[Mana uangku? Bukannya kamu bilang mau bayar hari ini? Aku udah nunggu sejak pagi, loh.][Kamu nggak pura-pura lupa ‘kan? Kemarin udah janji kasih sekarang, tapi nggak ada kabar. Kontraknya udah aku siapin ini....][Juwita, kamu jangan macem-macem, deh! Seharusnya sekarang giliran Hendra sama aku, tapi karna kamu bilang mau bayar dia full makanya aku kasih dia balik ke sana. Kamu kalo nggak datang sekarang juga, aku bakal ke sana jemput Hendra!]Entah sudah berapa banyak pesan yang masuk ke ponsel Juwita, sejak pagi tadi. Lilis mengirimkan alamat di mana mereka akan bertemu, juga menyuruh Juwi agar membawa uang sesuai perjanjian kemarin. Juwita hanya bisa menarik napas panjang melihat pesan-pesan yang banyak berjejer itu. Dia memang tidak menyimpan nomor Lilis di ponselnya, tapi sudah pasti pesan itu dari Lilis.Tadi malam, ingin rasanya Juwi bertanya apa yang menyebabkan Hendra mau mengikuti lagi keinginan perempuan itu. Tapi bagaimana pun, Juwita sadar Hendra bukan suaminya sendiri.
Lilis berpikir keras bagaimana harus menyetujui permintaan Juwita. Jika dia tidak bisa bertemu Hendra, akan sulit bagi Lilis mencari alasan untuk mendapatkan uang tambahan dari lelaki itu. Apalagi Hendra sendiri juga masih bekerja, meski gaji nggak banyak tapi lumayan lah buat tambah-tambah uang jajan. Tapi jika Lilis tidak setuju, uang besarnya akan menghilang. Hal itu adalah pilihan yang sedikit memberatkan bagi Lilis.‘Makin nyebelin banget sih ini orang!’ sindir Lilis dalam hati, menurutnya Juwita semakin banyak maunya.‘Tapi kalo nggak setuju, dari mana aku dapet duit dua ratus juta, ya? Mana setiap dua bulan lagi. Gaji Hendra kalo dikumpulin juga nggak bisa sebanyak itu dalam satu tahu.’Akhirnya Lilis mengalah pada permintaan Juwita, walau hatinya setengah jengkel.“Ya udah, deh, terserah kamu aja. Sini, biar aku tambahkan di bawahnya.” Muka Lilis cemberut mengambil kertas itu dari Juwita dan menambahkan tulisan baru dengan pena. “Nih, sesuai permintaan kamu.” Dia serahkan kemb
Di kamar, sepasang suami istri itu duduk berhadapan. Juwita duduk di atas kursi riasnya sedangkan Hendra menatap Juwita dari tepian ranjang. Wajah Juwita datar tanpa sedikit pun senyum yang dia tunjukkan, hal itu sudah terjadi sejak siang kemarin. Hendra tidak mengerti apa yang membuat istrinya demikian.“Katanya mau ngomong. Kok hanya diam?” Hendra mencoba mencairkan suasana yang dingin di antara mereka.Juwita menarik napas panjang. Perlu kah dia ungkapkan tentang Lilis yang berselingkuh dengan aktor itu? Lalu setelah Hendra tahu, apakah Juwi harus mengatakan Hendra sudah sangat bodoh dengan mengikuti maunya Lilis? Rasanya ingin Juwita meledak pada Hendra perihal persekongkolan mereka memerasnya.“Juwi, ada apa?” Sekali lagi Hendra berbicara, menyadarkan Juwita dari pikirannya.Lantas, Juwi mempersiapkan diri sebelum mulai berkata, “Mulai sekarang, kamu bekerja sama aku.”Padahal, Juwita ingin mengatakan soal Lilis, dan hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutnya.“Aku udah bi
Malam sudah larut dan Hendra belum bisa menutup matanya. Sementara Juwita sudah tertidur di atas sofa yang dijadikan mengganjal pintu agar Hendra tidak keluar diam-diam saat dia tertidur. Hendra tatap wajah perempuan kedua yang masuk dalam hidupnya.Setelah mendengar penjelasan dari Juwita, Hendra tidak sempat mengamuk pada Juwi. Ia berkata Juwi perempuan tamak yang tidak puas hanya memiliki setengah dari waktu Hendra untuknya. Tapi setelah Juwita berkata dia membayar uang itu agar Lilis tidak menjualnya pada perempuan lain, Hendra pun terdiam tak kuasa berkata-kata. Sekali lagi perempuan itu ternyata membelinya atas ulah Lilis sendiri. Dan perasaan Hendra tidak mampu diuangkapkan, dia hanya bisa kembali ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang.Perempuan berparas cantik itu, sebenarnya apa tujuannya membeli Hendra? Bukankah Juwi bisa mencari lelaki lain? Kenapa Juwi harus menghabiskan banyak uangnya demi membuat Hendra menjadi miliknya?Terkadang Hendra merasa dirinya berharga bagi J
