"Kamu belum tidur?"
Seyra berjalan masuk ke dalam sembari melirik Regan yang sedang berdiri di depan jendela terbuka. Gadis itu membawa sebuah bantal dan kasur tipis, lalu meletakkannya di atas tempat tidur. "Tidurlah! Ini sudah malam. Besok kamu kerja, kan?" Seyra berjalan mendekati Regan yang masih betah menatap pemandangan di luar jendela. Regan menutup jendelanya rapat, lalu berbalik menatap Seyra yang kini sudah berdiri di depannya, mengenakan piyama tidur. Untuk beberapa saat Regan memperhatikan Seyra yang tampak canggung. Berkali-kali gadis itu mengusap tengkuk untuk mengurangi rasa gugupnya. "Regan, kamu bisa istirahat di tempat tidurku. Aku akan tidur di bawah." Tanpa menunggu tanggapan Regan, Seyra berjalan menuju tempat tidur hendak merapikannya. Namun langkahnya terhenti saat Regan menahan lengannya. "Biar aku yang tidur di lantai." Regan melepas lengan Seyra. Diambilnya kasur tipis yang berada di atas tempat tidur. Lalu menggelarnya di lantai. Regan menoleh ke arah Seyra yang masih mematung di pijakannya. "Kamu nggak ingin tidur?" Seyra terhenyak. Gadis itu tersenyum singkat sebagai tanggapan. Kemudian buru-buru melangkah ke arah kasur dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Hening menyelimuti ruangan kamar itu. Dari atas tempat tidur, Seyra melongok ke bawah, mengintip Regan yang sudah memejamkan mata. Namun dia tahu jika pria itu belum tidur. "Regan," panggil Seyra pelan. Regan membuka matanya pelan, hingga manik legamnya bertemu dengan sorot mata lembut Seyra. "Ada apa?" "Maaf, aku sudah membuatmu berada di situasi ini." Ekspresi wajah Seyra berubah murung. Dia benar-benar merasa bersalah, karena sudah memaksa pria itu untuk menikahinya. "Tapi kamu tenang saja. Jika di masa depan kamu menemukan gadis yang cocok, kita bisa berpisah secara baik-baik." Kedua alis Regan menukik tajam, merasa tidak suka dengan kalimat akhir Seyra. Pria itu kembali memejamkan mata, mengabaikan perkataan istrinya. Seyra tercengang melihat Regan yang tampak mengabaikannya. Apa ada perkataannya yang salah? Seingatnya tidak. Dia hanya berusaha memberi kebebasan pada Regan jika suatu saat pria itu menemukan tambatan hatinya. Karena tidak ingin berlarut-larut dengan pikirannya, Seyra memilih memejamkan mata, berusaha untuk tidur. Meski terasa sulit, namun lambat laun gadis itu menjemput mimpinya. Esok harinya, Regan bangun lebih awal. Pria itu sudah rapi dengan seragam satpamnya. Sesaat Seyra memperhatikan Regan yang saat ini memanasi sepeda motornya di halaman rumah. Jika dilihat-lihat, pria tegap tinggi itu tidak pantas menjadi seorang penjaga keamanan. Dia mengamati wajah Regan yang berhasil menarik perhatiannya. Wajahnya dingin dan tegas, namun terlihat begitu tampan. Matanya tajam, gelap dan menghanyutkan, seolah siapa saja yang menatapnya akan tenggelam ke dalamnya. Bahkan di balik seragam pria itu, Seyra bisa melihat punggungnya yang lebar, serta lengannya yang kekar dan juga berotot. Pria itu terlihat menawan meski hanya memakai seragam satpam. Merasa diperhatikan, Regan menoleh, memergoki Seyra yang tampak gugup di balik pintu. Gadis itu tampak tersenyum kecil dan memberikan sapaan ramah. Namun Regan hanya memasang wajah datar tanpa berminat membalasnya. "Apa dia masih marah denganku?" gumam Seyra masih memperhatikan Regan yang kali ini sedang mengelap jok motornya. Setelah mengambil tas di dalam kamar, Seyra menghampiri Regan yang sudah duduk di atas motor, bersiap untuk pergi. "Regan, bolehkah aku menumpang sepeda motormu?" Regan mengenakan helemnya, lalu menoleh. "Apa kamu nggak malu?" Seyra menggeleng pelan. "Untuk apa malu. Semua teman-teman kantorku sudah mengetahuinya. Jadi kupikir nggak ada salahnya kita berangkat