Share

5. Tidak Usah ditutupi Lagi

Tidak Usah ditutupi Lagi

“Kamu harus mengatakan hal ini kepada keluargamu Nala, ada apa kamu sampai takut mengatakannya? Mau sejauh mana kamu tutupi, mereka akan mengetahuinya,” kata Ryan yang berusaha menasehatiku agar aku mau bersikap terbuka kepada kedua orang tuaku.

Aku mentapanya teduh dengan tatapan mata yang basah akan air mata. Bulir bening di mataku ini sudah tidak patuh lagi. Mereka meluncur begitu saja tanpa aba-aba dan aku benci ini mereka membasahi pipiku dan membuatku tampak lemah.

“Yan, yang menjadi masalahnya adalah sedari awal hubungan kami ayahku itu tidak pernah setuju. Dia menentang hubunganku dengan Mas Akbar. Kalau aku mengatakan yang sebenarnya kepadanya, maka dia akan memarahiku habis-habisan. Juga ….” Aku berhenti berbicara. Lidahku merasa kelu tiba-tiba aku merasa sudah terlalu banyak membuka aib keluargaku kepada pria lain. Apakah hal ini dapat dimaklumi dan dibenarkan dalam agama?

“Juga apa Nala? Jangan sembunyikan lagi, percuma juga kamu tutupi, kamu tidak tahu bagaimana suamimu itu menjelekanmu di hadapan wanitanya, kamu tidak pernah tahu ini Nala, untuk apa kamu tutupi lagi?” ujarnya penuh penekanan dan aku bisa merasakan dia terpengaruh emosi dia membenci Mas Akbar.

“Yan, tapi aku malu kepada ayah dan bundaku. Selama menikah dengan Mas Akbar, aku sama sekali tidak pernah menemui mereka. Aku sama sekali tidak pernah bertanya kabar mereka,” kataku mengakui apa yang terjadi selama ini di dalam biduk rumah tanggaku.

Ryan menghela napasnya, dia lalu memijit keningnya dan melepaskan jas putihnya. Tatapannya begitu tajam sama seperti dulu ketika dia sedang marah karena aku yang hanya diam saat di bully. Frustasi, laki-laki itu ikut merasa frustasi saat ini atas masalah yang sebenarnya bukan bagian dari hidupnya.

“Suami macam apa yang kamu nikahi itu sampai dia membutakan hatimu untuk menjauhi ibu dan bapakmu?” erangnya bertanya padaku dengan tatapan mengintimidasi.

“Benar, setelah menikah surga seorang anak itu berpindah kepada suaminya. Tetapi suami macam, apa dulu? Kalau dengan orang tuamu saja dia membiarkanmu memutus tali silaturahmi sedang kamu itu bisa hidup dan sampai sebesar itu adalah atas asuhan dan kasih sayang orang tuamu Nala, apa pantas dia mengajarkanmu untuk emnjauhi ayah dan ibumu? Kamu paham apa maksudku? Lelaki yang baik akan membawa makmumnya menuju kebaikan, bukan begini? Lalu apa lagi yang masih mau kamu tutupi dari dia?” cecarnya yang kurasakan penuh dengan kepedulian.

Aku hanya diam tak bergeming. Air mataku terus saja mengalir mewakili sakitnya hatiku yang tak terhingga. Kutatap saja wajah putraku yang masih terlelap di sampingku. Ada segudang ketakutan mengenai masa depannya nanti ketika aku menjanda, apa bisa aku menjamin masa depannya?

Aku takut? Iya aku takut. Aku sangat takut kalau anakku tidak tercukupi segala kebutuhannya setelah aku menjanda. Aku takut kalau aku tidak bisa menjamin masa depannya. Aku takut kalau dia akan menerima ejekan dari teman-temannya. Rentetan kecemasan dan ketakutan itu menindihku hingga membuatku sesak dan kelu.

“Aku tidak tahu Yan, aku merasa hilang kepercayaan diri saat ini. Aku sama sekali tidak punya kekuatan. Yang aku inginkan hanya bisa lepas darinya.”

“Aku akan mengantarmu menemui Om dan Tante, aku mendukungmu Nala. Aku kasihan kepadamu dan juga Gaffi. Jika kamu kuat secara finansial, tentunya kamu tidak akan seperti ini. Apa lagi yang kamu tutupi apa masih ada rahasia dalam hal finansial keluarga kalian juga?” tanya Ryan yang membuatku semakin rajin memeras air mataku.

Satu fakta yang harus aku ungkapkan di sini. Aku adalah istri yang begitu patuh kepada suami. Sampai soal urusan tabungan saja aku percayakan seutuhnya kepadanya. Aku hanya mengelola uang makan dan kebutuhan bulanan. Selebihnya soal rtabungan, suamiku selalu berdalih telah menggunakannya untuk investasi.

