Tidak seorang pun yang tahu tentang keberadaan Regan. Sudah beberapa hari ini pria itu tidak menampakkan diri. Seyra pun mulai putus asa dan merasa bingung harus mencari suaminya itu di mana. Dia tidak memiliki nomor ponsel, apalagi mengetahui tempat tinggal pria itu.
Seyra merasa cemas. Meskipun pernikahan mereka tidak didasari oleh cinta, seharusnya Regan tidak meninggalkannya begitu saja tanpa kabar. Waktu berlalu tanpa kejelasan. Sampai akhirnya, saat Seyra pulang kerja, Ratih tampak menegurnya ketika melintasi ruang tengah. "Seyra!" Langkah Seyra terhenti. Dia menoleh ke arah ibunya yang saat ini duduk di kursi kayu sambil menatap ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan Regan?" Sejak kemarin wanita paruh baya itu terdiam, selain karena kondisinya masih lemah, dia juga tidak ingin ikut campur dalam rumah tangga putrinya. Namun melihat kejanggalan dan kecemasan dalam raut wajah putrinya, tentu saja dia tidak tahan untuk menanyakan penyebabnya. "Mengapa sudah beberapa hari ini dia tidak pulang?" lanjutnya dengan nada khawatir. Seyra hanya bisa menggelengkan kepalanya lemah. Ia tidak memiliki jawaban yang pasti. Lagi pula dia tidak ingin menyusahkan ibunya dengan masalah ini. "Apa kalian sedang bertengkar? Mengapa Regan tidak pulang ke rumah?" Ratih kembali mencecarnya, membuat Seyra merasa tertekan. Ia tentu saja tidak ingin membuat ibunya khawatir. Terlebih kondisi ibunya masih tahap pemulihan dan masih membutuhkan beberapa kontrol ke rumah sakit. Namun dia tidak bisa menyembunyikan jika suaminya telah menghilang tanpa jejak. "Aku juga nggak tahu, Bu," jawab Seyra dengan suara gemetar. "Regan tidak memberiku kabar." Wajahnya terlihat lelah. Bukan hanya karena pekerjaan dan masalah kantor yang menekannya, namun dia juga merasa pening memikirkan Regan yang tak kunjung pulang. Bila saja Regan tidak banyak berkorban untuknya, mungkin Seyra tidak akan dihantui oleh rasa bersalah dan balas budi. Pria itu terlalu banyak membantunya, hingga Seyra merasa tersiksa jika tidak bisa memberikan timbal balik yang sepadan. Tatapan Ratih melembut ketika melihat wajah putrinya tertekan. Tidak seharusnya ia membuat putrinya merasa tersudut, seolah kepergian Regan adalah kesalahan Seyra. "Maafkan, Ibu," kata Ratih pelan. "Ibu nggak bermaksud menyalahkanmu." Seyra menggeleng pelan, kemudian menghampiri ibunya dan berjongkok di depannya. "Ibu nggak perlu minta maaf," ujarnya lembut. "Aku yakin Regan akan pulang. Jadi, ibu nggak perlu khawatir." Ratih mengangguk sambil mengulas senyum kecil. Sebelah tangannya mengusap wajah putrinya yang tampak letih. "Sekarang kamu mandi. Ibu sudah masak makanan kesukaanmu." Wajah lelah Seyra perlahan memudar saat melihat senyum di wajah ibunya. Dia mengangguk cepat, lalu segera berdiri dan berjalan menuju kamarnya, setelah sempat memberikan ciuman di punggung tangan ibunya. Sementara di tempat lain, Regan tampak duduk di hadapan seorang pria tua yang saat ini menatapnya tajam. Wajahnya tampak serius, seolah perbincangan mereka merupakan sesuatu yang penting. "Bagaimana? Apa kau sudah memikirkannya?" tanya pria tua itu dengan wajah datar. Regan masih membisu, seolah tidak tertarik dengan pembahasan saat ini. "Kenapa harus terburu-buru? Aku baru beberapa hari kembali," jawabnya santai. "Lagi pula, Kenapa kakek tidak