Share

Perdebatan

Mobil hitam yang membawa Leah tiba di sebuah restoran mewah dekat komplek perkantoran elit.

"Silahkan, Nona." Seorang pengawal membuka pintu untuk Leah.

"Ah, iya." Leah turun sambil menatap sekitar, dia pernah melihat restoran ini di media sosial. Tetapi tidak pernah mencoba untuk datang ke sana. Karena Leah pikir, mereka hanya menjual tempat, untuk rasa makanannya paling juga lebih enak masakan ibunya.

"Tuan Nero sudah menunggu." Pria itu mempersilahkan Leah untuk mengikutinya.

"Kok jantungku berdebar sih, aku tidak akan dieksekusi di sini kan. Ayah, selamatkan aku. Kenapa calon suamiku sepertinya menakutkan." Leah berbicara dalam hati.

Setelah beberapa saat mereka tiba di sebuah private room, dan hanya orang dari kalangan tertentu yang boleh masuk. Terlihat dari tulisan VVIP yang membuat mata Leah silau saat melihatnya.

Pintu itu digeser perlahan oleh pengawal yang membawa Leah ke sini. "Silahkan, Nona."

"Iya, terima kasih." 

"Tidak perlu sungkan, Nona." Pengawal itu menundukkan kepalanya dan menutup pintu tanpa mengeluarkan suara, meninggalkan Leah dan Nero di sana.

Leah mematung sesaat setelah pintu tertutup. Dia mengedarkan pandangannya, interior ruang VVIP ini sangat berkelas, sesuai dengan namanya. Bukannya menghampiri Nero, Leah malah berpikir berapa harga sewa ruangan itu.

"Apa yang kau lakukan di sana?" Mata elang Nero memicing ke arah Leah yang terdiam seperti patung.

"Ah, maaf." Leah seperti kembali pada kesadarannya, dia lekas menghampiri pria yang tak lama lagi menjadi suaminya itu.

Leah duduk di kursi yang berhadapan dengan Nero, ditatapnya dengan lekat pria itu, "Hah, jika dilihat sedekat ini dan dengan pencahayaan yang tepat, wajahnya memang seperti tokoh fiksi di novel dan komik."

"Apa yang kau lihat?" Nero menajamkan mata saat Leah memperhatikannya dengan tatapan aneh menurutnya.

"Tersisa enam hari lagi, ini adalah contoh konsep pernikahan yang sudah dikumpulkan oleh pegawaiku." Nero memberikan sebuah map berwarna biru pada Leah.

Leah tidak begitu saja menerima map tersebut, karena banyak hal yang harus dia tanyakan.

"Maaf, sebelum kita menikah ada beberapa hal yang akan aku tanyakan." Leah menatap Nero, gadis pertama yang berani menatap Nero dengan tatapan tenang.

"Apa?" Nero memalingkan wajah, dia yang malah tampak gugup sekarang.

"Kenapa kamu ingin menikah denganku?" tanya Leah.

"Bukankan sudah aku jawab kemarin? Apa butuh alasan khusus bagi seorang pria untuk menikahi seorang wanita?" Nero kini berbicara serius.

"Tentu saja harus ada." Leah kini melotot, seperti tidak terima jika Nero menikahinya tanpa alasan.

"Apa?" tanya Nero acuh.

"Kau harus menikahi seseorang atas dasar cinta." 

Nero tertawa terbahak mendengar pernyataan Leah. "Cinta katamu? Lalu kau mau makan cinta?" Nero balik bertanya. Baginya cinta adalah alasan klasik, tidak ada yang namanya cinta untuk tujuan menikah. Yang ada adalah komitmen hidup bersama, menyatukan dua kepala dan dua hati yang berbeda. Jika cinta tanpa komitmen maka dipastikan pernikahan tidak akan berlangsung lama. Jadi di dalam pernikahan yang paling penting adalah komitmen itu sendiri.

"Tentu tidak. Uang kan bisa dicari bersama," kata Leah. Karena seperti itulah orangtuanya dulu. Ayah dan ibu sama-sama bekerja untuk mereka kuliah, ayah dan ibu pernah bekerja di berbagai tempat, sampai pada akhirnya ayah menetap di pekerjaan yang sekarang dan ibu menjadi pengusaha katering yang cukup sukses.

"Itu adalah pemikiran kuno, jaman sekarang hanya ada wanita matrealistis yang hanya menikah karena uang dan mengorbankan segalanya demi uang."