“Aku tidak memegang banyak uang Ryan. Hanya tinggal beberapa juta saja yang ada di rekeningku,” akuku kemudian yang membuat mantan pacarku sewaktu SMA itu meremas rambutnya dan merasa frustasi.

“Astaga Nala, kenapa kamu tidak berubah? Kenapa kamu masih saja sangat mudah mememrcayai orang lain seperti ini? Walaupun dia suamimu, setidaknya kamu harus punya tabungan sendiri. Suami yang baik tidak akan mengusik keuangan istrinya. Harga diri Nala, harga diri.”

“Harga diri laki-laki akan runtuh bila ia mengeluh kepada wanitanya mengenai keuangan. Tapi ini? Oh, ayolah Nala, ini sudah jaman apa? Dan kamu masih saja berlagak seperti Khadijah yang bahkan merelakan dan memercayakan seluruh harta bendanya kepada baginda Nabi. Suamimu itu bukan Nabi, dan lihat dia berselingkuh sekarang dan menipumu,” ucapnya yang membuatku tersadar.

Iya, Ryan benar. Selama ini aku termakan dengan segala dalilnya yang aku telan mentah-mentah. Aku termakan tampilannya yang terlihat begitu taat dan beriman. Kenyataannya? Kenyataannya aku diduakan dan entah sudah berapa lama dia menghinatiku aku belum tahu.

“Lalu aku harus bagaimana Ryan? Bagaimana? Jika aku berdiam di rumah saja, sudah pasti dia akan sering mendatangi Gaffi dengan alasan menengok anak kami. Sedangkan aku di sana sendirian, tidak ada sama sekali kerabat yang bisa melindungiku. Jujur saja aku takut kalau dia nekat melakukan sesuatu.”

“Nekat melakukan sesuatu? Maksudmu?” tanya Ryan.

“Ya mungkin saja dia kan merebut hak asuh Gaffi nantinya dariku karena secara ekonomi dia lebih kuat dariku,” kataku yang membayangkannya saja sudah sangat sakit.

“Tidak, aku tidak dia memiliki upaya untuk mempertahankan kalian. Sama sekali tidak Nala. Kamu masih berpikiran kalau suamimu itu akan merengek demi meminta maafmu? Kamu salah,” pungkasnya yang membuatku melongo tidak percaya.

“Yan, bagaimana bisa kamu menilainya seperti itu? kamu tidak kenal baik dengannya,” tepisku yang tidak begitu saja memercayai ucapan mantan pacarku sewaktu muda ini.

Ryan tersenyum, lalu menatapku teduh. “Nala, aku ini lelaki. Aku bisa menilai bagaimana karakter dan apa yang ada di dalam pemikiran lelaki lain. Aku harap kamu kuat mendengarnya.”

Ucapannya itu membuatku sangat epnasaran. Bagaimana bisa dia menilai seperti itu dalam sekali bertemu? Dan penilaiannya itu terdengar begitu final. Apa ada hal lain yang terjadi tadi saat mereka adu tinju?

“Katakan Yan, katakan saja aku mohon,” rengekku padanya dengan debaran jantung yang semakin tidak menentu.

“Kuatkan hatimu ya,” pintanya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin semakin membuatku tergugu.

“Apa itu Yan?” tanyaku lagi mengulang pertanyaan yang sama dengan suara yang bergetar.

Ryan kembali duduk di kursi yang berada di samping brangkar, dia menatapku, sebentar memainkan bibirnya dan menunduk. Sepertinya ini adalah hal yang sangat sulit dan menyakitkan untuk ia sampaikan.

“Tadi, setelah kami bertengkar dan dibawa ke kantor polisi, suamimu itu dijemput oleh wanita hamil yang aku masih ingat siapa dia, datang bersama wanita yang ia panggil ibu. Mereka terlihat begitu cemas saat melihat suamimu itu babak belur. Wanita hamil itu memeluknya dan mencium pipinya di hadapan wanita paruh baya yang memiliki potongan rambut seperti pria.”

“Katakan siapa wanita hamil itu Yan, kamu masih mengingat dia, kamu mengenalinya?” tanyaku yang berharap apa yang dia lihat keliru.

“Apa kamu akan kuat Nala? Aku takut kamu kenapa-kenapa,” ucapnya lembut menatapku dengan maniknya yang berkaca-kaca.

“Iya, aku akan berusaha kuat Yan, katakan siapa wanita itu? Aku mohon ….” Rengekku sambil menangis tergugu dalam dekapannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status