meminta bantuan saja pada Robert? Dia bisa diandalkan." Bastian, pria tua yang dipanggil kakek oleh Regan tampak mengeraskan rahangnya. Dia begitu kesal mendengar tanggapan santai dari cucunya itu."Perusahaan saat ini membutuhkanmu. Kamu harus segera kembali. Sudah cukup main-main di luar sana," ucapnya tegas, tak terbantahkan. Regan membalas tatapan Bastian dengan wajah datar. "Sebenarnya aku tidak tertarik. Selama ini aku melakukan banyak hal untuk perusahaan, hanya semata merasa kasihan dengan kakek. Harusnya kakek memiliki cucu lebih dari satu." Kepala Bastian terasa mendidih. Mulutnya terkatup rapat, namun sebenarnya ia ingin berteriak kencang di depan wajah cucu sialannya itu. "Oh, bukankah Robert juga cucu kakek? Kenapa aku sampai melupakannya?" Perkataan Regan selanjutnya, membuat Bastian semakin berang. Kemarahannya yang sudah di ubun-ubun kini pecah juga. "Robert bukan cucu kandungku, bodoh! Apa kau sudah terkena demensia hingga fungsi otakmu berkurang?" Suara keras Bastian tidak membuat Regan takut, atau pun nyalinya menciut. Dia justru terkekeh pelan, melihat kemarahan kakeknya yang sudah tidak asing lagi baginya. "Pelankan suaramu, Kek! Jangan sampai nantinya tensi darahmu naik," ucap Regan terdengar menyebalkan. Bastian mengabaikan perkataan menjengkelkan itu. Dia kembali menatap serius cucunya. "Pokoknya aku tidak mau tahu. Kau harus kembali. Banyak hal yang perlu kamu kerjakan. Kamu punya tanggung jawab yang tidak bisa disepelekan." "Baiklah." Regan bersedekap sambil menatap Bastian yang tampak menghela napas lega. Namun itu tak bertahan lama, ketika Regan mengeluarkan kata-kata selanjutnya. "Tapi aku tidak ingin tinggal di sini. Karena aku tidak ingin direpotkan oleh kakek." Mulut Bastian terbuka lebar penuh amarah. Ia tidak menyangka jika Regan berbicara seterus terang itu. "Kau mengira aku menyuruhmu untuk tinggal di sini lantaran butuh tenagamu untuk mengurusiku, begitu?" Dengan kurang ajarnya, Regan mengangguk, mengabaikan wajah kesal kakeknya. "Sebenarnya bukannya aku tak berperasaan. Biasanya orang tua yang memberi warisan atau kedudukan, mereka akan mengharapkan timbal balik, yaitu dengan mengurusnya." "Memangnya kau pikir aku tidak bisa menyewa pengasuh, hah!?" teriak Bastian saking kesalnya. Pria tua itu berdiri sambil menatap tajam cucunya. Sebelum darah tingginya benar-benar kumat, dia harus menyudahi perdebatan itu. "Besok kamu harus kembali ke perusahaan. Jangan terlalu banyak bermain di belakang layar. Semua orang perlu mengetahui identitasmu, dan itu perintahku," ucapnya tegas. Bastian langsung meninggalkan ruangan itu tanpa menunggu tanggapan Regan. Dia tahu jika berdebat dengan cucunya itu tidak akan pernah ada habisnya. Regan masih mengawasi arah berlalunya pria tua itu hingga menghilang di balik pintu ruangan. Dia menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Matanya terpejam dengan berbagai pikiran yang kini memenuhi isi kepalanya. Terlalu banyak yang ia harus lakukan. Hingga tidak sempat memikirkan hal lain, termasuk pernikahannya. *** Seyra baru saja tiba di kantor. Dia langsung menuju ke mejanya dan membuka laptopnya. Sebelum dia sempat membuka file pekerjaannya, Tania datang dengan santainya sambil membawa segelas kopi panas. Tanpa basa-basi, Tania pura-pura tidak sengaja menumpahkan kopi ke