“Ini semua gara-gara kamu!” teriak Kahiyang seraya melempar bantal ke arah Benua yang sedang duduk di sofa kamarnya. Pria itu terlonjak kaget dengan Kahiyang yang tengah meluap-luap. Bantal-bantal yang ada di atas kasur dalam sekejap sudah berpindah tempat.
Kahiyang melemparkan barang-barang di kamarnya membabi buta. Benua mencoba menghentikan gadis itu dengan mengunci kedua tangannya. Jarak diantara mereka sangat tipis. Deru napas mereka pun terdengar satu sama lain. Kedua pasang manik hitam itu saling beradu, menimbulkan kecanggungan yang tiada arti.
“Lepasin!” teriak Kahiyang setelah sadar akan tipisnya jarak antara mereka. Benua buru-buru melepaskan cengkraman tangannya seraya meminta maaf atas kelancangannya.
“Kalau bukan gara-gara kamu, pernikahanku nggak akan gagal seperti ini,” gerutu Kahiyang seraya menyugar rambutnya kebelakang merasa frustasi. Kemudian berbalik, berdiri membelakangi Benua.
“Malah nyalahin aku sih!” Tidak terima disalahkan, Benua ikut berteriak membela diri.
“Ya terus aku harus nyalahin siapa? Kalau kamu nggak tiba-tiba aja ada di kamarku, nggak akan jadi begini!” sahut Kahiyang. Berkacak pinggang di hadapan Benua.
“Kamu pikir aku mau, tetiba di kamarmu? Aku juga masih waras kali nggak sembarangan tidur sama wanita sembarangan. Aku nggak tau apapun, disini aku juga korban,” papar Benua.
“Aku nggak percaya sama kamu! Kamu pasti disuruh Swasti buat gagalin pernikahanku. Kalian sekongkol ‘kan?” tebak Kahiyang. Bukan bermaksud mendramatisir keadaan, namun jika dipikir secara logika sangat tidak mungkin kalau Benua bisa masuk ke dalam rumah tanpa diketahui orang kalau tidak ada orang dalam.
“Aku bahkan dari pagi dikurung di kamar nggak dikasih makan,” gumamnya kemudian. Mengingat kembali kejadian dari kepergoknya mereka hingga menjelang prosesi pernikahan, dirinya dikurung di kamar tamu.
Mereka berdua saling menyalahkan, tentu saja. Bagaimana tidak? Tanpa ada sesuatu yang jelas, mereka berdua terbangun di atas ranjang yang sama dan berbagi selimut. Dan yang sama dari keduanya adalah, baik Kahiyang maupun Benua tidak mengingat apapun yang terjadi.
“Alah! Nggak usah alasan. Dibayar berapa kamu sama Swasti buat fitnah aku begini?” Kahiyang kembali melontarkan tuduhan pada Benua. Yang membuat mata pria itu mendelik tak terima.
Benua berkacak pinggang tak terima. “Dibayar? Kamu pikir aku semiskin itu? Meskipun nggak banyak duit, aku juga ogah kali dibayar buat beginian. Untung nggak, rugi iya. Aku harus nikah sama orang yang nggak aku kenal!” bantah Benua.
“Kamu rugi nikah sama aku?” Mata Kahiyang ikut mendelik mendengar ucapan Benua. Egonya terusik saat pria itu melontarkan kalimat yang cukup menusuk harga dirinya.
Benua melemparkan tubuhnya di atas sofa dan menyandarkan kepalanya seraya mendengus kesal, berdalih jika dirinya tidak melakukan perbuatan itu namun diminta untuk bertanggung jawab. Dia merasa yang paling dirugikan dalam hal ini, hanya karena berada di kamar dan tidak berbusana dia dituduh melakukan tindakan tak senonoh.
“Jadi kamu mau kita beneran…, wah, gila nih orang!” cetus Kahiyang tidak percaya. Dia mengutuk Benua dengan jari telunjuknya, dengan hastanya yang lain bertengger di pinggang.
Mendapat umpatan dari Kahiyang, Benua hanya diam tak berkomentar. Dia hanya melirik sekilas melalui ekor matanya. “Jangan-jangan kalian lagi, yang jebak aku demi keuntungan pribadi,” tuduh Benua dengan santai seakan tanpa beban.
