Share

7. Rencana yang Meleset

Melaju perlahan membelah jalanan. Kini aku tengah berada di dalam mobil Ryan. Dia berniat mengantarkan aku pulang ke rumah orang tuaku.

Aku menurutinya setelah Ryan lama membujukku. Membujuk aku yang keras kepala ini yang bersikukuh bisa menghadapi semuanya sendiri. Padahal nyatanya aku sama sekali tidak kuat. Aku rapuh, sangat rapuh.

"Kamu takut sama Om dan Tante?" tanya Ryan dengan maksud om dan Tante adalah ayah dan ibuku.

"Iya Yan, aku sangat takut. Bagaimana kalau mereka menolakku? Bagaimana Yan? Sedangkan aku merasa terancam bila berada sendirian di rumah."

"Apapun itu, hadapi Nala. Hadapi, kamu itu harus berani. Mereka orang tuamu, mungkin awalnya mereka akan menolak, tetapi pada akhirnya aku yakin bila mereka akan tetap menolongmu. Kamu itu anak kandungnya," ujar Ryan menguatkan aku, menambah setitik rasa berani di dalam diriku.

Apakah ini sudah benar? Apakah tidak memalukan berbuat seperti ini? Aku malu, bila harus merepotkan mereka sedangkan dulu saja aku menjauhi mereka karena memilih hidup bersama Mas Akbar.

Semua dan apapun itu yang mas Akbar katakan mengenai harta dan rumah adalah bohong. diawal dia bicara kalau rumah itu adalah hakku dan juga Gaffi. Tetapi sekarang ini apa? Dia malah mengusirku tanpa memberikan apapun.

Ini semua berbanding terbalik dengan sikapnya yang dahulu. Suami yang dulu ku kenal begitu mengutamakan anak dan istri. Lalu sekarang ini? apa ini karena aku bukan prioritasnya lagi?

"Jangan melamun Nala, ayo kita masuk saja. Kami harus yakin mereka akan menerimamu," kata Ryan yang lagi-lagi membangun pikiran positif di pikiranku.

“Bunda, kita di rumah siapa?” lirih suara Gaffi yang terbangun dari tidurnya.

Inilah yang aku takutkan, putraku akan bertanya mengenai siapa pemilik rumah ini. Ayah dan ibuku, yang seharusnya dia panggil dengan sebutan kakek dan nenek. Sampai anakku berada di bangku TK dia sama sekali belum pernah bertemu dengan keduanya.

Sesekali, aku hanya memantau melalui kabar di media sosial. Sekedar tahu mereka sehat saja aku sudah sangat senang. Sekarang yang menjadi PR terbesarku adalah bagaimana memulainya dan mengumpulkan keberanian.

Rumah ini masih sama, juga dengan satpam yang bekerja. Pak Hendro satpam rumah kami terlihat sedang mengamati mobil kami. Dia semakin mendekat sampai ketukan kaca mobil membuyarkan lamunanku.

“Permisi, siapa ya? Kenapa parkir lama di sini?” tanya Pak Hendro kepada Ryan dan Ryan hanya diam saja. Dia lalu memundurkan tubuhnya sedikit dan menampilkan aku yang menatapnya canggung.

“Non Nala?” gumam Pak Hendro yang menatapku dengan tatapan mata yang sulit kuartikan. Antara terkejut senang atau terkejut jengkel.

“Pak Hendro, ayah sama ibu ada?” tanyaku seperti aku ini adalah tamu jauh.

“Oh, ada-ada. Masuk saja Non, kebetulan ibu sedang sakit, apa Nona datang karena mendengar kabar Nyonya?” tanyanya yang membuat leherku tercekat seketika. Ternyata ibuku sedang sakit dan apa penyebabnya aku pun belum mengetahuinya.

Aku hanya diam dan membalas pertanyaannya dengan senyuman. Lidahku terlalu kaku untuk mengatakan yang sesungguhnya. Biarlah semua ini hanya menjadi rahasiaku saja. Ini adalah aib di mana aku sebagai anak tidak mau menyambangi orang tua.

“Bunda, ini rumah siapa?” tanya putraku lagi dengan wajah bingungnya.

“Ini rumah kakek dan nenek Gaffi, nanti Gaffi kenalan ya?” ucap Ryan dengan nada bicaranya yang sangat ramah dan bersahabat bagi anak-anak.

Kami turun, dan tak berselang lama, pintu terbuka sebelum aku mengetuknya menampilkan mas Akbar yang keluar dari sana. Sungguh aku sangat terkejut kali ini. Beruntunglah Ryan belum turun dari mobil, dia masih ada urusan dengan seseorang di telfon.

Putraku seketika menyembunyikan wajahnya di leherku saat melihat wajah ayahnya. Gaffi ketakutan setelah dengan matanya dia menyaksikan betapa brutal ayahnya ini beradu jotos dengan Ryan saat di rumah sakit. Ada apa dia mengunjungi orang tuaku? Oh, aku rasa dia mengadu tentang fitnah yang dia buat, tentang aku yang berselingkuh dengan Ryan supaya aku kehilangan banyak dari gono-gini.

