Share

Takut dipecat

Bude Lasmi mendekat lalu mengambil baju pengantin itu. "Wah, selain pamer dibelikan pizza, kamu juga mau pamer kalau baju pengantinnya sudah ada? Tetapi menurutku, baju ini biasa saja," ujarnya dengan tampang merendahkan.

Aku mengambil alih baju itu. "Ini saja sudah bersyukur, Bude."

"Tentu saja, calon suamimu hanya orang biasa. Kamu harus tahu diri dengan tidak minta yang aneh-aneh atau pun yang mahal-mahal. Untuk pernikahan juga sederhana saja. Jika punya uang lebih baik buat modal berumah tangga atau buat nyicil beli rumah. Calon suamimu itu belum punya rumah sendiri, kan?" tanyanya sinis.

"Bude ke sini hanya berniat untuk menghinaku? Memangnya tidak punya pekerjaan lain yang lebih bermanfaat?" tanyaku mulai sebal. Rasa hormat pada orang yang lebih tua menguap begitu saja melihat tingkahnya yang sebelas duabelas dengan Mia. Rupanya pepatah yang mengatakan buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya itu memang benar adanya.

Wanita yang rambutnya sudah mulai memutih, tetapi tidak mau disebut tua itu mencebik. "Suka-suka aku lah," ujarnya sambil berlalu.

Aku dan ibu hanya geleng kepala melihat tingkahnya.

Rasa kesal berganti senyum semringah saat mendengar deru sepeda motor bebek berhenti di halaman. Aku hafal betul siapa pemiliknya. Benar saja, segera aku keluar dan kulihat lelaki berkaus biru dan memakai topi turun dari kendaraan roda dua itu. Ia membuka helm dan tersenyum lebar begitu melihatku.

Rasa lelah jelas tergambar di wajah tua lelaki yang merupakan cinta pertamaku itu. Meski usianya sudah tidak muda lagi, tetapi semangatnya untuk mencari nafkah masih berkobar.

Kuraih tangan ayah dan menci umnya dengan takzim. Satu gelas teh manis sudah ibu sajikan di atas meja berikut kotak pizza tadi.

"Apa ini, El?" tanya ayah seraya menunjuk pizza di hadapannya.

"Ini namanya pizza, Pak. Mas Rizal yang belikan untuk kita." Aku mengambil satu potong makanan khas Itali lalu mengulurkan pada Ayah. "Ayo dimakan, Yah. Biar Ibu juga bisa segera makan. Dari tadi sudah pingin banget, tetapi nunggu Ayah pulang."

"Lho, kok Ibu?" kata Ibu dengan dahi berkerut.

Aku tersenyum. "Memang iya, kan? Sekarang ayo kita makan sama-sama."

Aku mendekatkan pizza ke mulut ayah dan segera kumasukkan pizza dan lekas digigitnya. "Gimana rasanya, Yah? Enak?"

Ayah memutar bola mata sementara mulutnya terus mengunyah. Seulas senyum terbit di bibirnya. "Lumayan."

"Lho, kok lumayan? Apa itu artinya pizza ini rasanya biasa saja? Tidak istimewa?" tanyaku dengan dahi berkerut. Aku pikir ayah akan mengacungkan dua jempol dan bilang sangat enak makan makanan untuk pertama kalinya ini.

Ayah tersenyum. "Enak, tetapi tetap masih enak buatan Ibu. Lagi pula makanan ini tidak cocok di lidah Ayah yang terbiasa makan singkong."

Aku dan Ibu tertawa mendengar ucapan ayah.

"Lagi, Bu, Yah?" tanyaku saat melihat masih ada enam potong pizza di dalam kotak. Ayah dan ibu hanya mengambil masing-masing satu potong berbentuk segitiga dan aku tidak ikut makan karena tadi sudah.

Ayah menggeleng. "Itu biar buat adikmu saja. Dia pasti suka."

"Tambah lagi nggak apa-apa, Yah. Masih ada ini." Aku mengambil satu potong lagi dan mengulurkan padanya, tetapi ia tetap menggeleng.

"Sudah cukup, El."

