Aku meminta dilangsungkan pernikahan siri antara aku dan adik iparku sebelum aku mengandung anak mereka dalam rahimku.
Alasannya amatlah sederhana, “Aku nggak mau anakku nanti lahir di luar pernikahan sah. Dia harus dilahirkan di bawah pernikahan.”
Aku bersikeras dengan pemikiranku, sehingga tidak ada satupun dari mereka yang berani menolak permintaanku.
Ibu dan Lia terpaksa menyetujuinya. Demi keberlangsungan pernikahan Lia dan Ferry. Lagipula aku juga tak ingin anak mereka lahir di luar pernikahan, jadi aku rela menikahi adik iparku sendiri demi adikku. Meminjamkan rahimku untuk melahirkan anak mereka.
Saat mereka hendak mengutarakan niat mereka pada Ferry, lelaki itu menatapku bingung. Aku hanya mengalihkan pandanganku darinya. Berharap dia tak menyadari siapa diriku.
“Kalian memaksaku menikahi Ria?” Aku mendengar nada keberatan tersirat dari ucapan Ferry. Dia melirik sinis ke arahku. Terlihat jelas sorot mata kebenciannya padaku.
“Ini demi anak kita, Mas. Kau ‘kan tahu kalau aku sulit hamil. Bahkan jika kita melakukan proses bayi tabung, rahimku tidak sekuat itu untuk menampung anak kita, Mas.” Lia terus merayu suaminya agar menerima ide gila yang bermula dari ide gila ibuku demi menyelamatkan pernikahan mereka.
“Kenapa harus menikah, hah?” Ferry terlihat berat hati menyetujuinya. Aku mengerti perasaannya. Selama ini dia hanya mencintai adikku. Bahkan saat diriku begitu mendambakan dirinya, perhatian lelaki itu hanya berpusat pada Lia. Sedangkan aku? Hanyalah menjadi bayangan untuk adikku.
“Aku nggak mau di masa kehamilanku, orang-orang menuduhku selingkuh karena statusku yang masih single,” kataku mulai mengutarakan satu demi satu alasan mengapa kami harus menikah. “Kedua, aku juga nggak ingin keponakanku ini lahir di luar pernikahan. Meski kalian menikah, tapi bayi kalian tumbuh dan berkembang di rahimku.”
Bagiku alasan ini sangatlah masuk akal. Setidaknya kehormatanku tetap utuh meski harus menampung benih mereka berdua.
“Begitukah?” Ferry menatapku skeptis. Aku tahu dia selama ingin sangat tidak menyukai diriku, entah apa alasannya. Sejak dulu, dia memang tak pernah tertarik padaku, kecuali jika dia ada urusan dengan adikku, barulah dia berani menyapaku.
Bodohnya aku yang tergila-gila padanya dulu. Sebelum dia memilih menikahi Lia. Hingga akhirnya kupendam sendiri perasaanku terhadapnya.
“Jadi bagaimana? Terima syaratku atau aku menolak ide gila kalian meminjam rahimku?” tanyaku, menyerahkan keputusan pada lelaki itu.
Ferry mengacak rambutnya frustrasi. Tampak tengah berpikir keras untuk memberiku keputusan.
“Mas?” Lia merengek, penuh harap.
“Baiklah, baik. Aku akan menerima syarat yang kau berikan.” Akhirnya Ferry memutuskan untuk menerima syarat dariku.
Lia, adikku begitu antusias mendengarnya. Sedangkan aku, entah mengapa mulai menyesali keputusan gila yang kuambil di saat emosiku meninggi.
***
Proses pernikahan kami berlangsung tanpa hiasan atau kemewahan. Pernikahan ini hanya sebuah formalitas, bukan karena cinta atau keromantisan. Di sebuah ruangan kecil yang sederhana, aku dan Ferry berdiri berdampingan. Hanya ada beberapa saksi dari pihak keluarga dan penghulu yang akan memimpin upacara.
Suasana begitu hening dan tegang. Lia dan ibuku duduk di sudut ruangan, menatap kami dengan penuh harap dan kecemasan. Ferry tampak canggung, jelas terlihat bahwa dia merasa terpaksa.
Penghulu memulai upacara dengan doa-doa. Hatiku berdegup kencang saat dia bertanya pada Ferry, "Saya nikahkan dan kawinkan kau pada putriku, Saveria Ananda Binti Adhi Hutama dengan seperangkat alat solat dibayar tu-nai!”
