Share

6. Piciknya Akbar

“Katakan Yan, siapa wanita itu? Aku ingin tahu sekarang,” desakku kepada Ryan yang masih mendekapku.

“Dia, dia adalah ….”

Belum selesai Ryan berbicara, pintu ruang rawat terbuka dengan kasarnya suaranya keras dan membentur. Gaffi yang sedang terlelap pun sampai terbangun dan seketika menangis histeris. Iya, Mas Akbar datang lagi dan langsung dengan sekejap mata mendaratkan tinjunya lagi.

aku yang melihat itu kali ini tidak tinggal diam. Dia terus saja melampiaskan semuanya kepada Ryan yang sebenarnya hanya ingin menolongku. Ryan memelukku karena ingin menenangkanku bukan karena niatan lain. Aku bisa merasakan ketulusannya.

“Jangan Mas! Kamu apa-apaan main pukul aja sama dia? Dia enggak salah apa-apa!” bentakku dengan suara yang kupaksaan berseling dengan isak tangis yang tak bisa lagi kutahan.

“Oh, jadi ini alasan kamu minta cerai Nala! Kamu diam-diam ada hubungan sama dia? Iya?” bentaknya kepadaku yang mana satu tanganku masih berupaya menghadang kepalan tangannya agar tidak melukai Ryan lagi.

“Jaga mulutmu itu!” bentak Ryan yang kali ini sudah terlalu geram.

Mungkin sebelumnya Ryan masih enggan menyerang dan hanya menghindari pukulan demi pukulan Mas Akbar. Tapi sekarang agaknya keadaan berbalik. Ryan tersulut emosi karena nama baiknya dibawa-bawa dan dituduh sebagai alasan aku meminta cerai.

Sekian tahun bersama baru hari ini Tuhan membukakan mata hatiku. Dia memnunjukan bagaimana watak asli suamiku. Dia yang berselingkuh dan kali ini dia yang memutar balikan fakta. Dia menuduhku melakukan perselingkuhan dengan Ryan, padahal jelas-jelas saat ini Ryan adalah dokter yang bertanggung jawab atas perawatanku selama di sini.

Baku hantam itu tidak terelakan, darah bercucuran dari hidung keduanya. Aku tertegun melihat pemandangan itu, aku hanya bisa menangis dan menangis sambil mendekap erat putraku. Apa sebenarnya tujuan suamiku ini menuduhku melakukan perselingkuhan? Apa karena dia cemburu melihatku bersama pria lain?

Kalau melihatku bersama pria lain sedangkan itu hanya salah paham saja membuatnya sampai semarah ini, berarti kemarahanku yang jauh lebih besar ini bisa dibenarkan. Dia nyata-nyata sudah mengakui perselingkuhan dan menghamili wanita itu. semakin lama aku memikirkan semua ini, semakin jijik aku melihat wajah Mas Akbar.

“Hentikan!” jeritku kepada keduanya.

Mereka hanya berhenti sesaat, menatapku dan balik ingin adu tinju lagi. Refleks, aku menarik tangan Ryan karena posisinya yang memang lebih dekat denganku. Aku emnatap Mas Akbar dan dia malah tersenyum miring menatapku.

“Jadi benar tuduhanku? Ada apa-apa diantara kalian ‘kan?” tuduhnya lagi sembari mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya.

“Kalau kamu bisa, aku pun bisa.” Aku menjawabnya tanpa berkedip dan mataku nyalang menatapnya seolah menantang.

“Nala! Bilang apa kamu ini? Kamu tidak ada hubungan apa-apa denganku,” tampik Ryan dengan penuh penekanan. Aku tahu dia sedang emnatapku tidak percaya.

“Biar Ryan ini yang dia inginkan. Dia ingin menuduhku balik dengan kebetulan saat ini kita ada di ruangan ini. Dia ingin aku yang terlihat bersalah di mata umum. Tidak apa-apa, asal aku bisa lepas darinya, aku sudah sangat bahagia dan aku tidak perduli dengan penilaian orang lain.”

