Share

Bab 3 : Bisikan dalam Hujan

Author: ulfaz
last update Last Updated: 2025-08-11 22:10:15

Hujan masih turun sejak sore, menyelimuti kota dengan bau tanah basah dan dingin yang merayap sampai ke tulang.

Aku duduk di kursi dekat jendela, memandangi jalanan yang basah oleh lampu-lampu kendaraan. Adrian belum pulang.

Tidak ada pesan, tidak ada telepon.

Bahkan sekadar “Aku lembur” pun tidak.

Sudah dua minggu terakhir ini kebiasaannya berubah. Dulu, ia selalu memberi kabar. Sekarang… seolah keberadaanku tidak lagi penting untuk dia ketahui.

Aku memegang ponsel, jemariku gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena pesan yang baru saja masuk satu jam lalu.

"Kalau mau tahu siapa wanita itu, datang ke kafe di Jalan Taman pukul delapan malam besok. Jangan bilang siapa-siapa."

Tidak ada nama pengirim. Nomor asing.

Dan yang membuat dadaku makin sesak—pengirim itu mengirimkan foto Adrian… duduk bersama seorang wanita di kafe, saling menatap, dengan tangan Adrian menyentuh jemari wanita itu.

Tanganku nyaris melepaskan ponsel.

Jantungku berdentum keras, seolah ingin memecahkan dada.

Wanita itu… cantik, jauh lebih muda dariku. Rambut hitam panjangnya terurai, dan dia tersenyum seperti wanita yang sedang jatuh cinta.


Kupaksa diriku berdiri, berjalan ke dapur. Aku mengambil segelas air, tapi tangan yang memegang gelas bergetar hebat. Air sebagian tumpah ke meja.

Pikiranku kacau. Ada dua pilihan: aku mengabaikan pesan itu dan pura-pura tidak tahu… atau aku datang, dan menghadapi kenyataan yang mungkin akan menghancurkan segalanya.

Lila pernah berkata, “Kadang kita tidak siap menerima kebenaran, tapi tetap mencarinya seperti orang haus mencari air.”

Mungkin itu yang sedang kulakukan sekarang.


Pukul sepuluh malam, suara pintu depan terbuka. Adrian masuk, rambutnya sedikit basah oleh hujan. Dia meletakkan jas di gantungan tanpa menatapku.

“Kamu belum tidur?” tanyanya, nada suaranya datar.

Aku menggeleng. “Baru mau.”

Dia hanya mengangguk, lalu langsung menuju kamar mandi.

Aku menatap punggungnya yang menjauh. Ada jarak yang terasa seperti jurang di antara kami, jurang yang dulu tidak pernah ada.


Malam itu aku hampir tidak tidur.

Pikiran tentang siapa wanita itu terus mengusik. Lebih dari itu, aku ingin tahu… siapa pengirim pesan itu?

Kalau orang itu bisa memotret Adrian diam-diam, berarti dia tahu sesuatu. Dan pertanyaan yang lebih menakutkan adalah: kenapa dia memberitahuku? Apa tujuannya?


Keesokan harinya, aku bertemu Lila di sebuah kafe kecil yang tenang.

Dia datang dengan senyum lebar, tapi senyumnya segera memudar ketika melihat wajahku.

“Kamu kelihatan pucat. Ada apa?”

Aku menatap meja sebentar sebelum menjawab. “Aku rasa… Adrian punya orang lain.”

Lila terdiam. “Kamu yakin?”

“Aku dapat foto. Dari nomor asing. Mereka bilang aku bisa melihatnya sendiri malam ini.”

Mata Lila membesar. “Rani, hati-hati. Bisa jadi itu jebakan.”

“Aku tahu. Tapi kalau aku tidak datang, aku tidak akan pernah tahu yang sebenarnya.”

Lila memegang tanganku. “Kalau kamu datang, jangan sendirian. Aku ikut.”

Aku tersenyum tipis. “Terima kasih. Tapi aku harus melakukannya sendiri. Kalau tidak… aku akan selalu bertanya-tanya.”


Malam itu, hujan turun lagi. Aku memarkir mobil agak jauh dari kafe di Jalan Taman. Dari dalam mobil, aku bisa melihat ke arah pintu masuk.