bersama. Lagi pula kita satu tujuan kan?" Regan terdiam, namun beberapa detik kemudian, dia menepuk-nepuk jok belakangnya. "Duduk di sini. Tapi ambil helem dulu." Seyra mengangguk kuat-kuat, lalu bergegas kembali masuk ke dalam untuk mencari helem. Sebentar kemudian dia kembali setelah mendapat barang yang dicarinya. "Ayo kita berangkat!" Seyra sudah bersiap di atas motor dan mengenakan helemnya. Regan menghela napas ketika melihat Seyra lewat pantulan kaca spion motornya. Pria itu memutar tubuhnya menghadap Seyra, kedua tangannya terulur memasangkan pengait helem dan memastikan terpasang dengan benar. "Terima kasih." Seyra tampak tersenyum untuk mengurangi kegugupannya. Regan hanya mengangguk singkat. Dia kembali ke posisinya dan mulai melajukan motornya. Tak lama mereka sampai di perusahaan Pratama Corp. "Seyra!" Baru saja turun dari motor, Seyra terkejut saat mendapati Aldo berada di depan lobi. Pria itu langsung menarik tangan Seyra dengan kasar dan berusaha menjauhkannya dari Regan. "Jadi kamu benar-benar menikahi pria satpam ini?" Aldo menunjuk Regan dengan tatapan tak percaya. Ia tidak menyangka jika kekasihnya nekat menikahi seorang satpam yang hanya berpenghasilan kecil. "Memangnya kenapa? Setidaknya dia lebih baik dari kamu." Seyra berusaha menyentak tangan Aldo. Namun cengkeraman pria itu justru semakin kuat. "Lebih baik katamu?" Suara Aldo terdengar emosi. "Apanya yang lebih baik? Dia hanya seorang satpam. Gaji dia nggak akan mampu untuk menghidupimu." Aldo menunjuk Regan dengan tatapan meremehkan. Seyra benar-benar tersinggung dan merasa kesal dengan perkataan Aldo. Saking kesalnya, ia menginjak sepatu Aldo dengan keras menggunakan sepatu tingginya. Tindakannya berhasil membuat Aldo terpekik kaget dan juga melepaskan tangannya. "Regan bertanggung jawab dan menyelematkan harga diriku. Sementara kamu ..." Seyra sengaja menggantung kalimatnya, membuat Aldo menautkan alisnya. "Kamu hanya lelaki pengecut. Kau meninggalkanku saat ibumu menghinaku dan mempermalukanku di depan para tamu. Kau benar-benar pecundang," lanjutnya dengan tatapan kecewa. "Aku punya alasan Seyra. Mama mengancamku akan mencabut namaku sebagai ahli waris di keluarga Pratama. Kalau aku kehilangan semuanya, bagaimana dengan masa depan kita?" Aldo kembali ingin meraih tangan Seyra. Namun dengan cepat gadis itu menjauhkannya. "Please! Beri aku kesempatan untuk menyakinkan mamaku lagi," pintanya dengan wajah memohon. Akan tetapi Seyra tidak mau menjadi gadis bodoh untuk ke sekian kalinya. Andai saja Aldo datang di acara pernikahan kemarin dan mau menjelaskannya, mungkin Seyra berusaha untuk mengerti. Namun pria pengecut itu bahkan tidak menghubunginya sama sekali. "Kalau kamu takut kehilangan warisan keluargamu, memang sebaiknya kita sudahi saja. Keputusanmu untuk nggak datang di acara pernikahan kita, itu sudah benar." Seyra melewati Aldo begitu saja dan bergegas menuju ke departemennya. Sedangkan Aldo yang masih berdiri di tempat itu tampak mengeraskan rahangnya. Matanya beralih ke arah Regan, lalu berjalan mendekatinya. "Ceraikan Seyra secepatnya! Harusnya dia menikah denganku, bukan dengan kamu." Jari telunjuk Aldo mengarah pada bahu Regan, berusaha mendorongnya. "Kenapa aku harus menceraikan Seyra? Dia nggak ada kesalahan," balas Regan dengan suara dingin khasnya. Dia sedikit memiringkan kepalanya sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. "Kau sudah menelantarkan gadis itu di hari pernikahannya, jadi nggak ada kewajiban bagiku untuk mengembalikan apa yang sudah menjadi tanggung jawabku," lanjutnya tegas. Aldo tersenyum miring. Lalu menepuk-nepuk seragam satpam yang dikenakan Regan. Tatapannya terlihat menghina. Bahkan sangat merendahkan. "Kamu hanya