Ayahku menolakku dan juga anakku. Saat ini aku sama sekali tidak punya tujuan. Bajuku dan juga Gaffi sudah pasti basah kuyup. Aku tak ubahnya seperti bunga dandelion yang terhempas sang bayung. Terbang ke sana ke mari tanpa tujuan yang pasti.
Satu orang yang bisa kujadikan tumpuan saat ini hanyalah Ryan. Aku sama sekali tidak menyangka bila saat ini duniaku justru berporos kepadanya, mantan pacarku saat SMA yang ku tinggalkan hanya karena jarak yang memisahkan. Sebanarnya aku sangat malu. Namun, aku pun tidak bisa berbuat banyak.
“Gaffi basah ya bajunya?” tanyanya padaku sambil mengemudi.
“Iya Yan, tapi mungkin di koper itu masih ada pakaiannya yang bisa dipakai.”
“Hhh … semoga saja,” dengusnya yang kemudian kembali mengemudi hingga kami tiba di sebuah rumah yang berpagar putih nan tinggi.
“Ini rumah siapa Yan?” tanyaku kepadanya. Agak aneh bagiku, sebab sedari dulu Ryan hanya menunjukan kalau dirinya hanya anak kos biasa. Dia sama sekali tidak pernah membahas mengenai keluarganya.
“Rumahku Nala, alhamdulilah aku bisa mencicilnya semenjak menjadi dokter,” jawabnya yang menampik segala rasa curigaku.
Mencicil rumah sebesar ini untuk kalangan dokter yang baru saja mendapatkan penempatan itu bukanlah hal yang terjangkau. Bisa-bisa cicilan rumah ini lebih besar dari gajinya sebagai dokter. Akan tetapi, mau bagaimanapun itu, saat ini bukan itu fokusku. Aku hanya cukup menginap di sini malam ini dan setelahnya aku bisa pergi untuk mencari hunian sendiri.
Kami memasuki rumah yang bernuansa putih itu. Hawa dingin masih melingkupi seolah alam kompak menambah kesedihan kami. Hari itu barulah aku tahu betapa sakit hati ayah dan ibuku sebab selama ini aku sebagai anak telah mengabaikan keduanya hanya demi seorang laki-laki yang pandai berdalil dan menjanjikan surga. Pada kenyataannya, justru nerakalah yang kudapatkan.
“Ini kamar kalian, bisa pakai. Cepat mandi dan ganti baju, nanti masuk angin atau bisa flu,” ucapnya memperingatiku agar segera membersihkan diri.
“Dingin Bunda,” keluh putraku dengan bibirnya yang bergetar kedinginan.
“Iya Sayang, kita mandi ya? Terus ganti baju,” kataku yang kemudian masuk ke dalam kamar sedangkan Ryan masih sibuk memindahkan barang-barang kami ke dalam rumah.
Ku tempelkan tanganku di kening Gaffi, rupanya putraku ini demam. Pantas saja sedari tadi dia hanya diam. Rupanya tubuh kecilnya ini sedang menahan sakit.
Tidak rewel. Iya, Gaffi sama sepertiku, ketika sakit atau merasa tidak enak, dia akan lebih banyak diam dan merasakannya sendiri. Seperti saat ini saat hatiku masih sakit luar biasa, aku bahkan tidak punya teman dekat untuk berbagi. Selama ini Mas Akbar berhasil menjauhkan aku dari teman-temanku dengan dalil, rumah adalah hijab terbaik bagi seorang wanita yang telah bersuami.
Ku kira semua itu dulu memang dia sampaikan sesuai dengan ilmu yang agama kami ajarkan. Namun, setelah kejadian ini, aku dapat menarik kesimpulan lain. Dia berkata demikian hanya untuk menyembunyikan kebusukannya di luar sana. Menyimpan aku istri sahnya agar bisa leluasa berjalan-jalan ke mana-mana dengan selingkuhannya. Setelahnya, dia akan pulang dan cukup membawakan aku makanan atau barang kesukaan.
