Pagi musim semi yang hangat dan cerah, sangat kontras dengan raut wajah Damar. Ia bangun lebih awal dari Alma. dengan perasaan tak keruan mengingat kejadian semalam, meski ia tidak dapat mengelak bahwa sensasi semalam begitu memabukkan. Lelaki berusia 26 tahun itu berlalu menuju kamar mandi, berniat mendinginkan kepala yang candu sekaligus merasa bersalah.
Di kamar mandi, Damar mengguyur kepalanya yang terus mengulang bayang-bayang pergumulan semalam. Ia tak menyangka dirinya yang selalu berusaha menjaga jarak dengan Alma bisa luluh dalam satu kecupan bibir. Kevmana Damar yang teguh pendirian selama ini? Ataukah memang ia menikmatinya?
Damar meremas rambutnya kesal dan frustrasi, kecemasan lain tiba-tiba menyusup, bagaimana jika Alma hamil? Haruskah menikah? Modal apa? Statusnya saja masih pascasarjana dengan beasiswa. Lelaki berhidung bangir itu terus meremehkan dirinya sendiri.
Selesai mandi pikirannya masih berantakan, tapi tidak mungkin seharian ia mengurung diri di kamar sembari mengguyur kepalanya ‘kan? Justru ia butuh kesibukan untuk melupakan kejadian semalam.
Ia pun segera keluar kamar mandi setelah merasa cukup menetralkan pikiran yang sebenarnya masih saja terasa berantakan. Pelan-pelan Damar berjalan menuju lemari dan mengambil baju ganti, ia tak ingin membangunkan Alma terlebih dalam keadaan tubuhnya hanya terlilit handuk sebatas pinggang hingga lutut. Ia sudah cukup malu bertelanjang bulat semalaman bersama Alma.
Namun baru saja ia akan mengenakan kaos tiba-tiba dua tangan dengan warna kulit yang kontras dari pigmen kulitnya melingkar di pinggang. Damar menahan napas, jantungnya kembali berpacu seperti semalam. Sensasi itu muncul lagi seiring dekapan tangan Alma yang kian menguat.
“Le-lepas Alma!” Damar berusaha berpikir jernih, tidak ingin terpengaruh akan sentuhan-sentuhan sensual itu lagi.
Alma justru dengan santai bergumam manja, tak mengendurkan sedikit pun pelukannya dari belakang.
Damar berusaha melepaskan pelukan Alma secara paksa. Namun, begitu pelukannya terlepas Alma kembali memeluk lagi.
Sejenak Damar menghela napas, kesal.
“Aku bakal kangen banget nantinya di Indonesia,” bisik Alma dari belakang daun telinga Damar.
Embusan napas Alma yang menyentuh kulit sensitif Damar membuatnya hampir terlena lagi. Ada sensasi geli bergelenyar, tapi ia tahan dengan menggertakkan rahangnya.
“Lepas atau kuseret keluar,” ucap Damar dengan ketus.
Alma yang tersentak langsung melepaskan pelukan dan menjauh. Raut wajahnya menyiratkan kekecewaan akan sikap sang kekasih.
Damar bergegas mengenakan pakaiannya dengan lengkap, ia sudah tidak perduli jika Alma mungkin tengah menontonnya. Begitu selesai, ia melempar handuk ke sembarang arah sedangkan satu tangannya menyisir rambut yang basah.
Alma termangu sejenak, menatap wajah segar yang tampak memerah antara malu dan amarah. Andai keadaan tidak secanggung pagi itu mungkin Alma akan begitu tersipu menikmati ketampanan lelaki sederhana yang mempesonanya.
Seketika Damar mengalihkan pandangan ke Alma yang membuat perempuan itu merasa terintimidasi kemudian berpura-pura merapikan poninya untuk menutupi perasaan takut. Namun tanpa diduga, Damar justru dengan agresif menarik tangan Alma yang sedang merapikan rambutnya.
Alma tersentak kaget bahkan sempat limbung hampir tersungkur di bingkai pintu kala damar menghentakkan pergelangannya agar keluar dari flatnya. Gadis bermata almond itu menatap nanar, ketakutan dan penuh keheranan akan sikap kekasihnya. Matanya berkaca-kaca menahan pedih di ulu hati.
“Maaf, aku sebenarnya sayang sama kamu Al—“
“Sayang? Tapi nyatanya kamu tega ngusir dan kasar sama akuaku!” Alma yang kini berderai air mata meneriaki Damar.
