“Aku tanya kepada Akang, apakah Akang yakin bisa membawa keluarga kecil kita menjadi keluarga yang bahagia? Apakah Akang yakin kalau Akang bisa menghidupi keluarga kecil kita?”
Nauma malah balik bertanya pada Azlan, jelas Azlan yakin kalau dia mampu membahagiakannya. Apapun akan dilakukan demi membuat Nauma bahagia, pekerjaan apapun akan dilakukan asalkan halal. “Tentu saja aku yakin, aku yakin bisa membahagiakan kamu, pekerjaan apapun akan aku kerjakan asal ada kamu yang selalu tersenyum kepadaku,” balasnya. “Kalau Akang yakin, maka aku juga yakin Kang, aku juga bisa membantu Akang mencari uang, siapa tahu di kota nanti ada yang membuka lowongan pekerjaan untuk wanita yang sudah menikah, jadi buruh cuci pun aku rela.” “Tidak! Aku tidak setuju kalau kamu bekerja, biar aku saja yang mencari uang, aku menikahi kamu bukan untuk membuat kamu sengsara, sudah ya Neng, kamu yakin saja sama aku. Aku janji, kalau aku akan terus membuat kamu bahagia.” Azlan tidak setuju dengan apa yang di katakan Nauma, Azlan tidak mau membuatnya sengsara karena menikah dengannya. Azlan berjanji kepada dirinya sendiri, kalau dia akan terus berusaha untuk membahagiakan Nauma. Azlan melajukan motor dengan kecepatan penuh, dan berhenti tepat di pom bensin yang ada di perbatasan kota. Mau tidak mau, uang yang ada di sakunya digunakan untuk mengisi bensin terlebih dahulu. Tujuan utama adalah pusat kota, dia yakin kalau dia bisa menemukan pekerjaan di sana. Tetapi yang menjadi kekhawatirannya adalah, di mana mereka akan tinggal? “Akang ada uang untuk mengisi bensin?” tanya Nauma dengan wajah penuh khawatir. “Ada dong sayang, maaf ya, semalam aku ambil uang di dompet kamu lima puluh ribu, tadi pagi saat sedang di pasar sudah aku gunakan untuk membeli sarapan, ini masih ada empat puluh lima ribu, aku pakai untuk mengisi bensin tiga puluh ribu, jadi masih sisa lima belas ribu,” terangnya. “Ngambilnya sedikit amat sih Kang Cuma lima puluh ribu? Coba ambil yang banyak, aku juga menyesal sudah memberikan uang kepada Ibu tadi pagi,” balas Nauma dengan nada kesalnya. “Dih jelek banget manyun-manyun gitu, senyum ah, nggak boleh manyun, yang sudah diberikan kepada Ibu biarkan saja tidak usah di ungkit lagi, lagian juga diberikan kepada Ibu kita, bukan orang lain.” “Akang nggak marah sama Ibu dan Bapak?” “Mana bisa aku marah dengan mereka yang sudah memberikan aku wanita secantik dan sebaik kamu,” balasnya sambil menjawil hidung Nauma. Setelah mengisi bensin, Azlan dan Nauma singgah sebentar di warung kelontong untuk membeli minuman. Saat Nauma ingin membayar minuman yang mereka inginkan, dompet yang sedang dipegang Nauma dicopet oleh pengemudi motor, sialnya Azlan tidak bisa mengejar pencopet itu. “Bagaimana ini Kang? Kita tidak memiliki uang sama sekali, hanya uang yang ada di dompet itulah uang yang kita miliki,” ucap Nauma sambil menangis. Azlan memeluk tubuh istrinya yang sudah bergetar, dia juga bingung harus bagaimana lagi. Hari sudah semakin sore dan mereka masih belum menemukan tempat untuk berteduh. Azlan menangis dalam diam, tapi dia mencoba untuk menegarkan hatinya, dia tidak ingin terlihat putus asa dihadapan Nauma. “Sudah jangan menangis, nanti kamu jelek, lebih baik kita cepat ke kota, aku yakin di sana pasti ada yang bisa aku kerjakan dan menghasilkan uang,” ucapnya menenangkan Nauma. Setelah menenangkan Nauma, Azlan langsung membayar minuman seharga dua ribu rupiah kepada pedagang kelontong. Sekarang uang yang mereka miliki hanya tersisa tiga belas ribu rupiah. Azlan melajukan motor bututnya dengan kecepatan penuh agar cepat sampai di kota, dia sudah tidak mau lagi menyia-nyiakan waktu. Setibanya di kota, Azlan langsung membawa Nauma untuk beristiahat di toko yang sudah tutup. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kali ini Azlan merasakan kesedihan yang teramat sangat, Tidak ada tempat untuk di tinggali, hanya mampu mengistirahatkan diri di pinggiran jalan yang beralaskan Koran. “Kamu kenapa sayang? Perut kamu sakit?” tanya Azlan kepada Nauma. Azlan melihat Nauma sedang memegangi perutnya, wajahnya juga sudah berubah menjadi pucat. “Yaampun, maafkan aku, aku lupa kalau kamu belum makan dari tadi siang, tunggu sebentar di sini, aku cari makan dulu, jangan kemana-mana ya, tunggu aku di sini,” ucapnya mengingatkan Nauma. Nauma memiliki penyakit magh, sepanjang perjalanan tadi mereka hanya meminum air mineral saja. Tidak ada sedikitpun makanan yang masuk ke dalam perut sejak siang tadi. Azlan senderkan tubuh Nauma ke dinding dan menyelimutinya dengan jaket yang dikenakannya. “I-iya Kang, tapi apa uang kita cukup untuk membeli makanan?” “Sudah jangan kamu pikirkan, sekarang kamu istrahat dulu, aku janji tidak akan lama.” Setelah meyakinkan Nauma Azlan langsung berlari ke sembarang arah. Beruntung ada kedai makanan di dekat mereka berada. “Permisi Bu, nasi campur pakai telor berapa?” tanya Azlan kepada penjual nasi. “Sebelas ribu mas, mau berapa?” “Alhamdulliah, satu bungkus saja Bu, oh iya, boleh aku meminta minum?” “Boleh mas, nanti saya kasih,” balas pedagang yang ada di hadapannya. “Ini mas nasinya, air minumnya ada di dalam,” ucap Ibu pedagang nasi. “Ini uangnya Bu, terima kasih ya.” Setelah mendapatkan nasi untuk Nauma, Azlan langsung berlari menemui Nauma. Dia takut Nauma diganggu oleh pejalan kaki yang tidak memiliki moral. Mau bagaimana pun Nauma adalah wanita, dan ini adalah tempat asing baginya. “Ini Neng di makan dulu,” ucap Azlan sambil membukakan bungkus nasi. “Kita makan sama-sama ya Kang,” ajak Nauma. “Tidak, kamu saja yang makan, aku tadi sudah makan, Ibu pemilik warungnya baik sekali,” ucapnya berbohong. “Beneran Akang sudah makan? Nggak bohongkan?” tanya Nauma tidak percaya. “Untuk apa aku bohong sayang, sudah kamu makan saja, tadi aku sudah makan di sana, malah sekarang bisa lebih kenyang kalau aku melihat kamu tersenyum,” balasnya sambil menaik turunkan alis dan memberikan senyuman kepada Nauma. Azlan bersyukur Nauma mempercayai candaannya, melihat Nauma makan sambil tersenyum saja sudah membuatnya kenyang. Nauma makan dengan lahap, beruntung dia membawa obat magh yang selalu tersedia di tasnya. Kalau sampai dia tidak membawanya pasti Azlan akan kebingungan karena dia hanya memegang uang dua ribu saja. Sudah tiga hari mereka tinggal di kota, selama tiga hari mereka tinggal di musholah dekat pasar. Azlan memilih untuk bekerja sebagai tukang parkir di depan minimarket. Sedangkan Nauma membantu Azlan mencari uang dengan menjadi pelayan warung makan. "Terus... Terus... Terus...." Azlan mengarahkan mobil yang ingin keluar dari parkiran. Karena kecerobohannya, dia tidak memperhitungkan