas.
Yang aku temukan hanyalah rasa semakin waspada.
Pukul sebelas malam, ponselku kembali bergetar. Nomor asing itu mengirim pesan lagi:
"Kamu tidak bisa bersembunyi selamanya."
Aku mengepalkan tangan.
Karena jika rahasia ini terbongkar di saat yang salah, bukan hanya pernikahanku yang hancur—tapi juga seluruh reputasi dan bisnis keluarga.
Dan untuk itu… aku mungkin harus membuat pilihan yang tak pernah ingin kubuat.
Adrian menyadari dia bukan hanya terjebak cinta terlarang, tapi juga dalam permainan yang lebih besar—dan musuhnya mungkin bukan Rani atau Maya, melainkan seseorang yang sengaja menunggu waktu untuk menghancurkannya.
Rani menunduk di depan pintu kaca sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Hujan semalam masih meninggalkan jejak di aspal dan atap. Tangannya gemetar saat ia menatap pesan Aurora yang terakhir. Setiap kata terasa seperti tombak: “Kebenaran yang akan kau temukan nanti… akan membunuhmu pelan-pelan.”Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri, tapi hatinya berdebar tak karuan. Malam demi malam, minggu demi minggu, semua teka-teki dan kebohongan akhirnya menuntunnya ke titik ini. Titik di mana ia harus memilih: tetap diam dan menerima luka, atau menghadapi kebenaran sekalipun itu menghancurkan rumah tangganya.Rani menatap sekeliling. Tak ada yang memperhatikan, hanya hujan dan lampu jalan yang redup. Ia membuka tasnya, mengeluarkan foto-foto lama yang ia temukan dari dokumen keluarga Adrian surat, foto, dan beberapa catatan yang menunjukkan kedekatan Adrian dengan Aurora, jauh sebelum Rani mengetahuinya.“Habis sudah… aku harus tahu,” gumam Rani sambil menggenggam foto itu. Matanya berkaca-
Rani melangkah cepat di trotoar yang basah oleh sisa hujan. Lampu jalan berpendar redup, memantulkan bayangan panjang di bawah kakinya. Pikirannya berputar, mencoba memahami pesan misterius yang baru saja ia terima."Jangan pulang malam ini. Bahaya menunggumu di rumah."Kata-kata itu terus menggema di benaknya, membuat jantungnya berdebar kencang. Apakah seseorang tengah memperingatkannya? Atau itu hanya permainan baru Aurora untuk mengguncang kestabilannya?Ia berhenti di depan halte kosong, menatap ponselnya lagi. Tidak ada pesan lanjutan. Tidak ada petunjuk siapa pengirimnya. Tapi entah kenapa, firasatnya berkata bahwa pesan itu bukan sekadar ancaman. Ada sesuatu yang benar-benar salah malam ini.Rani menarik napas panjang. Udara malam menusuk kulitnya, dingin dan lembap. Ia menatap ke arah jalan, mobil-mobil melintas cepat, lampu-lampunya membelah kegelapan.“Kalau aku tidak pulang… ke mana aku harus pergi?” gumamnya lirih.Matanya terarah pada satu tempat: kantor Adrian. Tempat d
Hujan akhirnya reda, menyisakan bau tanah basah yang menusuk hidung. Jalanan sepi, hanya sesekali terdengar suara tetesan air dari atap rumah atau pohon yang bergoyang tertiup angin. Rani masih berjalan tanpa arah, langkahnya berat, tapi matanya menyalakan api yang berbeda.Air mata sudah berhenti jatuh, bukan karena luka telah hilang, melainkan karena kesedihan itu telah berubah menjadi sesuatu yang lebih keras tekad.Ia menatap ke depan, wajahnya basah, rambutnya menempel di pipi. Dalam hatinya, satu kalimat terngiang: Kalau aku terus diam, aku akan habis. Kalau aku ingin bertahan, aku harus melawan.Adrian berlari menyusul, tubuhnya basah kuyup. Nafasnya memburu, tapi setiap kali ia memanggil nama Rani, perempuan itu justru mempercepat langkah. Ia tahu, kata-katanya tidak lagi
Hujan belum benar-benar berhenti ketika malam itu menjadi saksi runtuhnya fondasi rumah tangga Rani dan Adrian.Rani masih berdiri di depan jendela, matanya kosong menatap derasnya air yang mengalir di kaca. Foto Adrian dan Aurora yang kini tersebar luas di media sosial seolah terbakar di kepalanya, berulang kali menohok jantungnya tanpa ampun.“Kenapa harus begini…” suaranya nyaris tak terdengar, namun tubuhnya gemetar hebat.Adrian berdiri di belakangnya, wajahnya kusut, rambutnya berantakan, dan sorot matanya penuh keputusasaan. “Rani, dengarkan aku. Aku tidak pernah mencintai Aurora. Aku tidak pernah menyentuhnya seperti yang terlihat di foto itu.”Rani berbalik, matanya sembab tapi menyala penuh api. “Lalu apa ini, Adrian?!” ia mengangkat ponsel, menyorotkan layar ke arah suaminya. “Kau tersenyum padanya. Kau berdiri begitu dekat… cukup dekat untuk membuat semua orang percaya. Kau pikir aku bisa menutup mata dan berpura-pura tidak melihat?!”Adrian menelan ludah. Kata-kata yang i
Hujan yang turun malam itu tidak kunjung reda. Derai air seolah menjadi saksi bagi hancurnya ketenangan rumah tangga keluarga Wijaya. Di ruang tengah, Rani masih berdiri mematung, ponselnya menggenggam erat, wajahnya memucat, dan matanya sembab. Foto itu foto Adrian dan Aurora yang kini tersebar luas—menghancurkan dunianya seketika.“Tidak… tidak mungkin,” bisiknya, hampir tak terdengar. Napasnya tersengal, dan tubuhnya gemetar hebat. Ia menekan ponsel ke dadanya seolah dengan itu bisa menahan kepedihan yang mengalir deras di hatinya.Adrian keluar dari kamar, langkahnya gontai. Wajahnya pucat pasi, mata yang dulu hangat kini penuh kecemasan. “Rani… tolong dengarkan aku. Itu bukan apa yang kau pikirkan. Aku bisa jelaskan semuanya,” suaranya lirih, hampir hilang di antara suara hujan dan guntur.
Rani menatap layar ponselnya, matanya membesar tak percaya. Foto itu menampilkan Adrian duduk bersama Aurora di sebuah restoran. Sudut pengambilan gambar sengaja dibuat intim: Adrian sedikit condong ke arah Aurora, wajah mereka terlalu dekat, seperti sepasang kekasih yang sedang berbagi rahasia.Jantung Rani berdegup keras, seolah ingin pecah. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel. Seluruh tubuhnya terasa dingin, tapi kepalanya terbakar.“Tidak mungkin…” bisiknya lirih. “Adrian tidak mungkin…”Tapi matanya kembali menatap foto itu, mencoba mencari celah, alasan, pembelaan apa pun yang bisa membuatnya percaya Adrian tidak bersalah. Namun setiap detail justru menghantamnya: senyum samar di bibir Aurora, ekspresi tegang tapi pasrah di wajah Adrian.