Tidak Usah ditutupi Lagi
“Kamu harus mengatakan hal ini kepada keluargamu Nala, ada apa kamu sampai takut mengatakannya? Mau sejauh mana kamu tutupi, mereka akan mengetahuinya,” kata Ryan yang berusaha menasehatiku agar aku mau bersikap terbuka kepada kedua orang tuaku.
Aku mentapanya teduh dengan tatapan mata yang basah akan air mata. Bulir bening di mataku ini sudah tidak patuh lagi. Mereka meluncur begitu saja tanpa aba-aba dan aku benci ini mereka membasahi pipiku dan membuatku tampak lemah.
“Yan, yang menjadi masalahnya adalah sedari awal hubungan kami ayahku itu tidak pernah setuju. Dia menentang hubunganku dengan Mas Akbar. Kalau aku mengatakan yang sebenarnya kepadanya, maka dia akan memarahiku habis-habisan. Juga ….” Aku berhenti berbicara. Lidahku merasa kelu tiba-tiba aku merasa sudah terlalu banyak membuka aib keluargaku kepada pria lain. Apakah hal ini dapat dimaklumi dan dibenarkan dalam agama?
“Juga apa Nala? Jangan sembunyikan lagi, percuma juga kamu tutupi, kamu tidak tahu bagaimana suamimu itu menjelekanmu di hadapan wanitanya, kamu tidak pernah tahu ini Nala, untuk apa kamu tutupi lagi?” ujarnya penuh penekanan dan aku bisa merasakan dia terpengaruh emosi dia membenci Mas Akbar.
“Yan, tapi aku malu kepada ayah dan bundaku. Selama menikah dengan Mas Akbar, aku sama sekali tidak pernah menemui mereka. Aku sama sekali tidak pernah bertanya kabar mereka,” kataku mengakui apa yang terjadi selama ini di dalam biduk rumah tanggaku.
Ryan menghela napasnya, dia lalu memijit keningnya dan melepaskan jas putihnya. Tatapannya begitu tajam sama seperti dulu ketika dia sedang marah karena aku yang hanya diam saat di bully. Frustasi, laki-laki itu ikut merasa frustasi saat ini atas masalah yang sebenarnya bukan bagian dari hidupnya.
“Suami macam apa yang kamu nikahi itu sampai dia membutakan hatimu untuk menjauhi ibu dan bapakmu?” erangnya bertanya padaku dengan tatapan mengintimidasi.
“Benar, setelah menikah surga seorang anak itu berpindah kepada suaminya. Tetapi suami macam, apa dulu? Kalau dengan orang tuamu saja dia membiarkanmu memutus tali silaturahmi sedang kamu itu bisa hidup dan sampai sebesar itu adalah atas asuhan dan kasih sayang orang tuamu Nala, apa pantas dia mengajarkanmu untuk emnjauhi ayah dan ibumu? Kamu paham apa maksudku? Lelaki yang baik akan membawa makmumnya menuju kebaikan, bukan begini? Lalu apa lagi yang masih mau kamu tutupi dari dia?” cecarnya yang kurasakan penuh dengan kepedulian.
Aku hanya diam tak bergeming. Air mataku terus saja mengalir mewakili sakitnya hatiku yang tak terhingga. Kutatap saja wajah putraku yang masih terlelap di sampingku. Ada segudang ketakutan mengenai masa depannya nanti ketika aku menjanda, apa bisa aku menjamin masa depannya?
Aku takut? Iya aku takut. Aku sangat takut kalau anakku tidak tercukupi segala kebutuhannya setelah aku menjanda. Aku takut kalau aku tidak bisa menjamin masa depannya. Aku takut kalau dia akan menerima ejekan dari teman-temannya. Rentetan kecemasan dan ketakutan itu menindihku hingga membuatku sesak dan kelu.
“Aku tidak tahu Yan, aku merasa hilang kepercayaan diri saat ini. Aku sama sekali tidak punya kekuatan. Yang aku inginkan hanya bisa lepas darinya.”
“Aku akan mengantarmu menemui Om dan Tante, aku mendukungmu Nala. Aku kasihan kepadamu dan juga Gaffi. Jika kamu kuat secara finansial, tentunya kamu tidak akan seperti ini. Apa lagi yang kamu tutupi apa masih ada rahasia dalam hal finansial keluarga kalian juga?” tanya Ryan yang membuatku semakin rajin memeras air mataku.
Satu fakta yang harus aku ungkapkan di sini. Aku adalah istri yang begitu patuh kepada suami. Sampai soal urusan tabungan saja aku percayakan seutuhnya kepadanya. Aku hanya mengelola uang makan dan kebutuhan bulanan. Selebihnya soal rtabungan, suamiku selalu berdalih telah menggunakannya untuk investasi.