“Karena kamu melewati batas yang aku buat Al—“
“Kamu menikmatinya!” bentak Alma dengan kedua mata berair.
Damar meremas rambutnya frustrasi, napasnya memburu dengan wajahnya kian memerah. “Jangan lupa minuml pil kontrasepsi darurat sebelum terlambat, aku tidak mau kamu hamil.”
Tanpa merasa perlu menunggu jawaban dari Alma yang sudah membuka mulut, Damar membanting pintu hingga berdebam. Sedangkan Alma urung membantah lantas termangu di luar sana dengan air mata menggantung di sisi dagunya yang runcing.
Pedih, hati Alma begitu pedih diperlakukan demikian. Ia pun berbalik, dengan pasrah. Sore nanti ia harus terbang ke Indonesia, ia pun memutuskan untuk pulang ke flatnya sendiri untuk berkemas-kemas. Kini tinggal penyesalan memenuhi benak Alma, ia pikir dengan rencananya meluluhkan Damar berhasil itu akan jadi penghangat hubungan di antara mereka sekaligus menjadi perpisahan yang mengesankan sebelum keduanya menjalani hubungan jarak jauh. Namun reaksi Damar justru di luar dugaan Alma. Berantakan.
***
Alma turun dari taksi, tak lama setelah itu sopir taksi mengambilkan koper dari bagasi mobil. Gadis itu bergumam terima kasih pada lelaki paru baya tersebut.
Alma menarik kopernya dengan begitu malas, ia melangkah pelan menuju pintu masuk bandara. Baru saja ia di ambang pintu pengecekan. Tiba-tiba seseorang menyerukan namanya, Alma sontak membalik badannya. Ia tampak begitu terkejut hingga menjatuhkan koper dari genggaman. “Damar—“ Ia eja nama itu dengan isak tertahan.
Lelaki jangkung pemilik nama tersebut pun berlari kecil menuju Alma, tepat selangkah di depan Alma ia menghentikan langkah. Napasnya tampak terengah-engah.
Damar dengan ragu-ragu meraih tangan Alma.
Alma pun memperhatikan kedua bola mata milik Damar yang berkaca-kaca. Perlahan satu tangannya yang bebas dari genggaman Damar menahan air mata jatuh dari tempatnya.
“Hati-hati,” akhirnya sebuah kata lolos dari bibir Damar.
Alma mengangguk senang, ada kelegaan di dadanya mendapati Damar tidak marah lagi.
“Maaf, tadi aku kelewatan marahnya, a -- aku Cuma takut kalau terjadi kehamilan.”
Alma menggeleng, “kayaknya aku aku lagi gak masa subur, tenang aja gak akan terjadi.”
Damar mengelus punggung tangan Alma yang ada dalam genggamannya.
Sebuah pengumuman keberangkatan menggaung di langit-langit bandara, membuat keduanya mendongak bersamaan. “Itu penerbangmu?”
Alma mengangguk sekaligus berpamitan tapi saat ia akan melepas genggaman mereka Damar meraih tubuhnya dan mengecup lembut ubun-ubun kepalanya.
Seketika Damar melepaskan pelukan itu, ia justru salah tingkah sendiri. “Maaf aku lancang.” Wajahnya pun tampak memerah menahan malu.
Alma justru tersenyum senang, hatinya begitu berbunga-bunga. Lantas ia berbalik dan masuk ke ruang pengecekan.
***
30 jam mengudara, akhirnya Alma sampai di bandara Surabaya. Gadis itu menghela napas lega meski lumayan merasa jetlag akibat perbedaan waktu antara Jerman dan Indonesia.
Alma menyeret kopernya dengan sisa-sisa tenaga akibat kelelahan. Sampai di pintu keluar ia menghela napas lega sekali lagi karena selama berjalan menuju pintu keluar kepalanya sudah berdenyut-denyut sakit.
Gadis berparas nyentrik itu menengok kanan kiri, mencari jemputan yang tela ayahnya sediakan tetapi tidak ada seorang pun yang membawa papan nama berisi namanya.
Sejenak Alma memijat kepalanya untuk mengurangi sakit di sana, tapi tiba-tiba sesuatu menyita perhatiannya dan sekaligus memecah emosinya.
“Heh, kurang ajar!” Alma sontak berseru pada sosok lelaki yang menyita emosinya.
