Obrolan mereka disela oleh seorang waitress yang datang menghampiri mereka. Pesanan mereka sudah datang. Terhidangkan di atas meja. Keduanya pun menyantap pesanan mereka dalam suasana hening.
Hanna tidak memesan makanan, hanya jus jambu merah saja. Dia sedang tidak selera makan. Sudah lama Hanna tidak memperhatikan papanya yang sedang makan. Melihat Matthew menyantap makanannya dengan elegan. Hanna terus memerhatikan. Matthew hanya sesekali menatap Hanna.
Hanna sendiri antara menikmati dan tidak, minuman yang dia pesan. Hanya sedikit yang baru masuk ke tenggorokan. Dirinya kebanyakan melamun.
Tiba-tiba saja, Hanna menggeser agak jauh minumannya. Perut terasa diputar-putar, dililit-lilit, terasa sangat sakit. Hanna merintih kesakitan sambil memegangi perutnya. Mendengar suara ringisan itu, Matthew menatap Hanna penuh kebingungan.
"Kenapa kamu?" tanya Matthew.
Hanna tidak
"Saya sudah menyuruhnya untuk datang hari ini, mulai bekerja. Tapi kamu tahu sendiri sekarang sudah jam sepuluh. Dia belum datang juga," jawab Sean. Menyandar punggungnya ke kursi."Nanti saya coba tanya kepada satpam, Pak. Mungkin saja mereka melihat Pak Bagus," ujar Khalif.Sean mengangguk. "Boleh. Jika melihat Bagus, sampaikan saja untuk datang langsung ke ruangan saya," balasnya."Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu," ucap Khalif. Berbalik badan lalu keluar dari ruangan atasannya.Khalif bergerak menuju pos satpam. Ketika sampai di pintu utama, dia berpapasan dengan Julio. Khalif memicing heran saat melihat penampilan Julio yang berantakan. Seragam kusut, sama seperti mukanya. Rambut acak-acakan. Menenteng tasnya, ketebak kalau Julio baru saja tiba di kantor."Jam segini baru datang, memang wajar kalau Pak Sean menurunkan jabatannya menjadi seorang office boy,
"Julio, kerja yang bener! Nanti kamu dimarahi Pak Sean."Salah seorang rekan kerja sesama office boy, menegur Julio. Lelaki itu tidak terima."Heh, kau lancang sekali memanggil aku dengan nama. Kau tidak tahu aku siapa?" bentak Julio."Loh, kan, kita sama-sama seorang office boy. Lagian, umur kita juga sama, sih. Wajar kalau aku panggil nama," balas lelaki itu.Julio merasa geram. Dibantingkannya pengepel ke lantai. Menimbulkan bunyi yang keras. Julio saat ini menjadi pusat perhatian, sebenarnya dia suka itu. Namun, bukan di posisi turun jabatan seperti itu. Tatapan mereka adalah penghinaan. Dia merasa dipermalukan. Untuk pertama kalinya, Julio bekerja sebagai office boy."Ini balasan untuk kamu karena terlalu bersikap sombong. Sekarang kamu rasakan bagaimana ada di posisi terendah. Aku harap kamu bisa mengambil pelajaran," ujar rekan kerja Julio yang l
Keesokan harinya. Sudah sejak kemarin Hanna belum makan nasi. Yang dia makan hanya bubur, roti, itu pun sedikit. Dia tidak selera makan, selalu saja apa yang dia konsumsi, berujung keluar semua karena muntah. Imunitas tubuh Hanna melemah. Sering merasa pusing, jam tidurnya berantakan karena tidak bisa tidur. Kebanyakan terbagun. Efek kehamilan memang begitu dahsyat ke tubuhnya.Kembali bekerja sesuai permintaan papanya. Tidak mau mengecewakan Matthew lagi. Hanna sekarang stay di ruangan. Tidak ada pertemuan dengan klien hari ini, dia hanya sibuk menandatangani beberapa berkas.Hanna menyusun kembali berkas-berkas tersebut. Dia membutuhkan penjepit kertas. Membuka laci, mencari benda kecil itu di dalam. Setelah mendapat apa yang dia cari, diambilnya. Kedua mata terfokus pada selembar kertas. Dia juga mengambil itu.Ketika dia sudah menjepit berkas tersebut, disingkirkannya dulu. Dia meraih kertas yang tadi diambi
