Merespons teriakan Vania, Denzel langsung menyambar pakaian yang berserakan di lantai. Dia lalu mengenakannya secara tergesa-gesa.
Vania menatapnya. Tatapannya penuh selidik. “Kamu dipanggil Mama tuh. Ada Fano juga. Cepetan!” ujarnya kemudian, ketus. “Ngapain sih pake hampir telanjang segala! Nggak jelas banget!” lanjutnya, lalu berbalik dan pergi, berjalan seperti orang marah. Sekilas, Denzel sempat melihat kedua pipi adik iparnya itu memerah. Setelah sepenuhnya berpakaian, Denzel segera turun. Sebenarnya, Denzel sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan ibu mertuanya itu kepadanya. Stefano. Lelaki itu masih saja berpikir bisa merebut Vionka darinya. Dia bahkan tak menyadari kalau Vania sebenarnya membencinya. Denzel menyadari itu dari sikap dan tatapan Vania kepada Stefano setiap kali mereka bertemu. “Orang yang mesum dan egois kayak dia nggak layak jadi suami Vionka. Nggak layak!” gumamnya, dalam hati, saat dia menuruni anak-anak tangga. Setibanya di lantai satu, Denzel mendapati Stefano dan ibu mertuanya itu tengah menunggu di ruang tamu. Hannah, ibu mertuanya itu, menatap dengan benci ketika dia mendekat dan memberi salam dengan bahasa isyarat. Denzel berusaha untuk tidak terganggu. “Lelet banget sih kamu! Dari tadi aku nungguin. Cepat duduk! Ada hal penting yang harus kamu tahu!” ujar Hannah. Denzel hanya mengangguk, bersikap tenang. Dia sudah khatam dengan perangai ibu mertuanya. Lalu dia duduk di salah satu sofa dengan wajah sedikit tertunduk, menunggu apa yang ingin disampaikan ibu mertuanya itu. “Dengar ya, Denzel... aku ingin menegaskan sekali lagi pada kamu kalau aku sama sekali nggak suka kamu menikah sama putriku. Sampai kapan pun keputusanku nggak akan berubah! Bahkan sampai matahari terbit dari barat pun aku nggak akan pernah sudi mengakui kalau aku punya menantu yang nggak berguna kayak kamu! Dan asal kamu tahu, ada belasan lelaki yang jauh lebih layak darimu yang bilang ke aku kalau mereka ingin jadi suaminya Vionka. Mereka lelaki yang mapan, terhormat. Nggak seperti kamu! Menantu kok kerjaannya cuma di rumah? Dasar nggak berguna!” cerocos Hannah. Denzel masih menunduk, berusaha tak menatap Hannah, berusaha tak terusik oleh perkataannya itu. “Coba kamu lihat betul-betul tamuku ini...” cetus Hannah kemudian. “Selain tampan, dia ini berpendidikan tinggi lulusan luar negeri. Selain itu dia juga anak konglomerat, pewaris tunggal kekayaan keluarganya. Kamu nggak usah sok nggak tahu gitu deh. Kamu pasti udah tahu kan kalau aku ingin menjodohkan Vionka sama dia.” Kata-kata Hannah itu bagaikan duri yang beracun, mestilah melukai Denzel. Tetapi justru sebersit senyum muncul di wajahnya, membuat kening ibu mertuanya itu mengerut. “Kasihan banget sih kamu. Dari tadi bisanya cuma diam aja. Ngomong dong. Punya lidah, kan, kamu? Eh, lupa. Kamu kan bisu, ya. Hahaha…” Giliran Stefano yang mengejek-ngejek Denzel. Kali ini Denzel menatapnya. “Kita belum pernah benar-benar kenalan, kan, ya? Kenalin, aku Stefano Hartono. Dan aku datang untuk menjadi suami yang lebih baik buat Vionka,” ujar Stefano dengan congkak, sambil menawarkan diri untuk berjabat tangan. Denzel melihat tangan Stefano sebentar, lalu mengabaikannya. “Oh, nggak mau berjabat tangan? Dasar bisu. Ya sudah,” ujar Stefano, lalu terkekeh. “Kamu ini nggak sopan banget sih sama tamu! Udah bisu, nggak punya