“Sya, aku akan bertemu dengan temanku hari ini. Jadi, kamu diam di sini dan jangan ke mana-mana. Kalau mau pergi kabarin dulu,” pamit Aiden setelah mereka sarapan bersama.“Beneran ketemu temen? Bukan untuk terlibat sama David lagi kan, Kak?” selidik Alsya.Sejak Alsya jujur tentang David pada Aiden dan Cakra. Perasaan Alsya selalu menjadi tidak tenang, dan sulit percaya pada keduanya.“Iya. Buat apa aku mau ketemu temen kerja aja mau bohong. Memangnya kamu,” sindir Aiden sambil memakai jas dan arlojinya.“Ya kan bisa aja cuma mau buat Alsya tenang jadi Kakak bohong sama aku,” protes Alsya tidak terima dengan sindiran sang suami.Sampai sekarang pun ia tidak mengatakan jika dirinya ketahuan telah memberitahu Aiden dan Cakra, maka hubungannya bersama Aiden akan terungkap.Sebelum pergi, Aiden kembali mendekati istrinya dan berdiri tepat di depan Alsya yang beranjak dari sofa.“Nggak akan ada apa-apa. Aku pastiin dia nggak akan bisa nyakitin kamu di sini,” ujar Aiden merasa jika Alsya m
Mengelilingi kota Jogja, dengan keindahan kota yang begitu memikat mata, Aiden hampir lupa jika sang istri sendirian di apartment terlalu lama.“Yud, gue balik dulu ya. Thanks untuk hari ini. Nanti gue pikirin lagi lokasi strategis awal untuk pembangunannya di mana,” lontar Aiden setelah mengantar temannya kembali ke rumah.Di tengah perjalanan, Aiden berniat untuk menghubungi sang istri. Bertanya apa ada sesuatu yang ingin dititip atau tidak.Sayang, saat menyalakan ponsel, ponselnya lebih dulu kehabisan baterai.“Nanti ajalah, sekalian jalan malam-malam,” ujar Aiden kembali menyimpan ponsel ke dalam saku jasnya.Usai memarkirkan mobil di area basement apartement, langkah besar Aiden mempercepat dirinya sampai di lift. Ia menekan angka 12, lantai di mana unit apartement yang dia tempati berada.Meski lelah, Aiden tetap memasang raut muka berseri, karena ada banyak hal yang akan ia ceritakan pada Alsya nanti.“Assalamualaikum Alsya,” ujar Aiden sambil menutup pintu.Alih-alih mencari
Angin segar menyeruak memenuhi rongga dada Cakra. Bak kata pepatah, menyelam sambil minum air, dan sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Tanpa pikir panjang Cakra langsung menyetujui syarat sang mama.“Oke. Nanti aku kabarin Alsya, untuk atur jadwal kapan bisa ketemunya sama Mama. Tapi kayaknya kapan aja sih bisa,” jawab Cakra dengan hati berbunga-bunga.[“Lusa mama sama papa berangkat sekalian bawa uangnya.”] Bersamaan dengan itu, berakhir pula perbincangan Cakra bersama mamanya.*** Sesuai syarat mama, Cakra pun menemui Alsya hari ini untuk membincangkan hal tersebut.“Tante Safira mau ketemu sama aku?” tanya Alsya menunjuk diri.Masih tidak percaya jika wanita yang selalu sibuk mengikuti kemanapun sang suami pergi, meminta syarat aneh seperti yang Cakra lontarkan.Pria di sisi Alsya mengangguk cepat. Binar di matanya memperlihatkan dengan jelas jika Alsya tidak akan menolak. Karena menurutnya tidak ada alasan untuk tidak memenuhi persyaratan menguntungkan itu.Cakra menyatukan
CIIIIT!!!Suara decitan yang timbul dari pergesekan antara ban mobil dengan kanvas rem membuat tubuh Alsya terhuyung ke depan.Aksi rem mendadak Aiden cukup membuat gadis itu hampir jantungan. Beruntung di belakang mereka tidak banyak kendaraan, dan laju kemudi pun tidak terlalu kencang.“Kakak gila ya?!” Wajah Alsya merah padam. Kepalanya nyaris membentur dashboard jika saja saat dalam perjalanan tidak memakai seat belt.Aiden yang masih syok dalam keterkejutan mendengar ucapan Alsya, masih membeku. Tiba-tiba kepalanya tertoleh dengan kelopak mata terbuka lebar.“Mau apa ketemu mereka?” Jemari tangan Alsya terkepal sampai buku-buku tangannya memutih.Bukan meminta maaf, pria di hadapannya justru menanyakan hal tidak penting.“Ya silaturahmi lah! Memangnya mau apa lagi kalo ketemu sama orang?” tandas Alsya.Aiden berusaha untuk menenangkan diri dan rileks. Ya, apalagi yang dilakukan Alsya selain silaturahmi? Begitulah pikiran Aiden membenarkan.Menyadari jika reaksinya terlalu berleb
