Selama dalam perjalanan, tante Ratna masih saja mengomel. Dia semakin kesal setelah aku menceritakan siapa tante Anggi. Di saat seperti ini aku justru merasa bersalah karena membawanya ke pasar dan membuatnya dalam keadaan yang tidak baik.
“Oh, darah tinggiku kambuh,” gumamnya dengan tangannya yang bergerak memijit keningnya.
“Maaf ya Tante, gara-gara ikut aku ke pasar malah tante jadi kayak gini,” kataku yang tak enak hati.
“Enggak apa-apa Nala, tante merasa di saat seperti ini memang harus melindungi kamu. Kenapa kamu tidak mau melawan tadi atau meneriakinya pelakor begitu?” tanya Tante Ratna masih dengan emosinya.
“Aku masih memikirkan semuanya Tante, kalau aku sendirian mungkin aku akna melakukannya. Tapi tadi kita berdua, kalau harus ada campur tangan polisi, nanti nama Tante malah terbawa. Aku tidak mau Tante, sudah cukup aku sudah banyak merepotkan anak Tante, masa
“Enggak, bukan maksud aku buat bohong Yan, hanya saja Mamamu memintaku untuk seperti itu. aku juga enggak tahu kenapa dia minta aku rahasiakan ini. Memangnya ada apa diantara kalian?” tanyaku kepada Ryan.Ryan tidak menjawabku, dia hanya beranjak dari duduknya dan kemudian menyambut tante Ratna dan juga Gaffi. Aku tidak bisa memastikan ekspresi apa yang wajahnya tampilkan itu. hanya saja, dia terlihat tidak begitu menyukainya. Tatapan yang membuat tante Ratna yang beru masuk ke dalam rumah terlihat sedikit gugup.“Mama,” panggil Ryan dengan pelan namun cukup membuat tante Ratna sedikit terlonjak sebab Ryan berada di balik pintu dengan kedua tangannya yang terlipat ke dada.“Astaga!” sentak tante Ratna yang terlonjak kaget sambil menggendong Gaffi. “Ryan? Bukannya kamu kerja harusnya Sayang?” tanya tante Ratna yang terlihat begitu gugup.Ryan menyambut tangan tante Ratna lalu menciumnya. Ia dia bertakzim dan kemudian memeluk mamanya. Terlihat begitu lembut dan hangat membuatku iri seba
Selesai dengan masakanku, aku kemudian mengajaknya makan. Namun tidak semuanya yang aku ambilkan ia habiskan. Aku paham, mungkin dia sudah kehilangan selera makan karena keadaan tubuhnya.Tetapi Gaffi, dia mencontohkan bagaimana caranya makan dengan lahap. Bujang kecilku itu begitu perhatian kepada Ryan dan aku akui itu saling berbalasan. Tidak seperti saat bersama ayahnya yang semenjak mengenal tante Anggi jadi tidak memperhatikan bagaimana putranya lagi dan hatiku sakit sekali setiap mengingatnya.Apa kurangnya Gaffi? Apa ini hanye karena warna kulit atau ukuran tubuh putraku? Iya, suamiku memang selalu menuntut kesempurnaan. Mulutnya memang sering mengomentari tubuh gembil putraku. Hanya saja dahulu aku sama sekali tidak peka. Aku mengira semuanya baik-baik saja. Tapi nyatanya aku salah.“Yan, minum obatnya ya?” kataku yang memberikannya obat magh untuk menurunkan kadar asam lambungnya yang mulai meninggi.Dia mengangguk lalu berusaha untuk meminumnya meski sewaktu kulihat dia kesu
“Terus siapa Nala?”“Bukan aku atau Ayah ibu Yan, tapi Mas Akbar yang bersikukuh ingin mengundangmu.”Aku sudah tidak bisa lagi menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Hal ini sudah cukup lama menggangguku. Waktu itu, Mas Akbar yang mengundangnya dengan niatan ingin mengejeknya dengan balutan silaturahim. Aku cukup bersyukur karena waktu itu Ryan tidak datang.“Untuk apa dia mengundangku? Tunggu, kalau begitu dia itu tahu kalau kita ini adalah mantan pacar?” cetusnya yang membuatku sedikit merasakan kegugupan.“Iya, dia tahu. Menurutmu apa sebabnya dia datang kemarin lalu sampai marah dan menghajarmu?” tanyaku kepadanya yang membuatnya sedikit termangu dalam diamnya.“Aku bilang juga apa? Manfaatkan aku saja Nala, kita ini sudah terlanjur salah,” kata Ryan yang aku bisa merasakan bahwa dia ingin menantang dan emngejek balik mas Akbar.Aku menolaknya, tidak seharusnya kita melakukan kesalahan hanya karena suatu tuduhan yang tak berdasar yang sama sekali tidak pernah kita lakukan. B
"Apa maksdunya itu tadi Nala?" tanya Ryan kepadaku setelah aku emnggandengnya untuk pergi. "Maaf Yan, aku terpaksa menyeretmu ke dalam masalah ini. Aku tidka punya cara lain lagi. ini hanya untuk membungkamnya saja. dia itu ibu kandung Mas Akbar. Dia sama sekali tidak menyukaiku maupun Gaffi dari pertama kali kita menikah," akuku kepada Ryan dan kemudian aku menuntunnya masuk ke dalam ruang periksa. "Dia tidak menyukaimu? atas dasar apa?" tanya Ryan kepadaku. "Iya, dia ingin menjodohkan Mas Akbar dengan seorang janda kaya raya waktu itu. Aku ini bukan apa-apa di matanya. Sama sekali bukan, terlebih aku ini sama sekali tidak suka pamer Yan, bagiku apa yang miliki kedua orang tuaku itu sepenuhnya adalah hak mereka," kataku yang kemudian mendudukkannya di ruang tunggu. Sebentar aku meninggalkannya untuk melakukan pebdaftaran. Saat aku kembali lagi, aku melihat Gaffi sedang memijit lengan Ryan. Keduanya terlihat berbincang hangat meski dengan wajah pucat Ryan. "Ini, kita dapat antri
