“Katakan Yan, siapa wanita itu? Aku ingin tahu sekarang,” desakku kepada Ryan yang masih mendekapku.
“Dia, dia adalah ….”
Belum selesai Ryan berbicara, pintu ruang rawat terbuka dengan kasarnya suaranya keras dan membentur. Gaffi yang sedang terlelap pun sampai terbangun dan seketika menangis histeris. Iya, Mas Akbar datang lagi dan langsung dengan sekejap mata mendaratkan tinjunya lagi.
aku yang melihat itu kali ini tidak tinggal diam. Dia terus saja melampiaskan semuanya kepada Ryan yang sebenarnya hanya ingin menolongku. Ryan memelukku karena ingin menenangkanku bukan karena niatan lain. Aku bisa merasakan ketulusannya.
“Jangan Mas! Kamu apa-apaan main pukul aja sama dia? Dia enggak salah apa-apa!” bentakku dengan suara yang kupaksaan berseling dengan isak tangis yang tak bisa lagi kutahan.
“Oh, jadi ini alasan kamu minta cerai Nala! Kamu diam-diam ada hubungan sama dia? Iya?” bentaknya kepadaku yang mana satu tanganku masih berupaya menghadang kepalan tangannya agar tidak melukai Ryan lagi.
“Jaga mulutmu itu!” bentak Ryan yang kali ini sudah terlalu geram.
Mungkin sebelumnya Ryan masih enggan menyerang dan hanya menghindari pukulan demi pukulan Mas Akbar. Tapi sekarang agaknya keadaan berbalik. Ryan tersulut emosi karena nama baiknya dibawa-bawa dan dituduh sebagai alasan aku meminta cerai.
Sekian tahun bersama baru hari ini Tuhan membukakan mata hatiku. Dia memnunjukan bagaimana watak asli suamiku. Dia yang berselingkuh dan kali ini dia yang memutar balikan fakta. Dia menuduhku melakukan perselingkuhan dengan Ryan, padahal jelas-jelas saat ini Ryan adalah dokter yang bertanggung jawab atas perawatanku selama di sini.
Baku hantam itu tidak terelakan, darah bercucuran dari hidung keduanya. Aku tertegun melihat pemandangan itu, aku hanya bisa menangis dan menangis sambil mendekap erat putraku. Apa sebenarnya tujuan suamiku ini menuduhku melakukan perselingkuhan? Apa karena dia cemburu melihatku bersama pria lain?
Kalau melihatku bersama pria lain sedangkan itu hanya salah paham saja membuatnya sampai semarah ini, berarti kemarahanku yang jauh lebih besar ini bisa dibenarkan. Dia nyata-nyata sudah mengakui perselingkuhan dan menghamili wanita itu. semakin lama aku memikirkan semua ini, semakin jijik aku melihat wajah Mas Akbar.
“Hentikan!” jeritku kepada keduanya.
Mereka hanya berhenti sesaat, menatapku dan balik ingin adu tinju lagi. Refleks, aku menarik tangan Ryan karena posisinya yang memang lebih dekat denganku. Aku emnatap Mas Akbar dan dia malah tersenyum miring menatapku.
“Jadi benar tuduhanku? Ada apa-apa diantara kalian ‘kan?” tuduhnya lagi sembari mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya.
“Kalau kamu bisa, aku pun bisa.” Aku menjawabnya tanpa berkedip dan mataku nyalang menatapnya seolah menantang.
“Nala! Bilang apa kamu ini? Kamu tidak ada hubungan apa-apa denganku,” tampik Ryan dengan penuh penekanan. Aku tahu dia sedang emnatapku tidak percaya.
“Biar Ryan ini yang dia inginkan. Dia ingin menuduhku balik dengan kebetulan saat ini kita ada di ruangan ini. Dia ingin aku yang terlihat bersalah di mata umum. Tidak apa-apa, asal aku bisa lepas darinya, aku sudah sangat bahagia dan aku tidak perduli dengan penilaian orang lain.”
“Jadi Mas, aku iyakan tuduhanmu itu. Sekarang apa lagi maumu? Kamu berniat melakukan itu supaya aku pergi dari rumah itu tanpa membawa apa-apa bukan?” cecarku kepadanya yang membuatnya hanya bisa diam.
