"Untuk sementara tinggallah di rumah. Jangan ke mana-mana." Seorang lelaki paruh baya memperhatikan baik-baik keseluruhan tubuh Green yang sudah diobati. Dia adalah suami dari Mirna Wati, bibi pengasuh Green. Namanya, Budianto Assa. Mereka memiliki seorang anak laki-laki berusia 12 tahun bernama Rafa Assa.
"Terima kasih, Paman," ucap Green. Dia mencoba berbaring perlahan. Seluruh tubuhnya sakit sekali karena kejadian tadi sore. Beruntung setelah hampir lima belas menit tertidur di lantai lapangan basket di sekolah itu, Green akhirnya memiliki tenaga untuk beranjak dari sana dan berjalan pulang.
"Rafa, tetaplah di sini temani kakakmu. Kalau ada sesuatu segera telepon Ayah. Ayah harus berangkat kerja sekarang untuk shift malam. Ibumu akan pulang satu jam lagi."
"Iya, aku akan menemani Kak Green. Ayah tenang saja."
Budianto Assa pun pergi berangkat bekerja menuju bengkel mobil tempat dia bekerja.
***
Melihat Green tidur, Rafa segera bersiap-siap untuk sholat karena sudah Maghrib. Rafa memang anak yang sholeh dan juga tampan. Kedua orang tuanya mendidik dia dengan sangat baik.
Selesai sholat, Rafa kembali menghampiri Green.
"Apa Kak Green ingin minum?" tanya Rafa sambil menatap bibir Green yang memucat. Green menggeleng dan tersenyum kecil. Sementara Rafa menatapnya dengan wajah sedih.
"Rafa, apa kamu tak bosan menjagaku terus?" tanya Green dengan suara rendah.
"Kenapa bosan? Aku tak pernah merasa bosan kok, Kak." Rafa naik ke ranjang, duduk menghadap Green yang sedang berbaring.
"Karena aku, keseharianmu sepulang sekolah hanya berada di sampingku saja. Bahkan ketika aku mandi, kamu terpaksa harus menungguiku di dekat ruang kamar mandi," tutur Green.
"Mau bagaimana lagi, Kak? Nanti kalau penyakit Kakak kumat dan tidak ada yang melihat, bisa-bisa..." Rafa tak melanjutkan kata-katanya. Ibunya mengatakan padanya, jika Green kumat dan tak ada yang menolong, Green bisa saja meninggal.
"Kamu pasti ingin bermain ke luar dan melakukan kegiatan-kegiatan yang kamu suka kan, Rafa? Karena aku, kamu jadi tidak bisa bebas," ucap Green dengan rasa menyesal.
"Kadang aku memang ingin bermain. Tapi tidak apa-apa kok, Kak. Lagian aku sudah terbiasa seperti ini."
Tap tap tap... Suara langkah kaki. Rafa menoleh ke sumber suara. "Itu pasti Ibu!" tebak Rafa. Tepat saja, Mirna, ibunya Rafa langsung masuk ke kamar mereka.
"Green! Kamu tidak apa-apa?" Mirna bergegas memeriksa tubuh Green. Mulai dari wajah, tangan, dan akan membuka bajunya.
"Um, Bi. Aku sudah diobati paman. Bibi tidak usah repot-repot lagi memeriksa," tolak Green. Mirna menghela nafas berat.
"Sudah berapa kali Bibi katakan, kamu tunggu saja paman atau bibi untuk menjemput dan mengantarmu pulang. Kenapa kamu keras kepala, Green?" ucap Mirna cukup kesal.
"Maafkan aku, Bibi. Aku hanya tidak ingin terlalu merepotkan," jawab Green.
"Kalau di sekolah, masih ada guru yang memperhatikan. Tapi kalau kamu kumat di tengah jalan, bagaimana?" tanya Mirna seraya mencengkeram pergelangan tangan Green.
"Mulai sekarang, aku tidak perlu diawasi, Bi. Rafa juga tak perlu menjagaku lagi. Seandainya kumat, biarkan saja aku mati," ucap Green dengan nada datar. Dia sudah lelah menjalani hidupnya yang sulit.