jarak dan mobil yang di arahkannya menabrak kendaraan lain yang sedang terparkir. Sontak saja pengendara mobil keluar dengan kemarahannya. "Bagaimana sih kamu ini? Kalau nggak bisa markirin, nggak usah markir dong! Mobil saya jadi rusak gara-gara kamu!" bentak wanita pemilik mobil. "Maaf mba, saya tidak sengaja," balas Azlan. Dia mengangkat wajahnya dan melepas topi yang dikenakannya, lalu menatap wanita yang sedang memarahinya. Wanita yang memarahi Azlan langsung terkesima saat melihat ketampanan Azlan, dia tidak berkedip sedetikpun untuk menikmati ketampanan yang dimiliki Azlan. "Tidak, tidak masalah, saya juga salah karena hanya mengandalkan kamu, seharusnya saya juga melihat ke belakang dan memastikannya sendiri. Perkenalkan saya Agnes." Agnes mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Azlan. "Saya Azlan mba," jawab Azlan, dia menerima uluran tangan Agnes. "Kenapa pria tampan seperti kamu menjadi tukang parkir seperti ini? Kalau kamu mau, kamu bisa menjadi artis, aku yakin, kalau kamu menjadi artis, pasti akan cepat terkenal." "Artis dari mana mba? Saya hanya pria biasa, nggak punya kenalan agensi juga, begini saja saya sudah bersyukur," balas Azlan. "Memangnya kamu mau jadi artis kalau ada agensi yang menawari kamu?" tanya Agnes dengan sangat antusias. "Tentu saja mau, kalau menjadi artis pasti saya akan banyak uang dan bisa membahagiakan istri saya," balas Azlan sambil tersenyum, pikirannya sudah berkelana membayangkan kehidupan seorang artis. "Kalau begitu, aku mau menawari kamu menjadi artis, kebetulan aku pemilik agensi star entertaiment. Ini kartu nama saya," ucap Agnes sambil memberikan selembar kartu nama. "Wah... Ini serius mba? Mba lagi nggak ngepreng saya 'kan?" tanya Azlan yang masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya. "Tentu saja ini benar, bagaimana? Apakah kamu mau menjadi bagian dari agensi saya dan menjadi bintang terkenal di negara ini?""Tentu saja saya mau, mba. Ini adalah kesempatan emas buat saya dan istri saya," jawab Azlan dengan antusias. "Bagus kalau begitu, besok aku tunggu kamu di kantor, katakan saja kepada resepsionis kalau kamu sudah membuat janji denganku." "Terima kasih mba, besok saya pasti akan datang ke sana." Azlan merasa sangat bahagia mendapatkan kesempatan untuk menjadi artis, selama ini tidak ada bayangan sedikit pun untuk memulai karir sebagai artis. Azlan terus tersenyum saat memandangi kepergian Agnes. "Nauma pasti bahagia kalau tahu kabar ini, aku jadi tidak sabar untuk mengabarinya," gumam Azlan sambil memandangi kartu nama Agnes. Tanpa menunggu lama lagi, Azlan langsung beranjak dari tempatnya, dia berniat untuk menemui Nauma. Baru juga beberapa langkah, seorang pria bertubuh besar menahan pundak Azlan. Pria bertubuh besar itu meninju perut Azlan tanpa ada rasa kasihan sama sekali. Bugh... bugh... bugh... "Berani-beraninya lo ngambil lahan gue tanpa izin! Mau cari mati lo?!" bentak p
