Home / Romansa / Suami Warisan / 02 - Wasiat Keluarga

Share

02 - Wasiat Keluarga

Author: Serafina
last update Last Updated: 2021-07-07 08:32:38

SUAMI WARISAN

02 – WASIAT KELUARGA

Dengan alasan masih berkabung atas kematian Tante Nirmala, Rengganis mengungsi ke rumah orang tuanya. Dia kembali tidur di kamar lamanya yang rasanya semakin lama semakin sempit. Alasan sebenarnya Rengganis menginap di rumah karena dia tidak berani masuk ke kontrakan lantaran belum bayar sewa bulan ini.

Sebagai pengalih perhatian, Rengganis jadi kerja gila-gilaan. Dia bergadang semalam suntuk berusaha menyelesaikan rancangan pesanan bos-nya.

“Nis, ada yang mau ketemu sama kamu.”

Mama muncul di ambang pintu, beliau tertegun sejenak. Anak gadisnya sedang duduk di atas kasur dengan kertas-kertas bertebaran hampir menutupi seluruh kamar.

“STOP! Jangan injak gambarku!” seru Rengganis sambil mengacungkan tangannya, mencegah ibunya agar tidak masuk ke dalam kamar yang berubah seperti kapal pecah.

Mama mematung di ambang pintu, kakinya terhenti di udara saat hendak melangkah.

“Jangan ganggu kerjaanku, Ma. Ini penting banget!”

Ya, ibunya bisa melihat itu. Saking pentingnya, anaknya sampai sibuk hingga lupa waktu, lupa makan dan lupa mandi.

Beliau mengibaskan tangannya di depan hidungnya, “Sibuk sih sibuk, tapi buka jendelanya! Bau!”

Rengganis mendengus, dia menoleh ke belakang punggungnya dan menyibakkan tirai. Seketika cahaya matahari menerobos jendela. Dia menyipitkan matanya, “Ha, udah pagi, ya?”

Mama menghela napasnya, “Udah jam sebelas. Kamu belum mandi, ya? Ada tamu, tuh!”

Rengganis mendongak dari buku gambarnya, “Ha?” kacamatanya melorot sampai ujung hidung.

Mama menatap anak gadis bungsunya itu, penampilannya sungguh tidak layak untuk menerima tamu, “Ganti baju dulu, baru ketemu tamu!”

“Siapa?” tanya Rengganis heran. Jantungnya bertalu-talu di dada, jangan bilang kalau Rentenir Geblek itu berhasil melacaknya sampai rumah orang tuanya. Wah, berabe!

“Pengacara Tante Nirmala.”

Dahi Rengganis berkerut dalam, “Ngapain?”

Mama mengendikkan bahunya, beliau menggeser selembar kertas gambar yang berisi rancangan Rengganis menjauh dari kakinya, “Enggak tau. Papa lagi ngobrol sama beliau, tapi katanya dia mau ketemu sama kamu.”

Rengganis melemaskan otot-otot bahunya yang terasa kaku semalaman sibuk menggambar, “Emangnya ada urusan apa sih, Ma?” tanyanya masih kebingungan.

“Udah, mendingan kamu ganti baju aja dulu, terus turun ke bawah. Temui Pengacara Tante Nirmala, nanti ‘kan tau kenapa dia mau ketemu sama kamu.” Mama memutar tubuhnya hendak pergi dari sana, tapi kemudian beliau menghentikan langkahnya dan kembali berbalik pada Rengganis, “ikat rambutnya, bedakan, jangan turun sebelum rapi!”

Rengganis cemberut. Dia menarik kerah kausnya dan menghidunya. Urgh, dia memang bau. Pantas saja Mama marah-marah melihat anak gadisnya yang jorok.

Perlahan, berhati-hati agar tidak menginjak karya-karyanya yang bertebaran menutupi setiap jengkal kamar, Rengganis beranjak untuk berganti baju. Ia mengoleskan deodorant, berganti pakaian dan mengikat rambutnya yang berminyak.

Kemudian Rengganis masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi.

Setelah memastikan dia layak untuk bertemu dengan orang, Rengganis turun ke lantai bawah. Dilihatnya Papa duduk di sofa ruang tamu, sedang bercakap-cakap dengan lelaki asing yang belum pernah dia temui.

Rengganis berjalan perlahan menghampiri mereka dan berdeham, memberitahu kedatangannya.

Papa dan sang tamu menoleh.

