Share

BAB 5

“Aku tanya kepada Akang, apakah Akang yakin bisa membawa keluarga kecil kita menjadi keluarga yang bahagia? Apakah Akang yakin kalau Akang bisa menghidupi keluarga kecil kita?”

Nauma malah balik bertanya pada Azlan, jelas Azlan yakin kalau dia mampu membahagiakannya. Apapun akan dilakukan demi membuat Nauma bahagia, pekerjaan apapun akan dilakukan asalkan halal.

“Tentu saja aku yakin, aku yakin bisa membahagiakan kamu, pekerjaan apapun akan aku kerjakan asal ada kamu yang selalu tersenyum kepadaku,” balasnya.

“Kalau Akang yakin, maka aku juga yakin Kang, aku juga bisa membantu Akang mencari uang, siapa tahu di kota nanti ada yang membuka lowongan pekerjaan untuk wanita yang sudah menikah, jadi buruh cuci pun aku rela.”

“Tidak! Aku tidak setuju kalau kamu bekerja, biar aku saja yang mencari uang, aku menikahi kamu bukan untuk membuat kamu sengsara, sudah ya Neng, kamu yakin saja sama aku. Aku janji, kalau aku akan terus membuat kamu bahagia.”

Azlan tidak setuju dengan apa yang di katakan Nauma, Azlan tidak mau membuatnya sengsara karena menikah dengannya. Azlan berjanji kepada dirinya sendiri, kalau dia akan terus berusaha untuk membahagiakan Nauma.

Azlan melajukan motor dengan kecepatan penuh, dan berhenti tepat di pom bensin yang ada di perbatasan kota. Mau tidak mau, uang yang ada di sakunya digunakan untuk mengisi bensin terlebih dahulu. Tujuan utama adalah pusat kota, dia yakin kalau dia bisa menemukan pekerjaan di sana. Tetapi yang menjadi kekhawatirannya adalah, di mana mereka akan tinggal?

“Akang ada uang untuk mengisi bensin?” tanya Nauma dengan wajah penuh khawatir.

“Ada dong sayang, maaf ya, semalam aku ambil uang di dompet kamu lima puluh ribu, tadi pagi saat sedang di pasar sudah aku gunakan untuk membeli sarapan, ini masih ada empat puluh lima ribu, aku pakai untuk mengisi bensin tiga puluh ribu, jadi masih sisa lima belas ribu,” terangnya.

“Ngambilnya sedikit amat sih Kang Cuma lima puluh ribu? Coba ambil yang banyak, aku juga menyesal sudah memberikan uang kepada Ibu tadi pagi,” balas Nauma dengan nada kesalnya.

“Dih jelek banget manyun-manyun gitu, senyum ah, nggak boleh manyun, yang sudah diberikan kepada Ibu biarkan saja tidak usah di ungkit lagi, lagian juga diberikan kepada Ibu kita, bukan orang lain.”

“Akang nggak marah sama Ibu dan Bapak?”

“Mana bisa aku marah dengan mereka yang sudah memberikan aku wanita secantik dan sebaik kamu,” balasnya sambil menjawil hidung Nauma.

Setelah mengisi bensin, Azlan dan Nauma singgah sebentar di warung kelontong untuk membeli minuman. Saat Nauma ingin membayar minuman yang mereka inginkan, dompet yang sedang dipegang Nauma dicopet oleh pengemudi motor, sialnya Azlan tidak bisa mengejar pencopet itu.

“Bagaimana ini Kang? Kita tidak memiliki uang sama sekali, hanya uang yang ada di dompet itulah uang yang kita miliki,” ucap Nauma sambil menangis.

Azlan memeluk tubuh istrinya yang sudah bergetar, dia juga bingung harus bagaimana lagi. Hari sudah semakin sore dan mereka masih belum menemukan tempat untuk berteduh. Azlan menangis dalam diam, tapi dia mencoba untuk menegarkan hatinya, dia tidak ingin terlihat putus asa dihadapan Nauma.

“Sudah jangan menangis, nanti kamu jelek, lebih baik kita cepat ke kota, aku yakin di sana pasti ada yang bisa aku kerjakan dan menghasilkan uang,” ucapnya menenangkan Nauma.

Setelah menenangkan Nauma, Azlan langsung membayar minuman seharga dua ribu rupiah kepada pedagang kelontong. Sekarang uang yang mereka miliki hanya tersisa tiga belas ribu rupiah. Azlan melajukan motor bututnya dengan kecepatan penuh agar cepat sampai di kota, dia sudah tidak mau lagi menyia-nyiakan waktu.

Setibanya di kota, Azlan langsung membawa Nauma untuk beristiahat di toko yang sudah tutup. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kali ini Azlan merasakan kesedihan yang teramat sangat, Tidak ada tempat untuk di tinggali, hanya mampu mengistirahatkan diri di pinggiran jalan yang beralaskan Koran.

“Kamu kenapa sayang? Perut kamu sakit?” tanya Azlan kepada Nauma. Azlan melihat Nauma sedang memegangi perutnya, wajahnya juga sudah berubah menjadi pucat.

“Yaampun, maafkan aku, aku lupa kalau kamu belum makan dari tadi siang, tunggu sebentar di sini, aku cari makan dulu, jangan kemana-mana ya, tunggu aku di sini,” ucapnya mengingatkan Nauma.