"Ibu juga. Rasa penasaran dengan rasa pizza sudah terobati. Enak, sayang sekali harganya mahal, ya," sahut ibu. "Kalau Rizal tidak membelikan, pasti selamanya kita tidak akan pernah bisa merasakan pizza, ya." Ibu tertawa pun dengan ayah.

Aku tersenyum. Dalam hati aku berdoa semoga punya banyak rezeki agar bisa membelikan pizza dengan uangku sendiri nanti.

***

"Mbak Elly cantik sekali," kata Delia dengan mata berbinar. Lalu gadis yang saat ini masih duduk di bangku SMA kelas dua belas itu menoleh pada Ayah.

"Gimana, Yah? Mbak Elly cantik, kan, pakai baju ini?"

"Cantik sekali anak Ayah," kata Ayah dengan mata berkaca-kaca saat aku mencoba memakai baju pengantin di hadapannya.

Saat ini aku bersama Ayah, ibu, serta Delia sedang berada di kamar.

"Ayah nangis?" tanyaku saat melihat sudut matanya mengembun yang lekas diusapnya dengan segera.

Lelaki yang sangat kusayangi tersenyum. "Ayah menangis karena bahagia, tetapi Ayah juga sedih. Sebentar lagi kamu akan pergi meninggalkan kami. Pasti nanti akan selalu merindukanmu."

Kuhela napas perlahan. Kugenggam erat tangan yang kulitnya sudah mulai berkeriput itu. "El, tidak pergi, Yah. Selamanya El akan tetap menjadi anak Ayah dan Ibu."

"Setelah menikah kamu pasti akan ikut suamimu karena sejak saat itu dia berhak membawanya ke mana pun ia pergi, tetapi tidak apa. Ayah hanya bisa berdoa semoga kamu bahagia hidup bersama Rizal," kata Ayah dengan suara parau.

Lekas aku memeluknya yang diikuti oleh ibu dan juga Delia.

Ayah mengurai pelukan dan berkata. "Tidurlah. Sudah malam. Besok harus bekerja, kan?"

Aku mengangguk. Iya, aku masih tetap bekerja seperti biasa dan besok aku akan mengurus berkas-berkas untuk persyaratan pernikahan termasuk imunisasi sebelum nikah sebagai persyaratan pernikahan.

***

Aku baru saja selesai sarapan bersama Ayah, ibu, serta Delia saat ponselku berbunyi. Ada pesan masuk dari Rizal yang memberitahukan akan menjemputku agar bisa berangkat bareng.

Tidak lama kemudian, dia datang dengan sepeda motor. Setelah meminta izin pada Ayah dan ibu, aku segera naik dengan memboncengnya.

"Tunggu, Nak," kata Ayah saat Rizal bersiap menstarter motornya.

Lelaki yang entah kenapa terlihat semakin tampan dan gagah di mataku itu mematikan kembali motornya lalu menatap Ayah. "Iya, Yah, ada apa?" tanyanya sopan.

"Kali ini Ayah izinkan kalian berangkat bareng, tetapi besok nggak usah, ya. Selama kalian belum sah menjadi suami istri sebaiknya tidak sering bepergian dulu, takutnya menjadi fitnah," kata Ayah lembut.

"Baik, Yah. Maaf," kata Rizal sopan.

"Ya udah. Silakan kalian berangkat. Nanti dimarahin sama boss kalau telat," kelakar Ayah.

"Baik, Yah." Aku dan Rizal berkata bersamaan.

"Tapi, saya rasa boss tidak akan marah pada calon pengantin seperti kita. Iya, nggak?" Rizal melirikku sambil tersenyum.

Aku membalas senyumannya. "Yang namanya boss tidak peduli calon pengantin atau bukan. Pokoknya siapa yang telat pasti kena marah. Paling parah kalau nanti potong gaji. Udah, yuk, kita berangkat!"

"Potong gaji? Itu tidak akan terjadi," kata Rizal seraya menstarter motor, tetapi baru saja motor mulai berjalan, Tiba-tiba terdengar teriakan.

"Tunggu, Zal!" Mia melambaikan tangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status