sopan santun pula! Ya Tuhan, kenapa Vionka dulu bisa milih kamu jadi suaminya? Nggak habis pikir aku,” kali ini Hannah yang menyerangnya. Denzel tetap diam. Masih diam. “Kamu tahu kan kalau aku adalah pewaris harta Keluarga Hartono yang tersohor itu, keluarga terkaya nomor 3 di kota ini? Kalau kamu pintar, semestinya kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Atau kamu selain bisu juga bodoh? Ya ampun. Menyedihkan banget. Hahaha…” cecar Stefano. Denzel masih diam. “Eh, bisu... Kamu dengar, ya. Aku sudah mendapat restu dari Tante Hannah untuk mempersunting Vionka. Tante Vionka tahu yang terbaik untuk anaknya. Dan akulah orangnya, lelaki yang akan menjadi suami yang mampu membuat Vionka bahagia. Jadi, aku minta, segera ceraikan Vionka. Tante Hannah sudah memilihku, bukan kamu. Ngapain juga dia lama-lama hidup serumah dan sekamar sama orang bisu sampah kayak kamu,” papar Stafano sambil terus menatap Denzel dengan angkuh. Denzel tak sedikit pun terintimidasi oleh tatapan dan perkataan Stefano. Dia begitu tenang. Stefanolah justru yang mulai merasa terintimidasi. “Benar yang dibilang Stefano ini. Aku memilih dia, bukan kamu, dan itu artinya aku ingin kamu segera angkat kaki dari rumah ini. Lebih cepat, lebih baik. Hari ini juga deh kalau bisa. Tapi sebelumnya kamu ceraikan dulu anakku. Jangan sampai statusnya nanti jadi nggak jelas! Jangan nyusahin keluarga ini terus!” timpal Hannah. Denzel mendapati mata ibu mertuanya itu membulat saat ia menoleh ke arahnya. “Kamu dengar sendiri kan keinginan ibu mertuamu barusan? Sudah, turuti saja keinginannya. Dan jangan khawatir soal nasibmu setelah ini. Aku nggak setega itu kok. Nggak akan kubiarin kamu jadi gelandangan dan nggak bisa makan. Aku akan kasih kamu uang 100 juta, kalau perlu saat ini juga, sebagai uang pengganti. Gimana? Lumayan, kan? Bisa tuh kamu pakai buat nyewa PSK kalau kamu kesepian. Hahaha…” Denzel kembali menatap Stefano. Kali ini dia tidak setenang tadi. Baru saja lelaki congkak itu menawarkan 100 juta, seolah-olah dia sedang berusaha membeli istrinya darinya. Memangnya Vionka sejenis barang? Yang benar saja! “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Nggak terima? Lah kamu memang miskin, kan? Kalau bukan karena keluarga Vionka, kamu nggak punya apa-apa. Nggak akan bisa makan kamu, Sampah!” Emosi Stefano tersulut. Dia berdiri dan kini mengarahkan telunjuk dengan kasar ke muka Denzel. Denzel merasakan darah di dalam tubuhnya mulai bergerak naik menuju ke ubun-ubun kepala. Detak jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Tangannya mengepal. “Kamu itu seharusnya sadar diri, Bisu! Wanita secantik Vionka nggak sepantasnya punya suami orang bisu kayak kamu. Lelaki sempurna seperti akulah yang cocok buat dia. Tampan, kaya, dan nggak bisu. Coba aku tanya, dengan apa kamu mau membahagiakan dia? Kamu punya apa? Pendidikan nggak punya, kekayaan nol, ngomong bisa. Ya ampun, kamu itu harusnya sadar diri! Seharusnya tahun lalu waktu Vionka ngajak kamu nikah itu kamu tolak, bukan kamu terima! Sampah!” Stefano semakin tidak bisa mengontrol ucapannya. Dia benar-benar mencoba merendahkan Denzel serendah-rendahnya. “Sampai kapan pun yang dibutuhkan untuk membuat wanita bahagia adalah uang. Tanpa punya uang, kamu hanya akan membuat istrimu menderita. Dan kamu nggak punya uang, sedangkan aku punya. Aku punya