Alis Kahiyang kembali mengernyit, merasa syok dengan tuduhan Benu. Dia mengambil keuntungan dari orang lain? Kahiyang berani bersumpah jika dirinya tidak pernah melakukan hal itu. Dia adalah orang yang lurus dan punya empati.
Sebuah pikiran jahat tiba-tiba merayap ke dalam otaknya. Prasangka buruk menyerbu ke dalam hatinya yang tengah diliputi amarah. “Jangan-jangan tujuanmu sebenarnya salah kamar Swasti. Tapi—”
“Sembarangan!” sergah Benua. “Aku bukan orang yang suka memaksakan kehendak. Apalagi nggak ada ikatan. Aku bukan orang yang suka menanam sahamku sama sembarang orang,” lanjut Benua dengan sedikit emosi diakhir kalimat.
Dahi Kahiyang kembali mengerut, tertarik dengan pembicaraan yang awalnya menyebalkan. Kahiyang lalu mendekat dan ikut duduk di sofa dengan tatapan menelisik. “Bukannya kamu pacaran sama Swasti?”
Netra Benua membola. “Pacar Swasti? Aku?” ulang Benua seraya menunjuk dirinya sendiri. Kahiyang mengangguk membenarkan ucapannya. “Pacar darimana? Emang aku sempat tertarik sama dia, tapi dia bilang nggak tertarik pacaran dan mau fokus karir.”
“Tapi kok dia bilang kamu pacarnya? Kamu nggak lagi cuci tangan ‘kan?” tanya Kahiyang memicingkan matanya. Ucapan mereka yang berbeda membuat gadis itu merasa dipermainkan.
“Aku berani sumpah ya. Makanya aku juga bingung, aku udah bilang kalau aku juga korban disini. Aku juga dirugikan dalam hal ini asal kamu tahu!”
Kahiyang terdiam, begitu juga dengan Benua. Keduanya larut dalam pikirannya masing-masing. Mencoba menarik benang merah dari apa yang terjadi.
“Udah aku ikut jadi korban masih dituduh pula,” gerutu Benua.
***
“Bapak manggil aku?” tanya Kahiyang seraya menghampiri sang ayah yang tengah duduk di sofa single ruang tengah. Burhan tengah duduk dengan menopang dagu, seakan tengah memikirkan sesuatu yang sangat serius.
Kahiyang tidak datang sendiri, menurut asisten rumah tangganya Kahiyang diminta datang bersama Benua. Suasana rumah sudah cukup sepi. Tidak terlihat sanak kerabat yang berlalu-lalang di rumah, hanya tersisa satu asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya. Mungkin mereka sudah pulang, pikir Kahiyang.
“Hm, duduklah!” perintah Burhan tanpa menatap keduanya. Kahiyang merasa gelisah dengan apa yang akan dikatakan oleh Burhan. Mengingat sebelumnya, ada sedikit perdebatan antara dirinya dan sang Ibu. Swasti pasti berlebihan dalam menceritakan pada ayahnya agar lebih dramatis. Karena seperti yang dia tahu, Swasti sering melakukannya.
Jika Kahiyang merasa gugup, tapi tidak bagi Benua. Pria itu terlihat biasa saja. Dia bahkan tidak peduli dengan apa yang akan terjadi. Baginya, yang penting dirinya tidak merasa dirugikan.
Senda gurau terdengar dari bilik Swasti yang memang tidak jauh dari ruang keluarga. Membuatnya sedikit tertarik pada apa yang sedang terjadi di dalam. Bahkan suara Mira juga terdengar meski samar. Menurut cerita yang dia dengar dari asisten rumah tangga, Swasti dan Andra tengah mempersiapkan kepergiannya ke Jepang.
‘Itu adalah tempat yang kita pilih untuk bulan madu,’ batin Kahiyang. Dia mengambil napas berat, kemudian tersenyum kecut. Dia yang merencanakan, tapi orang lain yang menikmati jerih payahnya. Rasanya, kebahagiaan yang sudah dia impikan selama ini benar-benar sudah kandas. Kahiyang merasa kasihan pada dirinya sendiri.
“Kalian tahu kenapa Bapak panggil kalian?” tanya Burhan memulai pembicaraan. Keduanya menggelengkan kepalanya secara bersamaan setelah sempat saling bertukar pandangan. Membuat Kahiyang semakin merasa tegang. Hatinya merasa tidak tenang, seakan dia mendapatkan sebuah firasat buruk.