Ternyata semua itu dia lakukan semata-mata hanya karena dia menutupi kelakuan busuknya. Agar aku tak curiga, dia menutup semuanya seolah-olah, dia adalah suami terbaik yang paling perhatian kepada istrinya. Bertahun-tahun aku menerima doktrin bodoh itu.
Dalam hal ini bukan salah agamanya. Bukan. Dia, dia yang salah. Agama kami selalu mengajarkan kebaikan. Tetapi dia menggunakan agama sebagai tameng. Menggunakan agama demi meraih kepuasan.
“Apa Gaffi pusing?” tanyaku kepada putraku yang hanya diam dan terlihat lesu.
“Iya Bunda,” jawabnya singkat.
Aku memakaikan pakaiannya yang masih bisa dipakai karena kering sedangkan yang lainnya basah, sebab Mas Akbar menempatkan pakaian kami di koper yang sudah tak layak pakai. Aku tahu apa niatnya melakukan ini. Supaya aku menyerah dan kembali kepadanya. Supaya aku menerima segala kelakuan buruknya.
Tidak. Tidak lagi untuk kali ini. Dia mengira aku lemah dan mudah ditindas karena selama ini aku hanya tahu meminta dan memercayakan segela kebutuhan kami kepadanya. Nyatanya dia menipuku mentah-mentah. Dia pikir aku akan bertahan demi harta. Enggak! Kamu salah Mas. Aku bukan wanita yang takut menderita.
“Gaffi berbaring sini ya? Bunda kan temui Om Dokter, Bunda akan minta obat sama dia buat Gaffi,” kataku kepada putraku yang berbaring di kamar sendirian.
Secepat mungkin aku mandi dan hanya mengguyur tubuhku saja di bawah shower tidak ada waktu bagiku untuk mendramatisir keadaan dengan menangis di bawah tetesan airnya. Aku harus cepat, anakku sedang sakit. Tidak hanya itu, kepalaku juga sebenarnya masih sangat pusing dan hampir pecah.
Saat aku keluar dari dalam kamar mandi, kudapatu putraku sudah terlelap. Dia terlelap dengan menutupi sendiri tubuhnya dengan selimut tebal dan sangat rapat. Hanya terlihat kepalanya saja dan aku kembali memeriksanya.
“Masih panas,” gumamku yang kemudian keluar untuk mencari Ryan.
Saat aku keluar Ryan sedang berada di dapur dengan tubuhnya yang masih basah. Dia tidak mepedulikan tubuhnya dan lebih mengutamakan kami. Perlahan, aku mendekatinya dan dia tersenyum kepadaku. Senyuman yang sama seperti saat 10 tahun yang lalu saat kami masih berpacaran.
“Hai, udah mandi? Gaffi mana? Ini aku gorengin nuget buat kalian sama masak mi goreng. Gaffi pasti suka,” ucapnya dengan senyuman ramah yang menghiasi wajahnya.
“Yan, Gaffi demam. Apa bisa kamu periksa dia sebentar?” kataku yang tak enak hati lantaran selalu merepotkan dia.
“Gaffi demam? Sebentar ya, aku matikan dulu kompornya.” Ryan terlihat cemas dan segera ia mencuci tangan lalu mengelapkan ke celanaya sambil berjalan terburu-buru menuju ke kamar tamu yang aku dan Gaffi tempati.
Ryan memeriksa putraku yang sedang tertidur itu. terlihat dia begitu teliti dalam melaksanakannya. Setelahnya dia menatapku.
“Apa anakmu punya sakit amandel?” tanyanya.
“Tidak,” jawabku.
“Oh, baiklah mungkin dia hanya demam biasa karena terpengaruh hawa buruk dari ayah dan ibunya yang sedang bertengkar,” kata Ryan yang kemudian keluar dari kamar tamu dan aku mengekor di belakangnya.
Aku pikir dia akan mengambilkan resep obat, ternyata tidak, dia keluar lagi setelah berganti pakaian. Aku rasa dia tidak sempat mandi karena begitu cepat antara dia masuk dan keluar. Dia menyambar kunci yang ada di meja ruang tamu dan hendak keluar.
