Hujan masih turun sejak sore, menyelimuti kota dengan bau tanah basah dan dingin yang merayap sampai ke tulang.
Tidak ada pesan, tidak ada telepon.
Sudah dua minggu terakhir ini kebiasaannya berubah. Dulu, ia selalu memberi kabar. Sekarang… seolah keberadaanku tidak lagi penting untuk dia ketahui.
Aku memegang ponsel, jemariku gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena pesan yang baru saja masuk satu jam lalu.
"Kalau mau tahu siapa wanita itu, datang ke kafe di Jalan Taman pukul delapan malam besok. Jangan bilang siapa-siapa."
Tidak ada nama pengirim. Nomor asing.
Tanganku nyaris melepaskan ponsel.
Kupaksa diriku berdiri, berjalan ke dapur. Aku mengambil segelas air, tapi tangan yang memegang gelas bergetar hebat. Air sebagian tumpah ke meja.
Pikiranku kacau. Ada dua pilihan: aku mengabaikan pesan itu dan pura-pura tidak tahu… atau aku datang, dan menghadapi kenyataan yang mungkin akan menghancurkan segalanya.
Lila pernah berkata, “Kadang kita tidak siap menerima kebenaran, tapi tetap mencarinya seperti orang haus mencari air.”
Pukul sepuluh malam, suara pintu depan terbuka. Adrian masuk, rambutnya sedikit basah oleh hujan. Dia meletakkan jas di gantungan tanpa menatapku.
“Kamu belum tidur?” tanyanya, nada suaranya datar.
Dia hanya mengangguk, lalu langsung menuju kamar mandi.
Malam itu aku hampir tidak tidur.
Kalau orang itu bisa memotret Adrian diam-diam, berarti dia tahu sesuatu. Dan pertanyaan yang lebih menakutkan adalah: kenapa dia memberitahuku? Apa tujuannya?
Keesokan harinya, aku bertemu Lila di sebuah kafe kecil yang tenang.
Aku menatap meja sebentar sebelum menjawab. “Aku rasa… Adrian punya orang lain.”
Lila terdiam. “Kamu yakin?”
Mata Lila membesar. “Rani, hati-hati. Bisa jadi itu jebakan.”
Lila memegang tanganku. “Kalau kamu datang, jangan sendirian. Aku ikut.”
Aku tersenyum tipis. “Terima kasih. Tapi aku harus melakukannya sendiri. Kalau tidak… aku akan selalu bertanya-tanya.”
Malam itu, hujan turun lagi. Aku memarkir mobil agak jauh dari kafe di Jalan Taman. Dari dalam mobil, aku bisa melihat ke arah pintu masuk.
Waktu menunjuk pukul 20.07 ketika sebuah mobil hitam berhenti di depan kafe. Dari dalamnya, Adrian keluar.
Hatiku mencelos.
Aku merasa seluruh udara di paru-paruku lenyap.
Wanita itu tertawa kecil, lalu menyentuh tangannya.
Tanganku mencengkeram setir. Aku ingin masuk, ingin menampar wajah wanita itu, ingin menuntut jawaban dari Adrian. Tapi tubuhku terpaku.
Lalu, dari kaca spion, aku melihat sesuatu.
Pria itu mengenakan jaket hitam dan topi, wajahnya tidak jelas. Tapi jelas sekali—dia bukan hanya memotret untuk iseng.
Aku memutuskan untuk keluar dari mobil. Tapi saat aku menoleh lagi ke arah seberang jalan, pria itu sudah menghilang di tikungan.
Kepalaku dipenuhi pertanyaan. Siapa dia? Apakah dia orang yang mengirim pesan padaku? Atau… ada lebih dari satu orang yang tahu rahasia Adrian?
Yang jelas, ini bukan sekadar perselingkuhan biasa. Ada seseorang yang sengaja mengatur semuanya—dan aku baru saja melangkah ke dalam permainan mereka.
Aku tidak tahu siapa lawannya.
