“Bunda, kita di rumah siapa?” lirih suara Gaffi yang terbangun dari tidurnya.
Inilah yang aku takutkan, putraku akan bertanya mengenai siapa pemilik rumah ini. Ayah dan ibuku, yang seharusnya dia panggil dengan sebutan kakek dan nenek. Sampai anakku berada di bangku TK dia sama sekali belum pernah bertemu dengan keduanya.
Sesekali, aku hanya memantau melalui kabar di media sosial. Sekedar tahu mereka sehat saja aku sudah sangat senang. Sekarang yang menjadi PR terbesarku adalah bagaimana memulainya dan mengumpulkan keberanian.
Rumah ini masih sama, juga dengan satpam yang bekerja. Pak Hendro satpam rumah kami terlihat sedang mengamati mobil kami. Dia semakin mendekat sampai ketukan kaca mobil membuyarkan lamunanku.
“Permisi, siapa ya? Kenapa parkir lama di sini?” tanya Pak Hendro kepada Ryan dan Ryan hanya diam saja. Dia lalu memundurkan tubuhnya sedikit dan menampilkan aku yang menatapnya canggung.
“Non Nala?” gumam Pak Hendro yang menatapku dengan tatapan mata yang sulit kuartikan. Antara terkejut senang atau terkejut jengkel.
“Pak Hendro, ayah sama ibu ada?” tanyaku seperti aku ini adalah tamu jauh.
“Oh, ada-ada. Masuk saja Non, kebetulan ibu sedang sakit, apa Nona datang karena mendengar kabar Nyonya?” tanyanya yang membuat leherku tercekat seketika. Ternyata ibuku sedang sakit dan apa penyebabnya aku pun belum mengetahuinya.
Aku hanya diam dan membalas pertanyaannya dengan senyuman. Lidahku terlalu kaku untuk mengatakan yang sesungguhnya. Biarlah semua ini hanya menjadi rahasiaku saja. Ini adalah aib di mana aku sebagai anak tidak mau menyambangi orang tua.
“Bunda, ini rumah siapa?” tanya putraku lagi dengan wajah bingungnya.
“Ini rumah kakek dan nenek Gaffi, nanti Gaffi kenalan ya?” ucap Ryan dengan nada bicaranya yang sangat ramah dan bersahabat bagi anak-anak.
Kami turun, dan tak berselang lama, pintu terbuka sebelum aku mengetuknya menampilkan mas Akbar yang keluar dari sana. Sungguh aku sangat terkejut kali ini. Beruntunglah Ryan belum turun dari mobil, dia masih ada urusan dengan seseorang di telfon.
Putraku seketika menyembunyikan wajahnya di leherku saat melihat wajah ayahnya. Gaffi ketakutan setelah dengan matanya dia menyaksikan betapa brutal ayahnya ini beradu jotos dengan Ryan saat di rumah sakit. Ada apa dia mengunjungi orang tuaku? Oh, aku rasa dia mengadu tentang fitnah yang dia buat, tentang aku yang berselingkuh dengan Ryan supaya aku kehilangan banyak dari gono-gini.
“Datang ke sini juga kamu, sesuai dengan dugaanku. Hhh …, aku sudah mengantarkan barang-barang kalian ke sini. Kalian tidak perlu repot-repot mengusungnya. Aku masih sangat baik ‘kan untuk menghadapi seorang istri yang berselingkuh dari suaminya?” cerocos mas Akbar menghinaku dengan fitnahan yang juga ia berikan kepada Ryan.
“Mas! Jaga bicaramu! Kalau kamu mau harta ambil saja semuanya! Aku tidak butuh!” sahutku bersungut-sungut dengan kemarahan yang meledak-ledak dalam dadaku.
“Iya, kamu tidak membutuhkannya sebab ada dokter itu yang akan mengurusi semua kebutuhanmu iya ‘kan?” sentaknya tak kalah lantang.