“Aku tidak memegang banyak uang Ryan. Hanya tinggal beberapa juta saja yang ada di rekeningku,” akuku kemudian yang membuat mantan pacarku sewaktu SMA itu meremas rambutnya dan merasa frustasi.
“Astaga Nala, kenapa kamu tidak berubah? Kenapa kamu masih saja sangat mudah mememrcayai orang lain seperti ini? Walaupun dia suamimu, setidaknya kamu harus punya tabungan sendiri. Suami yang baik tidak akan mengusik keuangan istrinya. Harga diri Nala, harga diri.”
“Harga diri laki-laki akan runtuh bila ia mengeluh kepada wanitanya mengenai keuangan. Tapi ini? Oh, ayolah Nala, ini sudah jaman apa? Dan kamu masih saja berlagak seperti Khadijah yang bahkan merelakan dan memercayakan seluruh harta bendanya kepada baginda Nabi. Suamimu itu bukan Nabi, dan lihat dia berselingkuh sekarang dan menipumu,” ucapnya yang membuatku tersadar.
Iya, Ryan benar. Selama ini aku termakan dengan segala dalilnya yang aku telan mentah-mentah. Aku termakan tampilannya yang terlihat begitu taat dan beriman. Kenyataannya? Kenyataannya aku diduakan dan entah sudah berapa lama dia menghinatiku aku belum tahu.
“Lalu aku harus bagaimana Ryan? Bagaimana? Jika aku berdiam di rumah saja, sudah pasti dia akan sering mendatangi Gaffi dengan alasan menengok anak kami. Sedangkan aku di sana sendirian, tidak ada sama sekali kerabat yang bisa melindungiku. Jujur saja aku takut kalau dia nekat melakukan sesuatu.”
“Nekat melakukan sesuatu? Maksudmu?” tanya Ryan.
“Ya mungkin saja dia kan merebut hak asuh Gaffi nantinya dariku karena secara ekonomi dia lebih kuat dariku,” kataku yang membayangkannya saja sudah sangat sakit.
“Tidak, aku tidak dia memiliki upaya untuk mempertahankan kalian. Sama sekali tidak Nala. Kamu masih berpikiran kalau suamimu itu akan merengek demi meminta maafmu? Kamu salah,” pungkasnya yang membuatku melongo tidak percaya.
“Yan, bagaimana bisa kamu menilainya seperti itu? kamu tidak kenal baik dengannya,” tepisku yang tidak begitu saja memercayai ucapan mantan pacarku sewaktu muda ini.
Ryan tersenyum, lalu menatapku teduh. “Nala, aku ini lelaki. Aku bisa menilai bagaimana karakter dan apa yang ada di dalam pemikiran lelaki lain. Aku harap kamu kuat mendengarnya.”
Ucapannya itu membuatku sangat epnasaran. Bagaimana bisa dia menilai seperti itu dalam sekali bertemu? Dan penilaiannya itu terdengar begitu final. Apa ada hal lain yang terjadi tadi saat mereka adu tinju?
“Katakan Yan, katakan saja aku mohon,” rengekku padanya dengan debaran jantung yang semakin tidak menentu.
“Kuatkan hatimu ya,” pintanya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin semakin membuatku tergugu.
“Apa itu Yan?” tanyaku lagi mengulang pertanyaan yang sama dengan suara yang bergetar.
Ryan kembali duduk di kursi yang berada di samping brangkar, dia menatapku, sebentar memainkan bibirnya dan menunduk. Sepertinya ini adalah hal yang sangat sulit dan menyakitkan untuk ia sampaikan.
“Tadi, setelah kami bertengkar dan dibawa ke kantor polisi, suamimu itu dijemput oleh wanita hamil yang aku masih ingat siapa dia, datang bersama wanita yang ia panggil ibu. Mereka terlihat begitu cemas saat melihat suamimu itu babak belur. Wanita hamil itu memeluknya dan mencium pipinya di hadapan wanita paruh baya yang memiliki potongan rambut seperti pria.”
“Katakan siapa wanita hamil itu Yan, kamu masih mengingat dia, kamu mengenalinya?” tanyaku yang berharap apa yang dia lihat keliru.
“Apa kamu akan kuat Nala? Aku takut kamu kenapa-kenapa,” ucapnya lembut menatapku dengan maniknya yang berkaca-kaca.
“Iya, aku akan berusaha kuat Yan, katakan siapa wanita itu? Aku mohon ….” Rengekku sambil menangis tergugu dalam dekapannya.