Aku berdiri di bawah payung, pandanganku terpaku pada pintu kafe yang memisahkan Adrian dan wanita itu dari dunia luar.
Hujan turun deras, menutupi suara-suara di sekitarku. Tapi dari jarak ini, aku masih bisa melihat mereka tertawa, saling mendekat… seolah aku tak pernah ada dalam hidup Adrian.
Tiba-tiba pintu kafe terbuka.
Aku mengikuti dari kejauhan. Jalanan licin, dan lampu-lampu jalan memantulkan kilau basah di aspal.
Di tikungan, dia berhenti sebentar, menoleh—
Lalu, tanpa peringatan, dia berlari menembus lorong kecil di antara dua gedung.
Saat kembali ke mobil, kafe sudah sepi. Adrian dan wanita itu tidak terlihat.
Di dashboard mobil, ponselku bergetar.
"Jangan percaya apa yang kamu lihat malam ini. Kebenaran tidak sesederhana itu."
Darahku berdesir.
Dan kalimat terakhir di pesan itu membuatku gemetar lebih dari dinginnya hujan:
"Kalau kamu mau kebenaran, siap-siap kehilangan sesuatu yang kamu cintai."
Aku menggenggam ponsel erat-erat.
Hujan mereda, meninggalkan aroma tanah basah yang menyesak.
"Kalau kamu mau kebenaran, siap-siap kehilangan sesuatu yang kamu cintai."
Aku menelan ludah.
Rani menunduk di depan pintu kaca sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Hujan semalam masih meninggalkan jejak di aspal dan atap. Tangannya gemetar saat ia menatap pesan Aurora yang terakhir. Setiap kata terasa seperti tombak: “Kebenaran yang akan kau temukan nanti… akan membunuhmu pelan-pelan.”Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri, tapi hatinya berdebar tak karuan. Malam demi malam, minggu demi minggu, semua teka-teki dan kebohongan akhirnya menuntunnya ke titik ini. Titik di mana ia harus memilih: tetap diam dan menerima luka, atau menghadapi kebenaran sekalipun itu menghancurkan rumah tangganya.Rani menatap sekeliling. Tak ada yang memperhatikan, hanya hujan dan lampu jalan yang redup. Ia membuka tasnya, mengeluarkan foto-foto lama yang ia temukan dari dokumen keluarga Adrian surat, foto, dan beberapa catatan yang menunjukkan kedekatan Adrian dengan Aurora, jauh sebelum Rani mengetahuinya.“Habis sudah… aku harus tahu,” gumam Rani sambil menggenggam foto itu. Matanya berkaca-
Rani melangkah cepat di trotoar yang basah oleh sisa hujan. Lampu jalan berpendar redup, memantulkan bayangan panjang di bawah kakinya. Pikirannya berputar, mencoba memahami pesan misterius yang baru saja ia terima."Jangan pulang malam ini. Bahaya menunggumu di rumah."Kata-kata itu terus menggema di benaknya, membuat jantungnya berdebar kencang. Apakah seseorang tengah memperingatkannya? Atau itu hanya permainan baru Aurora untuk mengguncang kestabilannya?Ia berhenti di depan halte kosong, menatap ponselnya lagi. Tidak ada pesan lanjutan. Tidak ada petunjuk siapa pengirimnya. Tapi entah kenapa, firasatnya berkata bahwa pesan itu bukan sekadar ancaman. Ada sesuatu yang benar-benar salah malam ini.Rani menarik napas panjang. Udara malam menusuk kulitnya, dingin dan lembap. Ia menatap ke arah jalan, mobil-mobil melintas cepat, lampu-lampunya membelah kegelapan.“Kalau aku tidak pulang… ke mana aku harus pergi?” gumamnya lirih.Matanya terarah pada satu tempat: kantor Adrian. Tempat d
