Share

9. Wanita itu Tanteku

“Ya, aku akan mengganti semua yang udah kamu kasih untuk aku dan Gaffi ini Yan,” kataku dengan perasaan malu karena telah sangat banyak merepotkan dia.

“Karena aku juga, kamu sampai dipecat dari rumah sakit. Terus setelah ini kamu mau kerja apa?” tanyaku kepadanya yang sampai detik ini aku juga tidak tahu banyak mengenai seluk beluk keluarganya.

Ryan terdiam, dia mengunyah makanannya dengan santai dan menatapku datar. Tatapan yang mana aku merasakan tidak ada perasaan apa-apa di dalamnya. Hanya tatapan biasa antar teman.

“Soal pekerjaan mungkin memang ini saatnya aku kembali dan mendengarkan apa kata ayah dan Bundaku. Aku harus menuruti kemauan mereka,” ujarnya yang membuatku semakin bertanya-tanya.

“Memangnya, apa kata ayahmu?” tanyaku singkat.

Ryan menenggak minumannya, jus jeruk sebagai teman makan malam kami yang dia buat sendiri. “Ya melanjutkan bisnis keluarga saja Nala, aku ras aini waktunya kau harus membantu mereka.”

“Kalau kamu mau kerja apa setelah ini? Aku masih ada tabungan, dulu yang aku ingat masakanmu itu enak banget, gimana kalau kamu buka rumah makan aja?” ucapnya yang tiba-tiba membuatku tersedak.

“Uhuk! Uhuk!”

Dengan sigap dia membantuku, memberikanku jus jeruk dan aku pun meminumnya. Ada hawa aneh saat ini, ada rasa tidak nyaman dan juga canggung bersandingkan dengan rasa butuh yang mendorong aku untuk tetap berada di hadapannya. Aku bisa merasakan saat ini dia sedang menunggu jawabanku.

“Pelan-pelan Nala, enggak ada yang minta kok,” ucapnya yang aku tahu saat ini dia sedang mengulum senyumnya.

“Kalau untuk skala rumah makan aku enggak berani Yan, itu butuh modal besar dan pengalaman dibidang kuliner. Aku sama sekali belum punya bakat dalam hal itu,” akuku pada hal yang memang aku sama sekali belum mengantongi pengalaman dan  bakat dibidang tersebut.

“Kalau untuk membuka kios kecil? Aku rasa kamu sangat bisa, seperti food truck mungkin?” usulnya yang sebenarnya sangat membuatku tergiur.

Ryan berpindah posisi, dari dia yang duduk di seberang meja kemudian beralih duduk di sampingku dengan membawa kertas dan pena. Aku tidak menduga bila dia akan seserius ini dam membicarakan mengenai bisnis kecil ini. Hal itu membuatku semakin canggung, aku yang saat ini tidka dalam pengaruh emosional seperti kemarin yang mau dia peluk karena terlalu hancur, saat ini aku menjaga jarak dengannya.

Krek! Kutarik kursiku untuk menjaga jarak aman kami. Dia tidak tersiggung dan malah tersenyum kepadaku. Dengan kaku, aku membalas senyuman manis itu sekedarnya.

“Ini, kalau kamu buka foodtruck, mungkin akan menelan biaya segini ….” Terangnya panjang lebar dengan menuliskan beberapa rincian angka di buku. Dia juga merinci berapa dana yang aku butuhkan kalau aku membuat kios makanan olahan yang aku bisa mengurusnya sambil mengurus Gaffi.

Sebenarnya, hal seperti inilah yang aku tunggu dan aku inginkan dari suamiku. Waktu untuk berbincang berdua dan membicarakan rencana kecil seperti ini. Terlihat sederhana memang, tapi hal seperti ini pun sangat sulit baginya yang sibuk bukan main.

Dulu aku ingin memulai usaha kecil-kecilan, dan Mas Akbar juga yang berkata kalau itu hanya akan menyita waktuku saja dan jadi tidka fokus dengan keluarga. Padahal aku sama sekali belum pernahh mencobanya. Saat aku mengeluarkan opiniku, dan juga ide-ide di kepalaku, dia dengan cepat membasmi semua itu dengan mematahkan semangatku. Dengan mengatakan bahwa aku tidka berbakat dalam bidang itu.

Sekarang, laki-laki yang bahkan karena aku dia kehilangan pekerjaan ini justru memacu semangatku. Memberikan aku dukungan meski aku ragu. Sungguh ini adalag dua sisi yang berbeda. Ada rasa bersalah karena aku dulu membuangnya. Membuang lelaki yang bahkan selama pacaran kami sama sekali tidak saling bersentuhan, laki-laki yang menjagaku.

“Gimana? Kamu mau usaha yang mana?” tanyanya lagi yang membuatku tersadar dari lamunanku.