Suara yang terakhir kali terdengar emakiku itu kini berteriak memanggil nama putraku. Jujur saja aku malah ketakutan mendengarnya. Sedari awal aku pergi dan ingin berpisah darinya, dia sama sekali tidak mengindahkan mengenai Gaffi, putra kami. Lalu sekarang dia datang malam-malam begini dengan memanggil Gaffi, ada apa ini? “Yan, aku antar kamu masuk dulu ya?” kataku pada Ryan yang saat ini masih bersandar lemas di ambang pintu emnatapku penuh dengan tatapan lesu. “Enggak usah Nala, kamu urus aja suamimu itu. Aku tidak ada hak dalam hal ini aku akan duduk di sini saja dan menunggu kalian bicara,” kata Ryan yang terdengar jauh lebih dewasa ketimbang Mas Akbar yang berteriak di depan pagar rumah orang tanpa mempunyai sopan santun. “Bunda, ayah kenapa panggil Afi? Afi takut Bunda,” rengek Gaffi yang menyatakan ketakutannya dan ini justru membuatku tergores lumayan dalam. Anak yang seharusnya merasakan rindu, saat ini justru merasa takut luar biasa. “Jangan takut, itu ‘kan ayah Gaffi, k
24. Keraguan selalu adaLelaki tua tengah memangku cucunya, membelainya penuh kasih. Terpancar kerinduan yang mendalam beberapa kali ayah Ali menciumi wajah Gaffi. Aku, hanya membiarkannya saja, membiarkan seorang kakek melepaskan kerinduannya. "Lama kalian tidak ke rumah, ayah tidak menyangka kalau ada hal seperti ini Nala. Kenapa kamu diam saja dan tidak mengatakan apapun kepada Ayah?" tanyanya dengan raut kecewa dan aku bisa melihatnya dengan sangat jelas. Aku hanya bisa diam. Lidahku terlalu kaku, terasa kelu untuk memulai semuanya. Air mataku mewakili isi hatiku, mengucur tanpa perintah dan membasahi pipiku. "Ayah, aku bingung mau menceritakan ini kepada siapa. Mau bagaimanapun juga ayah adalah ayah kandung dari Mas Akbar. Aku tidak yakin kalau ayah akan percaya seratus persen terhadap apa yang aku katakan." "Nala, setelah menikah dengan putraku, kamu ini juga anakku. Sebagai ayah, aku harus memberikan keadilan bukan? Kalau anak ayah salah, ya katakan saja dia salah," ucap ay
Pagi ini, adzan subuh berkumandang. Terasa menggelitik di telinga dan membangunkan aku yang terlelap dalam kesedihan. Masih teringat jelas semalam aku begitu tersedu di atas telapak tangannya. Rasa malu bercampur aduk dengan segala rasa yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Oh, kepalaku bahkan terasa begitu berat pagi ini. Aku rasa tensi darahku naik lagi setelah kejadian semalam. Sikap ayah mertuaku berbanding terbalik dengan Mas Akbar, itu semua sungguh mengacaukan isi otakku. Cepat-cepat aku menuju ke dapur dengan harapan Ryan belum terbangun hingga aku tidak perlu bertemu dengannya pagi ini. Jam 8 pagi aku harus segera memnuhi panggilan pengacaraku. Dia menyarankan aku untuk datang ke mediasi ke dua ini supaya hakim bisa lebih mudah menilai dan memberikan putusan. Sayangnya, saat aku berada di dapur. Saat itu juga terdengar suara pintu kamar yang terbuka perlahan dan aku sangat yakin jika itu adalah Ryan. Benar saja, itu adalah dia dengan wajah pucatnya. “Pagi,” sapaku demi men
Mediasi telah berlangsung lama dan sama sekali tidak membuahkan hasil. Berkali-kali Mas Akbar menyatakan di sini bahwa dialah korban yang sesungguhnya. Iya, lelaki yang aku kenal alim ini ternyata munafik.Berdenyut kepalaku mendengarkan penuturannya dan pengacaraku pun berkali-kali membelaku sesuai dengan bukti yang aku berikan. Penolakan dan pengelakan pun berkali-kali kami dapatkan hingga pada akhirnya, pengacaraku pun merasa geram. Dia mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya muncul dalam mediasi.“Hakim seharusnya sudah bisa menilai mana hitam mana putih dari perdebatan yang sedari tadi terjadi. Di mana-mana, hanya maling yang teriak maling. Di mana-mana hanya yang bersalah yang terus berteriak mencari pembelaan dan pembenaran.” Pengacaraku setengahnya mengatakan suatu tuduhan bahwa suamiku ini tengah mencari simpatik.“Baiklah, mediasi hari ini saya tutup dan akan kembali saya adakan mediasi untuk kali terakhir minggu depan.” Hakim beranjak dari duduknya.Mas Akbar terlihat