Hujan akhirnya reda, menyisakan bau tanah basah yang menusuk hidung. Jalanan sepi, hanya sesekali terdengar suara tetesan air dari atap rumah atau pohon yang bergoyang tertiup angin. Rani masih berjalan tanpa arah, langkahnya berat, tapi matanya menyalakan api yang berbeda.Air mata sudah berhenti jatuh, bukan karena luka telah hilang, melainkan karena kesedihan itu telah berubah menjadi sesuatu yang lebih keras tekad.Ia menatap ke depan, wajahnya basah, rambutnya menempel di pipi. Dalam hatinya, satu kalimat terngiang: Kalau aku terus diam, aku akan habis. Kalau aku ingin bertahan, aku harus melawan.Adrian berlari menyusul, tubuhnya basah kuyup. Nafasnya memburu, tapi setiap kali ia memanggil nama Rani, perempuan itu justru mempercepat langkah. Ia tahu, kata-katanya tidak lagi
Hujan belum benar-benar berhenti ketika malam itu menjadi saksi runtuhnya fondasi rumah tangga Rani dan Adrian.Rani masih berdiri di depan jendela, matanya kosong menatap derasnya air yang mengalir di kaca. Foto Adrian dan Aurora yang kini tersebar luas di media sosial seolah terbakar di kepalanya, berulang kali menohok jantungnya tanpa ampun.“Kenapa harus begini…” suaranya nyaris tak terdengar, namun tubuhnya gemetar hebat.Adrian berdiri di belakangnya, wajahnya kusut, rambutnya berantakan, dan sorot matanya penuh keputusasaan. “Rani, dengarkan aku. Aku tidak pernah mencintai Aurora. Aku tidak pernah menyentuhnya seperti yang terlihat di foto itu.”Rani berbalik, matanya sembab tapi menyala penuh api. “Lalu apa ini, Adrian?!” ia mengangkat ponsel, menyorotkan layar ke arah suaminya. “Kau tersenyum padanya. Kau berdiri begitu dekat… cukup dekat untuk membuat semua orang percaya. Kau pikir aku bisa menutup mata dan berpura-pura tidak melihat?!”Adrian menelan ludah. Kata-kata yang i
Hujan yang turun malam itu tidak kunjung reda. Derai air seolah menjadi saksi bagi hancurnya ketenangan rumah tangga keluarga Wijaya. Di ruang tengah, Rani masih berdiri mematung, ponselnya menggenggam erat, wajahnya memucat, dan matanya sembab. Foto itu foto Adrian dan Aurora yang kini tersebar luas—menghancurkan dunianya seketika.“Tidak… tidak mungkin,” bisiknya, hampir tak terdengar. Napasnya tersengal, dan tubuhnya gemetar hebat. Ia menekan ponsel ke dadanya seolah dengan itu bisa menahan kepedihan yang mengalir deras di hatinya.Adrian keluar dari kamar, langkahnya gontai. Wajahnya pucat pasi, mata yang dulu hangat kini penuh kecemasan. “Rani… tolong dengarkan aku. Itu bukan apa yang kau pikirkan. Aku bisa jelaskan semuanya,” suaranya lirih, hampir hilang di antara suara hujan dan guntur.
Rani menatap layar ponselnya, matanya membesar tak percaya. Foto itu menampilkan Adrian duduk bersama Aurora di sebuah restoran. Sudut pengambilan gambar sengaja dibuat intim: Adrian sedikit condong ke arah Aurora, wajah mereka terlalu dekat, seperti sepasang kekasih yang sedang berbagi rahasia.Jantung Rani berdegup keras, seolah ingin pecah. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel. Seluruh tubuhnya terasa dingin, tapi kepalanya terbakar.“Tidak mungkin…” bisiknya lirih. “Adrian tidak mungkin…”Tapi matanya kembali menatap foto itu, mencoba mencari celah, alasan, pembelaan apa pun yang bisa membuatnya percaya Adrian tidak bersalah. Namun setiap detail justru menghantamnya: senyum samar di bibir Aurora, ekspresi tegang tapi pasrah di wajah Adrian.