"Apa? Tuan Williams dan Nyonya sudah menitipkanmu pada Bibi. Meminta Bibi untuk merawatmu. Bibi akan menjagamu selamanya," ucap Mirna. Albert Williams adalah ayah kandung Green. Dan Mirna Wati adalah seorang tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Keluarga Williams adalah majikannya waktu itu. Kedua orang tua Green sangatlah sombong. Sampai-sampai mereka tega membuang Green hanya karena mengidap penyakit yang mereka rasa cukup memalukan, ditambah lagi waktu itu Green tampak seperti anak idiot.
"Mereka sudah membuangku. Mereka malu mempunyai anak yang penyakitan. Bibi tidak perlu mengindahkan kata-kata mereka lagi." Suara Green terdengar getir. Mirna sempat tertegun mendengar kata-katanya. Walaupun Mirna tidak menjelaskan alasan orang tua Green menitipkan Green padanya tetapi Green ternyata bisa menyimpulkan alasannya dengan benar.
"Mereka tidak membuangmu. Mereka masih mengirimkan uang untuk kebutuhanmu dan keluarga kita," ucap Mirna.
"Sejak aku dititipkan pada Bibi, sejak itulah mereka sudah membuangku," jawab Green.
"Bukan begitu, Green..."
"Dan sejak saat itulah aku dan mereka tidak pernah sedetik pun berkomunikasi," sela Green kemudian. Air mata Mirna sudah muncul di pelupuk mata. Sejak bayi, Green ada dalam perawatannya. Kasih sayang yang tulus dari hatinya mengalir begitu cepat seraya waktu berlalu pada Green.
"Bibi menyayangimu Green, Paman dan Rafa juga. Kamu tahu jelas akan hal ini. Jadi tolong jangan berbicara yang aneh-aneh tentang kehidupanmu. Jangan katakan kalau kamu ingin mati. Jangan menyerah Green," ucap Mirna menasehati dan mencoba menguatkannya. Green hanya tersenyum kecut mendengar kata tulus bibinya.
"Makasih, Bibi. Aku tahu kalian menyayangiku," jawabnya.
"Oleh karena itu, aku tak ingin merepotkan kalian lagi karena aku menyayangi kalian juga. Selain itu, untuk apa aku hidup? Untuk menderita? Untuk disiksa orang-orang? Aku sama sekali tidak punya tujuan hidup. Selama penyakit sialan ini menggerogotiku, aku tidak akan bisa punya cita-cita," ucap Green di dalam hatinya.
"Teman-teman sekolahmu yang melakukan ini?" tanya Mirna menebak.
"Iya, Bi. Seperti biasanya. Tidak apa-apa," jawab Green.
"Bibi akan melaporkan mereka, dan kamu akan Bibi pindahkan dari sekolah itu," putus Mirna.
"Terserah Bibi saja. Tapi jika aku pindah, mungkin aku akan tinggal kelas lagi. Mengulang lagi untuk tahun ini," ucap Green pasrah.
"Tidak masalah. Bibi hanya ingin membuatmu aman."
"Bibi.. Kejadian yang sama akan terulang lagi. Aku akan dibully lagi," ucap Green. Bibinya menggigit bibir. Sejak lama dia ingin menyekolahkan Green di sekolah khusus, tapi itu sama saja menyakiti hati Green. Seolah Green adalah anak yang cacat. Selain itu, biaya sekolahnya juga cukup mahal, Bibi dan Pamannya tak akan mampu menyekolahkannya di sana. Sementara orang tua Green sebenarnya sudah tidak mengirim uang lagi. Tidak tahu kenapa. Tetapi bibinya merahasiakan ini semua darinya. Dia tidak mau Green merasa tidak nyaman karena telah menyusahkan mereka.
***
Beberapa hari telah berlalu, Bibi Mirna telah menuntut sekolah itu, dan anak-anak yang membullynya hanya mendapat hukuman skorsing saja. Bibi dan pamannya tidak mempunyai uang, bagaimana bisa mereka menuntut lebih daripada itu?
Hari ini, Green pergi ke sekolah itu untuk terakhir kalinya. Dia akan mengambil barang-barangnya yang tersisa di loker sekolah.
