“Entahlah Nala, sebelumnya aku sama sekali enggak pernah terlibat dengan kasus yang seperti ini. Dia memfitnahmu dan malah sengaja menyebarkan semuanya di media sosial. Akan seperti apa kebencian ayahmu terhadap ini? Oh iya, apa jangan-jangan kemarin dia juga yang menyampaikan berita ini sampai ibumu jatuh sakit?”
Benar, aku tidak berfikiran sampai sejauh itu. Aku sama sekali tidak menduga bila Mas Akbar akan menjadi selicik ini. Sebenarnya untuk apa tujuannya memfitnahku? Buakanya seharusnya dia senang aku pergi tidak meminta dan membawa apapun darinya? Aku juga tidak menyebarkan berita ini ke sosial media. Tapi dia? Oh, kepalaku kembali berdenyut dan merasakan basah di sekitar hidungku.
“Nala!” pekik Ryan yang terkejut melihat darah kembali mengucur dari hidungku.
“Bunda, Bunda kenapa Om Dokter?” tanya Gaffi kepada Ryan yang merangkul tubuhku yang limbung.
Ryan membawaku ke so
Tamu yang Kubenci “Em, lumayan dimudahkan,” jawabku kepadanya yang kemudian kembali melanjutkan kegiatannya. Sebenarnya, di saat mereka sedang berdua seperti ini, aku merasa bila Gaffi jauh lebih bahagia dengan Ryan dari pada dengan ayahnya sendiri. 6 tahun yang lalu saat putraku baru lahir, semuanya masih berjalan baik. Mas Akbar, masih tampil sebagai suami yang paling sempurna di mataku. Lalu … di malam kebangkrutan itu, di saat dia menghilang selama 3 hari dari kami, semuanya berubah. Entah apa yang dia lakukan di luar sana, entah apa yang dia upayakan, aku sama sekali tidak tahu. Hanya saja, semenjak hari itu, dia jadi menjaga jarak denganku dan hanya mau medekatiku ketika akan mengeluarkan air maninya. Iya, semua ini baru ku sadari setelah semalam aku memikirkan semuanya. Aku baru sadar itu, sikapnya berubah sudah semenjak Gaffi berumur 5 tahun. Semenjak satu tahun yang lalu dia menjauhiku. Sering pulang malam dan jarang meluangkan waktu. Seharusnya aku mendengarkan keluhan d
Pertengkaran di Tengah Badai “Enggak bisa Nala, mau sampai kapan kamu menghindar? Kita harus temui dia,” kata Ryan padaku. “Tenang, jangan takut. Ada aku okay?” ucapnya yang berusaha meyakinkanku. Aku menggeleng bersamaan dengan luruhnya air mataku. Aku sudah begitu jengah menghadapi sin dalam drama ini. Menguras tenagaku dan membuatku sesak dalam bernapas. “Iya, ada kamu tapi mau apa kalian kalau bertemu? Berkelahi lagi? Saling adu tinju lagi? Udah Yan, udah,” kataku dengan terus menarik lengannya. Itulah yang aku benci dari seorang pria. Amarahnya dan egonya. Keduanya seperti trisula sedang yang satunya lagi adalah harga diri yang teramat tinggi. Benar atau salah yang penting marah, itulah mereka dari yang sejauh ini aku pahami. Selalu saja seperti ini. “Kalau kalian bertemu siang hari terserah Yan, ini malam hari. Aku takut kalian kalap, sudahlah lebih baik kamu minta bantuan keamanan lingkungan sini saja,” usulku yang tidak berpikir panjang. “Nala, tidak bisa seperti ini. Saa
13. Keberangkatan Ryan"Yan, jadi mau berangkat? Keadaanmu masih kayak gini, apa enggak sebaiknya ditunda aja dulu?" usulku kepada pemilik rumah yang kutempati ini. Kulihat saja saat ini wajahnya masih lebam. Lukanya bahkan belum sembuh benar. Aku memerhatikan bagian sekitar matanya yang sudah ada 3 hari ini dan masih saja meninggalkan jejak kebiruan. "Bagaimana? Masa iya mau aku batalkan Nala. Nanti aku bisa kehilangan kesempatan," jawab Ryan sembari membaca beberapa kertas entah apa itu. Dia terlihat begitu fokus membacanya dengan bantuan kaca mata. Dalam sudut ini, harus aku akui bahwa dia masih memiliki kharismanya. Terpaan hangat mentari pagi menyinari wajahnya. Kilau kekuningan itu menambah tampan garis wajahnya. "Kenapa lihatin aku kayak gitu? Aku ajak nikah beneran dari kemarin enggak kamu jawab Nala," cetusnya yang membuat kedua pipiku memerah dan aku salah tingkah. Aku menenggak air putih yang ada di depan mataku. Terasa hawa yang berbeda ketika dia berbicara demikian.