“Saya terima nikah dan kawinnya Saveria Ananda Binti Adhi Hutama dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!”
Ferry menarik napas panjang, mengikuti setiap instruksi yang diberikan penghulu. Suaranya terdengar berat, seperti ada beban yang menghimpit dadanya.
Aku merasakan tangan Lia menggenggam tanganku erat, seolah memberi dukungan. Penghulu kemudian beralih padaku, "Ria, apakah kau menerima Ferry sebagai suamimu?"
Dengan suara yang nyaris berbisik, aku menjawab, "Iya, saya terima." Rasanya seperti mengucapkan janji dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir.
“Saksi, apakah pernikahan ini sah?” Penghulu bertanya pada kerabat yang hadir.
Serempak mereka menjawab, “Sah!”
Aku menghela napas panjang. Sedangkan kulirik sekilas ke arah suamiku, Ferry. Dia tampak tertekan oleh pernikahan ini. Aku merasa bersalah padanya karena harus membebaninya dengan menikahiku. Tapi aku harus melakukan ini demi kehormatanku dan juga anak mereka kelak.
Setelah upacara selesai, kami menandatangani dokumen pernikahan. Tanganku sedikit bergetar saat menulis namaku di kertas itu. Kini secara sah, aku adalah istri dari lelaki yang kucintai dalam diam.
Saat kami duduk di ruang tamu kecil, tak ada percakapan atau senyum bahagia. Hanya keheningan yang menyelimuti. Lia mendekat dan memelukku erat, air mata mengalir di pipinya. "Terima kasih, Teh. Kau benar-benar menyelamatkan hidupku."
Aku memaksakan senyum meski hatiku terasa hampa. "Semoga semua ini tidak sia-sia, Lia."
Ferry hanya duduk diam, menatap kosong ke depan. Aku tahu, di dalam hatinya, ia pasti merasakan beban yang sama. Kami berdua adalah korban dari situasi yang tak pernah kami pilih.
Baik aku maupun Ferry, kami berdua tak memiliki pilihan kecuali menerima takdir yang mengikat kami berdua.
***
“Mau ke mana?” Aku dan Ferry saat ini berada di kamar pengantin kami berdua. Sebuah kamar sederhana, tanpa dekorasi apapun di dalamnya.
Aku tahu, ruangan ingin hanyalah ruangan yang disediakan khusus untuk tamu yang menginap, tapi ruangan ini adalah kamar pengantin kami.
“Aku ingin berganti baju,” sahut Ferry merasa risih jika ia harus berganti pakaian di hadapanku, meskipun saat ini aku telah resmi menjadi istrinya.
Ferry memilih berganti pakaian di kamar Lia, daripada harus menggantinya di hadapanku. Aku menundukkan kepala, menahan rasa malu. Menyadari statusku yang hanya sebagai istri siri dari suami adikku sendiri.
“Oh, ya? Karena ini cuma pernikahan pura-pura. Jadi malam ini aku akan tidur di kamar Lia, ya? Kau nggak pa-pa ‘kan tidur sendiri?”
Aku menggelengkan kepala, “Nggak pa-pa, kok, kau temani saja Lia. Biar aku tidur sendiri disini.”
Ferry akhirnya pergi, meninggalkanku sendiri di kamar tamu yang kuharap menjadi kamar pengantin kami. Nyatanya pernikahan ini memang hanya pernikahan di atas kertas, bukan pernikahan pada umumnya.
Pedihnya hatiku, di malam pernikahanku, aku memeluk kekosongan karena lelaki yang kunikahi memilih tidur di kamar adikku. Inilah aku dengan pernikahan yang tak dianggap.
Tentu saja memang itu yang seharusnya terjadi, apa yang kuharapkan? Berharap Ferry akan berbaik hati padaku, menemani kesendirianku di malam pernikahan kami. Seharusnya aku menyadari statusku ini. Mengubur perasaanku terhadapnya yang nyatanya masih tumbuh dan berakar semakin kuat.
Bodohnya diriku yang menjerumuskan hidupku ke dalam jurang nestapa hanya demi adikku. Adikku yang selama ini membuatku cemburu setengah mati terhadap kebahagiaan hidup yang selalu menyapanya.