“Yan, kamu mau ke mana?” tanyaku.
“Aku mau beli resep di apotik Nala, obat di rumah ini hanya ada yang dosisnya untuk orang dewasa dan anak seusia dia biasanya minum yang syrup bukan? Aku tidak punya, semuanya tablet dan kapsul,” jawabnya.
“Ya sudah, maaf ya sudah buat kamu repot,” kataku.
“Enggak apa-apa Nala. Aku emang dari dulu selalu berdoa biar bisa ketemu kamu lagi, tapi enggak nyangka kalau cara ketemu kita kayak gini,” ucapnya yang membuat aku malu sekaligus merasa bersalah terhadapnya.
*****
Dengan penuh kesabaran, kami merawat Gaffi. Ryan memasangkan plester penurun panas, sedangkan aku meminumkan syrup penurun panas. Benar kata ibu-ibu yang pernah aku jumpai saat mengantar sekolah anakku ini. Bahwa, akan itu sangat peka perasaannya termasuk ketika ayah dan ibunya bertengkar, dia akan terbawa dan tak jarang bisa jatuh sakit juga.
Selesai dengan itu, Ryan mengajaku makan malam. Kami memang belum makan sejak sore tadi. Dia juga saat keluar begitu memerhatikan kebutuhan putraku. Susu, vitamin, dan juga makanan kesukaan anak-anak ia belikan semua.
“Yan, maaf ya aku udah banyak merepotkanmu,” kataku pelan di sela-sela saat kami makan malam.
“Enggak apa-apa, panya yang merepotkan? Ini biasa aja Nala.”
Dia berbicara seolah tanpa beban. Hanya saja aku merasa tidak enak hati. Terlalu jauh aku menyeretnya ke dalam masalahku.
“Nanti kalau aku sudah bekerja, aku akan menggantinya.”
“Mengganti apa Nala?” tanyanya yang seolah membantuku itu bukanlah sesuatu yang harus dibalas lagi.
Saat ini, aku menemukan perbandingan sikap lelaki. Bila Mas Akbar, dahulu sering membalut segala sesuatu dengan agama yang membuatku terkesima hingga tak sadar aku telah terasingkan dari keluargaku. Sedangkan dia, aku justru diajarkan untuk merangkul dan merendah kepada orang tua. Apa ini? Saat ini otakku kacau aku tidak tahu mana yang benar dan yang buruk. Apakah dia yang selalu mengaitkan sesuatu dengan agama? Atau dia yang tak banyak bicara tapi tindakannya mengajarkanku kebaikan yang sebenarnya?
“Ya, aku akan mengganti semua yang udah kamu kasih untuk aku dan Gaffi ini Yan,” kataku dengan perasaan malu karena telah sangat banyak merepotkan dia.“Karena aku juga, kamu sampai dipecat dari rumah sakit. Terus setelah ini kamu mau kerja apa?” tanyaku kepadanya yang sampai detik ini aku juga tidak tahu banyak mengenai seluk beluk keluarganya.Ryan terdiam, dia mengunyah makanannya dengan santai dan menatapku datar. Tatapan yang mana aku merasakan tidak ada perasaan apa-apa di dalamnya. Hanya tatapan biasa antar teman.“Soal pekerjaan mungkin memang ini saatnya aku kembali dan mendengarkan apa kata ayah dan Bundaku. Aku harus menuruti kemauan mereka,” ujarnya yang membuatku semakin bertanya-tanya.“Memangnya, apa kata ayahmu?” tanyaku singkat.Ryan menenggak minumannya, jus jeruk sebagai teman makan malam kami yang dia buat sendiri. “Ya melanjutkan bis
“Entahlah Nala, sebelumnya aku sama sekali enggak pernah terlibat dengan kasus yang seperti ini. Dia memfitnahmu dan malah sengaja menyebarkan semuanya di media sosial. Akan seperti apa kebencian ayahmu terhadap ini? Oh iya, apa jangan-jangan kemarin dia juga yang menyampaikan berita ini sampai ibumu jatuh sakit?”Benar, aku tidak berfikiran sampai sejauh itu. Aku sama sekali tidak menduga bila Mas Akbar akan menjadi selicik ini. Sebenarnya untuk apa tujuannya memfitnahku? Buakanya seharusnya dia senang aku pergi tidak meminta dan membawa apapun darinya? Aku juga tidak menyebarkan berita ini ke sosial media. Tapi dia? Oh, kepalaku kembali berdenyut dan merasakan basah di sekitar hidungku.“Nala!” pekik Ryan yang terkejut melihat darah kembali mengucur dari hidungku.“Bunda, Bunda kenapa Om Dokter?” tanya Gaffi kepada Ryan yang merangkul tubuhku yang limbung.Ryan membawaku ke so