Beberapa orang di sekitar Alma menoleh kepadanya, menatap dengan tatapan risih atas sikap berlebihan Alma. Namun gadis itu tidak memerdulikan orang-orang di sekitar. Tatapannya tajam menghujam ke lelaki berjas rapih dengan setelan celana denim, khas eksekutif muda yang stylish.
Lelaki itu membawa papan nama bertuliskan 'calon suami Alma Pramusito' tentu saja hal itu membuatnya seketika berubah garang. Dengan langkah cepat ia menghampirinya dan merebut papan nama itu secara paksa ketika sampai di depan lelaki itu.
Alma lempar papan nama itu ke sembarang arah dan hampir saja mengenai seorang supir taksi. Alma benar-benar memancing keributan, karena supir taksi yang tidak terima menghampirinya dan marah-marah. Namun Alma tak memerdulikannya, ia biarkan saja supir itu mengomel sesuka hati.
Sedangkan dirinya sibuk mengomeli lelaki kurang ajar itu. “Sopir belagu! Sama majikan berani-beraninya ngaku jadi calon suami!”
Lelaki itu justru bergeming menatap lurus pada Alma.
“Lagi diomelin malah ngeliatin!” Alma menarik satu sisi jas lelaki itu hingga wajahnya mendekat ke wajah Alma. “Gue bakal minta ayah pecat lo, dasar supir muda gak berpengalaman!” Ia hentakkan cengkramannya dari jas lelaki itu. Namun sekilas aroma parfum berkelas tercium indra penciumannya. Alma mengernyit sejenak, lantas menggeleng pelan, kepribadian sopir barunya sangat membingungkan.
Namun buru-buru ia mengalihkan perhatian dengan menyuruh lelaki yang ia anggap sopir itu. “Nih, bawain koper gue!” Alma meninggalkan kopernya begitu saja lantas berjalan menembus keramaian para penjemput penumpang.
Selama menuju lobi bandara Alma bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki itu? Diomeli kok diem aja. Gak memperkenalkan diri pula, kan aku gak tau namanya kalau mau manggil. Sekilas mendengkus, kesal menebak-nebak jati diri laki-laki itu.
Kedua mata Alma tiba-tiba membulat, atau jangan-jangan lelaki itu calon suamiku sungguhan? Batinnya panik.
Pagi yang kelabu, mendung menghias langit, tampak jelas dari jendela kaca besar di apartemen Damar. Lelaki itu sudah rapi dengan setelan baju kantornya. Berdiri menatap kota kelahiran ditemani secangkir kopi dalam genggaman.Damar menerawang jauh, memikirkan keadaan Alma. Rasa bersalah, kembali muncul dalam benaknya. Menimbulkan pedih yang tak terperi. Belum lagi gejolak cemburu yang diam-diam menguasai hati, panas menyulut dadanya. Semua perasaan itu berkecamuk membuatnya tak keruan pagi ini.Sejenak, lelaki berpotongan rambut curtain haircut itu menarik napas sedalam-dalamnya. “Aku harus jenguk Alma dan mungkin ini yang terakhir kalinya, dia sudah menemukan lelaki baik menurut definisi keluarganya, kaya, seorang eksekutif, tampan dan kelihatannya baik. Tidak ada lagi alasan untuk kami melanjutkan hubungan.” Damar berusaha meneguhkan hatinya.Damar pun bergegas keluar apartemen menuju rumah sakit dengan mobil yang dipinjamkan perusahaan tem
Alma yang masih syok saat hampir terjatuh belum menyadari siapa penolongnya yang kini justru tanpa permisi memeluknya. Alma tertegun. Hampir saja Alma mendorong sosok yang lancang memeluknya, tetapi sosok itu lebih dulu bersuara. “Alma,” ujar sosok itu dengan suara parau. Alma yang tak asing dengan si pemilik suara seketika tercekat. “Da—mar?” “Maaf, aku bukan laki-laki yang bertanggung jawab.” Alma mencelos. Ia justru kebingungan dengan sikap Damar. “Seharusnya kamu bilang secepatnya buat kita putus, biar hubungan ini gak ganggu rumah tangga kamu.” Alma melepas rengkuhan Damar. Menggeleng pelan, tangannya yang ditusuk infus perlahan terangkat, menghapus rintik air mata di wajah Damar. Hangat rasanya tapi menyesakkan. “Gak ada yang perlu diakhiri dari hubungan kita, aku bisa jelasin semuanya,” ucap Alma dengan nanar. Air mata Damar mengalir lebi
