Share

Panggil dia Mas

"Sebenarnya kamu ini siapa? Kenapa tidak sayang mengeluarkan banyak uang hanya untuk makan?" Aku mengulang pertanyaan saat makanan yang kami pesan sudah datang.

Rizal menatapku lalu mengulurkan tangan. "Ehem, kenalkan. Aku Afrizal Ramadan, calon suami dari Elliana Putri."

"Serius." Aku mengerucutkan bibir, tetapi dia malah tertawa.

"Iya, aku serius. Namaku memang Rizal, kan? Dan sebentar lagi kita akan menikah."

"Tetapi__

Rizal tersenyum memperlihatkan giginya yang putih dan tersusun rapi. "Makan dulu. Nggak baik makan sambil berbicara, kan?"

Aku meringis lalu mengambil potongan pizza dan memakannya. Makanan yang untuk pertama kalinya masuk ke dalam mulutku ini. Biasanya aku hanya melihat makanan seperti ini di televisi, tetapi kali ini aku bisa merasakan sendir.

Jika dilihat dari cara Rizal makan, sepertinya lelaki di hadapanku ini sudah terbiasa makan makanan ini tidak seperti aku yang setiap hari hanya makan seadanya.

Benarkah Rizal sudah terbiasa makan di restoran mahal seperti ini? Tetapi kenapa dia doyan makan makanan sederhana bersamaku saat bekerja? Bahkan saat aku membawa bekal tumis kangkung pun dia juga makan dengan lahap.

"Ini kamu yang masak?" tanya Rizal waktu itu.

Aku mengangguk.

"Enak. Kalau aku jadi suamimu apakah akan dimasakin kangkung setiap hari?"

Lalu kami tertawa bersama menikmati bekal sederhana yang kubawa karena kebetulan Rizal tidak membawa bekal waktu itu.

Dan sekarang, dia mengajakku menikmati makanan mahal ini.

Yang dibilang orang memang tidak bohong. Makanan ini memang enak. Saat aku menelan, Tiba-tiba aku teringat ayah dan ibu yang sudah lama ingin sekali merasakan makan makanan seperti ini. Namun, aku tidak mungkin meminta Rizal untuk membeli makanan lebih agar aku bisa membawa pulang dan memberikan pada ayah dan ibu.

"El?"

"Iya."

Rizal menunjuk bibirku.

Aku mengusap bibirku sendiri. Aku tahu dengan kode yang ia berikan bahwa ada makanan yang menempel di bibirku ini. Namun, dia masih menunjuk lagi.

Aku mengusap sudut bibirku yang lain, tetapi dia menggeleng hingga tangannya terulur untuk mengusapnya sambil berkata, "maaf."

Inilah yang membuatku jatuh hati dengan lelaki ini. Dia sangat sopan dan tidak suka pegang-pegang seenaknya. Setelah dia mengatakan perasaannya padaku hingga berakhir dengan lamaran, kami sama sekali belum pernah berci uman atau pun berpelukan. Setiap kali menyentuh pun selalu minta izin.

Setelah makan selesai dan tentu saja dia tidak memintaku untuk bayar sendiri. Ia keluar seraya menenteng sebuah kotak dan mengulurkan padaku.

"Apa ini?" tanyaku setelah kotak pizza itu beralih ke tanganku.

"Itu buat ayah dan ibu,"

Aku menelan ludah. Tadi aku kepikiran untuk membawa pulang makanan ini, tetapi tidak berani mengatakannya. Apakah lelaki ini bisa membaca pikiranku?

"Terima kasih. Sebenarnya kamu tidak perlu repot memberinya oleh-oleh untuk ayah dan ibuku," ucapku merasa tidak enak.

Rizal mengusap pundakku dengan lembut. "Bukan ayah dan ibumu, tetapi ayah dan ibu kita."

Setelah itu kami menuju sebuah tempat yang ternyata tempat wedding organizer.

"Kita udah beli baju pengantin, kenapa masih ke sini?" tanyaku heran seraya menunjukkan paper bag yang kubawa.

"Baju itu hanya untuk saat akad saja," jawab Rizal.

"Maksudnya?" tanyaku masih tidak mengerti.

"Setelah akad nikah kita akan mengadakan pesta dengan mengundang teman maupun kerabat. Yah, meskipun acaranya hanya sederhana, tetapi harus kita pikirkan matang-matang seperti apa konsepnya. Kita bisa diskusikan dengan pemilik WO ini. Masuk, yuk!"

Kami disambut dengan ramah oleh pasangan suami istri pemilik usaha WO itu dan langsung dipersilakan duduk.

"Silakan dipilih dulu, Mbak. konsep pernikahannya seperti apa? Mau out door atau in door? Mau yang sederhana atau modern." Wanita berjilbab pink itu menyodorkan sebuah buku berisi aneka gambar yang sukses membuatku bingung.

"Zal?" Aku mendongak dan menatap lelaki yang sudah melamarku itu.

Lelaki berambut pendek itu tersenyum. "Iya, El. Pilih saja mana yang kamu suka. Papa sama Mama, em, maksudku ayah dan ibu meminta kita untuk memilih sendiri."

"Tapi aku ingin pesta pernikahan kita sederhana saja," ucapku lirih.

Rizal tersenyum. "Dengar, ya, El. Aku hanya ingin menikah sekali saja. Nggak usah khawatir, aku tidak akan memintamu untuk ikut menanggung biayanya."

Lelaki itu mengangkat tangannya membentuk huruf V.

Pikiranku tidak fokus. Semuanya bagus-bagus sehingga membuatku bingung untuk memilihnya hingga akhirnya pilihan kami jatuh pada sebuah konsep pernikahan garden party. Duh, aku jadi tidak sabar menanti hari itu tiba.

Kutatap punggung lelaki yang sebentar lagi akan menjadi imamku saat dalam perjalanan pulang. Rasa penasaran masih merajai hati ini. Dia yang biasanya sederhana tiba-tiba punya banyak uang, bahkan berniat mengadakan pesta pernikahan yang menurutku tidak akan mampu untuk membiayainya.

Rizal hanya mengantarku saja dan setelah bertemu ibu, ia langsung pulang.

"Apa ini, El?" tanya ibu saat menerima oleh-oleh yang kuberikan.

"Ini pizza yang selalu membuat Ibu penasaran dengan rasanya," jawabku tersenyum.

"Kamu beli? Ini kan mahal?"

"Rizal yang belikan, Bu."

"Duh, El. Kamu ini jangan langsung panggil nama saja padanya. Panggil Mas gitu," kata ibu.

Aku tertawa pelan. Rasanya aneh saat bibir ini harus mengucap Mas padanya, tetapi akan kucoba.

"Iya, Bu. Ini Mas Rizal yang beli," ujarku.

Ibu tersenyum. "Nah, gitu, dong. Kan enak didengarnya."

"Wih, yang baru pulang jalan-jalan sama calon suami. Pasti tadi disuruh bayar sendiri, kan?" kata Mia yang entah sejak kapan berada di sini. Wanita yang berstatus sebagai sepupuku itu menatap kotak pizza di atas meja yang sudah terbuka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status