“Seperti yang sudah Bapak katakan sebelumnya. Kalau setelah menikah kalian harus meninggalkan rumah ini—”
“Bapak!” potong Kahiyang ketakutan. “Aku anak Bapak, bukan orang lain,” tolak Kahiyang. Tubuhnya tiba-tiba saja bergetar.
“Bapak mau, besok kalian harus segera berkemas dan meninggalkan rumah ini,” ucap Burhan tanpa ekspresi. Tatapannya lurus dan kosong. Bahkan sedikitpun dia tidak melihat ke arah putri bungsunya. Setelah mengucapkan hal itu, Burhan buru-buru bangkit dan pergi. Dia juga tidak peduli saat Kahiyang memohon dengan berlutut dibawah kakinya. Memohon agar sang ayah tidak menyuruhnya pergi.
“Pergilah sebelum aku menyeretmu keluar.” Burhan menarik kakinya dengan kasar, kemudian pergi meninggalkan Kahiyang.
“Bapak!” Bibir Kahiyang bergetar menahan sesak di dadanya. Pupilnya melebar, menajamkan indra pendengarannya. Benarkah yang baru saja dia dengar?
Kahiyang merasa seperti orang bodoh pada saat ini. Tangannya mengepal erat, napasnya memburu. Dia mencoba menarik napasnya dalam-dalam. Berharap jika emosinya tidak meluap dan meledak.“Kamu lihat ‘kan tumpukan uang itu?” ucap prianitu seraya menunjuk tumpukan uang di atas meja. “Semua itu akan jadi milikmu kalau kamu bisa buat kami puas dengan pelajaranmu.”Lagi, Kahiyang mengepalkan tangannya. Kesabarannya sudah berada di ambang batas. Ditambah ocehan-ocehan para pria itu bagai bensin yang disiram ke bara api di hatinya, dan berhasil membakar amarahnya.“Aku juga penasaran bagaimana kamu bisa membuat Benua bertekuk lutut di bawah kakimu sampai dia tega nggak berbagi dengan kami.”Deg!Ucapan pria itu seperti pisau tajam yang tiba-tiba menusuk jantung Kahiyang. Otaknya membeku sesaat. Benua? Bagaimana mereka mengenal Benua? Apa hubungan mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat di dalam otaknya.“Maaf, kalau begitu aku mengundurkan diri saja. Lagi pula kita belum membuat kesepakat
Apa dia begitu bahagia sudah menikah dengan calon suamiku? Pertanyaan itu muncul begitu saja dalam pikirannya. Meskipun bibirnya tak berucap, namun gerakan mata dan gestur tubuhnya seolah mengatakan jika Swasti tengah berbohong.“Buat apa aku bohong sama kamu? Apa perlu aku sampai melakukan sandiwara menyedihkan seperti itu?” tukas Swasti dengan nada sedikit tinggi. Egonya sedikit tersentil karena Kahiyang tidak terprovokasi dengan semua yang dipamerkan padanya.“Apa ada aku bilang kalau kamu sedang bohong? Aku juga nggak bilang kamu lagi bersandiwara. Mau Andra belikan kamu pesawat jet atau apapun itu, kamu pikir aku akan peduli?” sarkas Kahiyang yang memicu amarah Swasti.Netra Swasti menatap tajam ke arah Kahiyang. Tangannya mengepal, terdengar juga napas yang membu serta rahangnya menegang. Sepertinya dia tidak terima dengan respon yang diberikan oleh Kahiyang.Swasti menyilangkan kedua tangannya di depan dada bersikap angkuh. Tapi sekali lagi, Kahiyang tidak terpancing dengan se
“Aku tahu kalau Swasti membencimu, tapi aku bener-bener nggak nyangka kalau dia tega berbuat seperti itu sama kamu,” tukas Laras membuyarkan lamunan Kahiyang.Benar, Kahiyang sendiri tidak pernah menyangka kalau Swasti tega padanya. Entah apa yang memicu keberanian itu di pikiran Swasti. “Seyakin apapun perasaanku, aku nggak punya bukti buat meyakinkan orang tuaku kalau aku benar-benar tidak melakukan hal itu,” sesal Kahiyang.Dia tertunduk, memainkan ibu jarinya seperti anak kecil yang putus asa. Tapi itulah yang sedang dia rasakan saat ini. Media sosialnya dibanjiri komentar-komentar yang tidak enak dibaca. Entah darimana mereka tahu berita tersebut. Apalagi tetangga sekitar rumahnya, kabarnya Kahiyang masih saja menjadi bahan gunjingan. Dan satu lagi, kedua orang tuanya tidak percaya padanya dan bahkan mengusirnya dari rumah.Jika dipikirkan, hati Kahiyang teramatlah hancur. Dia harus menanggung kesalahan yang sama sekali tidak diperbuatnya. “Tapi aku yakin, pasti ada bukti kalau