“Jadi Mas, aku iyakan tuduhanmu itu. Sekarang apa lagi maumu? Kamu berniat melakukan itu supaya aku pergi dari rumah itu tanpa membawa apa-apa bukan?” cecarku kepadanya yang membuatnya hanya bisa diam.

Benar, 100% tuduhanku itu benar. Memang sepicik itu pikiran suamiku ini. Laki-laki yang dahulu aku cintai dengan setulus hati. Nayatanya saat ini dia yang emnghancurkan hidupku tanpa belas kasihan. Padahal aku sangat ingat bagaimana aku emnjual semua berlian pemberian orang tuaku hanya demi membangun usahanya. Semua itu rupanya ahanya soal harta saja di matanya.

“Nala, bukan begini caranya. Kamu enggak salah dan kita enggak ada hubungan apa-apa,” ujar Ryan yang bagiku hanya seperti angin lalu.

“Biarkan Ryan. Memang ini yang dia mau, dia ingin melemparkan kesalahan kepadaku. Tidak apa-apa, aku terima. Aku terima semua fitnah ini. Asal kamu ingat ini baik-baik Mas. Atas semua apa yang telah kamu lakukan kepadaku ini, aku meminta kepada Tuhan supaya Dia mencabut rasa tenang dari dalam dirimu!” kataku mengucapkan sumpah serapah.

“Semua malaikat yang ada di sini, saksikanlah ini. Aku meminta agar dia mendapatkan imbalan yang setimpal karena telah menuduhku berselingkuh. Panjatkanlah doaku yang terdzolimi ini ya Tuhan,” pintaku dalan hati yang menjerit, meraung, menangis pilu.

“Heh, tidak akan Tuhan mendengarkan permintaan dari wanita peselingkuh seperti kamu ini. Cerai ‘kan yang kamu mau? Iya ‘kan? Baik. Aku akan mengurusnya, tapi jangan mimpi kamu bisa membawa secuilpun benda keluar dari rumah itu. tidak akan kubiarkan! Kecuali ijazah dan akta anak itu, aku tidak akan memberikan apapun! Itu balasannya untuk wanita peselingkuh seperti kamu ini!” makinya kepadaku.

Tega, sungguh tega dia terhadapku. Kemana menguapnya kata-kata sayang itu? kemana lembut sikapnya yang dulu? Apa semua itu dia lakukan hanya untuk mendapatkan yang dia mause perti kata ayahku? Entahlah, saat ini kacau pikiranku dan juga tubuhku. Aku lemas seperti tak bertulang.

Kulihat, Ryan yang ada di sebelahku terduduk dengan tatapan hampa di kursi. Dia menatapku penuh rasa iba. Suamiku bahkan menyebut anaknya sendiri dengan sebutan anak itu. Sudah jelas di sini kalau dia sama sekali tidak mengharapkan Gaffi lagi.

“Separah itu suamimu Nala? Aku antar kamu ke rumah orang tuamu ya?” tanya Ryan kepadaku dengan matanya yang menatapku iba.

Aku menggeleng. “Tidak saat ini Yan, aku mana bisa menghadapi kemarahan ayah?”

“Lalu mau bagaimana? Suamimu saja sudah tidak peduli dan dia malah mengusirmu tadi. Kamu sudah seperti sampah di matanya Nala.”

“Aku tahu Yan, aku tahu. Saat ini aku hanya sampah di matanya sebab aku sama sekali tidak bisa menghasilkan apa-apa buatnya. Aku, aku mau meminjam uangmu saja Yan. Nanti aku kembalikan kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan,” kataku yang sebenarnya sangat berat untuk mengatakan itu.

