Suasana rumah terasa berat sejak malam Aurora datang. Hujan sudah lama berhenti, namun bayang-bayang badai itu masih menggantung di antara Rani dan Adrian. Pagi itu, meja makan yang biasanya dipenuhi canda, kini hanya dihiasi keheningan.
Rani menatap secangkir kopi yang ia buat sendiri, uapnya mengepul perlahan. Adrian duduk di seberang, matanya menatap koran tapi jelas pikirannya melayang jauh. Sesekali ia mencoba berdeham, namun tak ada kata yang keluar.
Akhirnya, Rani meletakkan sendok dengan suara ting yang terdengar nyaring di tengah hening. “Kita tidak bisa terus begini, Adrian.”
Adrian mengangkat wajahnya, matanya menyiratkan kelelahan. “Apa maksudmu?”
Rani menatapnya lurus. “Aurora. Malam itu. Semua y
Hujan akhirnya reda, menyisakan bau tanah basah yang menusuk hidung. Jalanan sepi, hanya sesekali terdengar suara tetesan air dari atap rumah atau pohon yang bergoyang tertiup angin. Rani masih berjalan tanpa arah, langkahnya berat, tapi matanya menyalakan api yang berbeda.Air mata sudah berhenti jatuh, bukan karena luka telah hilang, melainkan karena kesedihan itu telah berubah menjadi sesuatu yang lebih keras tekad.Ia menatap ke depan, wajahnya basah, rambutnya menempel di pipi. Dalam hatinya, satu kalimat terngiang: Kalau aku terus diam, aku akan habis. Kalau aku ingin bertahan, aku harus melawan.Adrian berlari menyusul, tubuhnya basah kuyup. Nafasnya memburu, tapi setiap kali ia memanggil nama Rani, perempuan itu justru mempercepat langkah. Ia tahu, kata-katanya tidak lagi
Hujan belum benar-benar berhenti ketika malam itu menjadi saksi runtuhnya fondasi rumah tangga Rani dan Adrian.Rani masih berdiri di depan jendela, matanya kosong menatap derasnya air yang mengalir di kaca. Foto Adrian dan Aurora yang kini tersebar luas di media sosial seolah terbakar di kepalanya, berulang kali menohok jantungnya tanpa ampun.“Kenapa harus begini…” suaranya nyaris tak terdengar, namun tubuhnya gemetar hebat.Adrian berdiri di belakangnya, wajahnya kusut, rambutnya berantakan, dan sorot matanya penuh keputusasaan. “Rani, dengarkan aku. Aku tidak pernah mencintai Aurora. Aku tidak pernah menyentuhnya seperti yang terlihat di foto itu.”Rani berbalik, matanya sembab tapi menyala penuh api. “Lalu apa ini, Adrian?!” ia mengangkat ponsel, menyorotkan layar ke arah suaminya. “Kau tersenyum padanya. Kau berdiri begitu dekat… cukup dekat untuk membuat semua orang percaya. Kau pikir aku bisa menutup mata dan berpura-pura tidak melihat?!”Adrian menelan ludah. Kata-kata yang i
Hujan yang turun malam itu tidak kunjung reda. Derai air seolah menjadi saksi bagi hancurnya ketenangan rumah tangga keluarga Wijaya. Di ruang tengah, Rani masih berdiri mematung, ponselnya menggenggam erat, wajahnya memucat, dan matanya sembab. Foto itu foto Adrian dan Aurora yang kini tersebar luas—menghancurkan dunianya seketika.“Tidak… tidak mungkin,” bisiknya, hampir tak terdengar. Napasnya tersengal, dan tubuhnya gemetar hebat. Ia menekan ponsel ke dadanya seolah dengan itu bisa menahan kepedihan yang mengalir deras di hatinya.Adrian keluar dari kamar, langkahnya gontai. Wajahnya pucat pasi, mata yang dulu hangat kini penuh kecemasan. “Rani… tolong dengarkan aku. Itu bukan apa yang kau pikirkan. Aku bisa jelaskan semuanya,” suaranya lirih, hampir hilang di antara suara hujan dan guntur.
Rani menatap layar ponselnya, matanya membesar tak percaya. Foto itu menampilkan Adrian duduk bersama Aurora di sebuah restoran. Sudut pengambilan gambar sengaja dibuat intim: Adrian sedikit condong ke arah Aurora, wajah mereka terlalu dekat, seperti sepasang kekasih yang sedang berbagi rahasia.Jantung Rani berdegup keras, seolah ingin pecah. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel. Seluruh tubuhnya terasa dingin, tapi kepalanya terbakar.“Tidak mungkin…” bisiknya lirih. “Adrian tidak mungkin…”Tapi matanya kembali menatap foto itu, mencoba mencari celah, alasan, pembelaan apa pun yang bisa membuatnya percaya Adrian tidak bersalah. Namun setiap detail justru menghantamnya: senyum samar di bibir Aurora, ekspresi tegang tapi pasrah di wajah Adrian.
Pagi itu, rumah keluarga Wijaya tampak tenang dari luar, namun di dalamnya ada badai yang siap meledak. Rani duduk di meja makan dengan wajah pucat. Matanya sembab, tapi tatapannya keras. Di hadapannya, secangkir teh sudah dingin tanpa tersentuh.Adrian turun dari lantai atas dengan dasi setengah terikat, wajahnya masih lelah. Ia mencoba tersenyum melihat Rani, tapi senyum itu hanya bertahan sekejap. Ada hawa dingin yang membuatnya ragu untuk mendekat.“Selamat pagi,” katanya pelan.Rani menoleh, tatapannya menusuk. “Kita perlu bicara.”Nada suaranya membuat Adrian berhenti melangkah. Ia tahu, ini bukan percakapan biasa. Jantungnya berdetak cepat.“Semalam aku menemukan sesuatu,” Rani memulai, suaranya tenang tapi penuh tekanan. “Di ruang kerjamu. Laci meja itu… yang selama ini kau kunci.”Adrian tercekat. Ia tahu apa maksudnya.Rani mencondongkan tubuh, matanya berkilat. “Kau pikir aku tidak bisa membaca dokumen-dokumen itu? Kau pikir aku tidak akan tahu bahwa Aurora terlibat dalam b
Rani duduk di tepi ranjang, matanya sembab, tangannya masih memegang foto-foto yang ia dapat dari kafe sore tadi. Bayangan Aurora yang selalu tersenyum dingin terus menghantui pikirannya. Setiap kali ia memejamkan mata, wajah Adrian pun muncul wajah yang dulu memberinya rasa aman, kini justru terasa asing.Di ruang tamu, Adrian masih terjaga. Bunyi gesekan kursi terdengar samar, menandakan ia gelisah. Rani tahu Adrian menunggu, berharap ia keluar dan memaafkannya. Tapi malam ini, hatinya menolak. Ia sudah terlalu sering menjadi perempuan yang sabar.“Kalau terus begini,” gumamnya, suaranya serak, “aku hanya akan jadi pion dalam permainan mereka.”Ia menatap cermin di depannya. Wajah pucat itu bukan lagi wajah Rani yang dulu. Ada luka, ada air mata, tapi ada juga sesuatu yang baru: api kecil, tekad untuk tidak lagi diam.Pagi menjelang, Rani bangun lebih cepat dari biasanya. Adrian masih tertidur di sofa, tubuhnya meringkuk dengan wajah lelah. Sesaat, rasa iba menyelinap ke dalam hati