Juwi menatap wajah Hendra, kepalanya mengangguk dengan bibir menjawa, "Ya, apa pun itu, aku siap."Dengan begitu, Hendra mulai menurunkan wajahnya menuju tempat sensitif Juwita, hangat napasnya terasa mempermainkan bulu-bulu halus Juwi dan membuat seluruh tubuhnya meremang."Hen..." panggil Juwi tak sadar, dia menyentuh rambut lelaki itu dan meremasnya.Hendra tidak bisa hanya diam. Sekarang dia mulai mempermainkan bagian sensitif itu dengan lidah basahnya, sehingga Juwi menggelinjang kenikmatan. Darahnya bagaikan terbang dan berkumpul di kepala oleh sensasi dari permainan Hendra yang memabukkan."Hen... please..." erang Juwi di tengah kenikmatan yang mendera. Permainan yang semakin panas itu membuat Juwi merasakan sesuatu akan keluar dari bagian intinya. Miliknya sudah sangat basah oleh air liur milik lelaki itu, seperti pelumas yang membuatnya menjadi licin. Rasa nikmat pun Juwi rasakan oleh gesekan lidah Hendra yang semakin cepat saja.Tak sabar hanya menerima, Juwi bangkit dari
Di sisi lain, tampak ada anak kecil sedang bermain mobil-mobilan, anak laki-laki tersebut terlihat gembul dengan lesung pipi, bulu mata lentik membuat wajah bocah gembul terlihat sangat tampan. "Blum... Blum...."Ia memaju-mundurkan mobil-mobilan yang ia pegangi, mobil kecil berwarna biru warna favorit bocah kecil itu. Alan, begitu dia biasa dipanggil.Seketika mata Alan teralihkan oleh pintu yang terbuka dari luar sana. Senyumnya mengembang, Alan mencoba bangun dengan dua kakinya yang belum benar-benar kuat.“Ma...” Lilis masuk, melihat putranya bermain sendiri, sedang baby sitter yang biasa menjaganya baru saja kembali dari dapur. Melirik ke sofa di dekat televisi, Lilis bisa melihat ibunya tengah memainkan ponsel di sana. Sejak kapan ibunya datang ke apartemen ini?“Ibu kok di sini? Bukannya seharusnya ibu menenin tukang di rumah?” tanya Lilis penasaran.Ratna menoleh, dia tersenyum melihat kedatangan putrinya. Tapi tunggu, kenapa penampilan Ratna sangat berbeda hari ini? Tidak
Sejak Lilis mengenal Steve, bisa dikatakan dia sangat jarang pulang ke rumah. Segala keperluan Alan dia serahkan pada baby sitter, tidak memikirkan anak itu apakah diurus dengan benar. Mendapat penolakan dari Alan membuat Lilis menjadi teringat betapa dia sudah sangat lalai pada putranya sendiri.Hatinya sedikit pilu, sekali lagi Lilis mencoba meminta Alan datang padanya, tapi masih terus dapat penolakan. Apakah anak kecil bisa merasakan patah hati karena tidak diurus oleh ibunya?Sesaat kemudian, ponsel di dalam tas Lilis berdering. Dia segera melupakan Alan saat melihat nama Steve di layar ponselnya."Halo, Sayang..." jawab Lilis, suaranya dibuat sangat manja."Kamu udah nyampe di rumah, Babe?""Udah, dong. Dari tadi.""Terus, gimana soal Alan? Kamu udah beresin dia?" Seperti tertampar, Lilis melihat lagi putranya yang juga menatap dirinya kini. Mata sendu anak itu terlihat sangat menyedihkan, membuat Lilis semakin merasa bersalah."Lis, jawab dong, Lisa....""Itu... belum.""Ya am
Dua bola mata cantik milik Juwita mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya mata itu terbuka sempurna. Wajah tampan Hendra langsung menyapa pemandangannya, lelaki itu masih tertidur dengan pulasnya. Juwi memperhatikan Hendra, mengamati bentuk wajah lelaki itu.Hendra tidak terlalu putih, malah terkesan hitam jika dibandingkan dengan kulit Juwi yang putih bak porselen. Tapi kulitnya terlihat bersih, apalagi setelah beberapa hari ini Juwita rajin membawanya perawatan. Garis wajah Hendra juga tegas, dengan dagu lancip dan sedikit maju ke depan. Hal itu membuat Hendra terlihat lebih menawan, nyaman untuk dipandang.Jika Hendra terlahir menjadi anak orang kaya seperti Juwi, mungkin laki-laki itu akan lebih tampan lagi. Tangannya tidak akan memiliki urat nadi yang timbul sebab tidak harus bekerja keras di pabrik. Dia akan bisa lebih tampan daripada laki-laki di luar sana yang sering mengejar cinta Juwita."Tapi nggak apa, kok. Justru urat di tangannya kelihatan seksi," bisik Juwi tiba-tiba,