seorang satpam. Tetapi kata-katamu seakan kau ini orang besar. Harusnya kamu tahu diri sedikit. Kau akan memberi makan apa pada Seyra jika pekerjaanmu hanya seorang penjaga keamanan dengan gaji yang tidak seberapa. Kau hanya akan membuat hidupnya sengsara. Jadi lebih baik lepaskan Seyra." Aldo mengibas-ngibaskan tangannya yang sempat menyentuh seragam Regan. Dia melakukan itu seolah-olah baru saja selesai memegang sebuah kotoran. Regan tidak tersinggung sama sekali. Dia hanya menanggapinya dengan senyum dingin. Kemudian kakinya perlahan mengikis jarak hingga ujung sepatunya nyaris berbenturan dengan ujung sepatu milik Aldo. Tubuhnya sedikit condong ke depan, menyeringai tajam saat mendapati wajah Aldo yang diselimuti oleh ketegangan. "Jangan pernah meremehkan orang lain. Karena kamu tidak tahu apa-apa." Aldo terkekeh remeh, reflek memundurkan langkahnya ketika dirinya merasa terintimidasi oleh tatapan dan suara menusuk Regan. Dia berpura-pura mengalihkan matanya ke arah lain, seolah lebih tertarik melihat karyawan yang berlalu lalang di sekitarnya. Namun sedetik kemudian ia kembali menatap Regan yang masih berdiri di hadapannya. "Dasar sok bijak!" Dia menubrukkan bahunya dengan keras hingga Regan sempat terhuyung mundur ke belakang. Sebelum benar-benar pergi, Aldo menoleh ke belakang. "Bersiap-siaplah untuk mencari pekerjaan baru. Karena aku akan memecatmu setelah ini.""Maaf," kata Seyra pelan. "Maafkan aku. Aku benar-benar tidak bermaksud meragukanmu." Seyra menyentuh lengan Regan dan mengusapnya lembut, membuat tubuh pria itu yang sempat menegang, kini tampak lebih rileks.Satu tangan Regan terangkat dan menyentuh tangan Seyra yang masih berada di lengannya. Dia menggenggamnya dan meremasnya pelan. "Aku harap kamu selalu percaya denganku."Seyra mengangguk, lalu tersenyum. "Aku percaya padamu."Regan mengembuskan napas lega. Di melepaskan tangan Seyra dan beralih menatap ke depan, fokus menyetir.Seyra membenarkan posisi duduknya menghadap ke depan, menatap jalanan yang cukup lengang. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Seyra kembali bersuara, merasa penasaran dengan wanita yang akan dijodohkan dengan Regan."Regan, wanita yang duduk di dekat kakekmu tadi adalah wanita yang sempat aku temui di butik," kata Seyra sambil memperhatikan ekspresi Regan dari samping. "Aku tidak menyangka jika dia ternyata ... wanita yang dipersiapkan kakek untukmu.
Regan memasang wajah tenang, tanpa terpengaruh dengan suara keras dan kemarahan Bastian. Dia hanya melirik sekilas ke arah wanita yang duduk di sofa tidak jauh dari kakeknya. Dia cukup mengenal wanita itu dan sekarang dia tahu alasan kenapa kakeknya menyuruh cepat-cepat pulang."Kakek, kami datang ke sini dengan maksud baik. Kami hanya ingin memberitahukan jika kami sudah menikah," kata Regan dengan suara rendah, tanpa ada campuran nada emosi."Menikah?" Suara Bastian terdengar marah. "Apa kalian pikir aku akan memberikan restu untuk hubungan kalian?" Dia menggeleng pelan, matanya menyorot tajam pada Regan yang masih berdiri tenang sembari menggandeng tangan Seyra."Jangan berpikir mendapat restu dariku setelah kau menikahi wanita seperti dia!" Bastian menunjuk Seyra yang saat ini tampak menegang di pijakannya.Melihat tatapan tajam Bastian yang tertuju ke arahnya, tanpa sadar Seyra meraih lengan Regan, seolah mencari perlindungan pada suaminya itu."Regan," bisik Seyra pelan, membua
