"Hu kum menikah dengan sepupu." Mia mengetik kalimat itu di pencarian google pada ponselnya karena baik Lasmi maupun Geri tidak memberikan jawaban yang memuaskan saat ditanya. Betapa girangnya Mia saat tidak lama kemudian dia menemukan jawaban yang memuaskan bahwa sepupu bukankah salah satu mahram sehingga boleh dinikahi. Wanita yang saat ini belum berganti pakaian sejak pulang dari acara pernikahan Elly itu berdiri dan menari berputar-putar setelah posisi sebelumnya bertelungkup di atas ranjang sambil memegang ponselnya. "Untung saja ada Mbak Gugel yang bisa menjawab semua pertanyaan." Mia tersenyum sendiri. Mia membuka akun fa ce book dan stalking akun sepupunya yang baru saja datang dari kota itu. Senyum mengembang di bibirnya saat menemukan foto-foto yang diposting Alvin di akun sosial medianya. "Aku bilang juga apa. Aku dan Alvin memang cocok. Aku cantik dan dia tampan. Kalau bersanding di pelaminan pasti akan memukau banyak orang dan banyak yang iri karena kami begitu seras
"Kenapa tiba-tiba Mia sama marah sama kamu, Ven?" tanya Alvin setelah Mia pergi dengan menghentak-hentakkan kaki ke lantai. "Dasar cewek g1la!" Venny menggerutu seraya memegang kepalanya yang terasa sakit akibat perbuatan Mia yang brutal. "Iya, kenapa dia bilang kalau kamu penipu!" Alvin penasaran. "Tau, ah. Sebel aku sama sepupu Mas Alvin itu." Venny mengerucutkan bibir seraya bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan kakaknya. "Hei, dia sepupumu juga!" seru Alvin. Lelaki itu menggelengkan kepala. "Dasar perempuan! Mereka berdua pasti sedang rebutan lelaki." Sementara itu Mia pulang dengan tergesa dan tidak lupa membawa kembali rantang berisi makanan yang katanya membuat neneknya alergi itu. "Hari ini waktuku terbuang percuma gara-gara Venny. Awas kamu, Ven, bukan Mia namanya kalau nggak bisa balas perbuatanmu hari ini." Mia berkata sendiri dengan gigi gemeletuk. Dadanya panas dan siap memuntahkan lahar. Dahi Lasmi berkerut melihat anak kesayangan pulang-pulang dengan wajah
Di sebuah kafe, dua orang wanita tengah menikmati milk shake. Salah satu dari mereka sedang curhat sambil berurai air mata. Dia adalah Natasya bersama sahabatnya. "Apa? Jadi, pangeran berkuda putih yang selama ini kamu nantikan itu adalah orang yang sama dengan orang yang akan dijodohkan denganmu waktu itu?" tanya Inka setelah Natasya selesai bercerita. Natasya mengangguk lemah. Air matanya meluncur bebas tanpa permisi. Iya, selemah itu ia sekarang. Sedikit-sedikit menangis. "Oh my God, demi dia kamu bahkan menolak Farel yang tampan padahal dia begitu mengejar-ngejar kamu." Gadis yang pembawaannya selalu riang dan ceplas-ceplos itu berdecak keheranan."Kalau aku tahu anak Om Elang itu Rizal, pasti aku mau nikah sama dia. Kalau udah kayak gini siapa yang salah, coba?" Natasya mengerucutkan bibir. Minuman di depannya terus ia aduk dan sama sekali tidak ingin menikmatinya. Inka menyeruput miumannya "Ternyata dunia ini memang sempit, ya? Sesempit telapak tangan. Terus sekarang apa y
Elly masih membiarkan jaket di tangan Natasya menggantung di udara. "Maaf, Mbak ini siapa sebenarnya? Kenapa datang-datang dan ingin mengembalikan jaket?" Elly bertanya meski ia sudah tahu bahwa wanita di hadapannya itu adalah salah satu wanita di masa lalu suaminya. Natasya menurunkan tangannya lalu memindahkan jaket ke tangan kiri dan mengulurkan tangan lagi. "Perkenalkan, aku Natasya. Wanita yang seharusnya menjadi istri Rizal karena sebenarnya kami sudah dijodohkan orang tua karena hubungan bisnis. Yah, dulu aku sempat menolak, tetapi sekarang tidak." Natasya menjelaskan panjang lebar. Natasya tersenyum senang melihat muka Elly berubah. Yang tadinya semringah dan ramah menjadi masam. Memang itu salah satu tujuan Natasya, membuat istri Rizal cemburu. 'Untung jaket ini belum dibuang jadi bisa digunakan menjadi senjata,' batin Natasya. Dalam hati, Natasya berterima kasih pada Inka yang telah memberi ide untuk membawa jaket yang entah sudah berapa kali ia cuci kering karena seri