atas dokumen hasil kerja keras Seyra. "Ups ... sorry!" Tania menutup mulutnya sambil memasang wajah pura-pura tidak enak. Seyra memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan diri agar tidak meledak emosinya di tempat kerja. Saat matanya terbuka, ia melihat senyum licik di wajah Tania. "Kau sengaja melakukannya." "Jangan berbicara sembarangan. Memangnya kau punya bukti?" tantang Tania sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Seyra menoleh ke arah rekan kerja lainnya, seolah meminta kesaksian mereka. Namun semuanya tampak menunduk, seolah tidak melihat kejadian itu."Maaf," kata Seyra pelan. "Maafkan aku. Aku benar-benar tidak bermaksud meragukanmu." Seyra menyentuh lengan Regan dan mengusapnya lembut, membuat tubuh pria itu yang sempat menegang, kini tampak lebih rileks.Satu tangan Regan terangkat dan menyentuh tangan Seyra yang masih berada di lengannya. Dia menggenggamnya dan meremasnya pelan. "Aku harap kamu selalu percaya denganku."Seyra mengangguk, lalu tersenyum. "Aku percaya padamu."Regan mengembuskan napas lega. Di melepaskan tangan Seyra dan beralih menatap ke depan, fokus menyetir.Seyra membenarkan posisi duduknya menghadap ke depan, menatap jalanan yang cukup lengang. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Seyra kembali bersuara, merasa penasaran dengan wanita yang akan dijodohkan dengan Regan."Regan, wanita yang duduk di dekat kakekmu tadi adalah wanita yang sempat aku temui di butik," kata Seyra sambil memperhatikan ekspresi Regan dari samping. "Aku tidak menyangka jika dia ternyata ... wanita yang dipersiapkan kakek untukmu.
Regan memasang wajah tenang, tanpa terpengaruh dengan suara keras dan kemarahan Bastian. Dia hanya melirik sekilas ke arah wanita yang duduk di sofa tidak jauh dari kakeknya. Dia cukup mengenal wanita itu dan sekarang dia tahu alasan kenapa kakeknya menyuruh cepat-cepat pulang."Kakek, kami datang ke sini dengan maksud baik. Kami hanya ingin memberitahukan jika kami sudah menikah," kata Regan dengan suara rendah, tanpa ada campuran nada emosi."Menikah?" Suara Bastian terdengar marah. "Apa kalian pikir aku akan memberikan restu untuk hubungan kalian?" Dia menggeleng pelan, matanya menyorot tajam pada Regan yang masih berdiri tenang sembari menggandeng tangan Seyra."Jangan berpikir mendapat restu dariku setelah kau menikahi wanita seperti dia!" Bastian menunjuk Seyra yang saat ini tampak menegang di pijakannya.Melihat tatapan tajam Bastian yang tertuju ke arahnya, tanpa sadar Seyra meraih lengan Regan, seolah mencari perlindungan pada suaminya itu."Regan," bisik Seyra pelan, membua
Regan dan Seyra baru saja memasuki butik. Mereka berdua langsung berkeliling untuk mencari pakaian yang cocok. "Seyra, kamu pilihlah pakaian sesukamu. Aku akan menunggumu di sana." Regan menunjuk sofa yang berada di pojok ruangan.Seyra mengangguk. "Apa kamu tidak memilih pakaian?" Dia menunjuk deretan pakaian pria pada Regan. "Tidak perlu. Pakaianku sudah banyak," balas Regan sambil tersenyum."Baiklah." Seyra langsung mulai mengelilingi deretan pakaian yang tersusun rapi di rak. Sementara itu, Regan duduk di sofa yang nyaman di sudut ruangan, sembari membaca majalah mode yang ada di meja kecil.Seyra sibuk memilih-milih pakaian yang sesuai dengan selera dan kebutuhannya. Ia mencoba beberapa gaun, blus dan rok yang ia rasa cocok untuk dipakai dalam berbagai acara."Sepertinya gaun itu bagus." Seyra merasa tertarik dan mendekati gaun itu. Saat ia mengambil sebuah gaun yang dia suka, ia melihat seorang wanita cantik dengan rambut panjang tersusun rapi, sedang memegang gaun yang sama