Waktu menunjuk pukul 20.07 ketika sebuah mobil hitam berhenti di depan kafe. Dari dalamnya, Adrian keluar.

Hatiku mencelos.

Dia melangkah cepat masuk ke kafe, mengenakan kemeja biru yang biasa ia pakai untuk acara semi formal. Tidak lama kemudian, wanita itu muncul dari arah lain. Rambut hitamnya terurai, dan senyumnya… senyum yang sama seperti di foto.

Aku merasa seluruh udara di paru-paruku lenyap.

Mereka duduk di meja yang agak tersembunyi di pojok. Aku bisa melihat Adrian mencondongkan tubuhnya, berbicara dengan nada yang lembut.

Wanita itu tertawa kecil, lalu menyentuh tangannya.

Dan Adrian… tidak menepisnya.


Tanganku mencengkeram setir. Aku ingin masuk, ingin menampar wajah wanita itu, ingin menuntut jawaban dari Adrian. Tapi tubuhku terpaku.

Lalu, dari kaca spion, aku melihat sesuatu.

Seseorang berdiri di seberang jalan, memotret mereka dengan kamera profesional.

Pria itu mengenakan jaket hitam dan topi, wajahnya tidak jelas. Tapi jelas sekali—dia bukan hanya memotret untuk iseng.

Aku memutuskan untuk keluar dari mobil. Tapi saat aku menoleh lagi ke arah seberang jalan, pria itu sudah menghilang di tikungan.


Kepalaku dipenuhi pertanyaan. Siapa dia? Apakah dia orang yang mengirim pesan padaku? Atau… ada lebih dari satu orang yang tahu rahasia Adrian?

Yang jelas, ini bukan sekadar perselingkuhan biasa. Ada seseorang yang sengaja mengatur semuanya—dan aku baru saja melangkah ke dalam permainan mereka.

Aku tidak tahu siapa lawannya.

Tapi malam itu, di tengah hujan, aku berjanji pada diriku sendiri: aku akan menemukan kebenarannya, sekalipun itu berarti aku harus menghancurkan apa yang tersisa dari pernikahanku.

Aku berdiri di bawah payung, pandanganku terpaku pada pintu kafe yang memisahkan Adrian dan wanita itu dari dunia luar.

Setiap detik terasa seperti jarum yang menusuk perlahan, membuat dadaku semakin sesak.

Hujan turun deras, menutupi suara-suara di sekitarku. Tapi dari jarak ini, aku masih bisa melihat mereka tertawa, saling mendekat… seolah aku tak pernah ada dalam hidup Adrian.

Tiba-tiba pintu kafe terbuka.

Aku sontak mundur selangkah, bersembunyi di balik tiang listrik.

Bukan Adrian, bukan juga wanita itu.

Pria berjaket hitam yang tadi memotret mereka keluar sambil menunduk, langkahnya cepat.

Aku mengikuti dari kejauhan. Jalanan licin, dan lampu-lampu jalan memantulkan kilau basah di aspal.

Tapi semakin aku berusaha mengejarnya, semakin cepat dia berjalan. Seakan dia tahu sedang diikuti.

Di tikungan, dia berhenti sebentar, menoleh—

Aku langsung menahan napas. Dari bayangan topinya, aku melihat sekilas rahangnya yang tegas, sepasang mata gelap yang menatap tajam. Bukan tatapan orang asing yang kebetulan lewat… itu tatapan seseorang yang mengenaliku.

Lalu, tanpa peringatan, dia berlari menembus lorong kecil di antara dua gedung.

Aku ikut masuk ke lorong itu, tapi yang kutemukan hanya genangan air dan pintu besi setengah terbuka.

Dia menghilang.


Saat kembali ke mobil, kafe sudah sepi. Adrian dan wanita itu tidak terlihat.

Entah mereka keluar lewat pintu belakang, atau pergi saat aku sibuk mengejar pria misterius tadi.

Di dashboard mobil, ponselku bergetar.

Pesan dari nomor yang sama:

"Jangan percaya apa yang kamu lihat malam ini. Kebenaran tidak sesederhana itu."