"Aku tidak seperti itu." Leah protes karena seperti itu cara Nero memandang semua wanita. Atas dasar uang.

Nero menatap Leah yang enam hari lagi akan mengubah statusnya dari lajang menjadi seorang suami. Tatapan mata Leah memang tidak seperti tatapan mata wanita yang menginginkan uang.

"Ya ya ya, baiklah." Nero menyerah karena Leah tidak mau kalah.

"Apa aku masih boleh bekerja nanti?" tanya Leah.

Nero mengangguk, terserah apa yang mau Leah lakukan nanti. Dia tidak peduli.

"Kita akan tinggal di mana nanti?" Leah terus memberi pertanyaan.

"Di rumahku." Nero menjawab singkat.

"Berarti aku akan tinggal satu atap dengan mertua?" Leah bergidik ngeri karena sering menonton drama tentang hubungan mertua dan menantu yang tidak akrab satu sama lain karena tinggal satu atap.

"Tidak. Aku tinggal sendirian di rumah." 

"Jadi aku tidak punya mertua?" Mata Leah berbinar saat mendengar jawaban Nero.

"Kenapa kau ini banyak sekali bertanya. Kau punya mertua tapi mereka tidak akan datang di pernikahan kita nanti. Jadi anggap saja tidak ada. Puas?" Nero membuang nafas kasar.

Leah terdiam, dia mencoba mencerna setiap perkataan Nero barusan. Punya mertua tapi tidak akan datang ke acara pernikahan. Kenapa? Ada apa? Apa hubungan mereka tidak baik? Pertanyaan di kepala Leah malah semakin banyak. Ditatapnya pria di depannya itu. Sepertinya, banyak sekali yang Nero sembunyikan darinya.

"Jadi kau mau pernikahan seperti apa? Waktu kita tidak banyak." Nero melirik sambil mengetuk-ngetuk map biru itu dengan telunjuknya. Kesabarannya seperti dikuras habis oleh gadis di depannya ini.

Meski banyak pertanyaan yang masih bersarang di kepala, tetapi Leah menuruti perintah Nero. Dilihatnya map biru itu dengan seksama, satu persatu halaman di balik oleh Leah. Dan matanya tertuju pada halaman terakhir, pernikahan di taman dengan konsep sederhana tapi tampak elegan.

"Aku mau yang ini." Leah menyodorkan halaman yang dia pilih pada Nero. Terlihat Pria itu mengerutkan keningnya.

"Baiklah," kata Nero.

"Tidak seru." Leah mendengus kesal.

Nero hanya menatap Leah dengan wajah heran bercampur bingung. Tidak mengerti apa maksud gadis itu.

"Kamu harusnya berdebat dulu denganku, perdebatan orang yang mau menikah, kamu tidak mau ini, aku mau ini. Begitu kan seru." Leah menjelaskan seperti tahu arti tatapan Nero.

"Kenapa harus berdebat kalau sudah menemukan jawabannya," ucap Nero.

"Jadi kamu setuju?"

Nero menggangguk, tak lama pintu diketuk. Seorang pramusaji yang mengenakan pakaian yang sangat rapi masuk. 

"Selamat siang, Tuan Nero." Pria itu menyapa.

"Selamat siang, Nona Leah."

Leah menggangguk canggung, dari mana pria ini tahu namanya. Seketika Leah bergidik ngeri, sebenarnya sebesar apa pengaruh calon suaminya ini.

Setelah mengatakan tentang menu makan siang hari ini, pria itu membuka tutup saji, terlihat steak yang membuat mata Leah takjub.

"Silahkan menikmati, tuan dan nona." Pria itu membungkukkan badan lalu mundur tiga langkah. Kemudian berbalik dan keluar dari pintu, tanpa suara.

Nero mengambil piring Leah. Setelah memotong-motong steak, Nero memberikan piring itu pada Leah.

"Hah, dia tahu cara memperlakukan wanita," ucap Leah dalam hati.

"Makanlah." Nero memotong steak miliknya. Sungguh, pemandangan itu seperti sedang syuting drama. Caranya memotong steak sangat elegan menurut Leah.

"Tidak usah menatapku seperti itu. Aku tahu aku tampan." Nero berbicara tanpa menatap Leah.

Leah menundukkan pandangannya, dan mulai menikmati makan siangnya. Sesekali dia melirik Nero yang makan dengan cara yang sangat elegan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status