Menjelang siang, Green berjalan perlahan memasuki gang menuju rumah. Suasana hatinya semakin memburuk karena kejadian di sekolah yang barusan dia alami. Dia hendak membuka pintu memasuki rumah, tetapi dia terhenti karena mendengar paman dan bibinya sedang berbicara dan tampaknya serius.
"Sekolah khusus bagaimana maksudmu? Apa Green siap sekolah di situ?" tanya Budianto seolah tak setuju.
"Harus siap. Ini demi masa depannya. Aku tak ingin dia dibully lagi. Kasihan dia," jelas Mirna Wati pada suaminya.
"Bagaimana dengan biaya?" tanya suaminya. Suasana hening beberapa saat setelah Budianto menanyakannya. Sementara Green yang berada di luar ruangan, sedikit mengerutkan dahi.
"Tuan Williams jarang mengirim uang. Dan bahkan sudah lewat setahun ini, dia tidak pernah mengirim uang lagi, kan? Kita tak akan sanggup menyekolahkan Green di sekolah khusus," ucap Budianto kemudian.
Deg!
Mata Green melebar seketika, sewaktu mendengar bahwa ternyata orang tuanya sudah lama tidak mengiriminya uang. Bahkan sudah setahunan tidak mengirim? Bukankah bibinya waktu itu mengatakan bahwa orang tuanya masih mengirim uang? Ternyata bibinya menutupi hal ini darinya.
"Kita..kita bisa mencari pekerjaan tambahan, Mas. Ayolah. Green sudah seperti anak kita sendiri." Mirna mencoba membujuk suaminya.
Budi menghela nafas. "Mirna, aku menyayangi Green seperti putraku sendiri. Kamu sendiri tahu itu. Tetapi kita masih punya Rafa. Masa depan Rafa, kita juga harus pikirkan. Akan banyak biaya keluar untuk Rafa. Teman-teman Rafa sudah mengikuti pelajaran tambahan, sementara Rafa, dia harus pulang hanya untuk menjaga Green. Bagi aku itu tak masalah. Tetapi pikirkanlah sedikit tentang Rafa. Rafa anak kandung kita," ucap Budianto.
"Kasihan Green. Aku ingin dia punya masa depan yang cerah. Tetapi, membuatnya lulus dari SMA saja kenapa begitu sulit?" Mirna mulai menangis. Green yang mendengar isi hati bibinya hanya bisa menundukkan kepala. Tanpa mendengar tanggapan pamannya, Green langsung pergi. Dia sudah tak ingin mendengar lanjutannya lagi. Dia memutuskan untuk kembali keluar. Berjalan tanpa arah.
Walaupun sebelumnya Green mengatakan bahwa orang tuanya membuangnya, tetapi sebenarnya hati kecilnya masih mencoba berkeras untuk menghibur dirinya sendiri. Bukankah orang tuanya mengiriminya uang? Itu berarti orang tuanya masih peduli padanya, masih memikirkan dirinya walau hanya sedikit saja. Berulang-ulang hati Green meneriakkan hal itu sewaktu dia pupus dan berkecil hati untuk menguatkan dirinya menjalani hidup yang sangat berat ini. Tetapi, kenyataan bahwa orang tuanya ternyata jarang dan belakangan sama sekali tidak mengiriminya uang, apalagi alasan yang membuat Green harus bertahan?
Hati Green menangis. Kesedihan yang mendalam terpatri jelas di wajahnya.
***
Setelah menulis surat, hari itu juga Green melakukan perjalanan yang jauh. Saat ini dia berada di bus menuju ibukota. Tempat yang cukup jauh dari kota tempat ia tinggal saat ini. Semakin jauh, semakin baik. Kali ini, dia sudah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di sana. Sudah lama terbersit keinginannya untuk mengakhiri hidup. Dan tampaknya hari ini sudah mencapai puncaknya.
Green memejamkan mata mengingat masa lalunya ketika berumur hampir lima tahun. Ingatan samar-samar, tetapi sanggup menorehkan luka yang menganga di jiwanya.
Flashback
Suara tangis menggema. "Bibi, aku tidak mau di sini. Kamarku kan di atas. Kenapa aku di sini? Aku rindu Mama. Mama.. Mama..." Green kecil menangis sesenggukan. Bagaimana bisa dia dipindahkan dari kamarnya yang nyaman penuh mainan, ke kamar bibi pengasuhnya? Sudah beberapa hari ini dia berada di sini. Dan rasa rindunya pada ibu dan ayahnya sudah tak tertahankan lagi.