“Oh, Nis. Ini Pak Tomi, beliau Pengacaranya Tante Nirmala.” Papa berdiri dan merentangkan tangannya menyentuh bahu anak gadisnya.

Rengganis mengangguk dan tersenyum malu-malu.

“Mbak Rengganis,” sapa lelaki berjas rapi, beliau berdiri dan mengulurkan tangannya “saya Tomi, senang berkenalan.”

Rengganis menjabat tangannya lemah dan bergumam lirih, “Rengganis.”

“Silakan bicara dengan Rengganis, Pak Tomi, saya ambilkan minum dulu.” Ujar Papa sembari beranjak meninggalkan dua orang tersebut, beliau sengaja memberikan kesempatan bagi Pak Tomi untuk mengutarakan maksud kedatangannya.

Pak Tomi mengangguk, “Baik, terima kasih, Pak.”

Sepeninggal Papa, Rengganis duduk dengan canggung di hadapan pengacara yang baru dikenalnya. Dia memerhatikan bahwa Pak Tomi sebaya dengan Papa, pembawaannya tenang dengan senyuman ramah membuatnya sedikit rileks.

“Ehm, begini Mbak Rengganis—”

“Panggil saya Ganis aja, Pak.” sela Rengganis pelan, dia menunduk dalam-dalam sembari menarik-narik ujung kausnya, gestur setiap kali ia bertemu orang baru.

Pak Tomi tersenyum dan mengangguk “Baik, Mbak Ganis. Begini, kedatangan saya kemari hendak memberi informasi perihal Surat Wasiat mendiang Ibu Nirmala.”

Rengganis mengernyitkan dahinya. Apa urusan—tunggu, apa ini yang dimaksud Tante Nirmala dalam emailnya?

Melihat sorot kebingungan di mata Rengganis, Pak Tomi melanjutkan, “Mendiang Ibu Nirmala menitipkan Surat Wasiatnya kepada saya, untuk dibacakan selepas beliau berpulang.”

“T-tapi, Tante baru tiga hari dimakamkan …” Suara Rengganis menggantung dalam kebingungan, “kenapa Wasiatnya sudah dibacakan?”

Pak Tomi mengeluarkan sebuah dokumen dari tas kantornya sembari berkata, “Memang begitu amanatnya, Mbak. Ibu Nirmala ingin segera mungkin dibacakan Wasiatnya segera setelah beliau wafat.”

Rengganis tidak bisa berkata-kata, ia hanya mengangguk. Pikirannya penuh dengan pertanyaan. Dia memandang Pak Tomi yang sibuk dengan dokumen di tangannya.

“Begini, Mbak Rengganis, saya yakin Mbak bingung kenapa saya hanya meminta bertemu dengan Mbak.”

Rengganis mengangguk.

Pak Tomi tersenyum menenangkan, dia menyerahkan sebuah amplop pada Rengganis, “Ini surat dari Bu Nirmala untuk Mbak Rengganis, setelah baca suratnya, saya akan bacakan Wasiatnya.”

Dengan tangan sedikit gemetar, Rengganis menerima amplop putih itu. Dia mengamati amplop berbahan manila yang terkesan mewah. Setelah dibalik, amplop itu direkatkan oleh lilin berbentuk simbol yang terlihat asing.

Rengganis mengerutkan keningnya, dia jadi teringat dengan surat Hogwarts yang diterima oleh Harry Potter. Amplop itu terkesan mewah dan jadul, hingga rasanya Rengganis enggan untuk merusak lilin itu.

“Silakan dibaca, Mbak.” Pak Tomi melihat keengganan Rengganis. Sorot matanya mengatakan ia pun penasaran dengan isinya, tapi sebagai pengacara yang profesional, Pak Tomi tidak boleh ikut campur dalam urusan pribadi klien.

Bu Nirmala jelas-jelas mengatakan kalau surat itu adalah surat pribadi.

Rengganis menarik napasnya dalam-dalam sebelum membuka amplop itu. Di dalamnya terdapat secarik kertas manila yang terlipat rapi. Saat Rengganis membukanya, tercium harum semerbak. Hidung Rengganis menghirup harum yang khas itu.

Parfum Tante Nirmala.

Ingatannya melayang akan kenangan adik ayahnya yang dicoret dari Kartu Keluarga gara-gara membangkang dan bersumpah tidak akan pernah menikah.

Rengganis ingat tragedi itu. Dia masih duduk di bangku kelas V SD tapi momen itu melekat dalam ingatannya.

