Accueil / Romansa / Suami Warisan / 03 - Lelaki Warisan

Share

03 - Lelaki Warisan

Auteur: Serafina
last update Dernière mise à jour: 2021-07-07 08:38:59

INHERITED HUSBAND

03 – LELAKI WARISAN

Cerita mengenai email yang dikirimkan Tante Nirmala sebelum berita kematiannya datang, menyebar dengan cepat di W******p Group keluarga. Semua orang bertanya-tanya bagaimana bisa Nirmala seakan sudah meramalkan kematiannya sendiri.

‘Dia ‘kan memang orangnya aneh, suka sama yang berbau klenik, gitu. Jadi kayanya dia udah tau kalau mau meninggal…’ tulis seorang Uwa yang memang hobinya gosipin orang.

‘Trus sekarang semua hartanya dikasih ke Ganis, ya?’ tanya seorang Tante yang kelihatan berharap kecipratan warisan Nirmala.

‘Wah, mendadak kaya kamu, Nis! Selamat, ya!’

‘Traktir dong, Nisss…!’

‘Aseekk, tau-tau dapet rumah sama deposito aja, nih!’

‘Mau diapain warisannya, Nis?’

‘Jual aja rumahnya, beli yang deket kantor, Nis. Deposito bisa dibeliin mobil dan liburan ke LN. Yuhuuu…! Gue ikutan, yaakk!’

‘Nis, gimana ceritanya kamu bisa dapat warisan? Wah, diem-diem kamu suka ketemuan sama Nirmala, ya?’

‘Nis, kaya gimana sih rumah warisannya? Kamu udah tau?’

Duuh, Rengganis pusing sendiri dengan banyaknya pertanyaan dari saudara-saudara yang kepo. Dia mengetik dengan cepat.

‘Maaf, sodara-sodara, Uwa, Om dan Tante, saya juga enggak tau kenapa Tante Nirmala ngasih warisan ke saya aja, bukan ke anggota keluarganya yang lain. Bagi kalian yang kepo, sumpah beneran saya enggak ada main belakang sama Tante Nirmala. Saya enggak pernah ketemu sama beliau, sumpah suer, deh!

Ini aja kaget tiba-tiba dapat Surat Wasiat. Jadi tolong jangan berpikir yang macam-macam soal saya dan Almarhum Tante Nirmala. Mendingan kita doain aja supaya Tante Nirmala tenang di sana. Sekian dan terima kasih. Salam, Rengganis yang lagi kaget dan berduka.’

Send.

Rengganis tersenyum puas membaca pesan yang ditujukkan pada semua anggota keluarga di WAG. Tuh, jangan suudzon aja sama orang!

Iri bilang, bos!

Tapi sejujurnya semua pertanyaan yang diajukan oleh keluarganya memang sempat mampir di pikiran Rengganis.

Dia juga penasaran seperti apa rumah warisan dari Almarhumah Tante Nirmala?

*

Berbekal alamat yang diberikan oleh Pak Tomi, Rengganis nekat pergi untuk melihat seperti apa rumah warisannya.

Ternyata, rumah Tante Nirmala lebih jauh dari pada bayangannya. Ia harus tiga kali ganti angkutan umum dan dua kali naik ojek untuk sampai tempat tujuannya.

Langit sudah menggelap saat ojek yang ia tumpangi akhirnya berhenti di depan sebuah pagar hitam tinggi.

“Di sini, Mang?” tanya Rengganis sangsi. Dia melepaskan helm bau apek yang dipakainya.

Ojek itu mengangguk, dia menerima helm dari tangan Rengganis, “Iya, Neng. Masuk aja ke dalem. Saya langsung pergi, ya. Udah kemaleman!”

Tanpa ba-bi-bu, sang Ojek pengkolan itu langsung ngacir dari sana.

Tinggal Rengganis berdiri mematung di depan pagar besi yang terkesan angker itu.

“Jadi, ini rumahnya?” gadis bermata jernih dengan tubuh berisi itu menatap rumah megah di hadapannya. Alisnya bertaut, mempertanyakan sesuatu yang belakangan ini menghantui dirinya dan keluarganya, ‘Aku tahu Tante Nirmala kaya, tapi … kenapa dia … malah mewariskan semua ini padaku?

Kerlip cahaya terlihat dari kejauhan, Rengganis menyipitkan matanya.

Apa itu? batinnya penasaran. Perlahan dia melangkah mendekat menuju gerbang besi itu. Tak ada papan nama, tak ada nomor rumah, apalagi penerangan jalan.