“Ada apa ini kalian membuat ribut di depan rumahku?” tanya seseorang yang tak lain adalah ayahku yang nampaknya baru saja pulang dari membelikan obat untuk ibu. Di tangannya masih ia gengam plastik dari apotik yang ku kenali.
“Ayah?” gumamku dengan manikku yang tertegun menatapnya setelah 7 tahun aku tidak menjumpainya, cinta pertamaku ini kini menatapku dingin bercampur kecewa.
“Bunda, Gaffi takut,” lirih anakku menyatakan ketakutannya sambil memelukku erat.
“Enggak apa-apa Sayang, itu Kakek,” kataku yang berniat mengenalkan anakku kepada kakeknya dan mencoba peruntungan siapa tahu ayahku akan luluh setelah melihat cucunya.
“Nala, boleh kamu pulang setelah puas bermain. Tapi ayah mohon jangan bawa masalah ke rumah. Ibumu sudah cukup kamu buat sakit karena mendengar pengaduan dari suamimu ini. Ayah masih ingin hidup lama dengan ibumu,” kata Ayahku yang kemudian berlalu pergi tanpa sepatah kata, tanpa mau menyentuh cucunya.
Ayah masuk ke dalam rumah dan setelahnya para asisten rumah tangga mendorong lagi koperku yang tadi diusung oleh Mas Akbar. Mereka mendorongnya keluar dan membuat hatiku mencelos. Ini sama artinya dengan ayahku yang tidak mau menampungku sama sekali dan ingin aku menyelesaikan sendiri masalah yang kubuat ini.
Mas Akbar mendekat lalu menangkup wajahku dengan satu tangannya yang besar itu. dia menangkup rahangku lalu berbisik. “Lihat, ayahmu saja sudah tidak menginginkanmu. Kamu itu sudah tidak berharga, tidak ada yang mau menampungmu selain aku. Maka terima saja bila aku menduakanmu, toh juga kita bisa sama-sama hidup dengan sejahtera. Tidak ada yang berkurang dari milikku meski aku membaginya dengan dua wanita.”
Plak! Nyaring suara tamparan yang kudaratkan untuk Mas Akbar. Dia sudah keterlaluan sekali kali ini. Dia membisikan sesuatu yang menjijikan bagiku.
Mas Akbar menatapku nyalang. Kali ini tangannya sudah mengudara dan siap mendarat di pipiku. Aku hanya bisa memejamkan mata sambil memeluk putraku.
“Jangan berani kamu menyakitinya!”
Ku dengar suara Ryan melawan suamiku dan aku baru berani membuka mata untuk melihat bagaiaman situasinya. Tatapan permusuhan itu kembali hadir diantara dua pria itu. Aku, merasa lemas di sekujur tubuhku, saat ini. Aku bingung ke mana aku harus pergi? Semua yang kami bicarakan tadi meleset.
Sekarang, tidak mungkin aku nekat menemui ayah dan ibu bila ibuku saja sedang sakit. Ayah benar, memang tidak seharusnya aku pulang dengan membawa masalah ke rumah. Ryan, satu-satunya harapanku, satu-satunya orang yang bisa kumanfaatkan adalah dia dan kebaikannya.
“Oh, nyali kalian besar juga ya? Terang-terangan datang ke rumah orang tua untuk memperkenalkan selingkuhan. Hebat! Hebat sekali!” hinanya kepadaku dengan tatapan merendahkan.
“Tidak ku sangka selama ini ternyata aku menikahi jalang,” ucapnya lagi yang sengaja membuat hancur mental dan batinku.
Aku hanya diam dan langit semakin menghitam. Hujan turun dengan derasnya mengguyur hawa panas yang menyelimuti kami. Mas Akbar berlari memasuki mobilnya meninggalkan kami. Sedangkan aku? Aku masih menangis bersama putraku.