Momen saat Tante Nirmala menghambur keluar dari rumah almarhum Aki dan berpapasan dengannya di pagar rumah. Rengganis kecil kaget melihat Tante Nirmala membawa koper sambil menangis. Tante bersimpuh di hadapannya, dengan berurai airmata, ia berkata, “Nis, janji sama Tante kalau kamu enggak akan pernah buang Tante, ya?”

Rengganis yang kebingungan hanya mengangguk.

Tante Nirmala sesegukan dan memeluknya sesaat sebelum pergi meninggalkan rumah itu, selama-lamanya.

Hingga akhir hayatnya, Tante Nirmala tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di rumah keluarga.

*

Papa datang bersama dengan Mama yang membawa nampan berisi minuman dan penganan kecil.

Pak Tomi mengucapkan terima kasih.

“Semuanya baik-baik aja?” tanya Papa yang tanpa sengaja melihat tangan Rengganis yang bergetar memegang kertas surat. “Ada apa, Nis?”

Mata Rengganis setengah berkaca-kaca saat ia selesai membaca isi surat dari Tante Nirmala, dia menoleh pada sang Pengacara. “P-Pak Tomi, i-ini… surat ini sama persis sama yang ada di email.”

“Email? Email apa, Mbak?” tanya Pak Tomi yang baru saja menyesap teh hangat buatan Mama.

Rengganis buru-buru membuka ponselnya dan menyodorkan email pertama dan terakhir yang dikirimkan Tante Nirmala untuknya.

Pak Tomi terperanjat, “Mbak, ini…?” dia bahkan tidak sanggup berkata-kata.

Rengganis mengangguk, “Iya, Pak.”

“Ada apa?” tanya Papa dengan nada waspada. Matanya bolak-balik melihat ke arah Rengganis kemudian Pak Tomi.

Rengganis menunjukkan email beserta surat yang isinya sama persis, “Email ini datang sebelum Papa telepon ngabarin kalau Tante Nirmala meninggal.”

Alis Papa naik, beliau mengamati email itu dan bergumam, “Mungkin ini email yang disetel waktunya, Nis…”

“Hah?” Rengganis mengambil kembali ponselnya, mengecek fakta yang terlewatkan itu.

Papa mengangguk, “Kita bisa setting waktu pengiriman email, ‘kan? Mungkin Nirmala pakai itu.”

“Ta-tapi… kalau email ini disetting, gimana bisa waktunya pas saat beliau meninggal?” tanya Rengganis.

Kedua lelaki itu saling berpandangan.

“Enggak mungkin Tante Nirmala bisa meramalkan kematiannya sendiri. Ya, ‘kan?”

*

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
atau mungkin Nirmala mati dibunuh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Warisan   SEKUEL SUAMI WARISAN

    KEKASIH AKHIR PEKAN Sekuel of Suami Warisan by Serafina Di umurnya yang telah menginjak angka 25 tahun, Sasikirana belum pernah pacaran. Dulu dia bersekolah di rumah karena sering berpindah-pindah hingga membuatnya kesulitan untuk bersosialisasi. Namun sekarang, Sasi seorang kurator galeri seni yang andal. Suatu hari, Sasi diminta Direktur Galeri untuk membuat pameran seorang pelukis misterius. Sasi berhasil menemukan alamatnya di pedesaan yang terpencil. Di sana dia bertemu sang pelukis. Tak disangka, di pertemuan pertama mereka, lelaki itu malah menawarinya untuk jadi kekasihnya setiap akhir pekan. Apakah Sasi menerima tawarannya? “Aku tau kamu kesepian, aku juga. Jadi maukah kamu jadi kekasihku setiap akhir pekan?” -SNIPPET KEKASIH AKHIR PEKAN- “Aku tau kamu kesepian, aku juga. Jadi maukah kamu menjadi kekasihku setiap akhir pekan?” Sasi memandang lelaki yang berdiri di ha

  • Suami Warisan   175 - Sailendra [TAMAT]

