“Ya, aku akan mengganti semua yang udah kamu kasih untuk aku dan Gaffi ini Yan,” kataku dengan perasaan malu karena telah sangat banyak merepotkan dia.
“Karena aku juga, kamu sampai dipecat dari rumah sakit. Terus setelah ini kamu mau kerja apa?” tanyaku kepadanya yang sampai detik ini aku juga tidak tahu banyak mengenai seluk beluk keluarganya.
Ryan terdiam, dia mengunyah makanannya dengan santai dan menatapku datar. Tatapan yang mana aku merasakan tidak ada perasaan apa-apa di dalamnya. Hanya tatapan biasa antar teman.
“Soal pekerjaan mungkin memang ini saatnya aku kembali dan mendengarkan apa kata ayah dan Bundaku. Aku harus menuruti kemauan mereka,” ujarnya yang membuatku semakin bertanya-tanya.
“Memangnya, apa kata ayahmu?” tanyaku singkat.
Ryan menenggak minumannya, jus jeruk sebagai teman makan malam kami yang dia buat sendiri. “Ya melanjutkan bisnis keluarga saja Nala, aku ras aini waktunya kau harus membantu mereka.”
“Kalau kamu mau kerja apa setelah ini? Aku masih ada tabungan, dulu yang aku ingat masakanmu itu enak banget, gimana kalau kamu buka rumah makan aja?” ucapnya yang tiba-tiba membuatku tersedak.
“Uhuk! Uhuk!”
Dengan sigap dia membantuku, memberikanku jus jeruk dan aku pun meminumnya. Ada hawa aneh saat ini, ada rasa tidak nyaman dan juga canggung bersandingkan dengan rasa butuh yang mendorong aku untuk tetap berada di hadapannya. Aku bisa merasakan saat ini dia sedang menunggu jawabanku.
“Pelan-pelan Nala, enggak ada yang minta kok,” ucapnya yang aku tahu saat ini dia sedang mengulum senyumnya.
“Kalau untuk skala rumah makan aku enggak berani Yan, itu butuh modal besar dan pengalaman dibidang kuliner. Aku sama sekali belum punya bakat dalam hal itu,” akuku pada hal yang memang aku sama sekali belum mengantongi pengalaman dan bakat dibidang tersebut.
“Kalau untuk membuka kios kecil? Aku rasa kamu sangat bisa, seperti food truck mungkin?” usulnya yang sebenarnya sangat membuatku tergiur.
Ryan berpindah posisi, dari dia yang duduk di seberang meja kemudian beralih duduk di sampingku dengan membawa kertas dan pena. Aku tidak menduga bila dia akan seserius ini dam membicarakan mengenai bisnis kecil ini. Hal itu membuatku semakin canggung, aku yang saat ini tidka dalam pengaruh emosional seperti kemarin yang mau dia peluk karena terlalu hancur, saat ini aku menjaga jarak dengannya.
Krek! Kutarik kursiku untuk menjaga jarak aman kami. Dia tidak tersiggung dan malah tersenyum kepadaku. Dengan kaku, aku membalas senyuman manis itu sekedarnya.
“Ini, kalau kamu buka foodtruck, mungkin akan menelan biaya segini ….” Terangnya panjang lebar dengan menuliskan beberapa rincian angka di buku. Dia juga merinci berapa dana yang aku butuhkan kalau aku membuat kios makanan olahan yang aku bisa mengurusnya sambil mengurus Gaffi.
Sebenarnya, hal seperti inilah yang aku tunggu dan aku inginkan dari suamiku. Waktu untuk berbincang berdua dan membicarakan rencana kecil seperti ini. Terlihat sederhana memang, tapi hal seperti ini pun sangat sulit baginya yang sibuk bukan main.
Dulu aku ingin memulai usaha kecil-kecilan, dan Mas Akbar juga yang berkata kalau itu hanya akan menyita waktuku saja dan jadi tidka fokus dengan keluarga. Padahal aku sama sekali belum pernahh mencobanya. Saat aku mengeluarkan opiniku, dan juga ide-ide di kepalaku, dia dengan cepat membasmi semua itu dengan mematahkan semangatku. Dengan mengatakan bahwa aku tidka berbakat dalam bidang itu.
Sekarang, laki-laki yang bahkan karena aku dia kehilangan pekerjaan ini justru memacu semangatku. Memberikan aku dukungan meski aku ragu. Sungguh ini adalag dua sisi yang berbeda. Ada rasa bersalah karena aku dulu membuangnya. Membuang lelaki yang bahkan selama pacaran kami sama sekali tidak saling bersentuhan, laki-laki yang menjagaku.
“Gimana? Kamu mau usaha yang mana?” tanyanya lagi yang membuatku tersadar dari lamunanku.
