“Dasar laki-laki nggak modal! Ternyata kamu adalah gelandangan. Dari mana kamu kenal gelandangan ini, Swasti?” hina Andra saat prosesi pernikahan Benua dan Kahiyang akan dilaksanakan.
Benua, pria itu beralasan tidak memiliki uang. Sejak dia membuka mata, ponsel beserta dompet miliknya entah pergi kemana. Dia juga tidak bisa menghubungi siapapun.
“Ah, dari seorang teman,” jawab Swasti dengan gugup. Yang dibalas oleh Benua dengan kerutan di dahinya. Benua ingin membuka mulutnya membantah ucapan Swasti, tapi tidak memiliki kesempatan karena Andra kembali mengejeknya.
Andra dan Swasti sengaja curi waktu untuk menyaksikan prosesi pernikahan Kahiyang dan Benua. Tanpa mereka duga, Benua tidak memiliki apapun yang bisa dijadikan mahar, membuat Andra mengejek Benua dengan sangat puas.
Kahiyang tertunduk mendengar hinaan yang diucapkan Andra padanya, setelah menatap kakak perempuannya dengan amarah. Kebaya yang dia impikan menjadi saksi janji suci pernikahannya, nyatanya dipakai oleh orang lain dengan cara yang menyakitkan. Sedangkan dirinya, duduk bersanding dengan pria asing dengan pakaian seadanya.
“Ini, aku pikir cukup untuk dijadikan sebagai mahar,” ejek Andra seraya melemparkan selembar uang pecahan seratus ribu rupiah di atas meja. Tidak lupa dia mengakhirinya dengan sebuah senyum sinis seraya menatap sepasang calon pengantin itu bergantian. Lalu meninggalkan ruangan dan kembali ke panggung pelaminan yang sudah menantinya.
Kahiyang menatap nanar kepergian Andra, rasa kecewa dan amarah juga menggerogoti hatinya. Samar, dia melihat senyum dibibir Swasti yang menimbulkan sebuah pertanyaan besar dalam diri Kahiyang.
Begitu juga Benua, pria yang sejak tadi dikurung di kamar tamu itu menatap tajam ke arah Andra. Merasa terhina karena ucapan pria itu. Ingin sekali dia menghajar wajah pria sombong tersebut, namun dia tahu itu bukan jalan yang terbaik. Justru akan menimbulkan masalah lain.
Benua menatap Kahiyang, tersirat kekecewaan yang besar di wajah gadis itu. Membuat Benua merasa kasihan dengan gadis malang tersebut. Tapi, seketika dia sadar. Bahwa yang seharusnya dikasihani bukanlah Kahiyang, melainkan dirinya sendiri yang tiba-tiba saja dalam waktu semalam dia mendapat masalah. Baru kemarin dia bersenang-senang dengan teman-temannya, lalu pagi ini dia harus menikahi seorang gadis asing.
Benua menatap selembar uang seratus ribu yang tadi dilempar oleh Andra, lalu mengambil napas berat. ‘Aku janji, akan membayar kesombonganmu suatu hari nanti,’ batin Benua seraya menatap uang tersebut.
Gunjingan-gunjingan dari keluarga dan para tetangga juga mulai terdengar setelah prosesi pernikahan Kahiyang dan Benua. Kahiyang tidak tahu dari mana berita itu tersebar dan siapa yang menyebarkannya. Yang terjadi sekarang, semua pusat perhatian tertuju pada mereka berdua. Tatapan sinis, cibiran bahkan hinaan juga sudah Kahiyang dapatkan sejak pagi. Dia hanya diam, membela diri juga rasanya percuma. Mereka tidak akan percaya pada pendosa.
***
“Kamu yang rencanakan semua ini, Swasti?” tanya Kahiyang yang tiba-tiba menyelinap ke kamar kakak perempuannya. Dengan berdiri dan bersandar pada daun pintu, dia melipat kedua tangan di depan dada dan bersikap santai. Membuat si empunya kamar terlonjak kaget dan sedikit mengumpat.