“Katakan Yan, siapa wanita itu? Aku ingin tahu sekarang,” desakku kepada Ryan yang masih mendekapku.“Dia, dia adalah ….”Belum selesai Ryan berbicara, pintu ruang rawat terbuka dengan kasarnya suaranya keras dan membentur. Gaffi yang sedang terlelap pun sampai terbangun dan seketika menangis histeris. Iya, Mas Akbar datang lagi dan langsung dengan sekejap mata mendaratkan tinjunya lagi.aku yang melihat itu kali ini tidak tinggal diam. Dia terus saja melampiaskan semuanya kepada Ryan yang sebenarnya hanya ingin menolongku. Ryan memelukku karena ingin menenangkanku bukan karena niatan lain. Aku bisa merasakan ketulusannya.“Jangan Mas! Kamu apa-apaan main pukul aja sama dia? Dia enggak salah apa-apa!” bentakku dengan suara yang kupaksaan berseling dengan isak tangis yang tak bisa lagi kutahan.“Oh, jadi ini alasan kamu minta cerai Nala! Kamu diam-diam ada hub
Melaju perlahan membelah jalanan. Kini aku tengah berada di dalam mobil Ryan. Dia berniat mengantarkan aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku menurutinya setelah Ryan lama membujukku. Membujuk aku yang keras kepala ini yang bersikukuh bisa menghadapi semuanya sendiri. Padahal nyatanya aku sama sekali tidak kuat. Aku rapuh, sangat rapuh. "Kamu takut sama Om dan Tante?" tanya Ryan dengan maksud om dan Tante adalah ayah dan ibuku. "Iya Yan, aku sangat takut. Bagaimana kalau mereka menolakku? Bagaimana Yan? Sedangkan aku merasa terancam bila berada sendirian di rumah." "Apapun itu, hadapi Nala. Hadapi, kamu itu harus berani. Mereka orang tuamu, mungkin awalnya mereka akan menolak, tetapi pada akhirnya aku yakin bila mereka akan tetap menolongmu. Kamu itu anak kandungnya," ujar Ryan menguatkan aku, menambah setitik rasa berani di dalam diriku. Apakah ini sudah benar? Apakah tidak memalukan berbuat seperti ini? Aku malu, bila harus merepotkan mereka sedangkan dulu saja aku menjauhi mereka
Ayahku menolakku dan juga anakku. Saat ini aku sama sekali tidak punya tujuan. Bajuku dan juga Gaffi sudah pasti basah kuyup. Aku tak ubahnya seperti bunga dandelion yang terhempas sang bayung. Terbang ke sana ke mari tanpa tujuan yang pasti.Satu orang yang bisa kujadikan tumpuan saat ini hanyalah Ryan. Aku sama sekali tidak menyangka bila saat ini duniaku justru berporos kepadanya, mantan pacarku saat SMA yang ku tinggalkan hanya karena jarak yang memisahkan. Sebanarnya aku sangat malu. Namun, aku pun tidak bisa berbuat banyak.“Gaffi basah ya bajunya?” tanyanya padaku sambil mengemudi.“Iya Yan, tapi mungkin di koper itu masih ada pakaiannya yang bisa dipakai.”“Hhh … semoga saja,” dengusnya yang kemudian kembali mengemudi hingga kami tiba di sebuah rumah yang berpagar putih nan tinggi.“Ini rumah siapa Yan?” tanyaku kepadanya. Agak aneh bagiku, seba
“Ya, aku akan mengganti semua yang udah kamu kasih untuk aku dan Gaffi ini Yan,” kataku dengan perasaan malu karena telah sangat banyak merepotkan dia.“Karena aku juga, kamu sampai dipecat dari rumah sakit. Terus setelah ini kamu mau kerja apa?” tanyaku kepadanya yang sampai detik ini aku juga tidak tahu banyak mengenai seluk beluk keluarganya.Ryan terdiam, dia mengunyah makanannya dengan santai dan menatapku datar. Tatapan yang mana aku merasakan tidak ada perasaan apa-apa di dalamnya. Hanya tatapan biasa antar teman.“Soal pekerjaan mungkin memang ini saatnya aku kembali dan mendengarkan apa kata ayah dan Bundaku. Aku harus menuruti kemauan mereka,” ujarnya yang membuatku semakin bertanya-tanya.“Memangnya, apa kata ayahmu?” tanyaku singkat.Ryan menenggak minumannya, jus jeruk sebagai teman makan malam kami yang dia buat sendiri. “Ya melanjutkan bis