"Green?" Suara lembut menyapa ketika Green sibuk mengeluarkan sisa barangnya dari loker. Green menoleh dan memandangnya dalam diam.
"Ghania?" gumamnya dalam hati.
Gadis itu mendekat. "Aku dengar kamu akan pindah dari sekolah ini. Apa benar?"
"Iya, aku akan pindah," jawab Green dengan nada tenang.
"Aku sedih mendengarnya, Green. Kenapa harus pindah?" tanya Ghania.
Green diam sejenak, lalu berkata, "Bukankah kamu jijik padaku?"
Deg.. Mata Ghania terbuka lebar, sedikit terkejut akan pertanyaan Green barusan. Apa jangan-jangan waktu itu Green mendengarnya?
"Apa kamu....mendengarnya waktu itu?" tanyanya ragu.
"Iya, aku mendengarnya," jawab Green. "Akan lebih baik kalau kamu bersikap apa adanya saja, daripada bersikap ramah seperti ini, Ghania."
"Karena itu lebih sangat menyakitkan untukku," sambungnya dalam hati.
"Kamu salah paham. Sebenarnya..." Ucapan Ghania terhenti begitu saja ketika dia mendengar suara langkah kaki.
Tap tap tap tap.. Beberapa siswa dan siswi mendekati mereka. Sial.. Kenapa mereka tiba-tiba ada di sini? Ghania menggigit bibirnya.
"Sebenarnya Ghania bersikap ramah padamu hanya sebatas karena ia adalah siswi teladan di sekolah kita. Sebenarnya pemikirannya terhadapmu sama saja seperti pemikiran kami. Iya kan, Ghania?" celetuk seorang siswi dengan tatapan remeh yang ditujukan pada Green. Ghania diam tak menanggapi.
"Hahahaha." Suara tawa memenuhi ruang itu.
"Jangan-jangan kamu berpikir Ghania menyukaimu, Green? Ck, penyakitmu telah membuat otakmu korslet ya?" ucap seorang siswa menimpali sambil tertawa, membuat suasana menjadi riuh. Sementara Green hanya diam saja memandangi mereka berbicara.
"Ghania, kenapa diam sih dari tadi? Apa jangan-jangan kamu memang menyukainya ya?" ucap seorang siswi mencoba menggoda dengan nada mengejek. Ghania diam tak menjawab.
"Aaahh.. Ternyata Ghania memang menyukainya. Wah, dasar! Hahahaha," celetuk mereka kembali.
Wajah Ghania merah menahan marah bercampur malu. Dia merasa terjepit. "Apa-apaan sih kalian?" bentaknya. "Mana mungkin aku suka pada Green! Saat penyakitnya kumat, aku juga...." Ghania berhenti melanjutkan. Tanpa sadar ia berbicara dengan suara keras, membuat suasana menjadi hening seketika. Ghania adalah bagian dari keluarga Winata, jangan sampai nama Winata tercoreng karena kedekatannya dengan lelaki bodoh dan penyakitan.
"Juga apa? Juga jijik maksudnya ya?" celetuk seseorang. Semua kembali tertawa.
"Jika Ghania tetap diam berarti itu memang benar!" seru yang lain. Green menatap Ghania, tetapi Ghania tetap diam.
"Astaga, sepertinya Green berharap Ghania menyangkalnya!"
"Mana mungkin!"
Green menelan ludahnya dengan susah payah. "Aku sudah tidak punya urusan lagi di sini," ucap Green tiba-tiba, lalu beranjak pergi dari ruang itu.
"Hah..! Tidak seru!" ucap seseorang dari mereka begitu Green pergi. Mereka pun bubar begitu saja. Sementara Ghania berdiri mematung di sana.
Bersambung..

