Share

Siapa Kamu?

Uang di dalam dompet hitam milik Rizal memang tidak banyak. Ku lihat hanya ada beberapa lembar uang merah, tetapi selain uang, di dompet itu juga ada kartu ATM dan kartu kredit. Sebuah kartu yang tidak pernah kumiliki.

Kuhela napas perlahan. Selama aku bekerja, gajiku yang tidak seberapa itu selalu kuberikan pada ibu.

Rizal menarik tanganku mengajak masuk butik. Seorang wanita cantik berseragam biru menyambut kami dengan raut wajah ramah.

"Kami mau pesan baju pengantin yang paling bagus di butik ini, Mbak," kata Rizal.

Wanita berjilbab itu tersenyum dan mengajak kami untuk memasuki ruangan yang lain. Aneka gamis berjejer serta manekin bergaun pengantin telah siap untuk dipilih.

"Ini beberapa model gaun pengantin koleksi kami. Silakan dipilih," kata sang pelayan.

Aku terpana melihat gaun yang semuanya bagus-bagus. Tidak pernah ber bayangkan aku akan memasuki butik sebesar dan sebagus ini apalagi untuk memilih dan membeli salah satu gaunnya.

Tanganku gemetar. Kulirik Rizal yang juga sedang melihat-lihat pakaian yang digantung di depannya.

"Bagaimana, El? Apakah kamu sudah menentukan pilihan?" Rizal mendekatiku.

Aku menoleh dan menggeleng.

Dahi Rizal berkerut melihat tanggapanku. "Kenapa? Nggak ada yang suka, ya? Padahal menurutku ini bagus, lho." Rizal mengusap gaun pengantin berwarna putih tulang.

"Tetapi nggak apa-apa. Aku maklum. Selera orang memang berbeda, kan? Karena yang namanya bagus itu relatif. Aku bilang bagus, tetapi kamu enggak. Aku nggak bisa memaksa kamu suka," imbuh Rizal.

Lalu Rizal Menarik tanganku. "Kalau gitu, coba cari di sebelah sana. Siapa tahu ada yang suka."

"Em, sebenarnya aku suka gaun ini, tapi__Aku mengelus gaun pengantin putih polos dan melirik Rizal. " Harganya mahal." Lanjutku seraya nyengir. Tentu saja mahal menurutku, gajiku sebagai karyawan di toko sepatu selama satu bulan tidak cukup untuk membayarnya.

Rizal meminta karyawan butik melepas gaun pengantin dari manekin lalu memberikan padaku untuk dicoba.

Tanganku gemetar memegang gaun panjang itu. Seumur hidup tidak pernah terbayangkan memegang gaun sebagus ini apalagi diminta untuk memakainya.

"Ayo!" kata lelaki berkaus oblong warna cokelat muda dengan kerah di lehernya itu saat aku masih bergeming.

"Nggak usah khawatir. Uangku pasti cukup untuk membayarnya."

Segera aku masuk ke ruang ganti dan mencobanya, ternyata ukurannya sangat pas. Tidak kebesaran dan juga tidak kekecilan.

Aku keluar dari ruang ganti untuk menunjukkan pada Rizal. Lelaki yang akan menjadi imamku itu tersenyum saat menatapku.

"Cantik sekali calon pengantinku. Jadi nggak sabar menunggu waktu itu tiba," kata Rizal yang membuat pipiku hangat.

"Ada yang lain?" tanya Rizal lagi setelah gaun itu dibungkus.

Aku menggeleng, tetapi tiba-tiba dia mengambil beberapa potong baju dan memberikan pada pelayan untuk membungkusnya.

"Ini buatku?" tanyaku saat Rizal mengulurkan paperbag warna cokelat.

Rizal tertawa memperlihatkan giginya yang putih dan tersusun rapi. "Tentu saja. Buat siapa lagi?"

"Ini terlalu berlebihan, Zal."

Rizal mengusap pundakku dengan lembut. "Tidak ada yang berlebihan untuk wanita cantik yang mau menerimaku apa adanya. Aku janji akan membahagiakanmu, El."

Aku menerima Rizal karena dia adalah lelaki sederhana dan tidak banyak tingkah, tetapi setelah melihat isi dompetnya, apakah dia seorang lelaki dari keluarga sederhana seperti yang kuduga.

Rizal kembali menggandeng tanganku usai membayar barang belanjaan dengan kartu yang dia punya. Rencana selanjutnya kami akan ke studio foto untuk foto prewedding.

Dahi Rizal berkerut saat melihatku hendak naik ke atas motor miliknya. "Mukamu pucat. Kamu pasti lapar. Kita makan dulu aja, ya."

Tanpa menunggu jawabanku. Dia menarik tanganku dan mengajak masuk ke sebuah restoran mewah yang sama sekali belum pernah kumemasukinya.

"Kita makan di sini?" Aku ragu untuk melangkah.

Rizal malah tertawa. "Jangan khawatir. Aku yang bayar makananku dan makananmu. Tidak bayar sendiri-sendiri seperti biasanya. Kamu, kan, calon istriku."

Pipiku hangat. Malu nyatanya dia dapat membaca pikiranku. Tentu saja aku takut jika diminta bayar sendiri. Bisa-bisa jatahku makan selama satu bulan habis hanya untuk sekali makan di sini.

Kami berjalan beriringan memasuki restoran yang di dalamnya penuh dengan perabotan mewah itu. Tempatnya rapi dan bersih.

Rizal mengajakku duduk di meja kosong yang berada di pojokan lalu memanggil pelayan.

Mataku membulat saat membaca daftar menu tertera dan semuanya mahal. Aku menelan ludah dan lidahku terasa berat untuk mengucap.

"Kamu mau makan apa?" tanya Rizal karena aku masih diam saja.

Aku mendongak dan menatapnya.

Rizal tersenyum lalu dengan entengnya menyebut beberapa makanan dan minuman.

"Sebenarnya kamu ini siapa? Kenapa tidak sayang mengeluarkan banyak uang hanya untuk makan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status