Percikan air yang jatuh dari shower memberi kesan romantis bagi sepasang suami istri yang tengah mandi bersama. Hendra menatap istrinya yang tengah membasahkan diri di bawah shower, pemandangan yang sangat seksi dan menyejukkan. Matanya sulit dialihkan dari sana, ingin berlama-lama menatap tubuh sintal Juwita yang sempurna.Juwi menyadari tatapan suaminya dan langsung menutup bagian dada. Ini kali pertama mereka mandi bersama, sangat berbeda kesannya dengan telanjang saat bercinta di atas ranjang. Dia malu-malu."Kenapa ditutup?" tanya Hendra, tersenyum dia melihat Juwi yang malu-malu."Kamu lihatin.""Loh, dari tadi juga udah aku lihat, kan? Aku juga sentuh dan menikmatinya pake mulut."Mata Juwita membesar, wajahnya semakin merah mendengar perkataan Hendra yang semakin berani."Udah pinter ya sekarang," gerutu Juwi menepis rasa malunya."Pinter, dong. Kan diajarin sama istriku yang cantik ini." Hendra mencolek dagu Juwi untuk menggodanya, seakan menggoda Juwita menjadi candu baru ba
Hendra mengusap bibirnya dengan tissue setelah meletakan sendok perlahan di atas piring. Hal itu tidak lepas dari pandangan Juwita yang belum selesai dengan makannya. “Kok nggak dihabiskan? Nggak enak?” tanya Juwi, tak biasanya Hendra menyisakan makanan.“Enak. Masakan kamu mana ada tandingan, sih," sahut Hendra menggoda.Juwi tersipu mendapat pujian dari suaminya tersebut, tapi berikutnya dia mengerutkan kening."Loh, mau ke mana?" tanya Juwi yang melihat Hendra sudah berdiri dari kursinya.Sebenarnya sejak tadi Hendra tidak bisa tenang pikirannya. Lilis memiliki selingkuhan, bahkan tega meninggalkan putra mereka di pagi-pagi sekali. Bukan tidak mungkin Lilis juga melakukan itu kapan pun dia ingin menemui laki-laki itu.Alan pasti sering ditinggal hanya dengan baby sitter. Anak itu tentu akan kekurangan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya, apalagi sejak Hendra tinggal di rumah Juwi. Dia tidak tega membayangkan nasib putranya hanya diurus seorang baby sitter."Wi, aku
"Aku tahu kamu di dalam, Lis. Kalo kamu nggak buka pintnya sekarang, aku bakal panggil petugas keamanan!" Hendra berteriak lagi dari luar. Suara lantang Hendra membuat Lilis tersentak, wanita yang masih berstatus istri orang tersebut merasa frustrasi sekarang. Dia bahkan tidak menemukan ide, bagaimana akan mengatasi Hendra kali ini."Dia nggak boleh tahu ada Steve di sini, nggak boleh!" kata Lilis, kelimpungan dia masuk ke dalam kamar lagi. "Hey, kamu tahan Hendra, jangan sampe masuk ke kamar aku, paham!""Baik, Bu Lisa." Asisten rumah tangga itu patuh."Ada apa sih, Lis? Kayak habis lihat setan aja. Pembantu kamu ngapain ganggu segala?"Steve sedang di puncak berahinya. Dia kesal ditinggalkan begitu saja oleh Lilis. Steve tarik pinggang Lilis kembali dan merebahkan Lilis dengan posisi telungkup di sisi ranjang."Aku belum puas, belum keluar sama sekali. Ayo kita lanjut dong, Babe." Asisten itu masih di ambang pintu melihat mereka, dan Steve tidak merasa sungkan olehnya."Steve, cuk
Hendra tak bisa menahan sabarnya lagi melihat Lilis yang begitu binal dan menjijikkan. Matanya memerah, sakit hatinya mengetahui istri yang selama ini dia percaya, ternyata memiliki fantasi gila tentang seks. Tak tahan dia melihat Lilis terus menjilat dan mengulum jarinya, sehingga Hendra menarik tangannya kasar. "Hentikan!" teriak Hendra keras. "Aku ke sini menjemput putraku, bukan untuk menyaksikan betapa menjijikkan kamu yang sesungguhnya, Lis!" Lilis terkekeh, usahanya sia-sia ternyata. Tapi jangan berharap dia akan melepaskan Alan. "Cari aja sendiri. Kalo ketemu, ya kamu beruntung. Tapi... Alan nggak ada di sini, Suamiku." Sejak masuk tadi memang Hendra tidak melihat Alan di ruang tengah. Hendra berpikir mungkin Lilis sengaja menyembunyikan anak itu, jadi dia berinisiatif mencari sendiri di mana putranya. “Percuma ngomong sama kamu. Lebih baik bicara sama setan saja!” Hendra meninggalkan Lilis di kamar itu, sempat dia melihat ke cela pintu kamar mandi yang sedikit terbuka da