“Apa sih kamu! Ngagetin aja!” teriak Swasti yang sedang melepas pernak-pernik yang menghiasi kepalanya.
“Jawab aja, apa ini semua rencana kamu merebut Andra dariku? Apa kamu nggak bisa cari suami sendiri sampai-sampai kamu merebut dari adikmu sendiri?” cibir Kahiyang pada Swasti.
“Jaga mulutmu, Kahi!” teriak Swasti. Dia berdiri sembari menatap sang adik yang masih berdiri di samping pintu. “ Kecurigaanmu itu nggak berdasar, nggak punya bukti. Tega banget sih kamu ngomong gitu. Yang korban disini itu aku. Aku yang harus gantikan kamu menikah, Kahi,” jawab Swasti dengan mata berembun.
“Aku nggak mengharapkan ucapan terima kasih darimu, tapi aku mohon jangan ngomong gitu,” ucapnya sembari terisak.
“Kamu nggak usah pura-pura. Aku tahu kalau kamu sejak dulu udah tertarik sama Andra ‘kan? Itu sebabnya kamu fitnah aku dengan cara seperti ini,” cecar Kahiyang.
Swasti berdiri, tidak terima dengan tuduhan Kahiyang padanya. “Kenapa sih kamu selalu berburuk sangka sama aku? Sebenarnya apa salahku sama kamu?”
Swasti terisak di tempatnya, menyalahkan diri sendiri karena tidak menjadi kakak yang baik untuk Kahiyang. Tapi, Kahiyang paham betul jika tangis itu hanya kepura-puraan saja.
“Swasti, ada apa ini?” Andra masuk ke kamar setelah mendengar teriakan Swasti. Mendapati istrinya tengah menangis, membuat Andra merasa marah. Matanya beralih menatap tajam pada Kahiyang yang berdiri tidak jauh darinya. Tanpa sebuah aba-aba, dia menampar gadis itu dengan keras.
“Apa belum puas kamu!” teriak Andra dengan mata menyala.
Kahiyang yang merasakan panas pada pipinya, balas menatap tajam pada sang mantan kekasih. “Kamu udah permalukan aku dan keluargamu, dan sekarang kamu masih serang kakakmu yang udah lindungin kamu? Sungguh, Kahiyang aku bener-bener nggak nyangka ternyata kamu wanita nggak punya hati,” imbuh Andra.
Teriakan Andra berhasil mengundang perhatian Burhan. Pria bertubuh tegap itu datang untuk melihat apa yang terjadi. Hal itu menjadikan kesempatan bagi Swasti untuk semakin memojokkan adiknya.
“Kahiyang menuduhku merencanakan kejadian hari ini, Pak. Dia merasa aku menjebaknya dan membuat kekacauan ini,” lirih Swasti dengan suara serak. “Aku mana tega, Pak. Aku juga nggak kepikiran buat rencanain itu, aku sibuk kerja sampai pulang malam. Tapi, Kahi—”
“Swasti, aku nggak ngomong kaya gitu, ya! Aku cuma tanya apa kamu yang merencanakannya?” Sergah Kahiyang membela diri.
“Itu sama aja kamu nuduh!” potong Andra seraya menunjuk wajah Kahiyang. Wajahnya merah padam menunjukan bahwa dia tengah murka.
“Cukup!” Suara Barito Burhan berhasilkan mengheningkan suasana. “Putri keduaku memang salah, tapi bukan berarti kamu bisa menamparnya seenak hati. Bagaimanapun juga kamu nggak berhak untuk main fisik dengannya.”
Andra memalingkan wajahnya, dia bahkan tidak mengindahkan perkataan ayah mertuanya. Lalu beralih pada Swasti yang masih terisak di tempatnya.
“Kembali ke kamar masing-masing. Aku tidak mau mendengar keributan lagi,” titah Burhan lalu keluar dari kamar Swasti. Dia juga mengingatkan Kahiyang untuk datang menemuinya saat semua kerabat sudah pergi.