Satu minggu semenjak kepergiannya, aku seperti orang gila yang kadang ketakutan berada sendirian di rumah orang lain. Kadang juga aku merasa risih dan malu sendiri. Hal bisa kulakukan adalah menjaga dan membersihkan rumah ini.Aktivitasku sama sekali tidak ada yang terganggu. Gaffi masih bersekolah di sekolahnya yang dulu. Ingin rasanya aku pergi dari sini, menjauhi peluang untuk bertemu dengan Mas Akbar. Namun, semua itu masih kuurungkan dan menunggu hasil putusan sidang. Setelah itu mungkin aku akan pergi jauh.Tanpa kusadari aku mulai terbiasa dengan kehadiran Ryan. Walaupun, kebiasaan itu hanyalah berkirim pesan yang isinya sekedar mengingatkan untuk mengunci pintu. Kadang juga dia mengingatkan aku untuk menjemput Gaffi. Hal kecil seperti itu yang sama sekali tidak pernah kudapatkan dari suamiku semenjak satu tahun terakhir ini.7 tahun pernikahan kami, aku yang semula selalu mengandalkan dia, lama-lama menjadi
Semenjak pertemuanku dengannya kemarin, aku merasa semua doaku terkabulkan. Dari mulai waktu itu, di saat dia menghilang dariku, di saat aku mendapatkan undangan pernikahannya melalui pesan singkat itu. Hatiku hancur, sangat hancur. Saat itu, aku tidak bisa memilih dia.Kuakui, sebagai lelaki aku memang snagat berambisi terhadap pendidikan terkhusus dibidang ilmu kedokteran. Gelar itu tersemat untukku yang kudapatkan nyaris tanpa suatu halangan. Hanya saja … aku, membawa perselisihan di dalamnya. Ayah, yang tidak menyetujui aku menjadi dokter dan lebih ingin aku melanjutkan bisnis keluarga ini.Lucunya lagi karena Nala, karena keadaannya yang terpuruk, bisa merupah pikiranku begitu saja. Aku yang semula gengsi untuk menyapa ayah lagi. Kini, malah duduk di ruangan ini sebagai COO (Chief Operating Officer). Aku berada di bawah jabatan ayah sebagai CEO sekarang ini.Nantinya kalau aku sudah dianggap layak oleh anggot
Jantungku berdebar kencang saat Ryan dengan sengaja menindih tubuhku. Entah hantu macam apa yang membuatnya berani melakukan ini. Aku tidak menduga saja bila dia akan berani melakukannya. "Kamu mau apa?" tanyaku padanya dengan tatapan wajah pucat pasi dan ketakutan. "Hahahaha, mau apa? Aku ya mau istirahatlah. Setelah aku pikir, selama aku pergi kemarin, sepertinya aku udah pantas jadi ayah," katanya yang membuatku semakin gugup. "Aku kangen banget sama kamu sama Gaffi, kalian baik-baik saja 'kan?" tanyanya sambil tersenyum dengan sudut matanya yang menyipit. Sungguh saat ini aku menjadi semakin gugup. Tubuhku terasa kaku dan lidahku terasa kelu. Bukankah apa yang dilakukannya ini merupakan satu tindak pelecehan? Oh, tapi tidak. Mengapa otak dan tubuhku tidak sejalan?Otakku mengatakan ini adalah kesalahan, tetapi tubuhku menerima ini sebagai bentuk kesenangan. Bagaimana ini, aku harus apa? Oh tidak Nala, jangan tunjukan kalau kamu juga merindukan sentuhan pria. Ini bukan hanya se
Pertemuan yang Tidak Terduga“Ini sarapannya, silahkan di makan,” kataku sambil duduk di sebelah putraku.“Hari ini hanya masak nasi goreng?” tanya Ryan kepadaku dengan penampilannya yang terlihat sudah rapi. Rambutnya ia sisir kebelakang menampilkan kening paripurna yang ia miliki dengan aroma parfum yang memenuhi seluruh ruangan ini.“Iya, bahan dan juga bumbu habis. Nanti setelah mengantar Gaffi ke sekolah, baru aku akan ke pasar untuk berbelanja. Yan, aku mau tanya sesuatu apa boleh?” tanyaku kepadanya dengan perasaan malu lantaran aku ini sudah terlalu banyak merepotkan dia.“Iya, mau tanya apa?” sahutnya sambil melahap masakanku yang aku tahu dia sama sekali tidak pernah ada protes setiap menyantapnya. Lain dengan Mas Akbar yang akan melayangkan sedikit protes dan terkadang ejekan.“Nanti ‘kan aku ke pasar. Aku iseng-iseng pasang menu makanan di media sosialku yang baru, aku ingin menjual makanan online apa boleh aku memakai dapurmu?”“Nala, pakai saja. Kenapa harus izin, toh ju
Selama dalam perjalanan, tante Ratna masih saja mengomel. Dia semakin kesal setelah aku menceritakan siapa tante Anggi. Di saat seperti ini aku justru merasa bersalah karena membawanya ke pasar dan membuatnya dalam keadaan yang tidak baik.“Oh, darah tinggiku kambuh,” gumamnya dengan tangannya yang bergerak memijit keningnya.“Maaf ya Tante, gara-gara ikut aku ke pasar malah tante jadi kayak gini,” kataku yang tak enak hati.“Enggak apa-apa Nala, tante merasa di saat seperti ini memang harus melindungi kamu. Kenapa kamu tidak mau melawan tadi atau meneriakinya pelakor begitu?” tanya Tante Ratna masih dengan emosinya.“Aku masih memikirkan semuanya Tante, kalau aku sendirian mungkin aku akna melakukannya. Tapi tadi kita berdua, kalau harus ada campur tangan polisi, nanti nama Tante malah terbawa. Aku tidak mau Tante, sudah cukup aku sudah banyak merepotkan anak Tante, masa