Acara makan pun selesai, akhirnya masuk pada perbincangan serius yang merupakan tujuan dari pertemuan ini. "Jadi begini, Pak. Perusahaan kami ingin mengajak perusahaan anda untuk bekerjasama," ucapku membuka pembicaraan.Pak Kusuma menatapku sekilas, lalu mengambil seutas tissue dan mengelap mulutnya. "Baik, sebelum kamu ucapkan pun, saya sudah tahu dengan maksud dan tujuan kamu, Naya. Tapi, apakah kalian bersedia untuk bekerjasama dengan perusahaan saya, sedangkan kalian masih belum tahu menahu tentang perusahaan saya ini. Bukan hanya perusahaan kalian, perusahaan lain pun juga belum banyak yang tahu tentang perihal perusahaan saya ini," jelas Pak Kusuma dengan santai."Maksud, Bapak?" tanyaku yang sangat penasaran.Bener juga sih, sebenarnya perusahaan Pak Kusuma ini bergerak dalam bidang apa? Karna terlalu privat, jadi tiada yang tahu mengenai info tentang beliau ini. Argh, apakah atasan tahu? Yang terpenting aku menjalankan tugas dari atasan dan mendapatkan bonusku."Maksud saya
‘Gimana, suka ga sama hadiahnya?’ sebuah pesan singkat masuk ke whatssapku setelah teleponku dengan Pak Kusuma berhenti tersambung.Hadiah? Ya ampun aku lupa dengan hadiahnya. Dengan bergegas aku bangkit dari kasur, berlari menuju kendaraanku yang terparkir di teras rumah. Aku lupa membawanya masuk ke rumah karna tadi aku meletakkannya dalam jok kendaraanku. “Nah ini dia.” Aku menarik napas perlahan dan juga menghembuskannya. Mengatur ritme detak jantung dan keluar masuknya oksigen dengan baik sampai aku berhenti tersengal.Mas Adji memasuki pekarangan rumah dengan mendorong gerobaknya. Aku menatapnya sinis dari teras rumah, dagangannya masih terlihat banyak dan beragam. Pasti hari ini lagi sepi pembeli. Awas ya Mas, hari ini aku loh yang bayarin tunggakan listrik, siap-siap kamu, Mas!“Nay, kamu sudah pulang?” ucapan Mas Adji tersenyum lebar saat sudah sangat dekat dengan rumah.Aku tidak menampakkan senyumku seutas pun, lalu beranjak masuk ke kamar tanpa menjawab pertanyaannya. Aku
"Mas, tolong buatkan aku teh hangat, cepetan!" ucapku nyaring.Hening, tak ada jawaban. Aku pun mengitarkan bola mataku pada seisi kamar. Kutatap ranjang yang menjadi tempat Mas Adji merebahkan badannya biasanya. Sekarang kosong. Biasanya, senyuman tulusnya selalu menyapaku dan langsung memijat pundakku sejenak.Air mataku berlalu tanpa permisi. Kenapa malah seperti ini? Mas Adji, pulanglah kembali ke rumah! Argh, aku berusaha menghentikan air Mataku serta rasa sedihku ini. Aku pun memutuskan untuk menscrol layar ponselku untuk melihat beberapa barang mahal dan cantik untuk mengalihkan pikiranku.Hampir setengah jam aku menscrol layar ponselku, tapi percuma, pikiranku tetap saja fokus pada mode awal. Perutku mulai mengeluarkan bunyi tanda lapar, aku mengelus pelan perutku lalu memutuskan untuk pergi ke dapur mencari makanan. "Tadi Mas Adji masak apa ya?" gumamku sembari menilikkan mataku pada tudung saji berwarna merah yang ada di atas meja makan. Setiap hari, Mas Adji yang memasak l
'Iya, siap Pak Kusuma. Ini saya sudah mau berangkat ke sana!' tuturku di ujung telepon.Bergegas aku menancapkan gas ke tempat yang Pak Kusuma beritahu tadi malam. Sebuah tempat kedai kopi singgah di dekat lampu merah. Aku sangat jarang pergi ke sana, karena tempat itu lumayan kumuh menurutku untuk title wanita berjas sepertiku ini. Pernah, dulu sudah sangat lama aku ke sana. Tapi, ingatanku masih buram, entah kenapa aku pergi ke sana waktu itu? Sudahlah, tidaklah penting mengingat hal tersebut!"Pagi, Pak. Maaf telah membuat Bapak menunggu!" ucapku sopan."Pagi, Naya. Silakan duduk!" titahnya mempersilakan aku duduk pada kursi yang berseberangan dengannya. Aku hampir tidak mengenalinya, dengan jaket berwarna abu roko yang mana topi jaketnya dia labuhkan ke kepalanya, rambutnya sedikit dia keluarkan dari topi jaketnya hingga membentuk sebuah penutup sebagian pipi dan jidatnya. Sungguh sangat santai pakaian seorang pengusaha satu ini. Mungkin agar tidak ada yang mengenalinya."Iy, Pak.