Benar, 100% tuduhanku itu benar. Memang sepicik itu pikiran suamiku ini. Laki-laki yang dahulu aku cintai dengan setulus hati. Nayatanya saat ini dia yang emnghancurkan hidupku tanpa belas kasihan. Padahal aku sangat ingat bagaimana aku emnjual semua berlian pemberian orang tuaku hanya demi membangun usahanya. Semua itu rupanya ahanya soal harta saja di matanya.
“Nala, bukan begini caranya. Kamu enggak salah dan kita enggak ada hubungan apa-apa,” ujar Ryan yang bagiku hanya seperti angin lalu.
“Biarkan Ryan. Memang ini yang dia mau, dia ingin melemparkan kesalahan kepadaku. Tidak apa-apa, aku terima. Aku terima semua fitnah ini. Asal kamu ingat ini baik-baik Mas. Atas semua apa yang telah kamu lakukan kepadaku ini, aku meminta kepada Tuhan supaya Dia mencabut rasa tenang dari dalam dirimu!” kataku mengucapkan sumpah serapah.
“Semua malaikat yang ada di sini, saksikanlah ini. Aku meminta agar dia mendapatkan imbalan yang setimpal karena telah menuduhku berselingkuh. Panjatkanlah doaku yang terdzolimi ini ya Tuhan,” pintaku dalan hati yang menjerit, meraung, menangis pilu.
“Heh, tidak akan Tuhan mendengarkan permintaan dari wanita peselingkuh seperti kamu ini. Cerai ‘kan yang kamu mau? Iya ‘kan? Baik. Aku akan mengurusnya, tapi jangan mimpi kamu bisa membawa secuilpun benda keluar dari rumah itu. tidak akan kubiarkan! Kecuali ijazah dan akta anak itu, aku tidak akan memberikan apapun! Itu balasannya untuk wanita peselingkuh seperti kamu ini!” makinya kepadaku.
Tega, sungguh tega dia terhadapku. Kemana menguapnya kata-kata sayang itu? kemana lembut sikapnya yang dulu? Apa semua itu dia lakukan hanya untuk mendapatkan yang dia mause perti kata ayahku? Entahlah, saat ini kacau pikiranku dan juga tubuhku. Aku lemas seperti tak bertulang.
Kulihat, Ryan yang ada di sebelahku terduduk dengan tatapan hampa di kursi. Dia menatapku penuh rasa iba. Suamiku bahkan menyebut anaknya sendiri dengan sebutan anak itu. Sudah jelas di sini kalau dia sama sekali tidak mengharapkan Gaffi lagi.
“Separah itu suamimu Nala? Aku antar kamu ke rumah orang tuamu ya?” tanya Ryan kepadaku dengan matanya yang menatapku iba.
Aku menggeleng. “Tidak saat ini Yan, aku mana bisa menghadapi kemarahan ayah?”
“Lalu mau bagaimana? Suamimu saja sudah tidak peduli dan dia malah mengusirmu tadi. Kamu sudah seperti sampah di matanya Nala.”
“Aku tahu Yan, aku tahu. Saat ini aku hanya sampah di matanya sebab aku sama sekali tidak bisa menghasilkan apa-apa buatnya. Aku, aku mau meminjam uangmu saja Yan. Nanti aku kembalikan kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan,” kataku yang sebenarnya sangat berat untuk mengatakan itu.
Keluarga besarku hampir semuanya menolak keputusanku dulu saat menikah dengan Mas Akbar dan sekarang ketakutan mereka terjadi. Aku benar-benar diperlakukan seperti sampah setelah tidak menghasilkan apa-apa buatnya. Saat ini tidak mungkin aku pulang dan mengadu dengan kaki yang pincang.
Setidaknya nanti akau akan kembali dan mengatakan semuanya kalau keadaannya sudah menjadi lebih dingin. Tidak sekarang, mentalku belum siap untuk itu. mau bagaimana mulut mereka bicara kalau sampai tahu akan hal ini? Ditambah lagi dengan aku yang dituduh berselingkuh.
