Share

8. Aku Berhutang Banyak

Ayahku menolakku dan juga anakku. Saat ini aku sama sekali tidak punya tujuan. Bajuku dan juga Gaffi sudah pasti basah kuyup. Aku tak ubahnya seperti bunga dandelion yang terhempas sang bayung. Terbang ke sana ke mari tanpa tujuan yang pasti.

Satu orang yang bisa kujadikan tumpuan saat ini hanyalah Ryan. Aku sama sekali tidak menyangka bila saat ini duniaku justru berporos kepadanya, mantan pacarku saat SMA yang ku tinggalkan hanya karena jarak yang memisahkan. Sebanarnya aku sangat malu. Namun, aku pun tidak bisa berbuat banyak.

“Gaffi basah ya bajunya?” tanyanya padaku sambil mengemudi.

“Iya Yan, tapi mungkin di koper itu masih ada pakaiannya yang bisa dipakai.”

“Hhh … semoga saja,” dengusnya yang kemudian kembali mengemudi hingga kami tiba di sebuah rumah yang berpagar putih nan tinggi.

“Ini rumah siapa Yan?” tanyaku kepadanya. Agak aneh bagiku, sebab sedari dulu Ryan hanya menunjukan kalau dirinya hanya anak kos biasa. Dia sama sekali tidak pernah membahas mengenai keluarganya.

“Rumahku Nala, alhamdulilah aku bisa mencicilnya semenjak menjadi dokter,” jawabnya yang menampik segala rasa curigaku.

Mencicil rumah sebesar ini untuk kalangan dokter yang baru saja mendapatkan penempatan itu bukanlah hal yang terjangkau. Bisa-bisa cicilan rumah ini lebih besar dari gajinya sebagai dokter. Akan tetapi, mau bagaimanapun itu, saat ini bukan itu fokusku. Aku hanya cukup menginap di sini malam ini dan setelahnya aku bisa pergi untuk mencari hunian sendiri.

Kami memasuki rumah yang bernuansa putih itu. Hawa dingin masih melingkupi seolah alam kompak menambah kesedihan kami. Hari itu barulah aku tahu betapa sakit hati ayah dan ibuku sebab selama ini aku sebagai anak telah mengabaikan keduanya hanya demi seorang laki-laki yang pandai berdalil dan menjanjikan surga. Pada kenyataannya, justru nerakalah yang kudapatkan.

“Ini kamar kalian, bisa pakai. Cepat mandi dan ganti baju, nanti masuk angin atau bisa flu,” ucapnya memperingatiku agar segera membersihkan diri.

“Dingin Bunda,” keluh putraku dengan bibirnya yang bergetar kedinginan.

“Iya Sayang, kita mandi ya? Terus ganti baju,” kataku yang kemudian masuk ke dalam kamar sedangkan Ryan masih sibuk memindahkan barang-barang kami ke dalam rumah.

Ku tempelkan tanganku di kening Gaffi, rupanya putraku ini demam. Pantas saja sedari tadi dia hanya diam. Rupanya tubuh kecilnya ini sedang menahan sakit.

Tidak rewel. Iya, Gaffi sama sepertiku, ketika sakit atau merasa tidak enak, dia akan lebih banyak diam dan merasakannya sendiri. Seperti saat ini saat hatiku masih sakit luar biasa, aku bahkan tidak punya teman dekat untuk berbagi. Selama ini Mas Akbar berhasil menjauhkan aku dari teman-temanku dengan dalil, rumah adalah hijab terbaik bagi seorang wanita yang telah bersuami.

Ku kira semua itu dulu memang dia sampaikan sesuai dengan ilmu yang agama kami ajarkan. Namun, setelah kejadian ini, aku dapat menarik kesimpulan lain. Dia berkata demikian hanya untuk menyembunyikan kebusukannya di luar sana. Menyimpan aku istri sahnya agar bisa leluasa berjalan-jalan ke mana-mana dengan selingkuhannya. Setelahnya, dia akan pulang dan cukup membawakan aku makanan atau barang kesukaan.

Ternyata semua itu dia lakukan semata-mata hanya karena dia menutupi kelakuan busuknya. Agar aku tak curiga, dia menutup semuanya seolah-olah, dia adalah suami terbaik yang paling perhatian kepada istrinya. Bertahun-tahun aku menerima doktrin bodoh itu.

Dalam hal ini bukan salah agamanya. Bukan. Dia, dia yang salah. Agama kami selalu mengajarkan kebaikan. Tetapi dia menggunakan agama sebagai tameng. Menggunakan agama demi meraih kepuasan.

“Apa Gaffi pusing?” tanyaku kepada putraku yang hanya diam dan terlihat lesu.

“Iya Bunda,” jawabnya singkat.

Aku memakaikan pakaiannya yang masih bisa dipakai karena kering sedangkan yang lainnya basah, sebab Mas Akbar menempatkan pakaian kami di koper yang sudah tak layak pakai. Aku tahu apa niatnya melakukan ini. Supaya aku menyerah dan kembali kepadanya. Supaya aku menerima segala kelakuan buruknya.

Tidak. Tidak lagi untuk kali ini. Dia mengira aku lemah dan mudah ditindas karena selama ini aku hanya tahu meminta dan memercayakan segela kebutuhan kami kepadanya. Nyatanya dia menipuku mentah-mentah. Dia pikir aku akan bertahan demi harta. Enggak! Kamu salah Mas. Aku bukan wanita yang takut menderita.