“Ayo ikut aku Nala, sudah tidak ada pilihan lain selain ini,” ajak Ryan sambil menarik lenganku membawaku masuk ke dalam mobilnya. Dan kulihat dia yang basah kuyup mengurusi barang-barang kami, memasukannya seorang diri tanpa bantuan siapapun.
“Kita mau ke mana Ryan?” tanyaku kepadaya saat dia mulai menyalakan mobil.
Dalam sebuah kamar ketika malam tiba, seorang wanita terus saja menggerutu seorang diri sambil memijit kakinyay yang terasa sakit. Nala merasakan sakit dibagian kakinya karena benturan tadi saat di adengan nekat menabrakkan mobilnya pada mobil Akbar. Dia sudah sangat marah kali ini sikap Akbar yang kembali ingin menggodanya membuatnya muak.Terdengar suara pintu terbuka lebar, menampilkan sosok laki-laki dengan stelan jas hitam memasuki kamar tanpa sambutan. Dia hanya tersenyum simpul menatap Nala. Ryan, sama sekali tidak banyak bicara terlebih saat dia mengira bahwa istrinya tidak ada karena mobil mereka juga tidak ada di garasi.“Aku pikir kamu pergi Sayang, ternyata kamu ada di rumah. Mobilmu ke mana?” tanya Ryan sembari meletakan tas dan jasnya dan ia mendekati Nala yang masih duduk membelakanginya di tepi ranjang.“Astaga! Kenapa kakimu bengkak membiru begitu? Kenapa ini tadi Sayang? Kamu kenapa?” tanya Ryan dengan sedikit panik.“Enggak apa-apa, aku enggak sengaja nabrak aja tad
"Sayang, hari ini kamu dulu ya yang jemput Gaffi, aku ada rapat dadakan. Ayah tiba-tiba sakit kepala, jadi aku tidak bisa menjemputnya, aku harus menggantikan ayah Sayang," kata Ryan kepada Nala yang tengah menatakan makan siang suaminya di meja kerja. "Loh, kenapa enggak bilang dari tadi Sayang? Hari ini Gaffi pulang cepat, kalau sampai keduluan Mas Akbar bagaimana?" kata Nala yang seketika terlihat panik. Dia segera merapikan tasnya dan mencium pipi sang suami sebelum pergi.. "Kamu nanti jangan malam-malam ya pulangnya, kita makan malem bareng!" ucap Nala dengan setengah berteriak kepada sang suami yang melambai kepadanya dengan senyuman yang menghiasi bibirnya. "Iya, aku usahakan. Kamu hati-hati nyetirnya!" kata Ryan dengan setengah berseru lantaran Nala yang dnegan cepat melangkah pergi meninggalkan ruangan kerja sang suami. "Dia masih sama saja, tetap menomer satukan keluarga. Hemh ... aku merasa Akbar itu tetaplah gangguan yang besar untuk keluarga kecil kami dan aku haru
61. “Ada apa? Kamu kenapa?” tanya Nala kepada suaminya yang hanya diam setelah penyatuan mereka. Untuk pertama kalinya Ryan menyalakan rokok yang ia bawa di dalam tasnya. Nala terkejut melihat ini. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama Ryan merokok di depan matanya. Mantan dokter itu tadinya sama sekali tidak menghisap benda merugikan itu. Terlihat ada raut kecemasan di wajah Ryan, pria itu terlihat stress dan mempunyai beban pikiran namun di asama sekali tidak mau membagikannya dengan Nala, istrinya. Ia memendamnya seorang diri. “Gimana aku bisa bilang sama dia kalau mantan suaminya itu tadi mengatakan sesuatu yang membuatku begitu terganggu? Akbar ingin merebut Nala kembali dengan caranya. Bukan tidak mungkin itu terjadi, mengingat masih ada Gafi diantara mereka. Gafi adalah jembatan terbaik bagi keduanya bertemu,” pikir Ryan. “Sayang, kamu kenapa? sejak kapan kamu jadi merokok begini?” tanya Nala lagi yang kali ini mendekat sambil memeluk tubuh sang suami dari belakang. Jem