Seorang pria dengan setelan serba hitam, serta topi juga masker berwarna senada, perlahan mengikuti mobil yang Cakra dan Alsya bawa, tanpa sepengetahuan mereka.Seringaian licik terbit di balik masker yang masih menutupi separuh wajahnya. Seolah mendapat kesempatan emas melihat kebersamaan sepasang kekasih itu.“Kita mau dinner di mana?” tanya Alsya dengan wajah berseri, secerah cahaya rembulan malam ini.“Ke restaurant Mediterranea. Mama sama papa minta di sana,” jawab Cakra.Rekahan senyum itu tak memudar, hingga sebuah mobil melaju kencang dari arah belakang, dan mendahului mereka.WUSSH!!Alsya berjingkat, ketika mobil di belakang mereka tiba-tiba melesat secepat kilat di sisi kanan jalan.Cakra menghela napas lega, walau tak kalah terkejutnya dengan Alsya. “Hampir aja kena,” katanya.“Iya. Tuh orang mau balapan apa gimana sih. Jalan umum dipake buat kebut-kebutan,” gerutu Alsya berdecak sebal.Setelahnya, tak lagi dua sejoli itu menjumpai mobil yang melaju kencang seperti orang ba
“Menikahlah dengan suamiku, Sya.”Kesunyian beberapa saat begitu mendominasi ruangan steril dengan aroma obat. Suara AC yang berada di sudut ruangan itu pun terdengar jelas mengiringi. Kelopak mata Alsya melebar. Tidak menyangka kedatangannya justru menuai permintaan paling berat dari sang kakak. Keyra memintanya untuk menikahi Aiden yang berstatus sebagai kakak iparnya.Alsya menatap Aiden yang membisu tepat di seberang ranjang pasien yang Keyra tempati. Keduanya saling bertukar pandang tanpa mengerti apa yang dirasakan satu sama lain.“Kak Key nggak boleh ngomong gitu. Kakak pasti sembuh,” ucap Alsya tidak mengetahui penyakit yang diidap oleh kakaknya.Hingga akhirnya Aiden menceritakan penyakit yang diidap oleh istrinya saat mereka berada di luar ruang rawat Keyra.“Kanker otak stadium akhir, Kak?” tanya Alsya berharap telinganya salah dengar.Aiden mengangguk pelan. “Iya, Sya. Kita semua sudah berusaha. Dan kamu lihat sendiri gimana keadaan Keyra sekarang. Yang bisa kita lakuin cu
“Alsya udah ambil keputusan untuk permintaan Kak Key kemarin.”Tirta dan Maya yang tengah sarapan, tersedak mendengar ucapan putri bungsu mereka.“Bagaimana? Apa rasanya nggak terlalu buru-buru kamu mengambil keputusan ini, Sya?” tanya Maya yang sudah rela memberikan waktu untuk putrinya berpikir.Alsya mengangguk pelan. Menikmati sarapannya dengan tenang, bahkan sangat tenang. Seolah tidak ada hal mencengangkan yang terjadi.“Tapi, Alsya akan jawab di rumah sakit,” ucap Alsya seraya menyudahi makan paginya.Ia langsung beranjak dari kursi dan menyambar sling bag kecilnya yang tergeletak di meja.“Kasih tau bunda dulu, Sya. Jangan sampai keadaan kakak kamu semakin drop, mendengar penolakan kamu.” Cegah Maya menghalangi langkah si bungsu.Alsya menghela napas panjang. Orang tuanya tampak begitu mengkhawatirkan keadaan sang kakak, dan tidak terlalu peduli pada batinnya yang kini juga tengah terluka. Walau luka itu tak terlihat, tetapi ia yakin sorot mata dan tangisnya semalam sudah cuku
Suara monitor yang begitu panjang, serta garis yang semula bergelombang itu perlahan membentuk garis horizontal yang semakin panjang.“Kak Key! Bangun, Kak!” teriak Alsya semakin menjadi.Beberapa orang berseragam biru, dan seorang pria dengan setelan jas putih pun berdesakkan masuk. Memaksa keduanya untuk menjauh.“Kak Key, Kak,” panggil Alsya menarik lengan kemeja Aiden dengan wajah bersimbah air mata. Berkali-kali ia memanggil sang kakak yang tidak lagi kunjung membuka mata. Dunia terasa berhenti saat itu juga. Ketika dokter menyatakan Keyra telah dinyatakan meninggal. “Nggak mungkin! Kakak saya pasti cuma tidur atau pingsan aja, Dok,” bantah Alsya mendekati sosok terbaring yang tidak lagi bernyawa itu. Ditangkupnya kedua wajah sang kakak yang kini semakin pucat dan terasa semakin dingin.“Kak Key, ayo bangun, Kak. Nggak mungkin Kakak langsung pergi setelah dengar jawaban Alsya tadi kan, Kak?” desak Alsya semakin mengguncang tubuh kakaknya.*** Mendung itu terus menggantung. Seo