Jantungnya bertalu-talu di dada. Mendadak saja bulu romanya berdiri, suhu udara mulai menurun, angin berhembus membuatnya bergidik.

Rengganis memeluk kedua lengan dan menggosok-gosokkan telapak tangannya, berusaha mengusir dingin yang menggigit. Dia mengecek jam tangannya, baru pukul tujuh saja dinginnya sudah membuat giginya gemeletukan.

Tangannya mendorong pagar itu, suara berderit terdengar saat pagar bergeser membuka, memberinya jalan untuk masuk ke dalam halaman rumah warisannya.

Pak Tomi berpesan untuk menelepon si penjaga rumah, memberitahu kedatangannya. Tapi Rengganis sudah berkali-kali menelepon nomor yang diberikan Pak Tomi, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban.

Rasa penasaran dan sukacita yang menggebu membuatnya nekat untuk jalan sendiri ke sini. Sekarang, dia menyesali kenapa tidak minta ditemani Papa untuk melihat rumah warisannya.

Kaok burung yang pulang ke sangkar membuat suasana makin mencekam, Rengganis mempercepat langkahnya menyeberangi halaman rumah yang luas. Dia menaiki tangga teras dan mengatur napasnya.

Rumah itu bertingkat dua, terbuat dari batu dan kayu. Walaupun terkesan tua, rumah itu masih terawat. Pintu ganda yang menjadi pintu masuk berwarna cokelat tua dengan gantungan dari kuningan. Rengganis meraih gantungan dan mengetuk tiga kali.

Tidak ada jawaban.

Dia menunggu sesaat, kemudian mengetuk lagi.

Lagi-lagi tak ada sahutan.

Rengganis mengerutkan keningnya, dia berdeham, suaranya serak saat ia berseru, “Assalamulaikuuum ….! Halo ….! Ada orang di sini?!”

Dia mulai celingukan, berusaha mengintip dari balik jendela yang tertutup rapat. Sayup-sayup terdengar suara berdentum dari dalam rumah.

Rengganis mendekat ke arah pintu, dia yakin mendengar suara dari balik pintu. Dentuman itu terdengar makin keras sampai-sampai dia menempelkan sebelah telinganya di dekat daun pintu.

Dum. Dum. Dum.

Ha? Apa itu, ya? Apa ada yang sedang bermain musik? Pikir Rengganis heran. Dia merasa ada yang sedang berpesta di dalam sana.

Siapa orang yang berpesta di tengah hutan begini?

Pak Tomi bilang kalau rumah ini hanya ditempati oleh Tante Nirmala dan beberapa pembantunya. Tapi semenjak Tante Nirmala dirawat di RS, pembantunya hanya tersisa satu orang.

“Namanya Pak Eman, beliau bertugas membersihkan rumah dan mengurus tanaman. Rumahnya tidak jauh di belakang kebun, jadi nanti kalau Mbak Rengganis ada perlu, bisa langsung komunikasikan pada beliau.” kalimat Pak Tomi terngiang di telinga Rengganis.

Ah, ya. Mendingan cari Pak Eman aja. Bisa jadi tidak bisa dihubungi karena susah sinyal. Maklum lokasi rumah ini di antah berantah.

Namun, Rengganis masih penasaran, dia merunduk dan sekali lagi membuka telinganya lebar-lebar, mendengarkan dengan saksama apa yang sedang terjadi di balik pintu itu.

Dum. Dum. Dum.

Suara itu masih terdengar. Dia yakin ada orang di dalam rumah. Siapa yang berpesta di rumah orang yang baru saja wafat?

Dasar enggak sopan!

Rengganis menarik napasnya kesal, dia merasa orang ini kurang ajar karena pesta di rumah orang tanpa izin dari pemiliknya!

Dum! Dum! Dum!

Deg. Deg. Deg.

Rengganis mengerutkan keningnya saat suara yang ia dengar berubah. Tiba-tiba saja rasa hangat menjalar dari telinganya. Daun pintu terasa lebih hangat dari pada tadi. Sudut matanya menangkap bayangan.

Perlahan, Rengganis mendongakkan kepalanya, matanya melebar saat bayangan itu menjelma menjadi sesuatu yang tinggi, padat dan hangat.

Mulut Rengganis terbuka, suaranya tercekat di tenggorokan saat ia berdiri berhadapan dengan seseorang yang menatapnya tajam.

“A …. A ….” Tangannya gemetar menunjuk orang yang berdiri di ambang pintu.

“Siapa kamu?”

