Angin segar menyeruak memenuhi rongga dada Cakra. Bak kata pepatah, menyelam sambil minum air, dan sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Tanpa pikir panjang Cakra langsung menyetujui syarat sang mama.“Oke. Nanti aku kabarin Alsya, untuk atur jadwal kapan bisa ketemunya sama Mama. Tapi kayaknya kapan aja sih bisa,” jawab Cakra dengan hati berbunga-bunga.[“Lusa mama sama papa berangkat sekalian bawa uangnya.”] Bersamaan dengan itu, berakhir pula perbincangan Cakra bersama mamanya.*** Sesuai syarat mama, Cakra pun menemui Alsya hari ini untuk membincangkan hal tersebut.“Tante Safira mau ketemu sama aku?” tanya Alsya menunjuk diri.Masih tidak percaya jika wanita yang selalu sibuk mengikuti kemanapun sang suami pergi, meminta syarat aneh seperti yang Cakra lontarkan.Pria di sisi Alsya mengangguk cepat. Binar di matanya memperlihatkan dengan jelas jika Alsya tidak akan menolak. Karena menurutnya tidak ada alasan untuk tidak memenuhi persyaratan menguntungkan itu.Cakra menyatukan
CIIIIT!!!Suara decitan yang timbul dari pergesekan antara ban mobil dengan kanvas rem membuat tubuh Alsya terhuyung ke depan.Aksi rem mendadak Aiden cukup membuat gadis itu hampir jantungan. Beruntung di belakang mereka tidak banyak kendaraan, dan laju kemudi pun tidak terlalu kencang.“Kakak gila ya?!” Wajah Alsya merah padam. Kepalanya nyaris membentur dashboard jika saja saat dalam perjalanan tidak memakai seat belt.Aiden yang masih syok dalam keterkejutan mendengar ucapan Alsya, masih membeku. Tiba-tiba kepalanya tertoleh dengan kelopak mata terbuka lebar.“Mau apa ketemu mereka?” Jemari tangan Alsya terkepal sampai buku-buku tangannya memutih.Bukan meminta maaf, pria di hadapannya justru menanyakan hal tidak penting.“Ya silaturahmi lah! Memangnya mau apa lagi kalo ketemu sama orang?” tandas Alsya.Aiden berusaha untuk menenangkan diri dan rileks. Ya, apalagi yang dilakukan Alsya selain silaturahmi? Begitulah pikiran Aiden membenarkan.Menyadari jika reaksinya terlalu berleb
Seorang pria dengan setelan serba hitam, serta topi juga masker berwarna senada, perlahan mengikuti mobil yang Cakra dan Alsya bawa, tanpa sepengetahuan mereka.Seringaian licik terbit di balik masker yang masih menutupi separuh wajahnya. Seolah mendapat kesempatan emas melihat kebersamaan sepasang kekasih itu.“Kita mau dinner di mana?” tanya Alsya dengan wajah berseri, secerah cahaya rembulan malam ini.“Ke restaurant Mediterranea. Mama sama papa minta di sana,” jawab Cakra.Rekahan senyum itu tak memudar, hingga sebuah mobil melaju kencang dari arah belakang, dan mendahului mereka.WUSSH!!Alsya berjingkat, ketika mobil di belakang mereka tiba-tiba melesat secepat kilat di sisi kanan jalan.Cakra menghela napas lega, walau tak kalah terkejutnya dengan Alsya. “Hampir aja kena,” katanya.“Iya. Tuh orang mau balapan apa gimana sih. Jalan umum dipake buat kebut-kebutan,” gerutu Alsya berdecak sebal.Setelahnya, tak lagi dua sejoli itu menjumpai mobil yang melaju kencang seperti orang ba
“Menikahlah dengan suamiku, Sya.”Kesunyian beberapa saat begitu mendominasi ruangan steril dengan aroma obat. Suara AC yang berada di sudut ruangan itu pun terdengar jelas mengiringi. Kelopak mata Alsya melebar. Tidak menyangka kedatangannya justru menuai permintaan paling berat dari sang kakak. Keyra memintanya untuk menikahi Aiden yang berstatus sebagai kakak iparnya.Alsya menatap Aiden yang membisu tepat di seberang ranjang pasien yang Keyra tempati. Keduanya saling bertukar pandang tanpa mengerti apa yang dirasakan satu sama lain.“Kak Key nggak boleh ngomong gitu. Kakak pasti sembuh,” ucap Alsya tidak mengetahui penyakit yang diidap oleh kakaknya.Hingga akhirnya Aiden menceritakan penyakit yang diidap oleh istrinya saat mereka berada di luar ruang rawat Keyra.“Kanker otak stadium akhir, Kak?” tanya Alsya berharap telinganya salah dengar.Aiden mengangguk pelan. “Iya, Sya. Kita semua sudah berusaha. Dan kamu lihat sendiri gimana keadaan Keyra sekarang. Yang bisa kita lakuin cu