“Puas kamu, Kahiyang? Sudah bikin keluarga kita berantakan, saling tuduh satu sama lain,” lirih Swasti.
Kahiyang menghentikan langkahnya, kemudian berdecih mendengar pertanyaan kakaknya. Lalu dia membalik badan dan berucap, “Bukankah itu keahlianmu? Kamu selalu berteriak histeris saat terpojok agar orang lain membelamu, lalu aku yang selalu menjadi tumbal dari setiap tindakanmu.”
“Kamu benar-benar nggak waras, Swasti. Tega kamu ya? Gimana cara kamu bertanggung jawab nantinya?”“Bertanggung jawab sama siapa?” sergah Swasti. Yang tentu saja jawaban itu membuat kening Kahiyang mengerut. “Dengar ya, Kahiyang Wijaya. Aku nggak perlu bertanggung jawab pada siapapun karena kamu yang mulai. Kamu yang lebih dulu tidur dengan pacarku. Jadi, aku pikir cukup adil aku menggantikanmu menikah dengan Andra. Dan kamu juga menikah dengan Benua.”Alis Kahiyang semakin menukik tajam mendengar penuturan Swasti. Cukup adil katanya? Bukankah dalam hal ini Kahiyang yang paling dirugikan? Pernikahannya hancur, menjadi bahan gunjingan orang dan dia sudah menghabiskan banyak uang tabungannya untuk pernikahan tersebut.“Gimana rasanya tidur dengan pacar kakakmu sendiri. Apa begitu menyenangkan?” cibir Swasti pada Kahiyang.Kahiyang terdiam, tidak merespon ucapan Swasti barang sedikitpun. Tiba-tiba dia teringat, jika Benua pernah bercerita jika hubungannya dengan Swasti hanya sebatas sal
“Kalau butuh sesuatu, bisa panggil aku di kamar paling ujung,” pesan seorang wanita paruh baya pada Kahiyang seraya menunjuk salah satu kamar yang berada jauh dari kamarnya. Kamar dengan warna cat yang sama, dengan angka sebagai pembeda. Kahiyang hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian wanita itu pamit meninggalkan Kahiyang masih sibuk memindai kamar yang dia sewa.Kahiyang mengecek setiap jengkal ruangan yang hanya berukuran dua kali dua meter tersebut. Dia cukup teliti untuk memeriksa kamar sewanya, takut jika ada lubang atau sejenisnya yang kadang disalah gunakan oleh orang lain. Karena kamar itu hanya berdinding triplek yang dicat dengan warna putih.“Buat sementara, nggak papa lah sambil cari kontrakan yang nyaman,” gumam Kahiyang sembari meletakkan tasnya. Meskipun ada sedikit kekhawatiran di hatinya. Apalagi kamar mandi berada di luar yang letaknya selisih beberapa kamar dari kamarnya.Karena cukup lelah, kahiyang memutuskan untuk memikirkan hal itu nanti. Dia bisa mandi leb
“Makasih ya, kamu udah berdamai dengan dirimu sendiri. Aku harap kedepannya kamu nggak usah lagi ngrepotin Bapak. Kasihan, udah tua bukannya punya anak berbakti. Malah bikin malu keluarga,” oceh Swasti saat Kahiyang baru selangkah keluar dari rumah.Dengan kedua tangan terlipat di depan dada, serta mengulas senyum penuh kemenangan Swasti mengantar kepergian adik bungsunya.“Apa kamu senang udah menghancurkan hidupku?” tanya Kahiyang. “Sebenarnya aku salah apa sih sama kamu, Swasti? Kok kamu tega sampe fitnah aku sekejam ini?”Kahiyang bersusah payah menahan bulir-bulir yang sudah bergumul di pelupuk matanya. Tidak ingin terlihat lemah dimata saudaranya yang sudah menghancurkan impiannya.Swasti memutar bola matanya malas. Lagi-lagi Kahiyang membahas perdebatan mereka semalam. Tuduhan yang sudah dibantah olehnya, nyatanya Kahiyang masih saja bersikeras menuduhnya. Membuatnya semakin geram.“Udah-udah. Nggak usah nambah masalah dengan bikin keributan lagi. Kamu itu cuma nambah beban kel