Rasanya ada yang menyiramkan air dingin di atas kepalanya saat mereka berdiri berhadapan. Mata Rengganis yang membelalak perlahan menyusuri setiap jengkal wajahnya. Mata gelap yang bersinar tajam, dahi tinggi dengan kedua alis tebal, rahang yang terlihat kuat dan dagu yang terbelah.

Alisnya berkerut, tatapan matanya yang tajam mengingatkan Rengganis pada tatapan mata singa yang siap menerkam.

Rengganis mundur selangkah, lelaki itu maju mendekat.

Uh. Jantungnya langsung jumpalitan. Apalagi lelaki itu sama sekali tidak memakai baju atasan. Dadanya yang bidang dengan otot yang liat terlihat jelas di hadapannya.

“Ka-kamu siapa?” Rengganis balas bertanya dengan terbata. Dia berusaha tetap tenang walaupun rasanya mau pingsan.

“Narendra dari Pajajaran.” Suaranya yang dalam diikuti dengan gerakan tubuhnya yang berubah menjadi posisi siap saat menyebutkan namanya. Sikapnya seperti seorang prajurit.

“Ha?” Rengganis bertanya heran, “nga-ngapain kamu di-di rumah ini?”

“Ini rumah Nirmala.” jawabnya tenang, “kamu siapa?”

“A-aku …. Aku Rengganis, ponakannya Tante Nirmala.”

Kali ini mata lelaki yang bernama Narendra yang membelalak sembari menatapnya, “Kamu ….”

Rengganis mengangguk, “Y-ya, Tante Nirmala mewariskan rumah ini untukku.”

Perlahan, senyum merayap di wajah Narendra, sorot matanya melembut saat ia mengucapkan satu kalimat yang mengubah hidup Rengganis, selamanya, “Wilujèng Sumping, Nyai Rengganis. Mulai saat ini, saya adalah suamimu.”

*

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (3)
goodnovel comment avatar
Kikiw
kena mental gak Nis kalo lakinya modelan gini? uwuw!!
goodnovel comment avatar
nana
wilujeng sumping...
goodnovel comment avatar
ana fitriani
langsung jatuh cinta lagi ma novelnya mb sera uwwu.............
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Suami Warisan   SEKUEL SUAMI WARISAN

    KEKASIH AKHIR PEKAN Sekuel of Suami Warisan by Serafina Di umurnya yang telah menginjak angka 25 tahun, Sasikirana belum pernah pacaran. Dulu dia bersekolah di rumah karena sering berpindah-pindah hingga membuatnya kesulitan untuk bersosialisasi. Namun sekarang, Sasi seorang kurator galeri seni yang andal. Suatu hari, Sasi diminta Direktur Galeri untuk membuat pameran seorang pelukis misterius. Sasi berhasil menemukan alamatnya di pedesaan yang terpencil. Di sana dia bertemu sang pelukis. Tak disangka, di pertemuan pertama mereka, lelaki itu malah menawarinya untuk jadi kekasihnya setiap akhir pekan. Apakah Sasi menerima tawarannya? “Aku tau kamu kesepian, aku juga. Jadi maukah kamu jadi kekasihku setiap akhir pekan?” -SNIPPET KEKASIH AKHIR PEKAN- “Aku tau kamu kesepian, aku juga. Jadi maukah kamu menjadi kekasihku setiap akhir pekan?” Sasi memandang lelaki yang berdiri di ha

  • Suami Warisan   175 - Sailendra [TAMAT]

    SUAMI WARISAN 175 – Sailendra [TAMAT] -EMPAT TAHUN KEMUDIAN- Diri kita bisa pulih sekaligus merasa hancur di waktu yang bersamaan. Pulih adalah perjalanan yang melibatkan penerimaan atas diri selagi kita hancur, berbenah kemudian membangun kembali diri kita. Waktu menjadi satu-satunya obat bagi Rengganis. Menit berganti jam, kemudian hari berubah jadi minggu sampai tak terasa tiga tahun sudah berlalu. Bayi mungil itu kini tumbuh menjadi balita yang menggemaskan. Celotehannya menceriakan ruangan, derap langkah kakinya menggemakan keriuhan yang hanya berjeda ketika dia memejamkan mata. “Gimana kabarnya?” pertanyaan itu tidak pernah alpa ditanyakan Mahesa setiap kali dia menelepon Rengganis. “Baik.” Rengganis tersenyum sambil melirik lelaki kecilnya yang berlarian di sekeliling ruangan “makasih kadonya, ya. Dia seneng banget…” Terdengar tawa Mahesa di seberang telepon, “Ya, begitu liha