“Alsya udah ambil keputusan untuk permintaan Kak Key kemarin.”Tirta dan Maya yang tengah sarapan, tersedak mendengar ucapan putri bungsu mereka.“Bagaimana? Apa rasanya nggak terlalu buru-buru kamu mengambil keputusan ini, Sya?” tanya Maya yang sudah rela memberikan waktu untuk putrinya berpikir.Alsya mengangguk pelan. Menikmati sarapannya dengan tenang, bahkan sangat tenang. Seolah tidak ada hal mencengangkan yang terjadi.“Tapi, Alsya akan jawab di rumah sakit,” ucap Alsya seraya menyudahi makan paginya.Ia langsung beranjak dari kursi dan menyambar sling bag kecilnya yang tergeletak di meja.“Kasih tau bunda dulu, Sya. Jangan sampai keadaan kakak kamu semakin drop, mendengar penolakan kamu.” Cegah Maya menghalangi langkah si bungsu.Alsya menghela napas panjang. Orang tuanya tampak begitu mengkhawatirkan keadaan sang kakak, dan tidak terlalu peduli pada batinnya yang kini juga tengah terluka. Walau luka itu tak terlihat, tetapi ia yakin sorot mata dan tangisnya semalam sudah cuku
Suara monitor yang begitu panjang, serta garis yang semula bergelombang itu perlahan membentuk garis horizontal yang semakin panjang.“Kak Key! Bangun, Kak!” teriak Alsya semakin menjadi.Beberapa orang berseragam biru, dan seorang pria dengan setelan jas putih pun berdesakkan masuk. Memaksa keduanya untuk menjauh.“Kak Key, Kak,” panggil Alsya menarik lengan kemeja Aiden dengan wajah bersimbah air mata. Berkali-kali ia memanggil sang kakak yang tidak lagi kunjung membuka mata. Dunia terasa berhenti saat itu juga. Ketika dokter menyatakan Keyra telah dinyatakan meninggal. “Nggak mungkin! Kakak saya pasti cuma tidur atau pingsan aja, Dok,” bantah Alsya mendekati sosok terbaring yang tidak lagi bernyawa itu. Ditangkupnya kedua wajah sang kakak yang kini semakin pucat dan terasa semakin dingin.“Kak Key, ayo bangun, Kak. Nggak mungkin Kakak langsung pergi setelah dengar jawaban Alsya tadi kan, Kak?” desak Alsya semakin mengguncang tubuh kakaknya.*** Mendung itu terus menggantung. Seo
“Baik. Seminggu lagi kita akan menikah,” pungkas Aiden menuruti permintaan Alsya.Bagaimana perjalanan rumah tangga mereka, tidak lagi ia pikirkan. Keduanya hanya ingin menjalankan wasiat terakhir tersebut, tanpa banyak berpikir kedepannya.Ketika membahas hal tersebut bersama keluarga pun, respon mereka tak jauh berbeda dengan Aiden sebelumnya. Namun, Alsya meminta pada Aiden untuk tidak menyinggung tentang kekasihnya, dan rencana lamaran itu.“Karena kak Key minta Alsya dan Kak Aiden segera menikah, Bun,” jawab Alsya saat keluarganya merasa pernikahan mereka terlalu cepat.“Baiklah, karena kalian berdua sudah setuju, dan kalian yang akan menikah. Kami semua tidak dapat berbuat banyak, selain memberi dukungan untuk kalian berdua,” putus Tirta tidak banyak bertanya.Akhirnya orang tua Alsya dan Aiden pun menuruti keputusan mereka. Sehingga di sela-sela waktu pengajian untuk Keyra, mereka juga menyiapkan beberapa hal penting untuk pernikahan putra dan putri mereka.*** “Saya terima ni
“Bunda!”“Ayah!” Teriakan Alsya yang begitu nyaring hingga ke lantai pertama, membuat semua orang yang berada di ruang keluarga terlonjak mendengar lengkingan suaranya.“Mas Alsya kenapa, Mas?” tanya Maya dengan wajah memucat.“Entahlah. Ayo kita coba lihat dulu,” jawab Tirta bergegas menuju kamar Alsya dan menemui putri mereka.“Sofa di kamar Alsya ke mana, Yah? Terus, meja belajar Alsya? Kenapa barang-barang di kamar Alsya banyak hilang Yah?” Berondong Alsya saat ayah dan bundanya berada di ambang pintu.Aiden pun masih terpaku setelah mengetahui sebab istri kecilnya berteriak bak orang kerasukan.“Ya ampun, Sya! Bunda kira kamu kenapa. Ternyata cuma nanya itu aja,” lontar Maya menyesal sudah sangat khawatir tadi.“Cuma juga itu barang Alsya, Bun. Ada isinya, Bunda,” terang Alsya semakin kesal.Ayah dan bundanya terlalu menyepelekan hal-hal yang menurutnya penting.“Di sana ada buku-buku Alsya, dan Alsya ada banyak tugas,” ungkap Alsya tidak lagi mampu menahan kekesalannya.“Sya, j