Share

Hinaan dari Sepupu

"Kenapa tidak mau bicara dengan Mia?" tanyaku dengan suara terbang bersama angin.

Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju tempat kerja. Tadi Rizal tetap melajukan motornya dan mengabaikan mantan kekasih yang memanggil dan berjalan dengan tergopoh-gopoh itu.

"Malas aja. Lagi pula ini sudah siang, kalau meladeni Mia, kita pasti akan terlambat," jawab Rizal dengan tetap fokus mengemudi.

Aku tersenyum meski Rizal tidak melihatnya. Dia juga pasti tidak mau gajinya dipotong jika datang terlambat.

"Zal. Terima kasih, ya?" ucapku setelah turun dari motor. Kubuka helm berwarna hitam dan mengulurkan padanya.

"Untuk?"

"Pizza yang kemarin. Berkat kamu, keluargaku bisa mencicipi makanan yang sebelumnya mustahil dapat kami beli karena harganya mahal," ucapku jujur.

Aku tersenyum saat teringat betapa bahagianya Delia makan pizza tadi sore. Bahkan ia harus mengambil beberapa foto untuk diabadikan. Bagi orang lain, pizza adalah makanan yang biasa, tetapi tidak bagi kami. Tidak heran jika Delia begitu lebay dan aku memaklumi itu.

Rizal tersenyum. "Kalau begitu, nanti aku belikan lagi."

"Eit, jangan!" seruku.

"Kenapa?"

"Yang kemarin itu sudah cukup untuk mengobati rasa penasaran akan makanan yang biasanya hanya kami lihat di televisi. Lebih baik uangnya buat ditabung aja,"

Rizal tampak menghela napas pelan. Seulas senyum terbit di bibirnya. Entah kenapa dia terlihat lebih tampan dengan dagu kebiruan bekas dicukur serta wajahnya yang terlihat bersih seolah bersinar. Kadang aku tidak percaya lelaki setampan dia hanya bekerja sebagai karyawan toko yang sama denganku.

"Ini yang membuatmu beda dari gadis lain dan membuatku jatuh cinta serta tanpa ragu menjadikan kamu sebagai istri," katanya kemudian.

Tangannya terangkat hendak mengusap kepalaku, tetapi tangan itu hanya menggantung di udara karena ia tidak jadi melakukan aksinya.

"Ah, aku jadi tidak sabar menunggu sebulan lagi agar bisa mengusap kepalamu saat gemas seperti ini," ujarnya seraya tertawa. "Pokoknya kamu itu beda dari gadis lain yang pernah kukenal."

"Beda? Apanya yang beda?"

Rizal berdehem. "Di saat gadis lain menuntut dibelikan ini itu pada pasangan yang masih berstatus pacar, kamu malah nolak. Seperti gadis-gadis yang kukenal sebelumnya. Salah satunya Mia, dia putusin aku hanya gara-gara nggak mau bayarin saat makan."

"Berarti mantan kamu banyak, ya?" tanyaku.

Rizal nyengir. "Lumayan dan rata-rata mereka menuntut dibelikan macam-macam. Makan harus di restoran mahal, ke salon, shoping ke mall dan aku yang harus bayar. Biasanya cukup sekali aja aku bayarin dan setelah itu aku putusin aja. Aku nggak mau punya pasangan yang hanya mau dengan uangku saja."

"Tunggu tunggu tunggu. Kamu bilang bayarin makan di restoran mahal serta shoping di mall meski hanya sekali? Apa itu artinya uangmu banyak? Bukankah kamu berasal dari keluarga sederhana, ya? Dan pekerjaan kita juga sama? Terus dari mana kamu bisa ajak para mantan jalan-jalan yang butuh uang banyak?" tanyaku panjang lebar dan penasaran.

Rizal menggaruk tengkuk dan meringis. "Kita masuk aja, yuk. Toko sudah buka dan sebentar lagi para pelanggan akan datang."

Meski penasaran, tetapi aku tetap mengikutinya memasuki toko sepatu yang selama beberapa bulan ini menjadi tempatku mendapatkan rezeki agar bisa membantu ayah dan ibu.

***

"Assalamualaikum, Bu," ucapku begitu memasuki rumah yang segera mendapat jawaban dari dalam sana.

Dahiku berkerut saat mendapati ibu sedang duduk di dapur dengan wajah murung.