Menjelang siang, Green berjalan perlahan memasuki gang menuju rumah. Suasana hatinya semakin memburuk karena kejadian di sekolah yang barusan dia alami. Dia hendak membuka pintu memasuki rumah, tetapi dia terhenti karena mendengar paman dan bibinya sedang berbicara dan tampaknya serius. "Sekolah khusus bagaimana maksudmu? Apa Green siap sekolah di situ?" tanya Budianto seolah tak setuju. "Harus siap. Ini demi masa depannya. Aku tak ingin dia dibully lagi. Kasihan dia," jelas Mirna Wati pada suaminya. "Bagaimana dengan biaya?" tanya suaminya. Suasana hening beberapa saat setelah Budianto menanyakannya. Sementara Green yang berada di luar ruangan, sedikit mengerutkan dahi. "Tuan Williams jarang mengirim uang. Dan bahkan sudah lewat setahun ini, dia tidak pernah mengirim uang lagi, kan? Kita tak akan sanggup menyekolahkan Green di sekolah khusus," ucap Budianto kemu
Hai, apa kabarmu? Kuharap sehat-sehat saja. Saat ini aku sudah berada di Ibukota. Kamu sudah tahu kan alasanku jauh-jauh datang kemari? Iya benar, itulah tujuanku. Apa kamu kecewa akan keputusanku? Sudah kuduga, kamu orang yang baik. Harusnya kamu tidak perlu memedulikan orang sepertiku. Sayang sekali, sepertinya kamu orang yang penuh rasa simpati, sehingga sulit untuk tidak peduli. Untuk mengurangi rasa bersalahku padamu, aku akan menjelaskanmu akan beberapa hal yang ada dalam pikiranku. Yang pertama, jika aku bertahan hidup, aku hanya akan menjadi beban seumur hidup bagi Paman, Bibi dan juga Rafa. Dan yang kedua, saat aku mati, aku terbebas dari segala penderitaan. Dunia ini kejam, sama sekali tidak ada tempat untuk orang lemah sepertiku. Maka dari itu, aku akan pergi untuk selamanya. *** Green melangkah perlahan. Ternyata tidak sulit mencari jembatan layang di ibukota. Lokas
Sebuah mobil bewarna hitam melaju kencang. Di mobil itu bunyi ponsel sedari tadi terus berdering membuat sang empunya merasa kesal. Si pengemudi mencari tempat untuk menghentikan mobilnya. Begitu berhenti, ia melihat siapa yang menelepon. "Papa?" gumamnya, lalu mengangkat telepon. "Halo, Pa," sapa Hana. "Hana, kenapa kamu malah membawa mobil Papa? Kan kamu bisa diantar sama supir," ucap Anton, ayah dari Hana. "Iya, Pa. Tadi aku buru-buru," jawab Hana sambil melirik ke kursi belakang, di sana ada kue dan minuman. "Apa kamu sudah sampai di tempat acara?" tanya Anton Winata memastikan. Hari ini akan ada acara peluncuran film oleh Williams Entertainment, salah satu perusahaan milik Williams Global Corporation. Dan Hana akan menjadi pasangan Marcell Williams di sana. Ini adalah kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu oleh keluarga Winata, karena Marcell Williams adalah cucu kandung dari Reyhans Williams, pemilik Williams Global Corporation.