Darahku berdesir.

Siapa pun dia, dia tahu aku di sini. Dia tahu aku melihat semuanya.

Dan kalimat terakhir di pesan itu membuatku gemetar lebih dari dinginnya hujan:

"Kalau kamu mau kebenaran, siap-siap kehilangan sesuatu yang kamu cintai."

Aku menggenggam ponsel erat-erat.

Malam ini aku datang untuk mencari jawaban… tapi yang kudapat hanyalah lebih banyak pertanyaan. Dan entah kenapa, firasatku mengatakan permainan ini baru saja dimulai—dan aku adalah pion yang sedang digerakkan ke arah yang tidak kuketahui.

Hujan mereda, meninggalkan aroma tanah basah yang menyesak.

Aku duduk di dalam mobil, menggenggam ponsel erat-erat, jantungku berdegup tak terkendali. Pesan terakhir dari nomor asing itu masih terpampang di layar, kalimatnya seperti pisau yang menusuk tanpa suara:

"Kalau kamu mau kebenaran, siap-siap kehilangan sesuatu yang kamu cintai."

Aku menelan ludah.

Tanpa sadar, mataku beralih ke cermin tengah…

Dan di sana—di kursi belakang—aku melihat bayangan seseorang duduk diam, wajahnya tak terlihat, hanya sepasang mata gelap yang menatapku melalui pantulan kaca.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 7 : Jejak yang Tersisa

    Pagi itu, Rani bangun lebih awal. Cahaya matahari menembus tirai tipis, namun hangatnya tak mampu mengusir dingin yang menggerogoti hatinya. Ia menoleh ke samping, mendapati ranjang yang kosong. Adrian sudah pergi sebelum ia terbangun. Lagi.Di meja rias, ponsel Adrian tertinggal. Jarang sekali ia meninggalkan barang sepenting itu. Rani menatapnya lama, hatinya berperang. Ada suara kecil yang mendorongnya untuk membuka, mencari jawaban atas rasa gelisah yang semakin menyesakkan. Namun ada pula ketakutan: apa yang akan ia temukan?Tangannya sempat terulur, tapi segera ia tarik kembali. Napasnya bergetar. “Aku nggak boleh jadi istri yang curiga tanpa alasan,” bisiknya pada diri sendiri, meski hatinya berteriak sebaliknya.Saat ia menurunkan ponsel itu, matanya menangkap bercak lipstik samar di kerah kemeja puti

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 6 : Diam yang Menyiksa

    Rani menatap jam dinding di ruang tamu. Jarumnya sudah menunjuk pukul sebelas malam, namun rumah masih saja sepi. Adrian belum pulang.Di hadapannya, cangkir teh yang sudah dingin tak tersentuh. Dari luar, suara jangkrik malam menyelip di sela keheningan yang membuat dadanya semakin sesak.Sudah hampir sebulan pernikahan mereka berjalan. Di depan keluarga, Rani selalu menampilkan senyum yang sama: senyum istri bahagia. Namun di balik itu, ia tahu betul rumah tangga mereka hanyalah panggung sandiwara.Adrian sering pulang larut malam. Alasannya selalu sama “urusan bisnis”. Tapi Rani bukan perempuan bodoh.“Masa setiap malam ada urusan bisnis?” gumamnya lirih, matanya berkaca-kaca.Ia ingat, seminggu lalu ibunya

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 5: Kebenaran yang Terpotong

    Rani – POVTanganku bergetar. Video itu terus berputar, menampilkan bibir Adrian yang menempel pada wanita asing itu, gerakannya lembut tapi… penuh keintiman.Aku memaksa mataku untuk tetap menatap layar, walau dada terasa sesak.Siapa dia?Kenapa aku belum pernah melihat wajahnya?Dan yang paling menghantui… kenapa Adrian terlihat bahagia di sana?“Cukup,” suara pria berjas hitam itu memecah pikiranku.Dia meraih ponsel dari tanganku, tapi aku menahannya erat.“Siapa dia?!” suaraku pecah, setengah marah, setengah putus asa.Dia hanya tersenyum tipis. “Itu bagian dari permainan, Rani. Kamu akan tahu… kalau kamu bertahan cukup lama.”Permainan?Kata itu seperti racun yang meresap pelan ke kepalaku.Aku melangkah mundur, ponsel tetap kugenggam. “Kalau kau tidak bicara, aku akan—”“Akan apa?” potongnya.Tubuhnya mendekat, cukup dekat hingga aku bisa mencium aroma parfum maskulin yang mahal. “Kamu tidak mengerti… ini bukan tentang siapa dia, tapi tentang kenapa Adrian memilihnya di depan