"Tuan muda Green, anak baik.. Sabar ya, Sayang. Tuan muda kan lagi sakit makanya di sini dulu biar Bibi rawat," ucap Bibi Mirna dengan nada bergetar mencoba menenangkan. Sesungguhnya hati Mirna juga sakit melihat Green disisihkan seperti ini.
"Aku tidak mau.. Aku mau sama Mama. Mama... Mama..." Bagi siapapun yang mendengarnya, tangis Green sungguh menyayat hati. Hal ini juga yang membuat Bibi Mirna lengah.
"Bibi ambilkan minum ya. Jangan nangis lagi , Tuan muda," bujuk Mirna. Dengan hati yang sedih, Mirna berjalan meninggalkan kamar. Kasihan Green sudah lelah menangis. Tetapi saat itu juga, Green dengan tubuhnya yang kecil, sedikit lemah, berlari secepat yang dia bisa. Rumah itu sangat besar, dia terus berlari berupaya mencapai tangga. Green menaiki tangga hendak menuju kamar ibunya.
"Tuan muda, berhenti, nanti bisa jatuh." Mirna mengejar pelan dari belakang karena takut Green semakin kencang berlari dan akhirnya jatuh. Bertepatan Sally Williams, ibu dari Green, keluar dari kamar, dan Green langsung memeluk erat pinggang ibunya dengan tangannya yang mungil.
"Mama... Aku rindu Mama. Mama.." Green menangis sejadi-jadinya. Nyonya Sally Williams terkejut bukan main melihat Green ada di hadapannya, memeluknya dengan erat.
"Bibi! Apa-apaan kau! Kenapa Green bisa di sini? Bawa dia ke belakang!" titahnya.
"Mama..." Green kecil semakin getir, mempererat pelukannya. Tetapi pelukannya sedikit pun tak dibalas oleh ibunya.
"Maaf, Nyonya. Tuan muda sangat merindukan Nyonya." Mirna mencoba membujuk Sally.
"Saya bilang bawa dia ke belakang!" Nyonya Williams dengan kasar melepas lengan mungil Green yang semula melingkar erat di pinggangnya. Seketika itu juga pelukan Green terlepas, sampai-sampai Green jatuh terjungkal. Mata Bibi Mirna melebar seketika menyaksikan kejadian itu. Sementara Green semakin keras menangis sampai terbatuk-batuk.
Sebenarnya Sally bukanlah ibu kandung Green. Ibu kandung Green bernama Alicia Williams. Dia adalah menantu perempuan yang sangat disayangi oleh Tuan Besar Reyhans Williams, pemilik perusahaan besar ternama, Williams Global Corporation. Sayangnya Alicia meninggal ketika melahirkan Green. Lalu Albert Williams, putra dari Reyhans, memutuskan untuk menikah lagi dan ia menikahi Sally. Tuan besar Reyhans tidak menyukai Sally karena sikap Sally yang angkuh. Tetapi Albert, putranya, terlalu keras kepala untuk diberi nasehat. Albert tetap menikahi Sally karena Sally sangatlah cantik di matanya.
Bibi Mirna secepat kilat membantu Green kecil untuk berdiri, dan hendak segera menggendongnya.
"Ada apa ini?" Tuan Albert Williams memandang tajam pada Mirna. Sementara Green masih terbatuk-batuk sambil menangis. Tapi walaupun terbatuk-batuk, Green kecil yang juga merindukan papanya, mencoba bersuara pendek-pendek karena nafasnya yang tak beraturan.
"Papa.. Papa, uhuk, uhuk, Papa..." tangis Green sambil mengulurkan kedua tangannya ingin menggapai ke atas, ke arah ayahnya, berharap ayahnya akan menggendongnya.
Sejenak Tuan Williams diam membisu melihat anaknya. Lalu kemudian dia berkata, "Kau bukan putraku. Aku tidak punya anak yang penyakitan." Matanya menatap dingin pada Green lalu kemudian mengarahkan pandangannya pada Bibi Mirna.