Tamu yang Kubenci “Em, lumayan dimudahkan,” jawabku kepadanya yang kemudian kembali melanjutkan kegiatannya. Sebenarnya, di saat mereka sedang berdua seperti ini, aku merasa bila Gaffi jauh lebih bahagia dengan Ryan dari pada dengan ayahnya sendiri. 6 tahun yang lalu saat putraku baru lahir, semuanya masih berjalan baik. Mas Akbar, masih tampil sebagai suami yang paling sempurna di mataku. Lalu … di malam kebangkrutan itu, di saat dia menghilang selama 3 hari dari kami, semuanya berubah. Entah apa yang dia lakukan di luar sana, entah apa yang dia upayakan, aku sama sekali tidak tahu. Hanya saja, semenjak hari itu, dia jadi menjaga jarak denganku dan hanya mau medekatiku ketika akan mengeluarkan air maninya. Iya, semua ini baru ku sadari setelah semalam aku memikirkan semuanya. Aku baru sadar itu, sikapnya berubah sudah semenjak Gaffi berumur 5 tahun. Semenjak satu tahun yang lalu dia menjauhiku. Sering pulang malam dan jarang meluangkan waktu. Seharusnya aku mendengarkan keluhan d
Pertengkaran di Tengah Badai “Enggak bisa Nala, mau sampai kapan kamu menghindar? Kita harus temui dia,” kata Ryan padaku. “Tenang, jangan takut. Ada aku okay?” ucapnya yang berusaha meyakinkanku. Aku menggeleng bersamaan dengan luruhnya air mataku. Aku sudah begitu jengah menghadapi sin dalam drama ini. Menguras tenagaku dan membuatku sesak dalam bernapas. “Iya, ada kamu tapi mau apa kalian kalau bertemu? Berkelahi lagi? Saling adu tinju lagi? Udah Yan, udah,” kataku dengan terus menarik lengannya. Itulah yang aku benci dari seorang pria. Amarahnya dan egonya. Keduanya seperti trisula sedang yang satunya lagi adalah harga diri yang teramat tinggi. Benar atau salah yang penting marah, itulah mereka dari yang sejauh ini aku pahami. Selalu saja seperti ini. “Kalau kalian bertemu siang hari terserah Yan, ini malam hari. Aku takut kalian kalap, sudahlah lebih baik kamu minta bantuan keamanan lingkungan sini saja,” usulku yang tidak berpikir panjang. “Nala, tidak bisa seperti ini. Saa
13. Keberangkatan Ryan"Yan, jadi mau berangkat? Keadaanmu masih kayak gini, apa enggak sebaiknya ditunda aja dulu?" usulku kepada pemilik rumah yang kutempati ini. Kulihat saja saat ini wajahnya masih lebam. Lukanya bahkan belum sembuh benar. Aku memerhatikan bagian sekitar matanya yang sudah ada 3 hari ini dan masih saja meninggalkan jejak kebiruan. "Bagaimana? Masa iya mau aku batalkan Nala. Nanti aku bisa kehilangan kesempatan," jawab Ryan sembari membaca beberapa kertas entah apa itu. Dia terlihat begitu fokus membacanya dengan bantuan kaca mata. Dalam sudut ini, harus aku akui bahwa dia masih memiliki kharismanya. Terpaan hangat mentari pagi menyinari wajahnya. Kilau kekuningan itu menambah tampan garis wajahnya. "Kenapa lihatin aku kayak gitu? Aku ajak nikah beneran dari kemarin enggak kamu jawab Nala," cetusnya yang membuat kedua pipiku memerah dan aku salah tingkah. Aku menenggak air putih yang ada di depan mataku. Terasa hawa yang berbeda ketika dia berbicara demikian.