“Datang ke sini juga kamu, sesuai dengan dugaanku. Hhh …, aku sudah mengantarkan barang-barang kalian ke sini. Kalian tidak perlu repot-repot mengusungnya. Aku masih sangat baik ‘kan untuk menghadapi seorang istri yang berselingkuh dari suaminya?” cerocos mas Akbar menghinaku dengan fitnahan yang juga ia berikan kepada Ryan.

“Mas! Jaga bicaramu! Kalau kamu mau harta ambil saja semuanya! Aku tidak butuh!” sahutku bersungut-sungut dengan kemarahan yang meledak-ledak dalam dadaku.

“Iya, kamu tidak membutuhkannya sebab ada dokter itu yang akan mengurusi semua kebutuhanmu iya ‘kan?” sentaknya tak kalah lantang.

“Ada apa ini kalian membuat ribut di depan rumahku?” tanya seseorang yang tak lain adalah ayahku yang nampaknya baru saja pulang dari membelikan obat untuk ibu. Di tangannya masih ia gengam plastik dari apotik yang ku kenali.

“Ayah?” gumamku dengan manikku yang tertegun menatapnya setelah 7 tahun aku tidak menjumpainya, cinta pertamaku ini kini menatapku dingin bercampur kecewa.

“Bunda, Gaffi takut,” lirih anakku menyatakan ketakutannya sambil memelukku erat.

“Enggak apa-apa Sayang, itu Kakek,” kataku yang berniat mengenalkan anakku kepada kakeknya dan mencoba peruntungan siapa tahu ayahku akan luluh setelah melihat cucunya.

“Nala, boleh kamu pulang setelah puas bermain. Tapi ayah mohon jangan bawa masalah ke rumah. Ibumu sudah cukup kamu buat sakit karena mendengar pengaduan dari suamimu ini. Ayah masih ingin hidup lama dengan ibumu,” kata Ayahku yang kemudian berlalu pergi tanpa sepatah kata, tanpa mau menyentuh cucunya.  

Ayah masuk ke dalam rumah dan setelahnya para asisten rumah tangga mendorong lagi koperku yang tadi diusung oleh Mas Akbar. Mereka mendorongnya keluar dan membuat hatiku mencelos. Ini sama artinya dengan ayahku yang tidak mau menampungku sama sekali dan ingin aku menyelesaikan sendiri masalah yang kubuat ini.

Mas Akbar mendekat lalu menangkup wajahku dengan satu tangannya yang besar itu. dia menangkup rahangku lalu berbisik. “Lihat, ayahmu saja sudah tidak menginginkanmu. Kamu itu sudah tidak berharga, tidak ada yang mau menampungmu selain aku. Maka terima saja bila aku menduakanmu, toh juga kita bisa sama-sama hidup dengan sejahtera. Tidak ada yang berkurang dari milikku meski aku membaginya dengan dua wanita.”

Plak! Nyaring suara tamparan yang kudaratkan untuk Mas Akbar. Dia sudah keterlaluan sekali kali ini. Dia membisikan sesuatu yang menjijikan bagiku.

Mas Akbar menatapku nyalang. Kali ini tangannya sudah mengudara dan siap mendarat di pipiku. Aku hanya bisa memejamkan mata sambil memeluk putraku.

“Jangan berani kamu menyakitinya!”

Ku dengar suara Ryan melawan suamiku dan aku baru berani membuka mata untuk melihat bagaiaman situasinya. Tatapan permusuhan itu kembali hadir diantara dua pria itu. Aku, merasa lemas di sekujur tubuhku, saat ini. Aku bingung ke mana aku harus pergi? Semua yang kami bicarakan tadi meleset.

Sekarang, tidak mungkin aku nekat menemui ayah dan ibu bila ibuku saja sedang sakit. Ayah benar, memang tidak seharusnya aku pulang dengan membawa masalah ke rumah. Ryan, satu-satunya harapanku, satu-satunya orang yang bisa kumanfaatkan adalah dia dan kebaikannya.

“Oh, nyali kalian besar juga ya? Terang-terangan datang ke rumah orang tua untuk memperkenalkan selingkuhan. Hebat! Hebat sekali!” hinanya kepadaku dengan tatapan merendahkan.

“Tidak ku sangka selama ini ternyata aku menikahi jalang,” ucapnya lagi yang sengaja membuat hancur mental dan batinku.

Aku hanya diam dan langit semakin menghitam. Hujan turun dengan derasnya mengguyur hawa panas yang menyelimuti kami. Mas Akbar berlari memasuki mobilnya meninggalkan kami. Sedangkan aku? Aku masih menangis bersama putraku.

“Ayo ikut aku Nala, sudah tidak ada pilihan lain selain ini,” ajak Ryan sambil menarik lenganku membawaku masuk ke dalam mobilnya. Dan kulihat dia yang basah kuyup mengurusi barang-barang kami, memasukannya seorang diri tanpa bantuan siapapun.

“Kita mau ke mana Ryan?” tanyaku kepadaya saat dia mulai menyalakan mobil.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status