    SUAMI WARISAN 175 – Sailendra [TAMAT] -EMPAT TAHUN KEMUDIAN- Diri kita bisa pulih sekaligus merasa hancur di waktu yang bersamaan. Pulih adalah perjalanan yang melibatkan penerimaan atas diri selagi kita hancur, berbenah kemudian membangun kembali diri kita. Waktu menjadi satu-satunya obat bagi Rengganis. Menit berganti jam, kemudian hari berubah jadi minggu sampai tak terasa tiga tahun sudah berlalu. Bayi mungil itu kini tumbuh menjadi balita yang menggemaskan. Celotehannya menceriakan ruangan, derap langkah kakinya menggemakan keriuhan yang hanya berjeda ketika dia memejamkan mata. “Gimana kabarnya?” pertanyaan itu tidak pernah alpa ditanyakan Mahesa setiap kali dia menelepon Rengganis. “Baik.” Rengganis tersenyum sambil melirik lelaki kecilnya yang berlarian di sekeliling ruangan “makasih kadonya, ya. Dia seneng banget…” Terdengar tawa Mahesa di seberang telepon, “Ya, begitu liha

  • Suami Warisan   174 - Lembaran Baru

    SUAMI WARISAN 174 – Lembaran Baru Gemuruh guntur terdengar di kejauhan. Kilatan cahaya memantul di atas kaca jendela. Rengganis buru-buru menutup tirai jendela, udara terasa pengap ketika awan hitam menggumpal di atas langit Jakarta. Bayinya terbangun, matanya yang bulat mengerjap-ngerjap sementara badannya bergerak-gerak gelisah. Rengganis tersenyum kemudian mengangkat bayinya dari boks “Cup, cup, Sayang …. Kaget, ya?” Bayinya tak banyak menangis. Hanya sesekali gelisah dan merengek ketika popoknya basah. Dia begitu tenang, begitu mirip dengan ayahnya. Rengganis menimang-nimang bayinya, matanya lekat memandangi setiap inci wajah bayi lelaki yang paling tampan itu. Semakin dilihat, semakin terlihat jelas kemiripan antara buah hatinya dan Narendra. Hidungnya …. Matanya …. Caranya menatap mengingatkannya pada lelaki itu. Bayi yang baru berusia beberapa bulan itu bagaikan pinang dibelah dua dengan lelaki yan

  • Suami Warisan   173 - Terputus Kutukan

    SUAMI WARISAN173 – Terputus KutukanMak Saadah yang sudah renta masih mampu naik ke gunung untuk mencari kayu bakar. Tubuhnya yang kurus terbakar matahari tidak pernah meninggalkan gunung yang selama ini menjadi sumber penghidupannya.Walaupun anak-anaknya kerap kali mengingatkan untuk berhenti mencari kayu bakar karena di rumah sudah ada kompor gas, namun Mak Saadah tidak menghiraukan omongan anak-anaknya. Ada kesenangan sendiri berada di hutan gunung.Hidup di desa yang berubah sangat cepat membuat Mak Saadah kewalahan. Cucu-cucunya tidak mau diajak ke kebun apalagi ke hutan, mereka lebih senang diam di rumah dengan hapenya, bermain game dan marah-marah jika kuotanya habis.Daripada pusing mendengar cucu dan menantunya bertengkar soal kuota internet yang tak dimengerti olehnya, Mak Saadah memilih pergi ke hutan. Perasaannya mengatakan bahwa di sana ada sesuatu yang sedang menunggunya.“Mau kemana, Mak?” tan

  • Suami Warisan   172 - Perpisahan dan Kebenaran

    SUAMI WARISAN 172 – Perpisahan & Kebenaran Tak pernah sekalipun terlintas dalam benak Rengganis – begitu pun dengan orang tuanya – bahwa dia akan bercerai secepat ini, padahal pernikahan mereka masih seumur jagung. “Tapi masih mending lu, Kak. Daripada Kim Kardashian yang cuma nikah 72 hari.” Maya berusaha membesarkan hati Rengganis, namun tidak mempan. Rengganis masih mellow. Dulu dia memang berniat untuk menceraikan Mahesa dan memilih Narendra, namun sekarang Narendra tak tentu rimbanya. Dia ingin marah, namun tidak tau diarahkan kemana amarahnya itu. Sejak kepulangannya dari RS, kemudian tinggal kembali di kamarnya, tak sehari pun Rengganis melewatkan sehari tanpa menangis. Papa dan Mama jadi serba salah. Mereka sudah berusaha menghibur Rengganis, namun masih suka mendengar isak lirih anaknya itu di malam hari. Walau pada pagi dan siang harinya Rengganis bisa menutupi kesedihannya, tapi di malam ya