Satu minggu semenjak kepergiannya, aku seperti orang gila yang kadang ketakutan berada sendirian di rumah orang lain. Kadang juga aku merasa risih dan malu sendiri. Hal bisa kulakukan adalah menjaga dan membersihkan rumah ini.Aktivitasku sama sekali tidak ada yang terganggu. Gaffi masih bersekolah di sekolahnya yang dulu. Ingin rasanya aku pergi dari sini, menjauhi peluang untuk bertemu dengan Mas Akbar. Namun, semua itu masih kuurungkan dan menunggu hasil putusan sidang. Setelah itu mungkin aku akan pergi jauh.Tanpa kusadari aku mulai terbiasa dengan kehadiran Ryan. Walaupun, kebiasaan itu hanyalah berkirim pesan yang isinya sekedar mengingatkan untuk mengunci pintu. Kadang juga dia mengingatkan aku untuk menjemput Gaffi. Hal kecil seperti itu yang sama sekali tidak pernah kudapatkan dari suamiku semenjak satu tahun terakhir ini.7 tahun pernikahan kami, aku yang semula selalu mengandalkan dia, lama-lama menjadi
Semenjak pertemuanku dengannya kemarin, aku merasa semua doaku terkabulkan. Dari mulai waktu itu, di saat dia menghilang dariku, di saat aku mendapatkan undangan pernikahannya melalui pesan singkat itu. Hatiku hancur, sangat hancur. Saat itu, aku tidak bisa memilih dia.Kuakui, sebagai lelaki aku memang snagat berambisi terhadap pendidikan terkhusus dibidang ilmu kedokteran. Gelar itu tersemat untukku yang kudapatkan nyaris tanpa suatu halangan. Hanya saja … aku, membawa perselisihan di dalamnya. Ayah, yang tidak menyetujui aku menjadi dokter dan lebih ingin aku melanjutkan bisnis keluarga ini.Lucunya lagi karena Nala, karena keadaannya yang terpuruk, bisa merupah pikiranku begitu saja. Aku yang semula gengsi untuk menyapa ayah lagi. Kini, malah duduk di ruangan ini sebagai COO (Chief Operating Officer). Aku berada di bawah jabatan ayah sebagai CEO sekarang ini.Nantinya kalau aku sudah dianggap layak oleh anggot
Jantungku berdebar kencang saat Ryan dengan sengaja menindih tubuhku. Entah hantu macam apa yang membuatnya berani melakukan ini. Aku tidak menduga saja bila dia akan berani melakukannya. "Kamu mau apa?" tanyaku padanya dengan tatapan wajah pucat pasi dan ketakutan. "Hahahaha, mau apa? Aku ya mau istirahatlah. Setelah aku pikir, selama aku pergi kemarin, sepertinya aku udah pantas jadi ayah," katanya yang membuatku semakin gugup. "Aku kangen banget sama kamu sama Gaffi, kalian baik-baik saja 'kan?" tanyanya sambil tersenyum dengan sudut matanya yang menyipit. Sungguh saat ini aku menjadi semakin gugup. Tubuhku terasa kaku dan lidahku terasa kelu. Bukankah apa yang dilakukannya ini merupakan satu tindak pelecehan? Oh, tapi tidak. Mengapa otak dan tubuhku tidak sejalan?Otakku mengatakan ini adalah kesalahan, tetapi tubuhku menerima ini sebagai bentuk kesenangan. Bagaimana ini, aku harus apa? Oh tidak Nala, jangan tunjukan kalau kamu juga merindukan sentuhan pria. Ini bukan hanya se