"Jadi kayak mana Kang? Padahal itu kesempatan emas, malah hilang gitu aja," ucap Nauma sambil mengembuskan napasnya. "Mau bagaimana lagi? Kartunya sudah hilang, sekarang kita pulang dulu, sebentar lagi sudah mau magrib," balas Azlan. Azlan juga merasa sedih karena sudah kehilangan kartu nama Agnes, kartu nama itu adalah harapan terbesarnya untuk bertahan hidup di kota besar ini. Mau tidak mau, Azlan dan Nauma harus ikhlas kehilangan kartu nama Agnes. Mereka berdua pulang ke mushola dengan langkah gontai. "Kenapa kalian lesu seperti itu?" tanya Pak ustadz. "Nggakpapa Pak ustadz, kami hanya kehilangan kartu nama saja," balas Azlan. "Memangnya kartu nama itu penting sekali ya?" "Bagi kami sangat penting Pak karena itu adalah kartu nama agensi, tadi ada yang menawariku untuk menjadi artis," jawab Azlan, wajahnya masih saja muram, dia bersedih karena tidak bisa menemukan kartu nama Agnes. "Jangan disesali, jika memang itu masih rezeki kamu, maka Allah akan mengembalikannya dengan car
"Siapa lo berani ngelarang gue?!" bentak Codet. "Gue Agnes! Gue bisa menjarain lo sekarang juga atas tuduhan pemerasan!" balas Agnes tak kalah membentak. Agnes adalah wanita yang menolong Azlan, dia mencari Azlan di tempat mereka bertemu kemarin. Agnes sangat tertarik pada Azlan dan dia mau Azlan menjadi artis di agensinya. Wajah tampan Azlan merupakan aset berharga baginya dan juga perusahaannya. Menurut Agnes, Azlan bisa mendapatkan ketenaran dengan wajah tampannya. "Pergi nggak lo dari sini!" usir Agnes. Codet merasa dirinya terancam karena Agnes sudah siap menelpon polisi. Penampilan Agnes juga sangat meyakinkan kalau dia mampu memenjarakan Codet. Tampilan layaknya pengusaha kaya raya, stelan jas dan juga kaca mata yang dikenakannya menambah kesan mewah. "Brengsek! Awas lo ya! Lo masih ada urusan sama gue!" bentak Codet, tangannya menunjuk wajah Azlan. Codet dan anak buahnya pergi karena takut dengan ancaman Agnes, Agnes berhasil merebut uang yang di rampas oleh Codet. Dia me
"Tapi Kang-" "Sudah jangan dipikirkan, ingat, ada aku di sini, aku yang akan bertanggung jawab dengan hidup kita, kamu tenang saja ya sayang," ucap Azlan memotong perkataan Nauma. Dia memeluk Nauma dan membelai rambut panjangnya. Nauma masih saja terisak, dia masih belum rela uang yang selama ini dikumpulkan dirampas begitu saja oleh Codet. Azlan juga sebenarnya merasa bingung, disaat kesempatan emas datang lagi, uang hasil tabungan mereka yang dirampas. Mau tidak mau, Azlan berpikir keras bagaimana caranya agar besok bisa menemui Agnes? Malam hari Azlan tidak pergi ke parkiran, dia menemani Nauma di kamar mushola. Dia takut Codet datang lagi dan mencelakai istrinya. Naumatidur dalam kesedihan, Azlan memeluk Nauma dengan sangat erat, bahkan dia sudah menahan pintu kamar mereka dengan lemari yang disediakan Pak ustadz. Azlan tidak bisa tidur, dia terus saja siaga karena ketakutannya. Apapun bisa terjadi kepada mereka disaat mereka lengah. Azlan mengusap-usap kepala Nauma, "Maafkan a
"Tidak! Tidak! Bagaimana mungkin saya menyembunyikan status istri saya sendiri? Mba sudah menjebak saya," ucap Azlan sambil menggelengkan kepalanya. Dia masih tidak percaya dengan kebodohan yang baru saja dilakukannya. "Saya sudah memperingatkan kamu untuk membacanya terlebih dahulu, tetapi kamu sendiri yang menandatangani tanpa membacanya," balas Agnes menyalahkan Azlan. "Sudahlah Kang, aku tidak masalah, sudah terjadi juga, lagi pula kita tidak memiliki uang untuk membayar dendanya," timpal Nauma, dia merangkul lengan Azlan. "Tetapi kami masih diperbolehkan tinggal satu rumah 'kan?" tanya Azlan memastikan. "Tentu saja boleh, tetapi publik tidak boleh mengetahui status kalian yang sebenarnya," jawab Agnes. "Baiklah kalau begitu, kontrak ini berlangsung berapa lama?" "Dua tahun, selama dua tahun kamu harus mengaku single, setelah kontrak ini selesai, kita akan perbaharui lagi kontraknya, itupun jika kamu masih mau menjadi artis." Azlan dan Nauma hanya terdiam, sudah tidak ada ka