Green menutup matanya. Siap-siap untuk meloncat ke bawah. "Selamat tinggal Paman, Bibi, Rafa.""Hei! Jangan!" teriak seorang gadis. Seketika Green menoleh ke sumber suara. Otaknya belum bisa mencerna akan apa yang terjadi di sekitarnya.Green melihat seorang gadis berlari kencang ke arah tiang pembatas. Deg.. Mata Green melebar melihat gadis itu melesat dengan cepat pada tiang. Gadis itu melepas sepatunya lalu memanjat tiang itu."Jangan!" teriaknya lagi membuat Green sedikit membuka mulut tanpa kata. Green terperangah melihat gadis itu yang mulai memanjat.Krek, tap, krek, tap.."Tunggu. Jangan lompat! Dengarkan aku dulu!" teriak gadis itu dengan nyaring sambil masih tetap memanjat. Green segera melangkah lalu menunduk melihat gadis yang masih memanjat itu.Krek, tap, krek, tap.."Kamu jangan kemari! Jangan memanjat lagi. Aku tidak apa-a
Seluruh tubuh Hana bertumpu sepenuhnya pada Green yang memeluknya erat. Rasa takut yang berlebihan memang bisa membuat seseorang menjadi hilang tenaga apalagi jika rasa takut itu berlangsung agak lama. Bahkan ada orang yang sampai terkena serangan panik dan sampai mengalami pingsan karena rasa takut yang berlebihan. Masih di posisi yang sama, Hana mencoba perlahan berdiri dengan benar, mengatur keseimbangannya di dalam pelukan Green. Deg, deg... Jantung Green sedikit berdetak lebih kencang. Di usianya yang sudah 21 tahun, inilah pertama kalinya Green memeluk tubuh seorang gadis. Itu pun tidak sengaja. Dan rasanya... rasanya sampai membuat mata Green melebar cukup lama. • • Setelah mampu menyeimbangkan diri, gadis itu mendongak menatap wajah Green dengan kedua tangannya masih memegang kedua bahu Green. Green sedikit melonggarkan pelukannya, dan menunduk menatap wajah gadis itu. Green mengerjapkan kedua matan
Hana sedikit berjalan lebih cepat sambil menarik tangan Green, sementara Green terlihat seperti anak kecil yang dituntun oleh mamanya, dia hanya mengikuti gerak langkah Hana ke mana pun gadis itu berjalan. Tetapi kemudian Hana berhenti. Dia menatap Green."Ada apa?" tanya Green penasaran.Hana menghela nafas. "Sepatuku ketinggalan di bawah tiang itu," ucap Hana sedikit mendengus. Green langsung melihat kaki Hana yang telanjang lalu menoleh ke belakang. Ternyata mereka sudah berjalan sedikit jauh dari tiang itu."Aku akan mengambilnya. Tunggulah di sini." Green melepas tangan Hana."Tidak." Hana kembali menggenggam tangan Green. "Kita sama-sama saja. Ayo."Hana menarik kembali tangan Green. Green mengernyitkan kening, sepertinya dia mulai sadar akan interaksi mereka yang cukup aneh. Pikiran Green yang tadinya sempat kacau balau, sepertinya mulai terjalin.Sesa
"A-Apa yang kau lakukan?" Wajah Green memerah. Green tidak pernah bersentuhan dengan perempuan. Jadi, apa yang dilakukan gadis itu terasa intim baginya. Berbeda dengan pelukan yang tidak disengaja sewaktu di bawah tiang tadi. Saat ini, Hana memeluknya dengan sengaja. Tangan Green bergerak cepat memegang lengan Hana, ingin segera melepas pelukan gadis itu dari lehernya. Tetapi tubuh gadis itu tiba-tiba bergetar, membuat Green berhenti bergerak. Gadis itu melonggarkan pelukannya tetapi masih melingkarkan tangannya di leher lelaki itu dan kembali mendongak menatap Green. Green membalas tatapannya dan terkejut mendapati gadis itu mengeluarkan air mata. Dia menangis? "Kamu kenapa?" tanya Green bingung, rasa keterkejutan cukup terkesan dari warna suaranya. Hana melepas pelukannya dari Green. Ia kembali duduk secara normal dan menunduk. Hana mulai sedikit terisak, membuat Green semakin bingung. &nbs
Siang itu, di kediaman keluarga Assa."Ayah! Ibu!" Baru saja Rafa keluar rumah, tiba-tiba langsung kembali masuk sambil berteriak memanggil kedua orang tuanya."Ada apa Rafa?" Budi dan Mirna menatap anaknya khawatir."Ini ada surat sama ponsel Kak Green di dekat pintu." Rafa memberikannya pada papanya."Apa ini?" Cepat-cepat Budi membaca isi secarik kertas itu."Paman, Bibi dan Rafa. Mulai detik ini, berhentilah mengkhawatirkanku. Jangan mencariku. Aku pergi dan akan mencoba hidup dengan lebih baik. Aku tak ingin menyusahkan kalian lagi. Usiaku sudah 21 tahun. Aku sudah dewasa, dan aku akan hidup mandiri. Terimakasih untuk segala rasa sayang yang telah kalian berikan untukku."Green Assa.Tangan Budi gemetar membacanya. Mirna yang ikut membacanya, langsung memegang dadanya."Tidak mungkin!" gumam M