“Eh, nanti dulu Yan, aku enggak punya uang sebanyak ini,” jujurku padanya.
“Hemh,” dia mendengus sambil menggeleng lalau menatapku intens.
“Apa selama ini suamimu memberimu makanan yang tidak begizi? Perasaan dulu kamu itu sangat cerdas, kena sekarang jadi tulalit seperti ini?” sindirnya yang membuatku merengut seketika.
“Bukannya kayak gitu, aku lagi enggak fokus Yan, mau memulai yang mana dulu sedangkan aku tidka punya uang. Untuk emngurus perceraian, aku butuh uang dan untuk menghadapi fitnahnya aku butuh mental,” kataku dengan wajah tertunduk malu.
Ryan masih menatapku. “Aku tidka tahu kalau seleramu berubah. Kenapa suamimu itu bersikap pecundang begitu? Dia picik dan bermain seolah dia korbannya di sini. Oh, mengingatnya saja sudah membuatku geram. Apa lagi saat ingat kalau selingkuhannya itu adalah tantemu sendiri. Jijik sekali aku dengannya.”
“Apa Yan, tanteku katamu? Tante siapa?” tanyaku yang ingin memperjelas Tante siapa yang Ryan maksud.
“Apa kamu lupa, dulu satu-satunya tantemu yang aku kenal adalah tante yang menetap di rumahmu. Tante yang ayahmu sekolahkan sampai S3 itu. Aku lupa namanya tapi sangat ingat wajahnya,” papar Ryan yang membuatku meradang.
Tante Anggi maksud Ryan. Tanteku yang dulu menumpang dan dibiayai pendidikannya semasa kuliah oleh ayahku kini justru merebut suamiku? Oh Tuhan, permainan macam apa ini?
Seketika tubuhku melemas, detak jantungku terpacu. Rasanya aku ingin memaki dan memukul sesuatu. Namun, aku hanya bisa meredamnya yang mengeluarkannya dalam tetes air mata ketidak berdayaan. Kututup wajahku dan aku menangis tergugu tanpa malu di hadapan Ryan.
“Tenangkan dirimu, maaf aku kelepasan. Seharusnya aku tidak membuatmu mengingat hal ini lagi. Aku tahu ini sakit, tapi cara terbaiknya adalah kamu harus melawannya dan membiasakan diri berhadapan dengan semua luka ini,” ujar Ryan yang memang benar adanya.
“Salahku apa sih Yan? Kenapa Tuhan kasih aku ujian seberat ini. Sakit Yan, sakit ….” Aduku tanpa tahu malu dengan air mata yang berjatuhan tanpa ragu.
“Sini, kalau mau nangis sini. Menangislah, tapi janji besok, kamu harus lebih kuat dari hari ini,” ucapnya menguatkanku dan tidka melarangku dalam meneteskan air mata.
“Tuhan kasih ini semua bukan karena kamu salah Nala, tapi Dia kasih ini supaya kamu tahu akan semua kebohongan suamimu. Dalam suatu pohon itu perlu dilakukan pruning. Membuang dahan-dahan tua agar muncul tunas baru, begitupun dengan kita. Tuhan ambil dia yang buruk dan suatu saat akan menggantikan dengan yang baik. Tapi, untuk itu kita dilatih kuat, dilatih tegar, dan dilatih untuk percaya akan keindahan di akhir cerita. Apa kamu dengar itu?” tanyanya kepadaku yang hanya kuangguki tanpa balasan sepatah kata pun.
“Sudah malam, kamu sudah menangis di pelukanku selama setengah jam. Bajuku pun sudah kena ingusmu. Sana kembali ke kamar, temani Gaffi dan tidur, kamu harus kuat untuk besok. Harus lebih tegar, air matamu ini hanya supaya hatimu lega, bukan untuk menyelesaikan masalah yang ada,” tuturnya lembut sembari mengusap air mata di pipiku.
Malam ini kuhabiskan untuk merenung. Aku menangis semalaman di dalam kamar, membakar kalori dan mengubahnya dengan air mata. Perlahan pengaruh obat yang kuminum membuat mataku tak mampu lagi terbuka lebar. Aku terpejam.
****
Pagi hari, aku terbangun. Putraku Gaffi sudah tidak ada di sisiku, segera aku keluar mencarinya, rupanya dia sedang bersama Ryan menikmati sarapannya. Iya, dia kelaparan sebab kemarin sore sama sekli tidka makan.
Melihatku berdiri di ambang pintu kamar, Ryan langsung menghampiriku dan menunjukan sesuatu di ponselnya. Seketika itu juga aku terbelalak. Aku tidak percaya jika semuanya akan bergulir liar.
“Yan, aku harus bagaimana kalau seperti ini?”