Nauma memiliki penyakit magh, sepanjang perjalanan tadi mereka hanya meminum air mineral saja. Tidak ada sedikitpun makanan yang masuk ke dalam perut sejak siang tadi. Azlan senderkan tubuh Nauma ke dinding dan menyelimutinya dengan jaket yang dikenakannya.

“I-iya Kang, tapi apa uang kita cukup untuk membeli makanan?”

“Sudah jangan kamu pikirkan, sekarang kamu istrahat dulu, aku janji tidak akan lama.”

Setelah meyakinkan Nauma Azlan langsung berlari ke sembarang arah. Beruntung ada kedai makanan di dekat mereka berada.

“Permisi Bu, nasi campur pakai telor berapa?” tanya Azlan kepada penjual nasi.

“Sebelas ribu mas, mau berapa?”

“Alhamdulliah, satu bungkus saja Bu, oh iya, boleh aku meminta minum?”

“Boleh mas, nanti saya kasih,” balas pedagang yang ada di hadapannya.

“Ini mas nasinya, air minumnya ada di dalam,” ucap Ibu pedagang nasi.

“Ini uangnya Bu, terima kasih ya.”

Setelah mendapatkan nasi untuk Nauma, Azlan langsung berlari menemui Nauma. Dia takut Nauma diganggu oleh pejalan kaki yang tidak memiliki moral. Mau bagaimana pun Nauma adalah wanita, dan ini adalah tempat asing baginya.

“Ini Neng di makan dulu,” ucap Azlan sambil membukakan bungkus nasi.

“Kita makan sama-sama ya Kang,” ajak Nauma.

“Tidak, kamu saja yang makan, aku tadi sudah makan, Ibu pemilik warungnya baik sekali,” ucapnya berbohong.

“Beneran Akang sudah makan? Nggak bohongkan?” tanya Nauma tidak percaya.

“Untuk apa aku bohong sayang, sudah kamu makan saja, tadi aku sudah makan di sana, malah sekarang bisa lebih kenyang kalau aku melihat kamu tersenyum,” balasnya sambil menaik turunkan alis dan memberikan senyuman kepada Nauma.

Azlan bersyukur Nauma mempercayai candaannya, melihat Nauma makan sambil tersenyum saja sudah membuatnya kenyang. Nauma makan dengan lahap, beruntung dia membawa obat magh yang selalu tersedia di tasnya. Kalau sampai dia tidak membawanya pasti Azlan akan kebingungan karena dia hanya memegang uang dua ribu saja.

Sudah tiga hari mereka tinggal di kota, selama tiga hari mereka tinggal di musholah dekat pasar. Azlan memilih untuk bekerja sebagai tukang parkir di depan minimarket. Sedangkan Nauma membantu Azlan mencari uang dengan menjadi pelayan warung makan.

"Terus... Terus... Terus...." Azlan mengarahkan mobil yang ingin keluar dari parkiran.

Karena kecerobohannya, dia tidak memperhitungkan jarak dan mobil yang di arahkannya menabrak kendaraan lain yang sedang terparkir. Sontak saja pengendara mobil keluar dengan kemarahannya.

"Bagaimana sih kamu ini? Kalau nggak bisa markirin, nggak usah markir dong! Mobil saya jadi rusak gara-gara kamu!" bentak wanita pemilik mobil.

"Maaf mba, saya tidak sengaja," balas Azlan. Dia mengangkat wajahnya dan melepas topi yang dikenakannya, lalu menatap wanita yang sedang memarahinya.

Wanita yang memarahi Azlan langsung terkesima saat melihat ketampanan Azlan, dia tidak berkedip sedetikpun untuk menikmati ketampanan yang dimiliki Azlan.

"Tidak, tidak masalah, saya juga salah karena hanya mengandalkan kamu, seharusnya saya juga melihat ke belakang dan memastikannya sendiri. Perkenalkan saya Agnes." Agnes mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Azlan.

"Saya Azlan mba," jawab Azlan, dia menerima uluran tangan Agnes.

"Kenapa pria tampan seperti kamu menjadi tukang parkir seperti ini? Kalau kamu mau, kamu bisa menjadi artis, aku yakin, kalau kamu menjadi artis, pasti akan cepat terkenal."

"Artis dari mana mba? Saya hanya pria biasa, nggak punya kenalan agensi juga, begini saja saya sudah bersyukur," balas Azlan.

"Memangnya kamu mau jadi artis kalau ada agensi yang menawari kamu?" tanya Agnes dengan sangat antusias.

"Tentu saja mau, kalau menjadi artis pasti saya akan banyak uang dan bisa membahagiakan istri saya," balas Azlan sambil tersenyum, pikirannya sudah berkelana membayangkan kehidupan seorang artis.

"Kalau begitu, aku mau menawari kamu menjadi artis, kebetulan aku pemilik agensi star entertaiment. Ini kartu nama saya," ucap Agnes sambil memberikan selembar kartu nama.

"Wah... Ini serius mba? Mba lagi nggak ngepreng saya 'kan?" tanya Azlan yang masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya.

"Tentu saja ini benar, bagaimana? Apakah kamu mau menjadi bagian dari agensi saya dan menjadi bintang terkenal di negara ini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status