Juwita melirik Hendra yang termenung di depannya. “Makanannya ga enak?” tanya Juwi. Wajahnya menunjukkan kemurungan seperti seorang istri yang takut suaminya tidak menyukai masakan itu.Hendra menggelengkan kepala dan menjawab terburu, “Nggak kok. Ini enak.”“Terus, kenapa termenung? Aku perhatiin dari tadi, sarapan kamu nggak habis-habis.”Perlu kah Hendra mempertanyakannya? Lantas jika ia bertanya, apakah Juwi akan kembali pada sifat aslinya? Sekejap Hendra termenung, bingung bagaimana akan menyikapi kepedulian Juwi yang tiba-tiba.Dan sebagai orang yang bertingkah aneh itu, Juwi juga bukan tidak tahu Hendra sedang bingung padanya. Dia sudah memikirkan hal ini sejak tadi malam. Dia harus membicarakan ini dengan Hendra sebelum semuanya menjadi semakin berantakan.“Lilis nemuin aku, dia bilang kamu suruh dia minta ijin aku,” ucap Juwi membuka pembicaraan.“Dia salah tanggap, aku nggak suruh dia minta ijin karena aku setuju ide gilanya. Aku pikir dia akan mengerti, nyatanya malah datan
"Kita ngapain ke sini, Wi?" tanya Hendra yang kebingungan melihat keanehan Juwi. Bagaimana dia tidak bingung? Juwita membawa Hendra memasuki butik besar yang menyediakan sangat banyak pakaian pria. Butik itu terlihat sangat mewah dan dipenuhi pakaian dari merek terkenal. Hendra yang datang hanya dengan pakaian ala kadarnya sampai merasa minder."Juwi, kita ngapain? Ayo pulang, ngapain di sini?" Hendra mencolek Juwita yang sedang tersenyum disambut pelayan butik."Kamu mau berubah kan? Kamu nggak mau selalu dipandang rendah dan hanya dianggap sebagai suami nggak berguna?"Hendra tertegun, dia menatap Juwita mencari maksud dari tujuan perempuan itu. Bagaimana pun Hendra masih terus berpikir Juwita bukan istri sebenarnya, lantas kenapa harus peduli? Suatu saat Juwi akan bosan dan pernikahan mereka berakhir. Tidak ada alasan untuk Juwi peduli dengan pandangan orang tentangnya. Apalagi Juwita langsung sigap memilih sangat banyak pakaian untuk Hendra, lengkap dengan setelah jas yang sanga
“Wi, kamu serius datang sama aku ke kantor?” tanya Hendra tidak percaya. Wanita yang menjadi istri keduanya itu hanya tersenyum melirik sejenak dan kembali fokus menatap ke depan.“Iya. Kenapa, memangnya salah pergi sama kamu?” sahut Juwi enteng.“Nggak salah, sih. Tapi apa nggak aneh?” lagi lagi Hendra bertanya, yang hanya dijawab senyum oleh Juwita.Hendra sudah setuju akan bekerja dengan Juwita. Dia pikir, daripada terus bekerja di pabrik memang tidak ada salahnya mengikuti perkataan Juwita. Hendra juga lelah harus bertengkar melulu dengan Juwi, hanya karena dia terus menolak ajakan bekerja di kantor. Tapi datang berdua akan menyita perhatian banyak orang, apalagi dengan status Juwita yang tidak terlalu banyak orang tahu, bisa menimbulkan pikiran buruk tentang mereka. Hendra tidak ingin Juwita menjadi tertimpah masalah karena keberadaannya.Mobil itu memasuki halaman bangunan perusahaan milik Juwita. Hendra sudah tahu keluarga istrinya lah pemilik perusahaan tersebut, dan dia sema
"Semua yang ada di sini, mungkin kalian bingung siapa Pak Hendra yang baru kalian sambut,"Juwita menatap para karyawannya. Mereka memang belum tahu siapa Hendra, hanya beberapa orang penting saja yang sudah Juwi kabarkan bahwa dia akan membawa suaminya ke kantor. Mereka semua hanya tahu nama lelaki itu adalah Hendra.Tangan Juwi terarah pada Hendra lantas berkata, "Dia suami saya, orang yang sangat berpengaruh di hidup saya. Pak Hendra yang akan membantu saya menjalankan perusahaan ini. Kalian harus melihatnya seperti melihat saya, karena dia yang akan menjadi direktur selanjutnya, dalam waktu dekat.""Baik, Bu Juwi."Keterkejutan Hendra semakin tak bisa disembunyikan, refleks dia lirik Juwita di sebelahnya. Apa maksud perempuan ini?Juwita menyadari pertanyaan di mimik wajah suaminya, dan dia tetap tenang. Juwi pun mengakhiri perkenalan suaminya pada seluruh karyawan yang ada."Baik lah, terima kasih untuk waktu kalian. Silakan lanjutkan kembali pekerjaan kalian." Dia lirik Hendra d