“Entahlah Nala, sebelumnya aku sama sekali enggak pernah terlibat dengan kasus yang seperti ini. Dia memfitnahmu dan malah sengaja menyebarkan semuanya di media sosial. Akan seperti apa kebencian ayahmu terhadap ini? Oh iya, apa jangan-jangan kemarin dia juga yang menyampaikan berita ini sampai ibumu jatuh sakit?”Benar, aku tidak berfikiran sampai sejauh itu. Aku sama sekali tidak menduga bila Mas Akbar akan menjadi selicik ini. Sebenarnya untuk apa tujuannya memfitnahku? Buakanya seharusnya dia senang aku pergi tidak meminta dan membawa apapun darinya? Aku juga tidak menyebarkan berita ini ke sosial media. Tapi dia? Oh, kepalaku kembali berdenyut dan merasakan basah di sekitar hidungku.“Nala!” pekik Ryan yang terkejut melihat darah kembali mengucur dari hidungku.“Bunda, Bunda kenapa Om Dokter?” tanya Gaffi kepada Ryan yang merangkul tubuhku yang limbung.Ryan membawaku ke so
Tamu yang Kubenci “Em, lumayan dimudahkan,” jawabku kepadanya yang kemudian kembali melanjutkan kegiatannya. Sebenarnya, di saat mereka sedang berdua seperti ini, aku merasa bila Gaffi jauh lebih bahagia dengan Ryan dari pada dengan ayahnya sendiri. 6 tahun yang lalu saat putraku baru lahir, semuanya masih berjalan baik. Mas Akbar, masih tampil sebagai suami yang paling sempurna di mataku. Lalu … di malam kebangkrutan itu, di saat dia menghilang selama 3 hari dari kami, semuanya berubah. Entah apa yang dia lakukan di luar sana, entah apa yang dia upayakan, aku sama sekali tidak tahu. Hanya saja, semenjak hari itu, dia jadi menjaga jarak denganku dan hanya mau medekatiku ketika akan mengeluarkan air maninya. Iya, semua ini baru ku sadari setelah semalam aku memikirkan semuanya. Aku baru sadar itu, sikapnya berubah sudah semenjak Gaffi berumur 5 tahun. Semenjak satu tahun yang lalu dia menjauhiku. Sering pulang malam dan jarang meluangkan waktu. Seharusnya aku mendengarkan keluhan d
Pertengkaran di Tengah Badai “Enggak bisa Nala, mau sampai kapan kamu menghindar? Kita harus temui dia,” kata Ryan padaku. “Tenang, jangan takut. Ada aku okay?” ucapnya yang berusaha meyakinkanku. Aku menggeleng bersamaan dengan luruhnya air mataku. Aku sudah begitu jengah menghadapi sin dalam drama ini. Menguras tenagaku dan membuatku sesak dalam bernapas. “Iya, ada kamu tapi mau apa kalian kalau bertemu? Berkelahi lagi? Saling adu tinju lagi? Udah Yan, udah,” kataku dengan terus menarik lengannya. Itulah yang aku benci dari seorang pria. Amarahnya dan egonya. Keduanya seperti trisula sedang yang satunya lagi adalah harga diri yang teramat tinggi. Benar atau salah yang penting marah, itulah mereka dari yang sejauh ini aku pahami. Selalu saja seperti ini. “Kalau kalian bertemu siang hari terserah Yan, ini malam hari. Aku takut kalian kalap, sudahlah lebih baik kamu minta bantuan keamanan lingkungan sini saja,” usulku yang tidak berpikir panjang. “Nala, tidak bisa seperti ini. Saa
13. Keberangkatan Ryan"Yan, jadi mau berangkat? Keadaanmu masih kayak gini, apa enggak sebaiknya ditunda aja dulu?" usulku kepada pemilik rumah yang kutempati ini. Kulihat saja saat ini wajahnya masih lebam. Lukanya bahkan belum sembuh benar. Aku memerhatikan bagian sekitar matanya yang sudah ada 3 hari ini dan masih saja meninggalkan jejak kebiruan. "Bagaimana? Masa iya mau aku batalkan Nala. Nanti aku bisa kehilangan kesempatan," jawab Ryan sembari membaca beberapa kertas entah apa itu. Dia terlihat begitu fokus membacanya dengan bantuan kaca mata. Dalam sudut ini, harus aku akui bahwa dia masih memiliki kharismanya. Terpaan hangat mentari pagi menyinari wajahnya. Kilau kekuningan itu menambah tampan garis wajahnya. "Kenapa lihatin aku kayak gitu? Aku ajak nikah beneran dari kemarin enggak kamu jawab Nala," cetusnya yang membuat kedua pipiku memerah dan aku salah tingkah. Aku menenggak air putih yang ada di depan mataku. Terasa hawa yang berbeda ketika dia berbicara demikian.