"Kau, sekali lagi kau membiarkan Green keluar dari sana, aku akan memecatmu dan membuat keluargamu melarat. Paham?" titahnya tak terbantahkan. Tetapi Bibi Mirna yang tak mampu lagi melawan hati nuraninya yang selalu meronta melihat kekejaman ini, akhirnya membuka suara.
"Maafkan saya, Tuan Williams. Selama ini walau Tuan Muda Green sakit, Tuan selalu menyayanginya. Bagaimana bisa sekarang Tuan tak mengakuinya? Sejak adik laki-lakinya lahir, Tuan jadi seperti ini. Tuan muda Green berhak mendapat kasih sayang dari Tuan. Kasihanilah dia, Tuan. Ingat! Tuan Muda Green adalah anak kandung Tuan juga!"
Plakk!! Sebuah tamparan melayang. Mirna memegang pipinya yang terasa panas ditampar oleh Tuan Albert.
"Berani sekali kau mengguruiku!" bentak Tuan Albert Williams.
Mirna menggigit bibir. Apakah sama sekali tidak tersisa rasa kasih sayang dari orang tua Green? Bagaimana bisa mereka sekejam ini? Hanya lantaran malu punya anak yang penyakitan. Apakah kesombongan telah sama sekali membutakan hati orang tuanya?
Flashback Off
Green kembali membuka matanya. Ingatan masa lalu yang menyesakkan dadanya, menguasai seluruh pikirannya saat ini.
Bersambung..

Halo, novel Suami Tak Sempurna sudah tamat.Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua Readers. Terima kasih karena Readers sekalian selalu mendukung novel ini dengan memberikan Vote, komentar dan ulasan bintang 5. Dukungan Readers membuat saya bersemangat untuk menulis.Untuk kelanjutan Green dan Hana, apakah ada kelanjutan lagi, Itu saya masih belum bisa memutuskannya. Saya harap Readers sekalian yang berharap buku baru untuk lanjutan, tidak merasa kecewa. Alasannya karena saya masih mau berfokus untuk menulis novel "Terlambat Mencintai Lisa." Dan novel baru lagi yang berjudul Kematian Tagis Sang Putri (yang ini novel fantasi, masih lama lagi dirilis karena outline belum saya buat).Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih. Semoga Readers sekalian sehat selalu. ^^ ❤️
"Rafa, lihat pengantin sudah tiba!" seru Sartika dengan riang.Sartika memeluk Hana. "Kamu cantik sekali, Hana.""Terima kasih, Sartika. Kamu juga cantik hari ini," balas Hana tersenyum hangat."Waw! Kak Green sudah persis seperti pangeran!" seru Rafa dengan tatapan takjub. Green tersenyum lebar mendengarnya."Kamu bisa saja, Rafa!" ucap Green sambil mengusap pelan rambut Rafa. Karena rambut Rafa sangat rapi hari ini."Kak Hana juga seperti tuan putri!" seru Rafa ketika matanya beralih pada Hana."Rafa kamu juga sangat tampan memakai tuxedo itu!" puji Hana.Rafa tersenyum malu saat giliran dirinya yang dipuji."Rafa, kamu pasti akan menjadi pemuda yang tampan ketika besar nanti," ucap Reyhans memuji dengan tulus."Terima kasih, Kek. Kakek juga sellau tampan!" ucap Rafa tersenyum manis sambil mengacungkan jempol. Reyhans, Anton, Jihan, kedua orang tua Rafa, dan juga Sartika, terkekeh melihat tingkah lucu Rafa."Rafa adalah anak yang baik!" ucap Anton. Budi dan Mirna tersenyum manis men
Setelah peristiwa pembelian PT. Andalan Winata lalu disusul di mana perusahaan itu dengan mudahnya kembali stabil, keluarga besar Winata selalu mencoba berbagai cara untuk bisa berkomunikasi dengan Green dan Hana. Mereka sungguh penasaran pada Green!Saat Anton memberi tahu mereka siapa Green sebenarnya, jantung mereka seolah meletup mendengarnya. Mereka semakin menggebu-gebu dan tak sabar ingin bertemu dengan Green dan Hana, tetapi mereka sulit melakukannya. Mereka mencoba mendesak Anton dan Jihan berulang kali tetapi hasilnya nihil. Anton dan Jihan sama sekali tidak mau bekerja sama dengan mereka.Pernah sekali peristiwa Shila mencoba datang ke kampus Williams, tetapi tidak menemukan mereka. Itu karena Green dan Hana memang sengaja menghindarinya. Begitu pula dengan Ryan, saat patah tulangnya baru sembuh, ia langsung mencoba mendekati mereka di kampus, tetapi sekali lagi mereka dengan mudahnya menghilang dari pandangannya. Itu bukanlah sesuatu yang sulit bagi Jack agar keluarga besa