  • Suami Warisan   174 - Lembaran Baru

    SUAMI WARISAN 174 – Lembaran Baru Gemuruh guntur terdengar di kejauhan. Kilatan cahaya memantul di atas kaca jendela. Rengganis buru-buru menutup tirai jendela, udara terasa pengap ketika awan hitam menggumpal di atas langit Jakarta. Bayinya terbangun, matanya yang bulat mengerjap-ngerjap sementara badannya bergerak-gerak gelisah. Rengganis tersenyum kemudian mengangkat bayinya dari boks “Cup, cup, Sayang …. Kaget, ya?” Bayinya tak banyak menangis. Hanya sesekali gelisah dan merengek ketika popoknya basah. Dia begitu tenang, begitu mirip dengan ayahnya. Rengganis menimang-nimang bayinya, matanya lekat memandangi setiap inci wajah bayi lelaki yang paling tampan itu. Semakin dilihat, semakin terlihat jelas kemiripan antara buah hatinya dan Narendra. Hidungnya …. Matanya …. Caranya menatap mengingatkannya pada lelaki itu. Bayi yang baru berusia beberapa bulan itu bagaikan pinang dibelah dua dengan lelaki yan

  • Suami Warisan   173 - Terputus Kutukan

    SUAMI WARISAN173 – Terputus KutukanMak Saadah yang sudah renta masih mampu naik ke gunung untuk mencari kayu bakar. Tubuhnya yang kurus terbakar matahari tidak pernah meninggalkan gunung yang selama ini menjadi sumber penghidupannya.Walaupun anak-anaknya kerap kali mengingatkan untuk berhenti mencari kayu bakar karena di rumah sudah ada kompor gas, namun Mak Saadah tidak menghiraukan omongan anak-anaknya. Ada kesenangan sendiri berada di hutan gunung.Hidup di desa yang berubah sangat cepat membuat Mak Saadah kewalahan. Cucu-cucunya tidak mau diajak ke kebun apalagi ke hutan, mereka lebih senang diam di rumah dengan hapenya, bermain game dan marah-marah jika kuotanya habis.Daripada pusing mendengar cucu dan menantunya bertengkar soal kuota internet yang tak dimengerti olehnya, Mak Saadah memilih pergi ke hutan. Perasaannya mengatakan bahwa di sana ada sesuatu yang sedang menunggunya.“Mau kemana, Mak?” tan

  • Suami Warisan   172 - Perpisahan dan Kebenaran

    SUAMI WARISAN 172 – Perpisahan & Kebenaran Tak pernah sekalipun terlintas dalam benak Rengganis – begitu pun dengan orang tuanya – bahwa dia akan bercerai secepat ini, padahal pernikahan mereka masih seumur jagung. “Tapi masih mending lu, Kak. Daripada Kim Kardashian yang cuma nikah 72 hari.” Maya berusaha membesarkan hati Rengganis, namun tidak mempan. Rengganis masih mellow. Dulu dia memang berniat untuk menceraikan Mahesa dan memilih Narendra, namun sekarang Narendra tak tentu rimbanya. Dia ingin marah, namun tidak tau diarahkan kemana amarahnya itu. Sejak kepulangannya dari RS, kemudian tinggal kembali di kamarnya, tak sehari pun Rengganis melewatkan sehari tanpa menangis. Papa dan Mama jadi serba salah. Mereka sudah berusaha menghibur Rengganis, namun masih suka mendengar isak lirih anaknya itu di malam hari. Walau pada pagi dan siang harinya Rengganis bisa menutupi kesedihannya, tapi di malam ya

  • Suami Warisan   171 - Binasa

    SUAMI WARISAN171 – Binasa-FLASHBACK-Mobil yang dikendarai Narendra seolah tidak punya rem. Lelaki itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, terburu-buru seperti dikejar setan.Dia keluar dari rumah sakit, terus masuk ke tol kemudian ngebut menuju hutan. Menurunkan kecepatan jika lalu lintas padat, namun setiap ada kesempatan, Narendra terus menginjak gas.Sang Akang baru berhenti ketika sampai di depan rumah warisan.Lelaki itu masuk ke dalam rumah, menaruh beberapa barang di kamarnya, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.Kali ini dia pergi menuju hutan. Masuk ke dalam, terus ke tengah, meleburkan diri di antara rapatnya pepohonan. Tanpa bekal, tanpa persiapan. Hanya baju yang melekat di badan.Ingatannya yang masih segar menjadi modalnya untuk menyusuri jalan setapak yang dahulu mudah dia susuri. Sekarang, setelah kekuatannya menghilang, Narendra hampir kehabisan napas untuk mencapai tujuan.

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status