Keluarga besarku hampir semuanya menolak keputusanku dulu saat menikah dengan Mas Akbar dan sekarang ketakutan mereka terjadi. Aku benar-benar diperlakukan seperti sampah setelah tidak menghasilkan apa-apa buatnya. Saat ini tidak mungkin aku pulang dan mengadu dengan kaki yang pincang.

Setidaknya nanti akau akan kembali dan mengatakan semuanya kalau keadaannya sudah menjadi lebih dingin. Tidak sekarang, mentalku belum siap untuk itu. mau bagaimana mulut mereka bicara kalau sampai tahu akan hal ini? Ditambah lagi dengan aku yang dituduh berselingkuh.

“Uang? Kamu mau pergi ke mana?” tanya Ryan padaku dengan suaranya yang rendah.

“Entah Yan, aku tidak tahu ke mana tujuanku. Mungkin aku akan mengekos saja,” jawabku sesuai dengan apa yang ada di dalam kepalaku.

Ryan terdiam seolah berpikir. Dia lalu menatapku datar. “Gampang kalau soal uang dan tempat tinggal yang terpenting sekarang sembuhkan dirimu dan pikiranmu itu.”

“Afi takut Bunda,” gumam anakku dalam isak tangisnya.

“Sudah Sayang jangan takut, ayah sudah pergi sekarang Gaffi sama Bunda ‘kan? Bunda enggak pukul Gaffi ‘kan?” tanyaku kepada pria kecilku yang mungkin saja saat ini dia sedang mengalami trauma.

Putraku mengangguk dan Ryan dengan cepat menggendongnya. Dia lalu membenarkan rambut Gaffi yang berantakan padahal saat ini wajahnya jauh lebih berantakan dari pada putraku. Dia lalu tersenyum meski dengan sisa darah di bibirnya yang pecah dan mulai membengkak.

“Gaffi mau jadi Dokter seperti Om?” tanyanya yang bagiku itu sangat aneh.

Putraku emngusap air matanya. Dia mengangguk dan kemudian mengusap dan membenarkan rambut Ryan yang berantakan. Matanya lurus menatap manik Ryan.

“Om, maafkan ayah Afi yang udah pukul Om ya?” ucapnya dengan begitu polos namun sanggup membuat hatiku semakin teriris.

Ryan mengangguk sambil tersenyum lalu memeluk erat putraku. Nampak juga kesedihan yang mendalam di mata mantan kekasihku itu. tangannya bergerak mengusap lembut punggung Gaffi dan menyematkan pujian.

“Pinter banget sih ini, anaknya Ibu Nala ya?” godanya yang membuat Gaffi mengangguk sambil tersenyum dan mengusap air matanya. “Kalau begitu, ikut Om yuk! Obati lukanya Om, Gaffi latihan jadi dokter dulu, mau?”

“Yan, mau di bawa ke mana? Jangan, bair dia di sini aja sama aku. Malah ngerepotin kamu nanti kamu bisa dimarahin sama direktur rumah sakit ini,” kataku mengingatkannya.

“Apa yang harus ditakuti kalau aku aja udah dipecat? Saat ini aku di sini sebagai keluarga pasien Nala,” ujarnya yang emmbuatku tercengang dan diliputi rasa bersalah.

“Kamu dipecat gara-gara aku Yan,” lirihku penuh sesal.

“Santai, uangku banyak kok, jangan takut, tenang aja,” ucapnya tanpa beban tetapi justru membuatku semakin bertanya-tanya.

Kenapa ada orang seperti itu yang saat dipecat malah tampak lebih tenang dari sebelumnya? Aneh, ini sangat aneh bagikku. Bukankah seharusnya dia marah besar karena kehilangan pekerjaan dan menerima fitnahan?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Syarifah Aini
Nala wanita yang kuat. Aku percaya suatu hari nanti Nala pasti bakalan nemuin tambatan hati yang baru dan tentunya bener-bener cinta sama Nala. Semoga aja orang itu Ryan hehe. Ayo, thor up lagi. Seru niih hehe
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status