  • Suami Warisan   171 - Binasa

    SUAMI WARISAN171 – Binasa-FLASHBACK-Mobil yang dikendarai Narendra seolah tidak punya rem. Lelaki itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, terburu-buru seperti dikejar setan.Dia keluar dari rumah sakit, terus masuk ke tol kemudian ngebut menuju hutan. Menurunkan kecepatan jika lalu lintas padat, namun setiap ada kesempatan, Narendra terus menginjak gas.Sang Akang baru berhenti ketika sampai di depan rumah warisan.Lelaki itu masuk ke dalam rumah, menaruh beberapa barang di kamarnya, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.Kali ini dia pergi menuju hutan. Masuk ke dalam, terus ke tengah, meleburkan diri di antara rapatnya pepohonan. Tanpa bekal, tanpa persiapan. Hanya baju yang melekat di badan.Ingatannya yang masih segar menjadi modalnya untuk menyusuri jalan setapak yang dahulu mudah dia susuri. Sekarang, setelah kekuatannya menghilang, Narendra hampir kehabisan napas untuk mencapai tujuan.

  • Suami Warisan   170 - Hiduplah, Berbahagialah

    SUAMI WARISAN170 – Hiduplah, Berbahagialah Beberapa saat yang lalu, di ruang operasi ….Sekelompok orang yang terdiri dari dokter utama, dokter anestesi, asisten dan perawat mengelilingi meja operasi.Tubuh Rengganis tergolek di atasnya. Tak sadarkan diri namun sedang berjuang untuk melahirkan bayinya.Sementara itu di balik kaca jendela, berdesakan dokter-dokter muda yang menonton proses kelahiran. Mereka mengamati setiap tindakan dengan cermat, tak lupa mencatat untuk laporan.Semua orang gugup, juga bersemangat.“Coba perhatikan tekanan darahnya, kelihatannya normal, kaya orang tidur gitu, ya?” bisik seorang calon dokter spesialis, dia menyenggol temannya agar melihat angka yang menunjukkan tekanan darah Rengganis.“Iya, luar biasa. Kekuatan seorang perempuan yang melewati masa kritis kemudian melahirkan dalam keadaan koma. Ini jarang banget di Indonesia!”&ld

  • Suami Warisan   169 - Kelahiran

    SUAMI WARISAN 169 – Kelahiran -Beberapa Bulan Kemudian- “Pa, uangnya masih ada untuk biaya lahiran Rengganis?” tanya Mama dengan suara khawatir. Papa yang baru saja masuk ke kamar dengan handuk terlilit di pinggangnya mengangguk, “Masih banyak. Cukup untuk biaya Rengganis lahiran dan biaya hidup mereka.” Terdengar helaan napas lega dari Mama yang duduk di atas ranjang. Di sekitarnya tersebar tagihan rumah sakit, laptop dan kalkulator. Mama sedang sibuk menghitung biaya rumah sakit Rengganis dan biaya hidup mereka. “Untung saja si Narendra ini ngasih uang ya, Pa. Kalau enggak, aduh… Mama enggak tau apa jadinya nasib Rengganis sama bayinya.” Mama membetulkan letak kacamatanya kemudian menyipit memandang layar monitor laptop “ini gimana sih bikin rumusnya?” Papa membuka pintu lemari untuk mengambil baju. Pikirannya melayang kembali pada peristiwa sepeninggal Narendra. Kondisi Rengganis

  • Suami Warisan   168 - Satu Menit Saja

    SUAMI WARISAN 168 – Satu Menit Saja Sepeninggal Papa, Narendra menunggu dengan jantung berdebar sampai waktu bezuk tiba. Dia duduk di kursi panjang, terpisah dari orang-orang yang juga menunggui anggota keluarga mereka yang dirawat di ICU. Lelaki itu tertunduk memandang kedua tangannya di atas lutut. Matanya terpejam sementara bibirnya komat-komit. Pak Wawan yang penasaran dengan sosok lelaki yang terasa familiar itu tidak bisa lepas memandangi Narendra. Lelaki paruh baya yang mendengar cerita mengenai keributan tempo hari yang melibatkan keluarga Rengganis dan Narendra, tidak habis pikir kenapa lelaki yang bukan suami wanita yang terbaring koma di ICU itu bertahan terus di RS sementara lelaki yang katanya suaminya malah datang dan pergi dengan penampilan perlente. Seakan tenang-tenang saja dengan keadaan istrinya yang sedang koma. “Sepertinya cerita mereka lebih daripada perselingkuhan biasa…” gumam Pak Wawan tanpa sada

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status