“Uang? Kamu mau pergi ke mana?” tanya Ryan padaku dengan suaranya yang rendah.
“Entah Yan, aku tidak tahu ke mana tujuanku. Mungkin aku akan mengekos saja,” jawabku sesuai dengan apa yang ada di dalam kepalaku.
Ryan terdiam seolah berpikir. Dia lalu menatapku datar. “Gampang kalau soal uang dan tempat tinggal yang terpenting sekarang sembuhkan dirimu dan pikiranmu itu.”
“Afi takut Bunda,” gumam anakku dalam isak tangisnya.
“Sudah Sayang jangan takut, ayah sudah pergi sekarang Gaffi sama Bunda ‘kan? Bunda enggak pukul Gaffi ‘kan?” tanyaku kepada pria kecilku yang mungkin saja saat ini dia sedang mengalami trauma.
Putraku mengangguk dan Ryan dengan cepat menggendongnya. Dia lalu membenarkan rambut Gaffi yang berantakan padahal saat ini wajahnya jauh lebih berantakan dari pada putraku. Dia lalu tersenyum meski dengan sisa darah di bibirnya yang pecah dan mulai membengkak.
“Gaffi mau jadi Dokter seperti Om?” tanyanya yang bagiku itu sangat aneh.
Putraku emngusap air matanya. Dia mengangguk dan kemudian mengusap dan membenarkan rambut Ryan yang berantakan. Matanya lurus menatap manik Ryan.
“Om, maafkan ayah Afi yang udah pukul Om ya?” ucapnya dengan begitu polos namun sanggup membuat hatiku semakin teriris.
Ryan mengangguk sambil tersenyum lalu memeluk erat putraku. Nampak juga kesedihan yang mendalam di mata mantan kekasihku itu. tangannya bergerak mengusap lembut punggung Gaffi dan menyematkan pujian.
“Pinter banget sih ini, anaknya Ibu Nala ya?” godanya yang membuat Gaffi mengangguk sambil tersenyum dan mengusap air matanya. “Kalau begitu, ikut Om yuk! Obati lukanya Om, Gaffi latihan jadi dokter dulu, mau?”
“Yan, mau di bawa ke mana? Jangan, bair dia di sini aja sama aku. Malah ngerepotin kamu nanti kamu bisa dimarahin sama direktur rumah sakit ini,” kataku mengingatkannya.
“Apa yang harus ditakuti kalau aku aja udah dipecat? Saat ini aku di sini sebagai keluarga pasien Nala,” ujarnya yang emmbuatku tercengang dan diliputi rasa bersalah.
“Kamu dipecat gara-gara aku Yan,” lirihku penuh sesal.
“Santai, uangku banyak kok, jangan takut, tenang aja,” ucapnya tanpa beban tetapi justru membuatku semakin bertanya-tanya.
Kenapa ada orang seperti itu yang saat dipecat malah tampak lebih tenang dari sebelumnya? Aneh, ini sangat aneh bagikku. Bukankah seharusnya dia marah besar karena kehilangan pekerjaan dan menerima fitnahan?