Satu minggu semenjak kepergiannya, aku seperti orang gila yang kadang ketakutan berada sendirian di rumah orang lain. Kadang juga aku merasa risih dan malu sendiri. Hal bisa kulakukan adalah menjaga dan membersihkan rumah ini.Aktivitasku sama sekali tidak ada yang terganggu. Gaffi masih bersekolah di sekolahnya yang dulu. Ingin rasanya aku pergi dari sini, menjauhi peluang untuk bertemu dengan Mas Akbar. Namun, semua itu masih kuurungkan dan menunggu hasil putusan sidang. Setelah itu mungkin aku akan pergi jauh.Tanpa kusadari aku mulai terbiasa dengan kehadiran Ryan. Walaupun, kebiasaan itu hanyalah berkirim pesan yang isinya sekedar mengingatkan untuk mengunci pintu. Kadang juga dia mengingatkan aku untuk menjemput Gaffi. Hal kecil seperti itu yang sama sekali tidak pernah kudapatkan dari suamiku semenjak satu tahun terakhir ini.7 tahun pernikahan kami, aku yang semula selalu mengandalkan dia, lama-lama menjadi
Semenjak pertemuanku dengannya kemarin, aku merasa semua doaku terkabulkan. Dari mulai waktu itu, di saat dia menghilang dariku, di saat aku mendapatkan undangan pernikahannya melalui pesan singkat itu. Hatiku hancur, sangat hancur. Saat itu, aku tidak bisa memilih dia.Kuakui, sebagai lelaki aku memang snagat berambisi terhadap pendidikan terkhusus dibidang ilmu kedokteran. Gelar itu tersemat untukku yang kudapatkan nyaris tanpa suatu halangan. Hanya saja … aku, membawa perselisihan di dalamnya. Ayah, yang tidak menyetujui aku menjadi dokter dan lebih ingin aku melanjutkan bisnis keluarga ini.Lucunya lagi karena Nala, karena keadaannya yang terpuruk, bisa merupah pikiranku begitu saja. Aku yang semula gengsi untuk menyapa ayah lagi. Kini, malah duduk di ruangan ini sebagai COO (Chief Operating Officer). Aku berada di bawah jabatan ayah sebagai CEO sekarang ini.Nantinya kalau aku sudah dianggap layak oleh anggot
Jantungku berdebar kencang saat Ryan dengan sengaja menindih tubuhku. Entah hantu macam apa yang membuatnya berani melakukan ini. Aku tidak menduga saja bila dia akan berani melakukannya. "Kamu mau apa?" tanyaku padanya dengan tatapan wajah pucat pasi dan ketakutan. "Hahahaha, mau apa? Aku ya mau istirahatlah. Setelah aku pikir, selama aku pergi kemarin, sepertinya aku udah pantas jadi ayah," katanya yang membuatku semakin gugup. "Aku kangen banget sama kamu sama Gaffi, kalian baik-baik saja 'kan?" tanyanya sambil tersenyum dengan sudut matanya yang menyipit. Sungguh saat ini aku menjadi semakin gugup. Tubuhku terasa kaku dan lidahku terasa kelu. Bukankah apa yang dilakukannya ini merupakan satu tindak pelecehan? Oh, tapi tidak. Mengapa otak dan tubuhku tidak sejalan?Otakku mengatakan ini adalah kesalahan, tetapi tubuhku menerima ini sebagai bentuk kesenangan. Bagaimana ini, aku harus apa? Oh tidak Nala, jangan tunjukan kalau kamu juga merindukan sentuhan pria. Ini bukan hanya se
Pertemuan yang Tidak Terduga“Ini sarapannya, silahkan di makan,” kataku sambil duduk di sebelah putraku.“Hari ini hanya masak nasi goreng?” tanya Ryan kepadaku dengan penampilannya yang terlihat sudah rapi. Rambutnya ia sisir kebelakang menampilkan kening paripurna yang ia miliki dengan aroma parfum yang memenuhi seluruh ruangan ini.“Iya, bahan dan juga bumbu habis. Nanti setelah mengantar Gaffi ke sekolah, baru aku akan ke pasar untuk berbelanja. Yan, aku mau tanya sesuatu apa boleh?” tanyaku kepadanya dengan perasaan malu lantaran aku ini sudah terlalu banyak merepotkan dia.“Iya, mau tanya apa?” sahutnya sambil melahap masakanku yang aku tahu dia sama sekali tidak pernah ada protes setiap menyantapnya. Lain dengan Mas Akbar yang akan melayangkan sedikit protes dan terkadang ejekan.“Nanti ‘kan aku ke pasar. Aku iseng-iseng pasang menu makanan di media sosialku yang baru, aku ingin menjual makanan online apa boleh aku memakai dapurmu?”“Nala, pakai saja. Kenapa harus izin, toh ju