“Entahlah Nala, sebelumnya aku sama sekali enggak pernah terlibat dengan kasus yang seperti ini. Dia memfitnahmu dan malah sengaja menyebarkan semuanya di media sosial. Akan seperti apa kebencian ayahmu terhadap ini? Oh iya, apa jangan-jangan kemarin dia juga yang menyampaikan berita ini sampai ibumu jatuh sakit?”Benar, aku tidak berfikiran sampai sejauh itu. Aku sama sekali tidak menduga bila Mas Akbar akan menjadi selicik ini. Sebenarnya untuk apa tujuannya memfitnahku? Buakanya seharusnya dia senang aku pergi tidak meminta dan membawa apapun darinya? Aku juga tidak menyebarkan berita ini ke sosial media. Tapi dia? Oh, kepalaku kembali berdenyut dan merasakan basah di sekitar hidungku.“Nala!” pekik Ryan yang terkejut melihat darah kembali mengucur dari hidungku.“Bunda, Bunda kenapa Om Dokter?” tanya Gaffi kepada Ryan yang merangkul tubuhku yang limbung.Ryan membawaku ke so
Tamu yang Kubenci “Em, lumayan dimudahkan,” jawabku kepadanya yang kemudian kembali melanjutkan kegiatannya. Sebenarnya, di saat mereka sedang berdua seperti ini, aku merasa bila Gaffi jauh lebih bahagia dengan Ryan dari pada dengan ayahnya sendiri. 6 tahun yang lalu saat putraku baru lahir, semuanya masih berjalan baik. Mas Akbar, masih tampil sebagai suami yang paling sempurna di mataku. Lalu … di malam kebangkrutan itu, di saat dia menghilang selama 3 hari dari kami, semuanya berubah. Entah apa yang dia lakukan di luar sana, entah apa yang dia upayakan, aku sama sekali tidak tahu. Hanya saja, semenjak hari itu, dia jadi menjaga jarak denganku dan hanya mau medekatiku ketika akan mengeluarkan air maninya. Iya, semua ini baru ku sadari setelah semalam aku memikirkan semuanya. Aku baru sadar itu, sikapnya berubah sudah semenjak Gaffi berumur 5 tahun. Semenjak satu tahun yang lalu dia menjauhiku. Sering pulang malam dan jarang meluangkan waktu. Seharusnya aku mendengarkan keluhan d
Pertengkaran di Tengah Badai “Enggak bisa Nala, mau sampai kapan kamu menghindar? Kita harus temui dia,” kata Ryan padaku. “Tenang, jangan takut. Ada aku okay?” ucapnya yang berusaha meyakinkanku. Aku menggeleng bersamaan dengan luruhnya air mataku. Aku sudah begitu jengah menghadapi sin dalam drama ini. Menguras tenagaku dan membuatku sesak dalam bernapas. “Iya, ada kamu tapi mau apa kalian kalau bertemu? Berkelahi lagi? Saling adu tinju lagi? Udah Yan, udah,” kataku dengan terus menarik lengannya. Itulah yang aku benci dari seorang pria. Amarahnya dan egonya. Keduanya seperti trisula sedang yang satunya lagi adalah harga diri yang teramat tinggi. Benar atau salah yang penting marah, itulah mereka dari yang sejauh ini aku pahami. Selalu saja seperti ini. “Kalau kalian bertemu siang hari terserah Yan, ini malam hari. Aku takut kalian kalap, sudahlah lebih baik kamu minta bantuan keamanan lingkungan sini saja,” usulku yang tidak berpikir panjang. “Nala, tidak bisa seperti ini. Saa
13. Keberangkatan Ryan"Yan, jadi mau berangkat? Keadaanmu masih kayak gini, apa enggak sebaiknya ditunda aja dulu?" usulku kepada pemilik rumah yang kutempati ini. Kulihat saja saat ini wajahnya masih lebam. Lukanya bahkan belum sembuh benar. Aku memerhatikan bagian sekitar matanya yang sudah ada 3 hari ini dan masih saja meninggalkan jejak kebiruan. "Bagaimana? Masa iya mau aku batalkan Nala. Nanti aku bisa kehilangan kesempatan," jawab Ryan sembari membaca beberapa kertas entah apa itu. Dia terlihat begitu fokus membacanya dengan bantuan kaca mata. Dalam sudut ini, harus aku akui bahwa dia masih memiliki kharismanya. Terpaan hangat mentari pagi menyinari wajahnya. Kilau kekuningan itu menambah tampan garis wajahnya. "Kenapa lihatin aku kayak gitu? Aku ajak nikah beneran dari kemarin enggak kamu jawab Nala," cetusnya yang membuat kedua pipiku memerah dan aku salah tingkah. Aku menenggak air putih yang ada di depan mataku. Terasa hawa yang berbeda ketika dia berbicara demikian.