Melaju perlahan membelah jalanan. Kini aku tengah berada di dalam mobil Ryan. Dia berniat mengantarkan aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku menurutinya setelah Ryan lama membujukku. Membujuk aku yang keras kepala ini yang bersikukuh bisa menghadapi semuanya sendiri. Padahal nyatanya aku sama sekali tidak kuat. Aku rapuh, sangat rapuh. "Kamu takut sama Om dan Tante?" tanya Ryan dengan maksud om dan Tante adalah ayah dan ibuku. "Iya Yan, aku sangat takut. Bagaimana kalau mereka menolakku? Bagaimana Yan? Sedangkan aku merasa terancam bila berada sendirian di rumah." "Apapun itu, hadapi Nala. Hadapi, kamu itu harus berani. Mereka orang tuamu, mungkin awalnya mereka akan menolak, tetapi pada akhirnya aku yakin bila mereka akan tetap menolongmu. Kamu itu anak kandungnya," ujar Ryan menguatkan aku, menambah setitik rasa berani di dalam diriku. Apakah ini sudah benar? Apakah tidak memalukan berbuat seperti ini? Aku malu, bila harus merepotkan mereka sedangkan dulu saja aku menjauhi mereka
Ayahku menolakku dan juga anakku. Saat ini aku sama sekali tidak punya tujuan. Bajuku dan juga Gaffi sudah pasti basah kuyup. Aku tak ubahnya seperti bunga dandelion yang terhempas sang bayung. Terbang ke sana ke mari tanpa tujuan yang pasti.Satu orang yang bisa kujadikan tumpuan saat ini hanyalah Ryan. Aku sama sekali tidak menyangka bila saat ini duniaku justru berporos kepadanya, mantan pacarku saat SMA yang ku tinggalkan hanya karena jarak yang memisahkan. Sebanarnya aku sangat malu. Namun, aku pun tidak bisa berbuat banyak.“Gaffi basah ya bajunya?” tanyanya padaku sambil mengemudi.“Iya Yan, tapi mungkin di koper itu masih ada pakaiannya yang bisa dipakai.”“Hhh … semoga saja,” dengusnya yang kemudian kembali mengemudi hingga kami tiba di sebuah rumah yang berpagar putih nan tinggi.“Ini rumah siapa Yan?” tanyaku kepadanya. Agak aneh bagiku, seba
“Ya, aku akan mengganti semua yang udah kamu kasih untuk aku dan Gaffi ini Yan,” kataku dengan perasaan malu karena telah sangat banyak merepotkan dia.“Karena aku juga, kamu sampai dipecat dari rumah sakit. Terus setelah ini kamu mau kerja apa?” tanyaku kepadanya yang sampai detik ini aku juga tidak tahu banyak mengenai seluk beluk keluarganya.Ryan terdiam, dia mengunyah makanannya dengan santai dan menatapku datar. Tatapan yang mana aku merasakan tidak ada perasaan apa-apa di dalamnya. Hanya tatapan biasa antar teman.“Soal pekerjaan mungkin memang ini saatnya aku kembali dan mendengarkan apa kata ayah dan Bundaku. Aku harus menuruti kemauan mereka,” ujarnya yang membuatku semakin bertanya-tanya.“Memangnya, apa kata ayahmu?” tanyaku singkat.Ryan menenggak minumannya, jus jeruk sebagai teman makan malam kami yang dia buat sendiri. “Ya melanjutkan bis
“Entahlah Nala, sebelumnya aku sama sekali enggak pernah terlibat dengan kasus yang seperti ini. Dia memfitnahmu dan malah sengaja menyebarkan semuanya di media sosial. Akan seperti apa kebencian ayahmu terhadap ini? Oh iya, apa jangan-jangan kemarin dia juga yang menyampaikan berita ini sampai ibumu jatuh sakit?”Benar, aku tidak berfikiran sampai sejauh itu. Aku sama sekali tidak menduga bila Mas Akbar akan menjadi selicik ini. Sebenarnya untuk apa tujuannya memfitnahku? Buakanya seharusnya dia senang aku pergi tidak meminta dan membawa apapun darinya? Aku juga tidak menyebarkan berita ini ke sosial media. Tapi dia? Oh, kepalaku kembali berdenyut dan merasakan basah di sekitar hidungku.“Nala!” pekik Ryan yang terkejut melihat darah kembali mengucur dari hidungku.“Bunda, Bunda kenapa Om Dokter?” tanya Gaffi kepada Ryan yang merangkul tubuhku yang limbung.Ryan membawaku ke so