60. "Aku tidak ingin melakukan apa-apa selain memberikan ucapan selamat atas pernikahan kalian," jawab Akbar dengan ketulusannya. Terlihat dengan sangat jelas raut wajah yang tidak rela itu nampak di mimik wajahnya. Si mantan suami itu separuh hatinya telah bergelut dengan rasa kecewa. Wanita yang dulu ya buang iya bohongi sinetron lihat begitu terang benderang dan menjadi pusat perhatian. "Selamat ya Selamat ya semoga awet sampai kakek-kakek dan nenek-nenek," ucap Akbar sembari mengulurkan tangannya dan Ryan pun menerimanya dengan sukarela. "Terima kasih. Aku harap ini benar-benar ucapan yang tulus dan bukan sesuatu yang modus." Ryan membalas ucapan dari Akbar dengan datar dan dingin. Mendengar apa yang Ryan katakan membuat Akbar tertegun. Sepersekian detik iya membeku dan tidak bisa berkata apa-apa. Salah semua kata-kata yang telah ia persiapkan dari rumah ke nilainya begitu saja. Belum sempat dia membalas ucapan Ryan, ayah dan ibunya sudah datang berlarian untuk mencegahnya
59. Hari Pesta PernikahanHiasan mawar putih tersusun begitu cantik di dalam ballroom hotel. Tema garden yang diusung begitu memanjakan mata. Nala mengenakan gaun cantiknya dan berdiri berdampingan dengan Ryan. Senyum cerah menambah cantik parasnya. Dengan begitu anggun dan terlihat mempesona Lala terus saja memamerkan cantik paras dan elok tubuhnya. Ryan pun sedari tadi merasa begitu senang dan berbahagia di hari istimewanya. Hari ini adalah hari di mana resepsi pernikahan itu tiba. Semua tamu dan kolega hadir dalam acara tersebut. Keluarga besar Ryan dan Nala semuanya turut hadir dalam acara pernikahan itu. "Cantiknya istriku," puji Ryan sembari merangkul pinggang ramping Nala. Lelah hanya tersipu membalasnya dengan senyuman kecil. Luapan perasaan bahagia sudah begitu tentara meskipun dia tidak mengutarakannya. Balutan putih di tubuh rampingnya semakin menonjolkan keelokan tubuhnya. Walaupun tadi ketika pertama kali memakainya justru protes lah yang Ryan berikan. Ryan tetap sa
"Enggak, enggak ada. Lagi mikir aja semuanya jadi bisa seperti ini. Kita ini mantan tapi menikah, masih lucu aja bagiku. Apa lagi kalau ingat masa-masa kita pacaran dulu," kata Nala dengan senyuman dibibir tipisnya. "Masa kita pacaran?" ulang Ryan yang kemudian duduk di samping Nala. "Iya, saat kita pacaran dulu," jawab Nala yang sebenarnya hanyalah sebuah kebohongan. Saat ini sebenarnya Nala sedang memikirkan saat di mana dia yang sedang dekat dengan Akbar tiba-tiba mendapatkan fitnah dan harus segera menikah. Terang saja kedua orang tua Nala semakin menentang itu. Ayah dan ibu Nala sedikit banyak sudah menelusuri tentang latar belakang keluarga Akbar. Hal pertama yang membuat ayah dan ibu Nala menolak kala itu adalah ibu Akbar yang doyan sekali berselingkuh. Ibu kandung Akbar bahkan pernah terjerat kasus perselingkuhan dengan paman Nala yang lainnya. Hanya saja, demi menjaga perasaan Nala kala itu, ayah dan ibu masih merahasiakan hal itu sampai detik ini. Tetapi dengan Nina yan