Tangan Andra gemetar saat menanda tangani berkas persetujuan bahwa istrinya harus dilakukan tindakan operasi caesar saat akan melahirkan. Lelaki itu sebenarnya keberatan Mia dioperasi karena dia tahu biayanya lebih mahal dibandingkan dengan lahiran normal. Namun, demi keselamatan istri dan calon anaknya dia tetap tanda tangan juga. Perkara uang, bisa dipikir nanti. Dia memang sudah punya tabungan, tetapi hanya cukup untuk digunakan jika Mia lahiran normal sedangkan dia tidak berani minta pada mertuanya meski dia tahu orang tua Mia punya banyak uang. Dia tahu, mertuanya terutama sang ibu tidak menyukainya sebagai menantu karena dia hanya anak pembantu. Andra takut ibu istrinya itu tidak mau membantunya. Dan yang paling membuatnya takut adalah mertuanya mau memberi bantuan asalkan dia mau berpisah dengan Mia. Tidak. Apa pun alasannya, Andra tidak mau berpisah dengan Mia terlebih setelah adanya buah hati di antara mereka. Setelah menunggu hampir satu jam lamanya, akhirnya operasi ca
"Jadi, calon suami kamu itu Rizal?" tanya Mia.Dari nada bicaranya terdengar sinis dan merendahkan setelah aku mengangguk. Hari ini aku baru saja kedatangan tamu. Rizal dan orang tuanya datang melamarku pada ayah ibu secara resmi. Rupanya ucapannya beberapa hari yang lalu itu tidak main-main. Dia bilang menyukaiku dan jika aku mau menerimanya, maka dia akan menjadikan aku sebagai istri bukan pacar. "Ternyata pepatah yang mengatakan dunia itu sempit memang benar, ya?" kata Mia lagi seraya mengambil stoples yang berisi potil ketumbar di atas meja lalu membawanya dalam pangkuan. Tidak lama kemudian terdengar suara mulutnya yang mengunyah makanan itu dengan keras. "Memangnya kenapa?" Aku yang sedang mencuci piring bekas makan tadi menoleh. Mia berhenti mengunyah lalu mendekatiku. "Rizal itu mantan pacarku, tetapi aku putusin dia karena dia itu adalah lelaki yang sangat pelit dan perhitungan. Mana mau aku dengan lelaki yang setiap kali makan harus bayar sendiri-sendiri. Nggak pernah n
Uang di dalam dompet hitam milik Rizal memang tidak banyak. Ku lihat hanya ada beberapa lembar uang merah, tetapi selain uang, di dompet itu juga ada kartu ATM dan kartu kredit. Sebuah kartu yang tidak pernah kumiliki. Kuhela napas perlahan. Selama aku bekerja, gajiku yang tidak seberapa itu selalu kuberikan pada ibu. Rizal menarik tanganku mengajak masuk butik. Seorang wanita cantik berseragam biru menyambut kami dengan raut wajah ramah. "Kami mau pesan baju pengantin yang paling bagus di butik ini, Mbak," kata Rizal. Wanita berjilbab itu tersenyum dan mengajak kami untuk memasuki ruangan yang lain. Aneka gamis berjejer serta manekin bergaun pengantin telah siap untuk dipilih. "Ini beberapa model gaun pengantin koleksi kami. Silakan dipilih," kata sang pelayan. Aku terpana melihat gaun yang semuanya bagus-bagus. Tidak pernah ber bayangkan aku akan memasuki butik sebesar dan sebagus ini apalagi untuk memilih dan membeli salah satu gaunnya. Tanganku gemetar. Kulirik Rizal yang j
"Sebenarnya kamu ini siapa? Kenapa tidak sayang mengeluarkan banyak uang hanya untuk makan?" Aku mengulang pertanyaan saat makanan yang kami pesan sudah datang. Rizal menatapku lalu mengulurkan tangan. "Ehem, kenalkan. Aku Afrizal Ramadan, calon suami dari Elliana Putri." "Serius." Aku mengerucutkan bibir, tetapi dia malah tertawa. "Iya, aku serius. Namaku memang Rizal, kan? Dan sebentar lagi kita akan menikah." "Tetapi__Rizal tersenyum memperlihatkan giginya yang putih dan tersusun rapi. "Makan dulu. Nggak baik makan sambil berbicara, kan?" Aku meringis lalu mengambil potongan pizza dan memakannya. Makanan yang untuk pertama kalinya masuk ke dalam mulutku ini. Biasanya aku hanya melihat makanan seperti ini di televisi, tetapi kali ini aku bisa merasakan sendir. Jika dilihat dari cara Rizal makan, sepertinya lelaki di hadapanku ini sudah terbiasa makan makanan ini tidak seperti aku yang setiap hari hanya makan seadanya. Benarkah Rizal sudah terbiasa makan di restoran mahal sep