Tamu yang Kubenci “Em, lumayan dimudahkan,” jawabku kepadanya yang kemudian kembali melanjutkan kegiatannya. Sebenarnya, di saat mereka sedang berdua seperti ini, aku merasa bila Gaffi jauh lebih bahagia dengan Ryan dari pada dengan ayahnya sendiri. 6 tahun yang lalu saat putraku baru lahir, semuanya masih berjalan baik. Mas Akbar, masih tampil sebagai suami yang paling sempurna di mataku. Lalu … di malam kebangkrutan itu, di saat dia menghilang selama 3 hari dari kami, semuanya berubah. Entah apa yang dia lakukan di luar sana, entah apa yang dia upayakan, aku sama sekali tidak tahu. Hanya saja, semenjak hari itu, dia jadi menjaga jarak denganku dan hanya mau medekatiku ketika akan mengeluarkan air maninya. Iya, semua ini baru ku sadari setelah semalam aku memikirkan semuanya. Aku baru sadar itu, sikapnya berubah sudah semenjak Gaffi berumur 5 tahun. Semenjak satu tahun yang lalu dia menjauhiku. Sering pulang malam dan jarang meluangkan waktu. Seharusnya aku mendengarkan keluhan d
Pertengkaran di Tengah Badai “Enggak bisa Nala, mau sampai kapan kamu menghindar? Kita harus temui dia,” kata Ryan padaku. “Tenang, jangan takut. Ada aku okay?” ucapnya yang berusaha meyakinkanku. Aku menggeleng bersamaan dengan luruhnya air mataku. Aku sudah begitu jengah menghadapi sin dalam drama ini. Menguras tenagaku dan membuatku sesak dalam bernapas. “Iya, ada kamu tapi mau apa kalian kalau bertemu? Berkelahi lagi? Saling adu tinju lagi? Udah Yan, udah,” kataku dengan terus menarik lengannya. Itulah yang aku benci dari seorang pria. Amarahnya dan egonya. Keduanya seperti trisula sedang yang satunya lagi adalah harga diri yang teramat tinggi. Benar atau salah yang penting marah, itulah mereka dari yang sejauh ini aku pahami. Selalu saja seperti ini. “Kalau kalian bertemu siang hari terserah Yan, ini malam hari. Aku takut kalian kalap, sudahlah lebih baik kamu minta bantuan keamanan lingkungan sini saja,” usulku yang tidak berpikir panjang. “Nala, tidak bisa seperti ini. Saa
13. Keberangkatan Ryan"Yan, jadi mau berangkat? Keadaanmu masih kayak gini, apa enggak sebaiknya ditunda aja dulu?" usulku kepada pemilik rumah yang kutempati ini. Kulihat saja saat ini wajahnya masih lebam. Lukanya bahkan belum sembuh benar. Aku memerhatikan bagian sekitar matanya yang sudah ada 3 hari ini dan masih saja meninggalkan jejak kebiruan. "Bagaimana? Masa iya mau aku batalkan Nala. Nanti aku bisa kehilangan kesempatan," jawab Ryan sembari membaca beberapa kertas entah apa itu. Dia terlihat begitu fokus membacanya dengan bantuan kaca mata. Dalam sudut ini, harus aku akui bahwa dia masih memiliki kharismanya. Terpaan hangat mentari pagi menyinari wajahnya. Kilau kekuningan itu menambah tampan garis wajahnya. "Kenapa lihatin aku kayak gitu? Aku ajak nikah beneran dari kemarin enggak kamu jawab Nala," cetusnya yang membuat kedua pipiku memerah dan aku salah tingkah. Aku menenggak air putih yang ada di depan mataku. Terasa hawa yang berbeda ketika dia berbicara demikian.
Satu minggu semenjak kepergiannya, aku seperti orang gila yang kadang ketakutan berada sendirian di rumah orang lain. Kadang juga aku merasa risih dan malu sendiri. Hal bisa kulakukan adalah menjaga dan membersihkan rumah ini.Aktivitasku sama sekali tidak ada yang terganggu. Gaffi masih bersekolah di sekolahnya yang dulu. Ingin rasanya aku pergi dari sini, menjauhi peluang untuk bertemu dengan Mas Akbar. Namun, semua itu masih kuurungkan dan menunggu hasil putusan sidang. Setelah itu mungkin aku akan pergi jauh.Tanpa kusadari aku mulai terbiasa dengan kehadiran Ryan. Walaupun, kebiasaan itu hanyalah berkirim pesan yang isinya sekedar mengingatkan untuk mengunci pintu. Kadang juga dia mengingatkan aku untuk menjemput Gaffi. Hal kecil seperti itu yang sama sekali tidak pernah kudapatkan dari suamiku semenjak satu tahun terakhir ini.7 tahun pernikahan kami, aku yang semula selalu mengandalkan dia, lama-lama menjadi