"Bukankah begitu, Azlan?" tanya Agnes. Mata coklat Azlan menatap Agnes dengan penuh kemarahan, dia melirik Nauma. Mata Nauma membola saat mendengar jawaban yang keluar dari mulut Agnes. Azlan tidak menyangka kalau Agnes akan menganggap Nauma sebagai pembantunya. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal. Azlan melangkahkan kalinya, tetapi Nauma menghentikannya. Nauma menggelengkan kepala untuk mencegah perbuatan yang akan Azlan lakukan. "Baiklah kalau begitu, maafkan perbuatan kami," ucap petugas keamanan dengan wajah penuh sesal. Azlan memalingkan wajahnya, tidak menjawab permohonan maaf penjaga yang ada di dekatnya. Azlan menatap wajah Nauma, dia melihat ada kesdihan di matanya. 'Kenapa jadi aku yang menjadi penyebab kesedihannya?' batin Azlan. Tidak berselang lama, para pengawal pergi meninggalkan luka di hati dan tubuh mereka. "Kenapa mba ngomong gitu? Kenapa mba memposisikan Nauma sebagai pembatu saya?" tanya Azlan, matanya juga menunjukkan kemarahan yang teramat sangat. "Memang
"Neng!... kamu di mana?" Azlan mencari keberadaan Nauma. Dia baru sadar kalau Nauma tidak ada di sampingnya. Mendengar teriakan Azlan, Nauma menghapus jejak air matanya dengan kasar. Azlan mencari Nauma, satu persatu kamar dibuka olehnya. Dia panik karena tidak bisa menemukan Nauma. Saat dia membuka kamar terakhir, dia melihat Nauma yang sedang merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tubuhnya terlihat gemetar dan itu membuat Azlan semakin panik. "Sayang... kamu kenapa?" tanya Azlan. Dia memeluk tubuh Nauma dan merasakan hawa panas dari tubuhnya. "Kamu sakit?" tanya Azlan sambil menyentuh kening Nauma dengan punggung tangannya. Nauma hanya terdiam, tubuhnya bergetar hebat karena deman yang dideritanya. "Kamu tunggu di sini ya, Neng. Aku beli obat dulu," ucap Azlan dengan panik. Dia langsung berlari ke luar apartemen dan mencari apotek untuk membeli obat. Azlan terus saja berlari, "Pasti Nauma sakit gara-gara aku, pasti kejadian hari ini menjadi pukulan berat baginya," racaunya saat sedan
"Maaf, saya belum terbiasa," jawab Azlan. "Kalau belum terbiasa berusaha lebih keras dong! Kalau seperti ini namanya kamu mengerjai kami!" Azlan mengepalkan tangannya dan berusaha tersenyum. Fotografer merasa kesal dengan Azlan yang selalu saja tidak bisa mengikuti instruksinya. "Yasudah kita mulai lagi, kali ini kamu harus lebih santai, jangan kaku seperti tadi," ucap Fotografer. Azlan berusaha santai dan mengikuti semua arahan yang diberikan, tetapi mereka semua masih belum puas dengan usaha Azlan. "Santai!... Santai!... Lo bisa santai gak? Jangan kaku gitu!" bentak fotografer. "Fero, kamu ke sana gantikan Azlan, dan kamu Azlan, lihat cara Fero berpose," timpal Agnes. Fero adalah pria yang tadi menghina Azlan, dia merasa bangga karena bisa menjadi artis yang selalu diutamakan oleh Agnes. Dia menunjukkan kebolehannya di depan kamera, dia ingin menunjukkan kepada Azlan kalau dia lebih baik darinya. Azlan fokus memperhatikan Fero dan pose-pose yang diperagakannya. "Bagus... pose