"Mau?" Aku mengangkat potongan pizza dan mengulurkan pada Mia. Wanita yang memakai rok merah sebatas lutut dan atasan warna putih itu menggeleng seraya berkata, "Enggak, ah. Nanti aku disuruh bayar lagi. Aku tahu kamu pasti sudah tidak punya uang sama sekali setelah jalan-jalan tadi, kan?" Aku tersenyum. "Enggak, Mi. Ini Rizal yang bayar kok. Tadi aku juga tidak keluar uang sepeser pun. Semuanya dia yang bayar." Mia tertawa lebar. "Kamu pikir aku akan percaya? Hei, aku itu tahu betul siapa Rizal, El. Dia nggak mungkin akan membayarkan makanan saat kencan. Jangan-jangan isi bensin juga diminta patungan," "Aku tidak bohong. Rizal yang bayar pizza ini." Aku mengatakan yang sebenarnya.Lagi. Wanita yang merupakan keponakan ayahku itu tertawa lebar. "Oke-oke. Mungkin sekarang Rizal yang bayar, tetapi pasti nanti dihitung utang dan yang namanya utang harus bayar. Siap-siap aja kamu ditagih oleh calon suamimu sendiri."Aku menelan ludah. Benarkah Rizal seperti itu? Aku menggeleng. Ah, t
Bude Lasmi mendekat lalu mengambil baju pengantin itu. "Wah, selain pamer dibelikan pizza, kamu juga mau pamer kalau baju pengantinnya sudah ada? Tetapi menurutku, baju ini biasa saja," ujarnya dengan tampang merendahkan. Aku mengambil alih baju itu. "Ini saja sudah bersyukur, Bude.""Tentu saja, calon suamimu hanya orang biasa. Kamu harus tahu diri dengan tidak minta yang aneh-aneh atau pun yang mahal-mahal. Untuk pernikahan juga sederhana saja. Jika punya uang lebih baik buat modal berumah tangga atau buat nyicil beli rumah. Calon suamimu itu belum punya rumah sendiri, kan?" tanyanya sinis. "Bude ke sini hanya berniat untuk menghinaku? Memangnya tidak punya pekerjaan lain yang lebih bermanfaat?" tanyaku mulai sebal. Rasa hormat pada orang yang lebih tua menguap begitu saja melihat tingkahnya yang sebelas duabelas dengan Mia. Rupanya pepatah yang mengatakan buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya itu memang benar adanya. Wanita yang rambutnya sudah mulai memutih, tetapi tidak mau
"Kenapa tidak mau bicara dengan Mia?" tanyaku dengan suara terbang bersama angin. Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju tempat kerja. Tadi Rizal tetap melajukan motornya dan mengabaikan mantan kekasih yang memanggil dan berjalan dengan tergopoh-gopoh itu. "Malas aja. Lagi pula ini sudah siang, kalau meladeni Mia, kita pasti akan terlambat," jawab Rizal dengan tetap fokus mengemudi. Aku tersenyum meski Rizal tidak melihatnya. Dia juga pasti tidak mau gajinya dipotong jika datang terlambat. "Zal. Terima kasih, ya?" ucapku setelah turun dari motor. Kubuka helm berwarna hitam dan mengulurkan padanya. "Untuk?" "Pizza yang kemarin. Berkat kamu, keluargaku bisa mencicipi makanan yang sebelumnya mustahil dapat kami beli karena harganya mahal," ucapku jujur. Aku tersenyum saat teringat betapa bahagianya Delia makan pizza tadi sore. Bahkan ia harus mengambil beberapa foto untuk diabadikan. Bagi orang lain, pizza adalah makanan yang biasa, tetapi tidak bagi kami. Tidak heran jika D
Mataku terasa berkabut mengingat ayah di rumah yang sedang sakit sedangkan saudara kandungnya sendiri tidak mau peduli. "Kenapa masih berdiri di situ? Kurang jelas kalau aku tidak akan mengizinkan suamiku mengantar ayahmu?" kata Bude Lasmi lagi. Kutekan dadaku kuat-kuat untuk mengurai rasa sesak yang semakin menghimpit. Pepatah mengatakan darah lebih kental daripada air, tetapi aku tidak pernah merasakan itu dari keluarga ayah. Mereka seolah sengaja membentang jarak karena perbedaan ekonomi di antara kami. Ayah adalah tiga bersaudara. Bude Lasmi, kakak perempuannya memiliki suami yang bekerja sebagai mandor bangunan, kakak pertamanya memiliki toko sembako yang saat ini tinggal bersama nenek. Bisa dikatakan di antara mereka bertiga hanya ayah yang keadaan ekonominya tidak melimpah seperti kakak-kakaknya. Dengan tubuh lunglai aku berbalik. Tujuanku sekarang adalah ke rumah nenek. Di sana juga ada mobil milik Pakde Pras. Semoga anak pertama dari nenekku itu berkenan mengantar ayah ke