banyak uang,” ujar Stefano, membentangkan tangannya. Lalu dia menunduk, mendekatkan mulutnya ke telinga Denzel. “Dan kamu tahu apa,” bisiknya, “aku dengar dari Tante Hannah kalau kalian belum pernah berhubungan badan sekali pun. Ya ampun. Apa kamu juga impoten? Setelah aku jadi suaminya nanti, kami akan berhubungan badan setiap malam. Setiap malam.” Stefano kembali berdiri tegak dan tersenyum. Dia terlambat menyadari bahwa Denzel juga ikut berdiri dan sedang melayangkan tinjunya ke wajahnya. BRUK!! “Jaga mulutmu, Bangsat!” umpat Denzel, berdiri gagah di hadapan Stefano yang terjerembab. Setelah sepuluh tahun hidup membisu, akhirnya Denzel bicara lagi di hadapan orang lain...Keesokan hari di arena pameran diadakan kompetisi perhiasan, salah satunya lomba judi batu berharga. Denzel mewakili stand toko Precious, bertanding dengan puluhan peserta pameran lainnya.Julio dan Lasim berniat jahat agar Denzel kalah dalam pertandingan, agar tidak ada lagi sanjungan dan pujian Hilmawan padanya.“Denzel, ini titipan uang dari Pak Hilmawan untuk modalmu mengkuti kompetis judi batu,” ucap Julio sambil memberikan selembar amplop putih berisi uang pada Denzel.Kenyataan yang sebenarnya amplop pemberian Hilmawan telah ditukar oleh mereka berdua.Saat kompetisi dimulai, Hilmawan dan keluarganya belum sampai di arena pameran. Demikian pula Vionka dan Tasya masih berkeliling di dalam mall untuk berbelanja.Semua peserta kompetisi sudah berdiri di tempat yang telah disediakan penyelenggara, Denzel berada di antara mereka. Sesi pertama, setiap peserta diberi kesempatan untuk membeli batu-batu polos yang dijual oleh beberapa penjual yang berada di atas panggung dalam waktu ti
Cakrha merebahkan tubuh Vania di atas tempat tidur, kemudian ia mulai melucuti pakaian gadis itu hingga tanpa selembar benang pun yang menempel di tubuhnya. Cakrha yang masih berdiri di tepi tempat tidur, mulai menanggalkan pakaian di tubunya satu per satu. Baru saja ia ingin beranjak akan naik ke atas tempat tidur, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Tapi, hal itu tidak mengurungkan niatnya untuk mendekati Vania yang sudah terbaring menunggu serangan Cakrha. Tanpa membuang waktu, Cakrha mulai menindih dan merenggkuh tubuh gadis itu untuk menyalurkan hasrat yang tak mampu lagi dibendungnya. Detik itu, rupanya ponsel Cakrha pun berdering kembali, membuatnya merasa penasaran ingin mengetahui siapa yang meneleponnya malam-malam begini.“Tunggu ya...” ucap Cakrha dengan lembut pada Vania, lalu ia beranjak dari tempat tidur untuk mengangkat ponselnya yang kembali berdering untuk ketiga kalinya.Setelah membuka ponselnya, Cakrha akhirnya tahu yang meneleponnya adalah Denzel.“Ada apa ya Om Den
Setelah pulang makan malam di Danau Jodoh, Denzel dan Vionka mulai membicarakan kedekatan Tasya dan Stefano. Keduanya merasa serba salah untuk menceritakan kepada Tasya bahwa sebenarnya mereka mengenal Stefano, dan dia adalah seorang playboy.“Mungkin saja Fano sudah berubah, Sayang?” ucap Denzel sambil membuka baju polonya dan juga celana pendeknya, lalu dia duduk bersila di atas karpet dengan posisi seperti orang yang akan melakukan yoga.“Mungkin saja sih..., tapi masak secepat itu dia bisa berubah?” ujar Vionka yang sedang duduk bersadar di atas kursi malas yang ada di samping Denzel.“Kalau kamu memang peduli sama Tasya, jalan satu-satunya kamu harus bisa memastikan bahwa Fano yang sekarang bukan lah Fano yang kita kenal dulu. Setelah kamu mendapat kepastian, barulah kamu cerita pada Tasya. Aku percaya setiap orang punya titik untuk mengubah hidupnya, mungkin itu yang sedang dialami Fano saat ini,” ungkap Denzel memberi pandangannya.“Kalau Fano memang sudah berubah aku ikut sena