“Eh, nanti dulu Yan, aku enggak punya uang sebanyak ini,” jujurku padanya.

“Hemh,” dia mendengus sambil menggeleng lalau menatapku intens.

“Apa selama ini suamimu memberimu makanan yang tidak begizi? Perasaan dulu kamu itu sangat cerdas, kena sekarang jadi tulalit seperti ini?” sindirnya yang membuatku merengut seketika.

“Bukannya kayak gitu, aku lagi enggak fokus Yan, mau memulai yang mana dulu sedangkan aku tidka punya uang. Untuk emngurus perceraian, aku butuh uang dan untuk menghadapi fitnahnya aku butuh mental,” kataku dengan wajah tertunduk malu.

Ryan masih menatapku. “Aku tidka tahu kalau seleramu berubah. Kenapa suamimu itu bersikap pecundang begitu? Dia picik dan bermain seolah dia korbannya di sini. Oh, mengingatnya saja sudah membuatku geram. Apa lagi saat ingat kalau selingkuhannya itu adalah tantemu sendiri. Jijik sekali aku dengannya.”

“Apa Yan, tanteku katamu? Tante siapa?” tanyaku yang ingin memperjelas Tante siapa yang Ryan maksud.

“Apa kamu lupa, dulu satu-satunya tantemu yang aku kenal adalah tante yang menetap di rumahmu. Tante yang ayahmu sekolahkan sampai S3 itu. Aku lupa namanya tapi sangat ingat wajahnya,” papar Ryan yang membuatku meradang.

Tante Anggi maksud Ryan. Tanteku yang dulu menumpang dan dibiayai pendidikannya semasa kuliah oleh ayahku kini justru merebut suamiku? Oh Tuhan, permainan macam apa ini?

Seketika tubuhku melemas, detak jantungku terpacu. Rasanya aku ingin memaki dan memukul sesuatu. Namun, aku hanya bisa meredamnya yang mengeluarkannya dalam tetes air mata ketidak berdayaan. Kututup wajahku dan aku menangis tergugu tanpa malu di hadapan Ryan.

“Tenangkan dirimu, maaf aku kelepasan. Seharusnya aku tidak membuatmu mengingat hal ini lagi. Aku tahu ini sakit, tapi cara terbaiknya adalah kamu harus melawannya dan membiasakan diri berhadapan dengan semua luka ini,” ujar Ryan yang memang benar adanya.

“Salahku apa sih Yan? Kenapa Tuhan kasih aku ujian seberat ini. Sakit Yan, sakit ….” Aduku tanpa tahu malu dengan air mata yang berjatuhan tanpa ragu.

“Sini, kalau mau nangis sini. Menangislah, tapi janji besok, kamu harus lebih kuat dari hari ini,” ucapnya menguatkanku dan tidka melarangku dalam meneteskan air mata.

“Tuhan kasih ini semua bukan karena kamu salah Nala, tapi Dia kasih ini supaya kamu tahu akan semua kebohongan suamimu. Dalam suatu pohon itu perlu dilakukan pruning. Membuang dahan-dahan tua agar muncul tunas baru, begitupun dengan kita. Tuhan ambil dia yang buruk dan suatu saat akan menggantikan dengan yang baik. Tapi, untuk itu kita dilatih kuat, dilatih tegar, dan dilatih untuk percaya akan keindahan di akhir cerita. Apa kamu dengar itu?” tanyanya kepadaku yang hanya kuangguki tanpa balasan sepatah kata pun.

“Sudah malam, kamu sudah menangis di pelukanku selama setengah jam. Bajuku pun sudah kena ingusmu. Sana kembali ke kamar, temani Gaffi dan tidur, kamu harus kuat untuk besok. Harus lebih tegar, air matamu ini hanya supaya hatimu lega, bukan untuk menyelesaikan masalah yang ada,” tuturnya lembut sembari mengusap air mata di pipiku.

Malam ini kuhabiskan untuk merenung. Aku menangis semalaman di dalam kamar, membakar kalori dan mengubahnya dengan air mata. Perlahan pengaruh obat yang kuminum membuat mataku tak mampu lagi terbuka lebar. Aku terpejam.

****

Pagi hari, aku terbangun. Putraku Gaffi sudah tidak ada di sisiku, segera aku keluar mencarinya, rupanya dia sedang bersama Ryan menikmati sarapannya. Iya, dia kelaparan sebab kemarin sore sama sekli tidka makan.

Melihatku berdiri di ambang pintu kamar, Ryan langsung menghampiriku dan menunjukan sesuatu di ponselnya. Seketika itu juga aku terbelalak. Aku tidak percaya jika semuanya akan bergulir liar.

“Yan, aku harus bagaimana kalau seperti ini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status