Waktunya istirahat, aku pun memutuskan untuk mencari makan siang sekarang, karena dari pagi perutku belum terisi makanan apa pun kecuali kopi latte dari Pak Kusuma tadi pagi. Argh, lapar sekali rasanya.“Hai semuanya ada yang mau nitip makanan nggak?” tanyaku saat keluar dari ruangan.Senyap, semuanya hanya diam dan menatapku tajam. Biasanya, mereka akan berembuk menyerbu untuk minta belikan atau ikut bersamaku. Hei, ada apa ini?“Pritt, kenapa?” tanyaku pada Pritta yang juga sedang memandangiku. Aku menilikkan mataku pada baju serta rok sampai kakiku sendiri. ‘Ada apa? Sepertinya tidak ada yang salah?’ tuturku dalam hati.“Her, kenapa?”“Nay, kamu dipanggil atasan. Katanya disuruh ke ruangannya sekarang juga!” ucap Aher dengan nada yang kasar.Aku mengangguk menjawab ucapannya. Entah pada kenapa semuanya ini, seperti zombie saja. Diam tapi dengan ekspresi menakutkan seperti itu. Pritta yang tidak bisa diam itu saja juga ikut mematung. Aku melangkahkan kakiku meninggalkan tempat itu, a
Bual-bualan itu tak mau kudengar lagi, caranya hanya dengan satu cara yakni tidak masuk kerja. Sudah hampir tiga hari aku mengurung diri di rumah. Tidak pula menatap monitor komputer serta ponsel. "Kamu ga ke kantor lagi, Nay?" tanya Mama yang sedang sibuk menjemur pakaian di belakang rumah."Enggak, Ma. Nanti aja kalau keadaan sudah baikan," jawabku datar."Emangnya ada apa sih. Kelihatannya kamu beberapa hari ini kayak ga ada semangat hidup gitu?" tanyanya lagi."Ga ada apa-apa, Ma."Tiba-tiba ada yang mengucapkan salam dari luar, aku langsung saja terkesiap dan tersenyum senang. "Itu pasti Mas Adji," tuturku pelan dengan semangat. Benar, beberapa hari di rumah aku jadi selalu mengingatnya."Permisi, apakah benar ini rumahnya Ibu Naya?" tanya seorang pria berbaju jaket maroon dengan tas selempang di pinggangnya. Senyumku yang tadinya mengembangkan kini sirna kembali seperti semula."Iya, benar," jawabku datar."Ini, Bu. Ada titipan untuk Ibu," ujarnya sembari menyerahkan map cokela
“Astaga, Nay. Buruk sekali keadaanmu,” Aher menutup mulutnya dengan telapak tangan setelah berucap sedemikian rupa.Aku tak bergidik. Tetap dengan mode awal, memangku kepalaku dengan satu tangan yang mana siku menjadi tumpuannya. “Kenapa? Kamu mau ketawa, silakan saja!” ucapku ketus sedikit membuka kacamataku.Tidak mood sama sekali.“Enggak, enggak Nay, ampun!”“Oke langsung saja pada intinya, bantuan apa Nay?” Aher mencondongkan wajahnya ke arahku, itulah kebiasaannya mencondongkan wajahnya ke orang lain saat bicara serius.Plak...Bukan bunyi tamparan.Selembar kertas aku letakkan di atas meja. Aher menilikkan matanya pada kertas yang baru saja aku letakkan di atas meja itu.“Surat cerai, Nay?”Aku mengangguk pelan menjawab dengan malas. Sudah tahu tulisannya terpampang jelas kalau itu surat cerai, malah nanya lagi.“Terus?”Kacamata yang tadinya menutupi mataku kini kubuka habis hingga menampakkan mataku yang sedari tadi ingin ditertawakan oleh Aher. Bengkak? Iya, besar sekali.Ah
Malam ini terasa sangat sepi bagiku, meski ribuan bintang bersinar menghiasi langit malam ini. Anginnya yang lembut nan sejuk menyentuh lembut kulit mulusku. Ditambah lagi dengan terangnya cahaya bulan yang jatuh tepat mengenai bumi. Tapi, hatiku tetap saja begini, masih dalam keadaan yang sama. Sudah hampir satu jam pena terapit diantara jariku. Tanganku gemetar setiap kali ujung pena ingin menyentuh kertas yang berisi surat cerai itu.Jegleg...Pintu kamar terbuka, secepat kilat tanganku menghapus bulir bening yang tadi jatuh membasahi pipi. Mama dengan senyumannya menatapku iba, dia tahu dari sembab mataku kalau aku baru saja menangis dan merintih sendirian di kamar ini.“Ma.”Mama menghampiriku lalu duduk di sampingku yang sedang menghadap jendela kamar yang terbuka lebar.“Nay, kamu sudah tandatangani surat cerai nya?” tanya Mama lembut sembari menyisir suraiku yang tergerai tanpa ikat.Aku berdecak pelan. Hening sebentar, aku masih berusaha mengatur suasana hati saat ini. “Suda