“Lihat, inilah kesenjangan di antara kita. Aku sibuk kemas baju buat pergi liburan, tapi lihat wanita menjijikan ini. Dia mengemas pakaiannya karena diusir,” ejek Andra yang disertai dengan tawa pada Kahiyang.Pria itu berdiri diambang pintu kamar Kahiyang, untuk menghinanya setelah mendapat cerita kalau mantan calon istrinya baru saja diusir oleh ayah mertuanya. Keputusan yang cukup membuatnya merasa puas.“Sebenci itu kamu sama aku, Ndra? Sampai kamu nggak ada henti-hentinya hina aku dari tadi. Kamu bahkan nggak mau dengar penjelasanku tapi terus-terusan mengejekku,” dengus Kahiyang pada Andra.“Emang kamu wanita hina, pelacur! Buat apa aku dengerin penjelasanmu? Kamu hanya akan beralasan aja dan nyalahin Swasti,” balas Andra dengan nada sinis. Kahiyang hanya diam saja mendengar hinaan dari pria yang pernah dicintainya sepenuh hidupnya. Jika dulu kalimat pujian manis yang keluar dari mulut pria itu, tidak untuk sekarang. Kata-katanya selalu berisi cibiran dan hinaan yang ditujukan
“Ini semua gara-gara kamu!” teriak Kahiyang seraya melempar bantal ke arah Benua yang sedang duduk di sofa kamarnya. Pria itu terlonjak kaget dengan Kahiyang yang tengah meluap-luap. Bantal-bantal yang ada di atas kasur dalam sekejap sudah berpindah tempat.Kahiyang melemparkan barang-barang di kamarnya membabi buta. Benua mencoba menghentikan gadis itu dengan mengunci kedua tangannya. Jarak diantara mereka sangat tipis. Deru napas mereka pun terdengar satu sama lain. Kedua pasang manik hitam itu saling beradu, menimbulkan kecanggungan yang tiada arti.“Lepasin!” teriak Kahiyang setelah sadar akan tipisnya jarak antara mereka. Benua buru-buru melepaskan cengkraman tangannya seraya meminta maaf atas kelancangannya.“Kalau bukan gara-gara kamu, pernikahanku nggak akan gagal seperti ini,” gerutu Kahiyang seraya menyugar rambutnya kebelakang merasa frustasi. Kemudian berbalik, berdiri membelakangi Benua.“Malah nyalahin aku sih!” Tidak terima disalahkan, Benua ikut berteriak membela diri.
“Dasar laki-laki nggak modal! Ternyata kamu adalah gelandangan. Dari mana kamu kenal gelandangan ini, Swasti?” hina Andra saat prosesi pernikahan Benua dan Kahiyang akan dilaksanakan.Benua, pria itu beralasan tidak memiliki uang. Sejak dia membuka mata, ponsel beserta dompet miliknya entah pergi kemana. Dia juga tidak bisa menghubungi siapapun.“Ah, dari seorang teman,” jawab Swasti dengan gugup. Yang dibalas oleh Benua dengan kerutan di dahinya. Benua ingin membuka mulutnya membantah ucapan Swasti, tapi tidak memiliki kesempatan karena Andra kembali mengejeknya.Andra dan Swasti sengaja curi waktu untuk menyaksikan prosesi pernikahan Kahiyang dan Benua. Tanpa mereka duga, Benua tidak memiliki apapun yang bisa dijadikan mahar, membuat Andra mengejek Benua dengan sangat puas.Kahiyang tertunduk mendengar hinaan yang diucapkan Andra padanya, setelah menatap kakak perempuannya dengan amarah. Kebaya yang dia impikan menjadi saksi janji suci pernikahannya, nyatanya dipakai oleh orang lain