Kahiyang tertegun sesaat, saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Benua. Mereka berdua saling beradu pandang. Suasana hening, hanya menyisakan denting jarum jam yang berpindah setiap detiknya.Keheningan yang intim itu hilang seketika saat Kahiyang tertawa. Membuat Benua mengerutkan keningnya heran. Tidak ada hal yang lucu tapi Kahiyang tertawa bahkan hampir terbahak.“Apa ada alasan buat aku balikan sama dia?” Kahiyang membalikkan pertanyaan. Kata-kata hinaan yang kemarin diucapkannya aja masih berputar di otaknya sampai sekarang.Mendengar jawaban Kahiyang, sudut bibir Benua tertarik ke belakang meski samar. Seolah ada guyuran hujan yang menimpa kepalanya.“Lalu apa rencanamu selanjutnya?” tanya Benua untuk mengalihkan pembicaraan. Dia sudah cukup puas mendengar jawaban Kahiyang.Sejenak, Kahiyang nampak diam seolah tengah berpikir. Fokusnya saat ini adalah melanjutkan hidup. Dia ingin kembali bekerja seperti dulu. Tidak mungkin baginya hanya berdiam diri saja di kamar tanpa
Swasti sempat tertegun sesaat untuk mencerna ucapan Andra. Tentu saja dia punya uang sendiri karena Swasti bekerja. Tapi yang Swasti maksud adalah uang dari suami untuk istrinya. Semacam nafkah dalam pernikahan. Bukankah dia juga berhak atas hal itu? Karena secara hukum, dia adalah istri sah Andra.“Maksudku uang istri,” jawab Swasti sedikit ragu.Andra menoleh seraya memicingkan matanya. Menatap manik hitam penuh harap yang tergambar jelas di wajahnya. Tapi secepat kilat dia memalingkan wajahnya seraya berdengus kesal.“Kamu tahu nggak kalau gaji juga ada tanggalnya. Belum juga satu bulan udah minta uang istri. Kalau kamu mau perawatan pakai uangmu dulu lah. Ngapain minta-minta uang ke aku,” ujar Andra ketus.Meski sempat terkejut dengan jawaban suaminya, Swasti berusaha bicara dengan tenang meski sebenarnya ingin marah. “Tapi besok kamu ganti, ‘kan?” tanya Swasti.Swasti memeluk lengan Andra dengan manja, seolah dia adalah istri yang paling dicintai oleh Andra. Swasti juga berharap
Kata-kata Mira berhasil menusuk jantung Kahiyang ke bagian yang terdalam. Kahiyang merasa kecewa, dia merasa tidak pernah memenuhi harapan ibunya. Padahal seingat dia, Kahiyang yang selalu memenuhi kebutuhan rumah hingga bulan yang lalu. Dan sekarang, dia merasa seperti seorang pengemis.Kahiyang menunduk, menatap makanan dipiringnya. Baru juga sesuap dia makan, tapi sudah mendapat penghinaan bertubi. Tiba-tiba saja Benua menarik tangannya. “Apa Ibu selalu bersikap seperti ini sama Kahiyang? Menganggapnya seperti beban di keluarga ini. Kalau Ibu anggap Kahiyang sebagai beban, kami pamit. Maaf sudah merepotkan.”Kahiyang menatap Benua heran, saat pria itu mengajaknya pergi dari rumah orang tuanya. Dia bagai perisai yang melindunginya, seolah pria itu tidak terima dengan perlakuan ibu mertuanya.“Ck!ck!ck! Kamu tersinggung sama omongan Ibu? Tapi itu kenyataan. Kalau kamu tersinggung, ya sudah. Ibu juga nggak akan paksa kamu buat tetap tinggal,” balas Mira dengan perasaan kesal.Kahiyan