Aku meletakkan tas lalu mendekati wanita yang sangat kusayangi itu. "Ada apa, Bu? Ibu sakit?" Aku mera ba keningnya yang terasa biasa saja.

Wanita yang memakai jilbab instan hitam yang warnanya sudah mulai memudar itu menggeleng lemah.

"Tetapi kenapa Ibu terlihat sedih? Ada masalah apa? Cerita sama El." Aku ikut duduk di sampingnya dan kupijit pelan tangan yang sangat berjasa dalam hidupku ini.

"Tadi Bu Wen bilang kalau mulai sekarang kita tidak usah menitipkan kue di warungnya lagi karena kue yang kemarin saja masih banyak, nggak laku. Bukan hanya Bu Wen, tetapi semua warung dan toko sudah tidak mau menerima kue buatan kita lagi," ujarnya tertunduk sedih dan suaranya parau. Kulihat matanya mulai mengembun.

Selama ini aku dan ibu membuat kue bakpia basah yang dititipkan di warung-warung dan toko terdekat. Saat sekolah aku juga selalu membawa makanan itu untuk dijual. Hasilnya lumayan, aku tidak perlu pusing memikirkan uang saku dan dapur kami tetap mengepul. Iya, pekerjaan Ayah yang hanya menjadi tukang parkir di pasar tradisional membuat ibu tidak bisa duduk diam di rumah.

"Kenapa begitu, Bu? Biasanya kue buatan kita selalu habis?"

"Ada pembuat kue baru yang menjual dengan harga lebih murah." Ibu meratap.

Aku menghela napas pelan. Kuusap tangan Ibu dengan lembut. "Mungkin ini belum rezeki kita, Bu."

"Kalau kita nggak membuat kue, lalu mau usaha apa, El? Sedangkan sebentar lagi kita butuh uang banyak untuk biaya pernikahanmu. Yah, walau hanya sederhana, tetap saja butuh biaya, kan?"

Aku tersenyum meski dada ini terasa bergemuruh. "Nanti aku nikahnya cukup ijab qabul saja, Bu. Yang penting sah secara agama dan negara."

"Tapi, El." Ibu mendongak dan menatapku dengan mata basah.

Aku mengangguk. "Iya, Bu. Nggak apa-apa. Maafkan El yang belum bisa bahagiakan ayah dan ibu." Aku membawa tubuh ibu dalam pe lu kan.

Saat kami larut dalam kesedihan karena terancam tidak punya pemasukan sampai batas waktu yang tidak dapat kami pastikan, kami dikejutkan dengan teriakan seseorang memanggil nama ibu.

Gegas kami keluar dan mendapati ayah dengan wajah pucat dituntun oleh Pak Heru--rekan kerja ayah sesama tukang parkir di pasar.

"Ada apa ini, Pak?" tanyaku tergopoh-gopoh dan menuntun ayah yang sangat lemah.

"Pak Daris tadi pingsan di pasar, Mbak. Sepertinya kelelahan. Sebaiknya suruh istirahat dulu. Tadi saja sebelum pingsan sempat keserempet dan hampir tertabrak motor," jawab Pak Heru.

"Ya Allah, Yah." Tanpa sadar bulir bening ini menetes di pipi melihat wajah ayahku yang sangat pucat. Ibu segera mengambilkan teh hangat untuknya.

Malam harinya tubuh ayah panas, bahkan sampai menggigil. Aku berinisiatif untuk membawanya ke rumah sakit dan tentu saja butuh mobil untuk membawanya ke sana.

Aku mendatangi rumah Bude Lasmi yang punya mobil dengan harapan suaminya mau mengantar ayah ke rumah sakit, namun jawaban yang terlontar dari mulutnya sungguh di luar dugaan.

"Apa? Malam-malam begini kamu mau meminta suamiku mengantar Daris ke rumah sakit? Enggak bisa, El. Suamiku harus istirahat setelah bekerja seharian," kata Bude Lasmi lantang.

Ya Allah, tega sekali dia pada adik kandungnya sendiri.

"Makanya El, kalau cari suami itu yang selektif, jangan asal terima aja. Yah, paling tidak punya mobil, lah, agar nanti tidak merepotkan tetangga lagi, tetapi apalah daya calon suamimu hanya orang biasa, hahaha," celetuk Mia yang sedang duduk sambil bermain ponsel.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status