Seorang wanita cantik dengan tubuh semampai dan langkah anggun memasuki kediaman Osvaldo. Tubuhnya yang sempurna dibalut oleh gaun dan aksesoris berkelas. Dia dijemput oleh seorang pelayan yang membawanya ke ruang keluarga.Wanita itu melangkah dengan mata yang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang terlihat megah dan klasik. Lukisan-lukisan tua bergaya renaissance menghiasi dinding. Sementara furniture mewah mencipkatan suasana yang begitu hangat dan nyaman.Di pojok ruangan, wanita itu melihat Bastian yang duduk dengan santainya, menyusuri halaman dari sebuah buku klasik.Sang pelayan mendekat, dan berkata dengan sopan. "Tuan Besar, ada Tamu untuk Anda."Bastian mengangkat kepala dan melihat ke arah wanita cantik itu. Senyum lembut terukir di wajahnya, lalu menutup buku dan meletakkannya di atas meja. "Selamat datang, Lily. Bagaimana kabarmu?" sapa Bastian, menyebut nama wanita cantik itu. "Aku baik, Kek," balas Lily sambil tersenyum manis.Kemudian Bastian mempersilahka
Matahari pagi mulai menerobos lewat cela-cela korden, membuat cahaya hangat memancar dengan lembut ke dalam ruangan. Seyra menggeliat di dalam pelukan Regan, merasa tubuhnya remuk akibat sentuhan ganas suaminya sepanjang malam. Dia tidak menyangka jika Regan begitu bergairah, seolah tidak mempedulikan kebutuhan istirahatnya.Namun meskipun lelah, Seyra tidak bisa menahan senyum saat melihat wajah tampan Regan dari jarak sedekat ini. Dia bisa menikmati semua bagian-bagian wajah pria itu yang tampak sempurna di matanya."Selamat pagi." Regan membuka mata perlahan dan tersenyum hangat pada istrinya.Seyra membalas sapaan Regan dengan bibir cemberut. "Gara-gara kamu, sekarang aku sulit bangun dari tempat tidur."Regan terkekeh pelan. Kedua tangannya semakin erat mendekap Seyra. "Kalau begitu, tidak usah bangun. Kita bisa menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam kamar."Seyra mencubit perut kotak-kotak Regan dengan kesal. "Kalau seperti itu, aku bisa-bisa mati di tempat tidur. Kamu tida
Atmosfer ketegangan melingkupi ruangan itu. Terlebih melihat wajah seorang Nyonya Pratama yang tampak mengeras, begitu tidak bersahabat. Tania secara refleks menundukkan kepala saat tatapan tajam Mira seolah ingin mengulitinya. Hubungan dia dan Aldo, belum diketahui oleh Mira. Karena Mira menginginkan Aldo menikah dengan keluarga terpandang dan bersih dari skandal."Tunggu apa lagi! Sekarang keluar!" perintah Mira dengan suara tegas.Tania terhenyak di pijakannya. Dia sedikit mengangkat wajahnya untuk melihat ekspresi Mira yang tidak bersahabat. "Sekali lagi saya minta maaf, Nyonya."Mira hanya menanggapinya dengan wajah dingin. Dia mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh Tania untuk segera keluar.Tania menatap sebentar ke arah Aldo yang hanya diam, tanpa berusaha menahan atau membelanya. Dengan tatapan kecewa, Tania berbalik dan segera keluar dari ruangan itu. Saat sampai di meja ruangannya, ia membuka genggaman tangannya, menatap testpack yang menunjukkan garis dua. Padahal Tania b