Share

BAB 04

"Apa lo bilang?!" bentak Azlan.

Amarahnya sudah diambang batas, pria yang ada di hadapannya ini harus diberi pelajaran, agar mulutnya berhenti berucap. Azlan melontarkan tinju ke wajah Aldo, dan itu memnbuat Aldo terpental ke belakang.

Bukkkk bukkk bukkk

“Mampus lo! Lo pikir Lo siapa bisa merendahkan gue kayak gitu?! Hah?!” bentak Azlan setelah menghajarnya.

“Akang! Sudah Kang! Ayo kita pulang saja,” ajak Nauma. Nauma menarik tangan Azlan hingga mereka sampai di samping motornya.

“Kenapa kamu belain dia Neng?” tanya Azlan dengan nada kesal.

“Aku tidak membela dia Kang, aku hanya tidak mau ada keributan di sini, aku takut malah Akang yang dikeroyok oleh orang pasar, Bapaknya Aldo itu preman di pasar ini Kang,” bisik Nauma.

“Serius Neng? Yaudah yuk buruan pergi, kenapa kamu nggak bilang dari tadi sih?”

Kalau urusannya sudah dengan preman pasar jelas Azlan mundur, dia tidak punya keahlian bela diri. Belajar saja hanya sebentar, sebelum almarhum bapakanya meninggal. Setelah mengetahui kebenarannya, Azlan langsung membawa Nauma pergi dari pasar dengan kecepatan penuh. Beruntung Aldo tidak mengejarnya.

“Akang itu kenapa sih? Akang cemburuannya kayak Bapak, itu nggak bagus loh Kang, aku lihat Ibu dicemburui seperti itu saja kesal."

“Memangnya kamu tidak mau kalau aku cemburu, cemburu kan tanda cinta Neng?”

“Aku tahu cemburu itu tanda cinta, tapi aku takut kecemburuan itu yang akan membuat kita berpisah. Meskipun Akang tidak menunjukkan kecemburuan, aku yakin kok dengan cinta Akang, aku juga akan menjaga sikap jika dengan pria lain.”

Di balik sifat polosnya, ternyata Nauma sangat pintar menilai situasi. Benar apa yang dikatakan Nauma, kecemburuan yang berlebihan akan membawa petaka dihubungan mereka. Kedepannya Azlan harus lebih mengontrol emosi.

“Aku tidak bisa janji untuk tidak cemburu karena aku tidak bisa melihat kamu dekat dengan pria manapun.”

“Aku yang akan menjaga diri dari pria manapun kalau begitu, agar Akang tidak cemburuan.”

“Lalu, kenapa tadi kamu bisa dibantu Aldo begitu?”

“Tadi dia yang memaksa Kang, lagi pula barang belanjaanku tadi banyak.”

“Yasudah kalau begitu, lain kali aku ikut masuk ke pasar juga kalau kamu ke pasar, kalau bisa jangan ke pasar yang tadi, pasar yang lain saja.”

Sebenarnya Azlan takut kalau para preman pasar mengeroyoknya. Tetapi Azlan berpura-pura menjadi pemberani di hadapan Nauma, dia hanya ingin Nauma melihatnya sebagai suami yang pemberani dan dapat diandalkan.

“Akang takut dengan para preman tadi, iya ‘kan?” tanya Nauma.

“Nggak, aku nggak takut, aku hanya takut kamu yang menjadi korban kekerasan mereka saja, makanya aku langsung ajak kamu pergi dari sana,” elaknya.

“Tenang saja Kang, mereka tidak akan berani, kepala preman pasarnya kan Bapak, pasti kena tampol sama Bapak kalau mereka berani nyakitin kita."

“Astaga! Serius Neng Bapak kamu kepala preman pasar?” Azlan terkejut.

“Serius, buat apa Neng bohong?”

“Waah… wah… tahu begitu aku hajar saja si Aldo, Aldo itu, sampai babak belur.”

“Tapi kayaknya malah Akang yang akan ditampol sama Bapak, Bapak sepertinya tidak suka sekali dengan Akang, Neng juga nggak suka Akang kasar seperti Aldo,” ucap Nauma dengan nada sedih.

“Kenapa nggak suka? Bapak kamu saja yang sirik, kalah ganteng tuh sama Akang. Lagian orang seperti Aldo itu harus diberi pelajaran Neng, kalau perlu masukin ke sekolah TK lagi biar dia belajar ngomong yang baik, tapi kalau Bapak yang nampol, aku mundur.”

“Dengar ya Kang, Neng cinta sama Akang itu karena Akang baik dan tidak kasar, kalau Akang kasar, apa bedanya Akang sama Aldo? Neng nggak suka,” ucap Nauma.

“Iya deh, iya, nggak akan kasar, tapi kalau kasarnya nanti malam di kamar boleh ya?”

“Hu… maunya Akang itu mah, Akang nggak kasihan sama Neng?" jawab Nauma dengan wajah memelas, Azlan bisa mengetahuinya karena terlihat dari kaca spion motor.

“Oh iya, kamu mau mampir ke tempat lain, apa mau langsung pulang?” Azlan mengalihkan pembicaraan.

“Pulang saja Kang, aku takut Ibu marah.”

Azlan langsung melajukan motor dengan cepat, agar bisa cepat sampai rumah. Tidak ada pembicaraan lagi di antara mereka, sepanjang perjalanan pulang, Nauma hanya memeluk pinggang suaminya dengan erat dan dia meyenderkan kepalanya di bahu Azlan.