Pilihan wanita itu jatuh pada sebuah dress berwarna putih gading di atas lutut. Baju yang sopan dan tidak terlalu terbuka. Tidak terlalu ketat juga. Hanna menggerai rambut yang panjangnya lima sentimeter di bawah bahu. Tak lupa dia mengoleskan make up tipis dan menyemprotkan parfum.Sepatu high heels berwarna hitam dan juga tas tangan yang berwarna senada, Hanna kenakan. Penampilannya begitu elegan. Tak lupa kalung berlian bermata indah di lehernya yang dibanderol dengan harga puluhan juta.Hanna mematut diri kembali di depan cermin. Langkah berat untuk menghadiri. Namun, dia tidak mau mengecewakan papanya lagi. Merasa penampilan sudah baik, Hanna pergi ke acara gathering sang papa seorang diri.Sebuah mobil berwarna hitam, tiba di sebuah gedung tempat berlangsungnya gathering. Sudah banyak mobil yang terparkir di sana. Hanna cukup kesulitan mencari lahan yang kosong. Dia pun hanya mengikuti ar
"Kita perlu bicara. Kamu akan kabur kalau aku lepaskan. Kita sudah lama tidak bertemu, tidakkah kamu rindu? Aku rindu sekali, terlebih dengan lekukan tubuh kamu," balas Robby.Hanna naik pitam. Merasa terhina dengan perkataan Robby barusan. Refleks telapak tangan mendarat di pipi Robby. Tamparan yang tak seberapa sebab dia menggunakan tangan kiri. Mungkin akan lebih sakit jika menggunakan tangan kanan, tetapi masih dipegang erat oleh Robby.Robby cukup terkejut, tetapi kemudian dia tertawa kecil."Terima kasih atas tamparannya, aku anggap itu salam pembuka dari kamu. Itu tidak ada sakit-sakitnya, tangan kamu sangat lembut. Masih sama saat kamu membelai aku dulu," ucap Robby, mengerlingkan sebelah mata."Kau gila, Robby. Psikopat!" teriak Hanna penuh emosi."Aku memang gila. Gila karena kamu." Robby menjulurkan tangan, hendak menyentuh pipi Hanna, tetapi dengan sigap langsung dite
"Paman sama papa kamu sangat khawatir. Syukurlah kalau kamu baik-baik saja," ujar Sean.Hanna tersenyum getir. Hatinya tersentuh saat tahu kalau papanya mengkhawatirkan dirinya."Papa khawatir karena takut kalau aku bertemu dengan Robby?" batin Hanna bertanya-tanya."Jangan khawatir, Paman. Aku baik-baik saja," ucap Hanna menenangkan.Hanna dibawa Sean menjumpai papanya. Saat Matthew bertemu dengan Hanna, Matthew refleks memeluk sang anak."Kamu ke mana saja?" tanya Matthew.Hanna pun menjawab dengan kalimat yang sama, saat dia menjawab pertanyaan Sean.Matthew yang sebenarnya curiga dengan sang anak. Tidak mau menyinggung soal Robby kepada Hanna."Jangan khawatir, Pa. Aku tidak apa-apa. Terima kasih Papa masih peduli dengan aku," ungkap Hanna yang tak bisa m
Robby geram dengan sikap Asep. Berlari ke arahnya lalu mencengkeram kaos Asep. Tarikan kuat dari Robby, membuat dia bangkit dari tanah."Kau tidak tahu atau pura-pura, hah?" tanya Robby membentak.Asep masih tidak tahu apa kesalahannya."Kenapa Hanna bisa lepas? Kau tidak menyekapnya dengan benar. Percuma aku membayar kau mahal. Dasar tidak berguna," sungut Robby.Asep baru mengingatnya sekarang. Pasti Robby berjumpa dengan Hanna."Maafkan saya, Bos. Aku sudah berusaha menyekapnya dengan baik, tapi dia bisa lolos. Aku kira dia diselamatkan oleh orang lain," ujar Asep."Siapa dia?" tanya Robby."Aku tidak tahu, Bos. Pokoknya begitu aku datang setelah menerima bayaran dari Bos waktu itu, Hanna sudah tidak ada lagi di tempatnya," jawab Asep. Berkata jujur."Apa pun alasan kau, aku tidak terima!" Robby ikut menghajar Asep
Bagus kelelahan, terduduk di lantai sambil menyandarkan punggungnya ke dinding rumah bercat putih itu. Sebuah mobil muncul di hadapan Bagus. Dengan sigap dia pun segera bangkit. Sang pengemudi keluar dari kendaraannya, sosok yang sudah ditunggu Bagus sejak tadi."Wah, ada apa gerangan, sosok kurir pengantar makanan datang ke sini? Apakah aku ada memesan sesuatu?" tanyanya. Pandai menyembunyikan keterkejutan akan kehadiran Bagus di depan rumah. Hanna kembali ke rumah karena ada sesuatu yang harus dia ambil."Hanna Rihanna Kumalasari." Bagus menyebutkan nama wamita tersebut dengan mantap."Ya?" tanya Hanna. Alisnya terangkat sebelah. Bingung kenapa Bagus bisa ada di sini.Bagus menarik napas dalam-dalam. Ada rasa bimbang, tetapi dia mencoba memantapkan hati. Tidak ada pilihan lain, demi kesembuhan sang ayah."Aku mau menikah kontrak dengan kamu," ucap Bagus. Penuh keyakinan.