Share

Siapa yang Pamer

"Mau?" Aku mengangkat potongan pizza dan mengulurkan pada Mia.

Wanita yang memakai rok merah sebatas lutut dan atasan warna putih itu menggeleng seraya berkata, "Enggak, ah. Nanti aku disuruh bayar lagi. Aku tahu kamu pasti sudah tidak punya uang sama sekali setelah jalan-jalan tadi, kan?"

Aku tersenyum. "Enggak, Mi. Ini Rizal yang bayar kok. Tadi aku juga tidak keluar uang sepeser pun. Semuanya dia yang bayar."

Mia tertawa lebar. "Kamu pikir aku akan percaya? Hei, aku itu tahu betul siapa Rizal, El. Dia nggak mungkin akan membayarkan makanan saat kencan. Jangan-jangan isi bensin juga diminta patungan,"

"Aku tidak bohong. Rizal yang bayar pizza ini." Aku mengatakan yang sebenarnya.

Lagi. Wanita yang merupakan keponakan ayahku itu tertawa lebar. "Oke-oke. Mungkin sekarang Rizal yang bayar, tetapi pasti nanti dihitung utang dan yang namanya utang harus bayar. Siap-siap aja kamu ditagih oleh calon suamimu sendiri."

Aku menelan ludah. Benarkah Rizal seperti itu? Aku menggeleng. Ah, tidak mungkin. Dia sama sekali tidak mengatakan aku harus bayar utang padanya nanti. Aku yakin dia sudah berubah tidak perhitungan lagi.

"Ayo dimakan, Bu," ucapku setelah melihat wanita yang sudah melahirkanku itu dari tadi hanya diam dan menyimak obrolan antara aku dan Mia.

Ibu menatapku. Seolah ragu untuk memakan makanan di hadapannya itu.

Aku tersenyum. "Ibu nggak khawatir. Jangan dengarkan apa kata Mia." Aku melirik Mia yang masih berdiri di dekat pintu.

Aku berbalik lalu menghampirinya. "Kalau urusanmu sudah selesai sebaiknya pulang."

Wanita yang usianya selisih dua tahun denganku itu mencebik. "Tanpa kamu suruh pun aku pasti pulang, huh!" ujarnya seraya menghentakkan kaki dan memasang wajah sebal.

Aku hanya geleng kepala melihat tingkahnya yang tidak pernah berubah. Iri dan dengki yang tidak suka melihat orang lain bahagia terutama aku.

Ibu mengambil potongan pizza dan mendekatkan ke dalam mulut, tetapi kemudian dia letakkan lagi sehingga membuatku keheranan. Jangan-jangan Ibu termakan omongan Mia yang takut diminta bayar.

"Dimakan aja, Bu. Aku sudah bilang, kan, kalau jangan dengarkan Mia. Pizza ini Mas Rizal yang beli, kok." Dadaku bergemuruh menyadari Mia sudah berhasil mempengaruhi ibuku.

Ibu tersenyum. "Ibu nggak mau makan bukan karena Mia. Ibu percaya denganmu."

"Tetapi kenapa Ibu nggak mau makan?"

Ibu menggeleng. "Nanti saja setelah ayahmu dan Delia pulang agar kita bisa makan bersama." Ia lalu menutup kembali kotak pizza itu.

Dadaku menghangat. Oh, Ibu, dari dulu tidak pernah berubah. Kami memang bukan orang kaya, tetapi hampir setiap kali makan selalu bersama kecuali makan siang karena aku bekerja di toko sepatu, menjadi tukang parkir di pasar dan adikku di sekolah, Namun, saat sarapan meski hanya dengan menu sederhana pasti selalu bersama pun dengan makan malam.

"Kamu simpan saja dulu pizza ini. Sebentar lagi ayah pasti pulang." Ibu mendongak menatap jam bulat di dinding yang saat ini sudah menunjukkan pu kul tiga. Ayah biasanya pulang pada pu kul empat sore.

Aku menuruti permintaan ibu. Segera kumasukkan kotak pizza itu ke dalam lemari.

"Oh, ya, Bu. Tadi Rizal, em, maksudku Mas Rizal juga belikan aku baju." Aku semringah lalu mengambil paper bag dan mengeluarkan isinya. Sebuah baju pengantin berwarna putih yang kata Rizal hanya khusus untuk akad serta beberapa potong baju serta gamis.

Dahi ibu berkerut. "Kenapa kamu minta dibelikan ini itu sama dia padahal kalian belum jadi suami istri? Nggak baik seperti ini, El. Ibu tidak pernah mengajarkan padamu untuk menjadi wanita matre. Lagi pula kasihan juga si Rizal."

Aku dapat melihat ada kekhawatiran di wajah ibu. "Bukan aku yang minta, Bu, tapi Mas Rizal sendiri yang membelikannya."

Aku mengambil paper bag yang lain dan mengambil baju pengantin yang kata Rizal khusus untuk akad nikah saja. "Mas Rizal juga belikan aku ini, Bu."

Ibu mengulurkan tangan dan mengusap baju berwarna putih itu. "Bagus sekali ini, El. Kenapa kamu nggak bilang pada Rizal agar beli bajunya yang biasa saja. Bukankah pesta pernikahan kalian akan diadakan secara sederhana? Baju ini sepertinya terlalu bagus untuk acara yang sederhana."

Aku menghela napas. "Entahlah, Bu. Mas Rizal bilang baju ini hanya dipakai saat akad dan untuk pestanya sudah beda lagi. Aku hanya bisa manut saja."

Ibu mengusap lenganku dengan lembut. "El, bilang pada Rizal. Kalau punya uang, lebih baik untuk bekal kalian berumah tangga saja. Nggak usah mengadakan pesta mewah, yang penting sah di mata agama dan negara."

Aku mengangguk. Ibu benar, akan ada banyak kebutuhan setelah menikah nanti, tetapi kalau Rizal yang mau mengadakan pesta itu, aku bisa apa?

Kami berdua menoleh serempak saat mendengar pintu dibuka dengan kasar dan seorang wanita paruh baya sudah berdiri di sana dengan berkacak pinggang dan muka merah.

"Kalian apakan anakku? kenapa setelah pulang dari sini menangis, hah?" tanya Bude Nurma--ibunya Mia.

Aku dan ibu saling pandang.

"Kami tidak melakukan apa pun," kata ibu.

"Mia bilang, kalian sengaja membuatnya panas dengan menunjukkan kalau Elly dibelikan pizza oleh calon suaminya, kan? Nggak usah pamer, El, kalau hanya dibelikan makanan seperti itu. Calon suaminya Mia nanti akan membelikan yang lebih dari itu."

"Eh, siapa yang pamer, Bude?" Aku tidak habis pikir dengan budeku ini.

"Itu apa namanya kalau nggak pamer? Seharusnya kamu diam saja, nggak usah bilang-bilang kalau dibelikan pizza oleh mantan kekasih Mia itu kalau tidak mau membuat dia cemburu dan sakit hati," ucapnya dengan raut wajah kesal.

Lagi-lagi aku dan ibu hanya saling pandang melihat tingkah aneh kakak ibuku itu. Kalau dia tidak datang ke rumah, juga tidak akan tahu kalau aku dibelikan pizza, bukan? Lagi pula kenapa dia harus sakit hati dan cemburu?

"Itu apa?" Bude Lasmi menunjuk gaun pengantin yang sudah terhampar di atas meja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status