Pukul tujuh malam, Yogi baru saja pulang dari kantor. Alma kebingungan harus memasang sikap bagaimana, marah? Melanjutkan drama queen-ku? Tapi bagaimana jika Damar menceritakan hubungan kami yang belum putus? Bisa-bisa aku yang dituntut balik oleh Yogi. Batin Alma cemas, ia tak henti menggigit-gigit bibirnya frustrasi. Saking frustrasinya tiba-tiba perutnya terasa kram, bertepatan dengan Yogi masuk kamar dan melihat Alma yang kesakitan bergegas membopong istrinya keluar rumah. Masuk ke mobil dan menuju rumah sakit, sepanjang perjalanan ia mengendarai mobil seperti orang kesetanan. Alma di sisinya hanya bisa mengerang menahan sakit. “Tahan ya Sayang, kamu dan anak kita pasti baik-baik aja.” Satu tangan Yogi menggenggam tangan Alma yang berkeringat dingin dan mulai melemah. Namun, Alma justru membuang muka kesal, sembari terus menggigiti bibirnya, menahan dua sumber rasa sakit sekaligus, hatinya dan kandungannya. Di
“Loh, saya gak pesan dimsum ini.” Yogi terheran-heran bahkan jam makan siang belum tiba, tapi sekotak dimsum datang tanpa ia pesan, diantar kurir. “Dari Bu Alma, Pak,” kata kurirnya melihat nama si pengirim melalui aplikasi pemesan makanan.Yogi lantas semringah. Istri hamil perasaannya kaya rollercoaster, kah? Marah-marah terus perhatian, padahal masalah yang kemarin belum sempat dijelasin sama sekali, batin Yogi terheran-heran sekaligus senang. “Ya sudah, tolong taruh di meja dekat sofa saja. Terima kasih,” tukas Yogi, lalu kurir tersebut berpamitan. Yogi lekas beranjak dari duduknya, membereskan beberapa berkas yang sedang digarapnya, mematikan laptop lantas beralih ke sofa. Tanpa merasa perlu menunggu jam makan siang, Yogi menyantap dimsum kiriman istrinya. Sejenak sebelum menyuap ia hidu aroma gurih perpaduan antara nori dan daging cincang yang terbungkus itu. Tak butuh waktu lama, Yogi dengan
‘Tes, ini anting Lo?’ Alma mengirimi pesan singkat pada Tesa. Jarinya memilin-milin sebuah anting berlian yang tersangkut di jas Yogi. Tesa membalas dengan emot tersenyum malu-malu. 'Lo emang bisa diandelin.’ Alma mengamati kembali anting-anting itu. ‘Eh, kalo suami lo jatuh cinta beneran sama gue gimana?’ Alma mengirim emot tertawa dengan air mata. “Berarti lo dapet rejeki nomplok, liburan ke Eropa sekalian honeymoon entar sama Yogi.” ‘Parah, yang penting lo ga nyesel sih.’ Alma tertegun mendapat balasan semacam itu dari Tesa. Perlahan ia meraba-raba isi hatinya, adakah bibit-bibit penyesalan akan semua hal yang sedang ia rencanakan? Sepertinya tidak ada. Ia tersenyum pongah, menutupi kekhawatiran dalam relung paling dalam, penyesalan pasti ada nantinya entah menyesal karena melepas orang yang tepat atau dalam aspek lainnya. Alma kemudian menjelaskan pada dirinya lagi, sudah di tengah jalan rencana tida
Keesokan siang Tesa benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Mengajak Yogi makan siang dengan dalih Alma akan ikut makan siang. Ternyata setelah Yogi datang Tesa mengabarkan bahwa Alma tiba-tiba ada meeting dengan klien. Berakhirlah mereka makan hanya berdua saja.“Saya balik ke kantor saja, gak enak berdua sama orang asing.” Yogi beranjak dari kursinya.Tesa kelabakan, bingung hendak mencegah dengan alasan apa.Beruntung, seorang pelayan membawa makanan pesanan mereka. Yogi masih tetap tidak perduli, wajahnya justru kian membeku.Tesa berseru riang dalam batin, ia menemukan ide. “Mas Yogi, Mas!” panggilnya dengan suara lantang. Ia tak perduli orang-orang di sekitar menatapnya risih.Yogi menghentikan langkah, ia menoleh dengan enggan.Tesa meraih pergelangan tangan Yogi. “Maaf Mas, dompetku ternyata ketinggalan di rumah, bisa tolong temenin aku makan, besok gantian