“Gaffi berbaring sini ya? Bunda kan temui Om Dokter, Bunda akan minta obat sama dia buat Gaffi,” kataku kepada putraku yang berbaring di kamar sendirian.

Secepat mungkin aku mandi dan hanya mengguyur tubuhku saja di bawah shower tidak ada waktu bagiku untuk mendramatisir keadaan dengan menangis di bawah tetesan airnya. Aku harus cepat, anakku sedang sakit. Tidak hanya itu, kepalaku juga sebenarnya masih sangat pusing dan hampir pecah.

Saat aku keluar dari dalam kamar mandi, kudapatu putraku sudah terlelap. Dia terlelap dengan menutupi sendiri tubuhnya dengan selimut tebal dan sangat rapat. Hanya terlihat kepalanya saja dan aku kembali memeriksanya.

“Masih panas,” gumamku yang kemudian keluar untuk mencari Ryan.

Saat aku keluar Ryan sedang berada di dapur dengan tubuhnya yang masih basah. Dia tidak mepedulikan tubuhnya dan lebih mengutamakan kami. Perlahan, aku mendekatinya dan dia tersenyum kepadaku. Senyuman yang sama seperti saat 10 tahun yang lalu saat kami masih berpacaran.

“Hai, udah mandi? Gaffi mana? Ini aku gorengin nuget buat kalian sama masak mi goreng. Gaffi pasti suka,” ucapnya dengan senyuman ramah yang menghiasi wajahnya.

“Yan, Gaffi demam. Apa bisa kamu periksa dia sebentar?” kataku yang tak enak hati lantaran selalu merepotkan dia.

“Gaffi demam? Sebentar ya, aku matikan dulu kompornya.” Ryan terlihat cemas dan segera ia mencuci tangan lalu mengelapkan ke celanaya sambil berjalan terburu-buru menuju ke kamar tamu yang aku dan Gaffi tempati.

Ryan memeriksa putraku yang sedang tertidur itu. terlihat dia begitu teliti dalam melaksanakannya. Setelahnya dia menatapku.

“Apa anakmu punya sakit amandel?” tanyanya.

“Tidak,” jawabku.

“Oh, baiklah mungkin dia hanya demam biasa karena terpengaruh hawa buruk dari ayah dan ibunya yang sedang bertengkar,” kata Ryan yang kemudian keluar dari kamar tamu dan aku mengekor di belakangnya.

Aku pikir dia akan mengambilkan resep obat, ternyata tidak, dia keluar lagi setelah berganti pakaian. Aku rasa dia tidak sempat mandi karena begitu cepat antara dia masuk dan keluar. Dia menyambar kunci yang ada di meja ruang tamu dan hendak keluar.

“Yan, kamu mau ke mana?” tanyaku.

“Aku mau beli resep di apotik Nala, obat di rumah ini hanya ada yang dosisnya untuk orang dewasa dan anak seusia dia biasanya minum yang syrup bukan? Aku tidak punya, semuanya tablet dan kapsul,” jawabnya.

“Ya sudah, maaf ya sudah buat kamu repot,” kataku.

“Enggak apa-apa Nala. Aku emang dari dulu selalu berdoa biar bisa ketemu kamu lagi, tapi enggak nyangka kalau cara ketemu kita kayak gini,” ucapnya yang membuat aku malu sekaligus merasa bersalah terhadapnya.

*****

Dengan penuh kesabaran, kami merawat Gaffi. Ryan memasangkan plester penurun panas, sedangkan aku meminumkan syrup penurun panas. Benar kata ibu-ibu yang pernah aku jumpai saat mengantar sekolah anakku ini. Bahwa, akan itu sangat peka perasaannya termasuk ketika ayah dan ibunya bertengkar, dia akan terbawa dan tak jarang bisa jatuh sakit juga.

Selesai dengan itu, Ryan mengajaku makan malam. Kami memang belum makan sejak sore tadi. Dia juga saat keluar begitu memerhatikan kebutuhan putraku. Susu, vitamin, dan juga makanan kesukaan anak-anak ia belikan semua.

“Yan, maaf ya aku udah banyak merepotkanmu,” kataku pelan di sela-sela saat kami makan malam.

“Enggak apa-apa, panya yang merepotkan? Ini biasa aja Nala.”

Dia berbicara seolah tanpa beban. Hanya saja aku merasa tidak enak hati. Terlalu jauh aku menyeretnya ke dalam masalahku.

“Nanti kalau aku sudah bekerja, aku akan menggantinya.”

“Mengganti apa Nala?” tanyanya yang seolah membantuku itu bukanlah sesuatu yang harus dibalas lagi.

Saat ini, aku menemukan perbandingan sikap lelaki. Bila Mas Akbar, dahulu sering membalut segala sesuatu dengan agama yang membuatku terkesima hingga tak sadar aku telah terasingkan dari keluargaku. Sedangkan dia, aku justru diajarkan untuk merangkul dan merendah kepada orang tua. Apa ini? Saat ini otakku kacau aku tidak tahu mana yang benar dan yang buruk. Apakah dia yang selalu mengaitkan sesuatu dengan agama? Atau dia yang tak banyak bicara tapi tindakannya mengajarkanku kebaikan yang sebenarnya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status