Regan dan Seyra baru saja memasuki butik. Mereka berdua langsung berkeliling untuk mencari pakaian yang cocok. "Seyra, kamu pilihlah pakaian sesukamu. Aku akan menunggumu di sana." Regan menunjuk sofa yang berada di pojok ruangan.Seyra mengangguk. "Apa kamu tidak memilih pakaian?" Dia menunjuk deretan pakaian pria pada Regan. "Tidak perlu. Pakaianku sudah banyak," balas Regan sambil tersenyum."Baiklah." Seyra langsung mulai mengelilingi deretan pakaian yang tersusun rapi di rak. Sementara itu, Regan duduk di sofa yang nyaman di sudut ruangan, sembari membaca majalah mode yang ada di meja kecil.Seyra sibuk memilih-milih pakaian yang sesuai dengan selera dan kebutuhannya. Ia mencoba beberapa gaun, blus dan rok yang ia rasa cocok untuk dipakai dalam berbagai acara."Sepertinya gaun itu bagus." Seyra merasa tertarik dan mendekati gaun itu. Saat ia mengambil sebuah gaun yang dia suka, ia melihat seorang wanita cantik dengan rambut panjang tersusun rapi, sedang memegang gaun yang sama
Seorang wanita cantik dengan tubuh semampai dan langkah anggun memasuki kediaman Osvaldo. Tubuhnya yang sempurna dibalut oleh gaun dan aksesoris berkelas. Dia dijemput oleh seorang pelayan yang membawanya ke ruang keluarga.Wanita itu melangkah dengan mata yang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang terlihat megah dan klasik. Lukisan-lukisan tua bergaya renaissance menghiasi dinding. Sementara furniture mewah mencipkatan suasana yang begitu hangat dan nyaman.Di pojok ruangan, wanita itu melihat Bastian yang duduk dengan santainya, menyusuri halaman dari sebuah buku klasik.Sang pelayan mendekat, dan berkata dengan sopan. "Tuan Besar, ada Tamu untuk Anda."Bastian mengangkat kepala dan melihat ke arah wanita cantik itu. Senyum lembut terukir di wajahnya, lalu menutup buku dan meletakkannya di atas meja. "Selamat datang, Lily. Bagaimana kabarmu?" sapa Bastian, menyebut nama wanita cantik itu. "Aku baik, Kek," balas Lily sambil tersenyum manis.Kemudian Bastian mempersilahka
Matahari pagi mulai menerobos lewat cela-cela korden, membuat cahaya hangat memancar dengan lembut ke dalam ruangan. Seyra menggeliat di dalam pelukan Regan, merasa tubuhnya remuk akibat sentuhan ganas suaminya sepanjang malam. Dia tidak menyangka jika Regan begitu bergairah, seolah tidak mempedulikan kebutuhan istirahatnya.Namun meskipun lelah, Seyra tidak bisa menahan senyum saat melihat wajah tampan Regan dari jarak sedekat ini. Dia bisa menikmati semua bagian-bagian wajah pria itu yang tampak sempurna di matanya."Selamat pagi." Regan membuka mata perlahan dan tersenyum hangat pada istrinya.Seyra membalas sapaan Regan dengan bibir cemberut. "Gara-gara kamu, sekarang aku sulit bangun dari tempat tidur."Regan terkekeh pelan. Kedua tangannya semakin erat mendekap Seyra. "Kalau begitu, tidak usah bangun. Kita bisa menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam kamar."Seyra mencubit perut kotak-kotak Regan dengan kesal. "Kalau seperti itu, aku bisa-bisa mati di tempat tidur. Kamu tida
Atmosfer ketegangan melingkupi ruangan itu. Terlebih melihat wajah seorang Nyonya Pratama yang tampak mengeras, begitu tidak bersahabat. Tania secara refleks menundukkan kepala saat tatapan tajam Mira seolah ingin mengulitinya. Hubungan dia dan Aldo, belum diketahui oleh Mira. Karena Mira menginginkan Aldo menikah dengan keluarga terpandang dan bersih dari skandal."Tunggu apa lagi! Sekarang keluar!" perintah Mira dengan suara tegas.Tania terhenyak di pijakannya. Dia sedikit mengangkat wajahnya untuk melihat ekspresi Mira yang tidak bersahabat. "Sekali lagi saya minta maaf, Nyonya."Mira hanya menanggapinya dengan wajah dingin. Dia mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh Tania untuk segera keluar.Tania menatap sebentar ke arah Aldo yang hanya diam, tanpa berusaha menahan atau membelanya. Dengan tatapan kecewa, Tania berbalik dan segera keluar dari ruangan itu. Saat sampai di meja ruangannya, ia membuka genggaman tangannya, menatap testpack yang menunjukkan garis dua. Padahal Tania b