“Mana belanjaannya?!” tanya Ibu sambil menyodorkan tangannya kepada Nauma saat mereka sudah sampai di rumah.

“Di Akang Azlan Bu.”

Degh! ‘Mampus dah gue,’ batin Azlan sambil menepuk kening.

“Kenapa kamu Lan nepuk kening gitu?! Mana belanjaannya?” pinta Ibu.

“Nelanjaannya ketinggalan Bu di pasar,” balasnya sambil terkekeh. Gara-gara tadi emosi Azlan sampai lupa mengambil keranjang yang di letakkan sembarangan, bahkan dia tidak ingat di mana dia meletakknya karena dia terlalu emosi saat ingin menghajar Aldo.

“Ya ampun Azlan! Kelewatan kamu ya! Buat Ibu kesal saja dari tadi!” ucap Ibu dengan kesal sambil menjambak-jambak rambut Azlan.

“Ampun Bu, ampun, nanti aku ambil, tadi aku kelupaan,” balasnya sambil berusaha melepaskan tangan Ibu dari rambut.

“Lupa lupa! Kerjaan kamu tuh nggak ada yang benar, bagus kalau kamu pergi dari sini.”

“Maaf Bu, itu bukan salah Akang, itu salah aku yang lupa membawanya,” bela Nauma. Dia juga membantu Azlan melepaskan diri dari amukan Ibu.

“Lihat suami kamu! Tidak pernah melakukan pekerjaan dengan serius! Bawa pergi suami kamu dari rumah ini! Bapak tidak sudi melihatnya di rumah ini lagi! Percuma memiliki menantu tampan tetapi pengangguran, tidak ada gunanya!” Ucap Bapak kepada Nauma dengan nada yang sangat kasar.

“Tapi Pak, kami harus pindah ke mana? Kang Azlan saja belum memiliki pekerjaan,” balas Nauma sambil terisak.

“Bukan urusan bapak!! Kalau kamu masih mau tinggal di sini, kamu ceraikan saja suami tidak berguna itu!”

“Tapi Pak, bagaimana bisa? Apa Bapak tega melihat kami menjadi gelandangan?” jawab Nauma dengan mata berkaca-kaca.

“Kalau kamu takut jadi gelandangan, lebih baik kamu ceraikan saja dia! Tidak ada gunanya juga dia di sini."

“Aku mohon Pak, beri Akang Azlan kesempatan, sekali saja, aku yakin tidak lama lagi pasti dia akan memperbaiki sifatnya dan mencari pekerjaan."

“Tidak!! Sekali Bapak bilang tidak ya tidak! Paham?! Bapak sudah terlanjur malu dengan tetangga, kamu lihat, Yanti saja bisa mendapatkan suami yang kaya raya, apa kamu tidak mau hidup dengan bergelimang harta?!”

“Iya kaya, tapi suaminya sudah bau tanah, tega banget nyuruh anaknya nikah sama bangkotan," timpal Azlan.

“Ini nih! Suami kayak gini yang mau kamu pertahankan?! Gini kalau pria tidak punya otak! Orangtua dilawan terus!" bentak Bapak sambil mendorong kening Azlan dengan telunjuknya.

“Pergi kamu sekarang juga!!” bentak Bapak sambil melempar tas yang ada di tangannya.

Tas yang dilempar Bapak adalah tas bawaan Azlan yang belum sempat dirapikan, juga tas Nauma yang tidak tahu apa saja isinya, rupanya Bapak Nauma tidak ragu mengusir mereka dari rumahnya. Azlan menerima pengusiran itu dengan berat hati, dia melajukan motor dengan kecepatan sedang. Baju bagian belakangnya terasa basah karena tangis Nauma.

“K-kita mau pergi ke mana Kang?” tanya Nauma sambil terisak.

“Sementara kita ikuti saja dulu jalan ini, nanti kalau ada tempat pemberhentian kita istirahat di sana,” balas Azlan sambil mengelus tangan Nauma.

“Tapi jalan yang kita ikuti ini adalah jalan menuju kota Kang, aku tidak yakin bisa tinggal di sana, kita tidak memiliki kenalan sama sekali,” balas Nauma dengan nada putus asa.

“Iya Akang tahu, nanti kita cari-cari saja tempat yang bisa kita kunjungi, siapa tahu kita bisa bertemu dengan teman-teman Akang di sana.”

“Tapi kita tidak punya uang sama sekali Kang, uang sisa penjualan rumah Akang sudah aku berikan kepada Ibu, aku hanya memegang uang lima puluh ribu saja.”

Hari yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan untuk mereka, malah menjadi hari yang sangat menyedihkan. Bagaimana tidak sedih? Baru juga beberapa hari menyandang gelar menantu di rumah Nauma, tetapi sudah mendapatkan perlakuan buruk seperti ini. Orangtua Nauma mengusirnya tanpa ada rasa iba sama sekali. Azlan sadar diri kalau dia hanya menumpang di rumah mereka, Azlan menyalahkan dirinya sendiri karena sudah terlalu percaya diri untuk menikahi Nauma. Alhasil, Nauma menjadi menderita karenanya. Uang yang ada di saku hanya tersisa empat puluh lima ribu rupiah saja, itu pun uang kembalian dari membeli nasi uduk tadi.

“Bismillah Neng, kita jalani saja dulu, sekali lagi aku tanya, kamu yakin untuk hidup bersamaku meskipun kamu tahu keadaan aku sekarang bagaimana? Kalau kamu tidak yakin, maka aku tidak bisa berbuat banyak, lebih baik kamu tinggal bersama dengan Orangtua kamu saja.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status