Vania tampak shock mendengar ucapan orang tak dikenal itu, lalu ia menanyakan pada Cakrha apakah benar ada wanita yang tadi duduk di meja ini saat ia pergi ke toilet? Cakrha pun mengiyakan ada temannya tadi sempat duduk sebentar, saat ingin menunjukan orang yang dimaksud rupanya dia telah pergi dari restoran itu.“Terus terang saja, siapa wanita itu?” tanya Vania yang mood-nya telah berubah atas insiden yang baru saja terjadi.“Aku hanya mengenalnya sebagai pasien di klinik, selebihnya aku tidak tahu apa-apa tentang dia,” jelas Cakrha.“Tapi, kenapa dia ingin mencelakai aku?” tegas Vania.“Aku juga tidak mengerti, tiba-tiba saja dia datang dan duduk sebentar lalu pergi, tapi aku janji nanti akan cari tahu alasan wanita itu melakukan semua ini,” jelas Cakrha coba menenangkan Vania. Cakrha pun memutuskan untuk mengajak Vania meninggalkan Sky Dining, keduanya merasa tidak nyaman lagi berada di tempat itu.“Kamu mau langsung aku antar pulang sekarang, Vania?” tanya Cakrha saat keduanya s
Sementara di Sky Dining, Laura baru saja sampai di restoran itu. Penyamarannya tampak sangat meyakinkan, dengan mengenakan topi hitam dan pilihan baju bermotif kotak-kotak tampak maskulin, membuat dirinya terlihat seperti seorang lelaki. Ia memilih tempat duduk paling pojok agar dapat melihat sekeliling restoran dengan jelas.Detik berikutnya, Laura melihat Cakrha dan Vania menempati tempat duduk yang sudah mereka reserved di bibir bangunan tertinggi itu, sehingga dari tempat mereka duduk bisa melihat ke bawah sana, tampak jelas kerlap kerlip lampu-lampu di pusat ibu kota yang sedang diselimuti gelap, tidak ubahnya seperti melihat kerlipan bintang-bintang di atas langit malam.“Aku baru tahu ada tempat sebagus ini di ibu kota,” ucap Vania sambil melihat hamparan cahaya lampu di bawah sana. “Coba kamu lihat bangunan yang dihiasi lampu warna kekuning-kuningan itu,” ujar Cakrha sambil menunjukkan tangan pada Vania yang duduk di sampingnya. “Iya, aku bisa melihatnya, memangnya itu gedun
“Kamu sudah dengar sendiri, kan? Sekarang kamu tidak perlu risau lagi, Laura bersedia mengawasi kencan Vania dan Cakrha,” ucap Denzel memberitahu Vionka yang sejak tadi menunggu Denzel menelepon.“Patuh sekali Laura itu padamu ya?” ucap Vionka seperti menyiratkan sebuah keheranan.“Itu hanya hukum alam, Sayang... jika kita berbuat baik pada seseorang dan memberi kehidupan padanya, maka jangan heran jika orang itu akan membalasnya. Sebenarnya sama seperti yang aku lakukan padamu. Dulu saat semua orang menghina dan merendahkan aku, kamu lah yang memberi aku pembelaan dan rasa nyaman, maka saat ini aku yang aku lakukan ingin membalas semuanya dengan selalu baik padamu dan tentu saja selalu setia dengan pernikahan kita,” ungkap Denzel tulus dari hatinya.“Tapi kadang-kadang kamu bikin aku kesal, hayo...?” ujar Vionka coba memojokkan Denzel. “Anggap saja saat itu aku khilaf...” balas Denzel sambil tertawa, Vionka tidak bisa menyembunyikan senyumnya mendengar jawaban Denzel yang terdengar