Natasya membiarkan kerudung yang biasa ia kenakan itu lepas sehingga rambut panjangnya yang selalu terawat itu tergerai bebas. "Percuma aku pakai kerudung kalau nyatanya aku tidak dapat bersama dengan orang yang aku cintai." Natasya me re mas jilbab abu-abu yang tadi menutup kepalanya.Natasya yang biasa dikejar banyak pria dan menjadi idola sejak masih di sekolah hingga kini ia sudah menjadi wanita karier itu merasa terhina saat dirinya ditolak mentah-mentah oleh rekan bisnis papanya itu. "Apa kurangnya aku? APA? Sehingga Om Elang sama sekali tidak tertarik padaku padahal banyak orang tua yang menginginkan aku menjadi menantu." Wanita cantik itu kembali me mu kul stir. Sebuah benda yang ikut menjadi sasaran padahal tidak bersalah. Natasya ingat sebuah tips tentang cara meredam emosi yaitu dengan menarik napas dan mengembuskannya. Ia sudah lakukan tips itu, tetapi tetap saja rasa marah dan kesal itu tidak mau enyah saat teringat Rizal dan penolakan mentah-mentah dari Elang. "Ini a
Mia dan Lasmi sudah sampai di tempat parkir toko Elly. Dan ini untuk pertama kalinya Lasmi datang berkunjung ke toko tempat ponakannya bekerja itu "Wah, ternyata toko tempat kerja Elly gede juga, ya?" Lasmi menatap bangunan toko di depannya. Tangannya terus menggandeng Mia yang berjalan dengan tebar pesona. Mia tertawa sumbang. "Gede sih gede, Bu. Tetapi percuma kalau Elly di sini hanya karyawan biasa. Tempatnya yang gede, tetapi gajinya kecil." Mia menjentikkan jari. Lasmi manggut-manggut. "Benar juga, ya. Buat apa ada di toko yang besar kalau kita tidak memilikinya." "Elly masih kerja pasti karena disuruh ikut bayar utang biaya pernikahannya. Makanya aku pingin nikah dengan orang kaya yang sudah pasti saat pesta tidak perlu cari pinjaman sana sini," ucap Mia dengan senyum sinis. Dia sedang membayangkan Elly yang hidup menderita bersama Rizal. "Untung aku putus dengan Rizal sehingga tidak perlu kerja lagi setelah nikah hanya untuk membayar utang biaya pernikahan," lanjut Mia. "
Mia pulang dari rumah Rizal dengan membawa rasa kecewa yang menumpuk di dalam dada. Tidak menyangka ia akan mendapat penolakan dari lelaki yang pernah dicampakkannya. Wanita dengan mekap tebal itu memukul stir saat teringat Rizal yang menggandeng mesra tangan Elly sambil berkata, "Kamu hanya mantan dan sekarang aku sudah bahagia dengan istri yang sangat aku cintai. Tidak usahlah kamu datang ke sini lagi. Masih banyak lelaki di luar sana.""Baiklah kalau kamu tidak mau, tetapi tolong carikan aku lelaki yang seperti kamu. Teman atau saudara gitu. Pasti ada, kan?" kata Mia saat berada di rumah Rizal. Rizal tersenyum. "Maaf, Mi. Aku tidak membuka biro jodoh. Kalau mau cari jodoh, cari saja sendiri. Jangan minta bantuan orang lain." "Aaaaaa." Mia berteriak untuk melepaskan rasa sesak di dada. ***(Irfan, seorang lelaki kaya. Kenal melalui dunia maya dan mengaku seorang pengusaha) CoretTidak ada harapan karena dia menolak mentah-mentah saat Mia minta dilamar secepatnya, bahkan bilang
"Lihat ini, Bu? Mia ngajakin aku ketemu." Andra menunjukkan ponsel dengan riwayat panggilannya dengan Mia yang baru saja ia lakukan. Rani yang sedang memotong wortel untuk dibuat sup itu menoleh. "Mia itu siapa, Ndra?" "Itu, Bu. Yang pernah menyerempet aku." "Oh, iya. Yang itu? Memangnya ngapain dia ngajak ketemu sama kamu?" Rani kembali melanjutkan memotong wortel. "Dia mau ngajakin makan di luar, Bu. Boleh, kan?" Rani menunda pekerjaannya lalu mencuci tangan di wastafel dan mengeringkannya. Ditatap lekat-lekat wajah anak laki-lakinya itu. "Pergilah, Ndra. Tetapi, pesan Ibu tetap sama seperti biasanya. Tidak berubah. Kamu harus jujur siapa kita yang sebenarnya." Rani mengusap lengan lelaki berwajah tampan itu. Senyum yang tadi terbit di bibir Andra memudar seketika mendengar ucapan ibunya. "Maaf, Bu. Kali ini aku nggak bisa. Aku bosan jomlo terus. Sebel selalu ditinggal orang yang aku cinta setiap kali tahu siapa kita yang sebenarnya." Mata Rani berkaca-kaca mendengar keluh k