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 4: Mata di Kursi Belakang

    Jantungku seolah berhenti berdetak.Bayangan itu masih di sana—tidak bergerak, tidak bersuara, hanya sepasang mata yang mengawasi dari cermin tengah.Tanganku meraih gagang pintu, tapi kemudian terhenti. Kalau aku keluar sekarang, aku akan basah kuyup dan kehilangan kesempatan mengetahui siapa dia.Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.“Aku tahu kamu di sana,” ucapku pelan, nyaris berbisik.Tidak ada jawaban.Tapi aku tahu dia mendengar.Karena mata itu… berkedip.Dengan hati-hati, aku meraih ponsel dan menyalakan kamera depan, mencoba memantulkan bayangannya di layar. Tapi sebelum aku sempat memotret, bayangan itu bergerak cepat—dan suara pintu belakang terbuka terdengar di telingaku.Aku menoleh. Kosong.Jalanan sepi, hanya sisa hujan yang menetes dari atap.Kupandangi jok belakang. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada tanda pintu terbuka. Bahkan kaca jendela masih berembun.Seolah… tidak pernah ada orang di sana.Aku menyandarkan kepala di setir, mencoba mengatur nap

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 3 : Bisikan dalam Hujan

    Hujan masih turun sejak sore, menyelimuti kota dengan bau tanah basah dan dingin yang merayap sampai ke tulang.Aku duduk di kursi dekat jendela, memandangi jalanan yang basah oleh lampu-lampu kendaraan. Adrian belum pulang.Tidak ada pesan, tidak ada telepon.Bahkan sekadar “Aku lembur” pun tidak.Sudah dua minggu terakhir ini kebiasaannya berubah. Dulu, ia selalu memberi kabar. Sekarang… seolah keberadaanku tidak lagi penting untuk dia ketahui.Aku memegang ponsel, jemariku gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena pesan yang baru saja masuk satu jam lalu."Kalau mau tahu siapa wanita itu, datang ke kafe di Jalan Taman pukul delapan malam besok. Jangan bilang siapa-siapa."Tidak ada nama pengirim. Nomor asing.Dan yang membuat dadaku makin sesak—pengirim itu mengirimkan foto Adrian… duduk bersama seorang wanita di kafe, saling menatap, dengan tangan Adrian menyentuh jemari wanita itu.Tanganku nyaris melepaskan ponsel.Jantungku berdentum keras, seolah ingin memecahkan dada.Wanita

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 2 :Tempat Biasa

    Adrian punya rahasia yang tak pernah ia ceritakan pada Rani. Malam setelah pesta, ia menemui seseorang di “tempat biasa” mereka. Tapi siapa yang sebenarnya menunggu di sana—dan kenapa wajahnya terlihat seperti bayangan dari masa lalu?Mobil hitamku melaju pelan di bawah gerimis.Jam menunjukkan pukul delapan malam. Jalanan Jakarta basah, lampu-lampu kota memantul di aspal, membuat segalanya terasa seperti film.Aku menoleh sekilas ke kursi penumpang. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tapi aroma parfum melati samar masih tercium. Aroma yang sejak tadi membuatku tersenyum tanpa sadar.Pesan di ponselku dari sore tadi masih belum kubalas."Aku di sini jam delapan. Jangan terlambat."Tempat biasa.Sebuah kafe kecil di pojok jalan yang hampir tak pernah ramai. Penerangannya remang, musiknya pelan, dan meja di sudut kanan selalu jadi milik kami.Aku memarkir mobil, menarik napas panjang, lalu masuk.Dia sudah ada di sana. Duduk sambil memainkan sendok di gelas cappuccino-nya. Rambut hitamnya t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status