"Kamu menjengukku lagi?" ucap Marcell pada Green. Dia tidak menyangka Green menjenguknya lagi."Kenapa? Apa kamu bosan melihat wajah kakakmu ini?" tanya Green tersenyum menggoda."Iya, aku bosan," jawab Marcell berbohong. Dia malah memakan kue kesukaannya yang baru saja dibawa oleh Green. Green terkekeh pelan.Mereka lalu bercengkerama dan akhirnya menyingung soal Reyhans, kakek mereka berdua."Apa kamu pernah melihat Kakek semarah waktu itu? Kamu pasti tahu sendiri bahwa Kakek biasanya selalu mampu menjaga emosinya. Dia selalu bersikap tenang dan berwibawa. Tetapi melihat keadaanmu seperti ini, Kakek lebih menunjukkan emosinya. Tahu kenapa? Itu karena kakek menyayangimu, Marcell.""Aku tidak percaya," jawab Marcell."Ini hanya pendapatku saja," balas Green. "Apa kamu tahu? Di hari kamu kecelakaan, Kakek sampai di Singapura saat sore hari. Tetapi begitu mendengar kamu kecelakaan, dia langsung kembali ke sini malam itu juga untuk melihat keadaanmu di rumah sakit. Kakek kita sudah tua,
Hana : Veronika, apa kamu tahu Marcell kecelakaan kemarin malam? Dia dirawat di Williams Hospital.Veronika : Aku tahu. Tapi apa benar dokter memvonis Marcell akan lumpuh seumur hidup?Hana : Iya, itu benar. 🥺 Tapi di dunia selalu ada keajaiban. Maksudku, tidak ada yang mustahil, bukan? Apa kamu berniat menjenguk Marcell besok?Veronika tampak ragu menjawabnya. Besok adalah hari Minggu, itu adalah waktu yang cocok untuk mengunjungi Marcell.Veronika : Aku akan mengunjunginya besok.Hana : Baguslah. Jam berapa kamu akan datang?Veronika tidak membalasnya lagi.***"Kamu sendirian?" tanya Green ketika dia dan istrinya masuk ke ruang rawat Marcell. Marcell yang sedang melamun agak terkejut melihat mereka."Ada perawat," jawab Marcell datar. Sally baru saja keluar untuk membawa pakaian ganti dari rumah. Sementara Albert sibuk mengurus mini market barunya."Kami membawa makanan kesukaanmu," ucap Green sambil membuka isi makanan yang ia bawa."Dari mana kamu tahu aku suka itu?" tanya Marcel
Begitu melihat Reyhans, Marcell segera memalingkan wajahnya. Reyhans mendesah melihat tingkah cucu bungsunya itu."Marcell, kamu mau makan, Sayang?" tanya Sally dengan suara lembut."Tidak," ucapnya tegas.Reyhans membuka suara. "Marcell, karena kamu terbiasa berbalapan mobil, akibatnya kamu menjadi sepele dalam berkendara. Benar-benar hobi yang konyol. Lihat sekarang keadaanmu. Kepalamu dijahit dan kakimu lumpuh. Teruslah kamu menjadi cucu pemberontak. Mana tahu nasibmu menjadi lebih bagus," sarkas Reyhans. Green dan Hana saling memandang. Menurut Hana, ini bukanlah waktu yang tepat untuk memarahi Marcell. Marcell saat ini butuh dihibur. Tetapi Kakek Reyhans sudah tidak bisa membendung rasa kecewanya.Marcell mengeraskan rahangnya dengan tangan mengepal. Dia benci mendengar ucapan kakeknya. Dia benci hobi yang sangat dia cintai, diejek dan dicerca seperti itu."Kakek," ucap Green sambil menghampiri kakeknya. "Kecelakaan Marcell itu karena dia mabuk. Ini sebenarnya tidak berhubungan de