Inilah kisah pernikahan palsuku dimulai.
***
Waktu berjalan lambat, meski perputaran bumi berlangsung begitu cepat. Sehari, dua puluh empat jam waktu yang manusia miliki sebagai perjanjian di dunia ini. Meski waktu terus berputar, menggilas semua makhluk yang terlena olehnya, tapi tidak dengan diriku dan cintaku yang tumbuh semakin besar tanpa seizinkku. Aku ingin membunuhnya, sebentuk perasaan yang kian melumatkanku. Sayangnya dia seperti memiliki nyawa sendiri diluar kendaliku. Tolong aku, tolong jiwaku yang makin sekarat oleh pupusnya harapan. Di atas nisan bertuliskan nama cinta untuk FA. Aku mungkin telah mati. *** Kata demi kata, terangkai menjadi bait puisi yang indah sekaligus menyakitkan. Ungkapan perasaan yang aku milik tak mudah hilang begitu saja, meski waktu terus menggerusnya. “Aaarrrggghhh ... “ aku menjerit frustrasi saat hendak melanjutkan kembali puisiku. Emosi menguasai, mengingat bahwa perasaanku telah tersampaikan
Aku menatapmu, di bawah jejak bayang mentari yang bersinar kuning—menghangatkan. Senyummu merekah laksana bunga di tengah musim semi. Sayangnya, bukan milikku, bukan untukku. Tidak apa-apa, kau menolak melihatku. Sebentuk makhluk tak kasat mata yang diam-diam memupuk benih cinta di hati. Mungkin nanti, kau akan sadari, kalau makhluk ini akan mati, tanpa sinar hangatmu. ~R~***Selesai mengetikkan kata-kata untuk tulisan novel romantisku, aku menghela napas lega, seakan beban yang bergelayut di punggungku terlepas. Aku merdeka. Kulirik ke arah jarum jam yang berdetak di dinding. Sudah pukul setengah sepuluh malam. Aku sampai melupakan berapa lama kuhabiskan untuk menulis kisahku. Bergerak dari kursi kerjaku, aku menuju dapur, hendak membuat secangkir coklat hangat, minuman favoritku. “Kopi?” Di ujung ruang makan yang terhubung dengan dapur bersih, kulihat Ferry tengah asyik menatapku dari kejauhan. Mengangk
Cerita 14 - R dan F.A.Aku mengepak semua pakaianku yang hanya berisi beberapa gamis sederhana, kerudung, dan perlengkapan mandiku. Tak lupa kemasukan pula laptop dan gawaiku yang satunya, yang khusus kugunakan untuk berkomunikasi dengan editor serta pada penulis lainnya."Mau kemana?" tanya Ferry curiga saat aku menentang tas hitam besar menuju area gerbang. "Jangan bilang kau mau pergi, Ria!" Aku mendengar suaranya bergetar oleh emosi yang entah datang dari mana?.Ferry menghampiriku lalu mengambil tas berisi pakaianku, juga kunci motor. Terpaksa aku kembali ke dalam rumah untuk merebutnya. Sayang, dia menaruh semua barang pribadi milikku di kamarnya.Tentu saja aku tak berani masuk, walau Ferry membuka pintu kamarnya lebar-lebar.“Masuklah jika kau mau mengambil tas dan kunci motormu.” Dia mempersilakanku, tapi aku menahan diri. Sambil mendengus, aku berbalik menuju kamar. Ha
Cerita 13 - Hanya Kami Berdua “Aku menuntut hakku sebagai suami.” Ferry mengulangi kata-katanya. Kewaspadaanku meningkat. Kututup area bagian dadaku dari pandangannya yang berkabut gairah. “Jangan main-main, Ferry!” seruku memperingatkan dirinya. Ferry terkekeh lebar, jelas menikmati permainan ini. “Tolong lepaskan aku!” pintaku memohon padanya. Aku tak ingin merusak kehidupan serta hubunganku dengan adikku sendiri. Merayu Ferry sama sekali tidak tercatat dalam kamusku. “Mengapa kau menolaknya, Ria?” “Karena kita bukanlah suami istri sebagaimana mestinya. Aku hanya menjalani tugasku, mengandung benih kalian. Setelah itu aku akan pergi.” “Bagaimana dengan perasaanmu?” Ferry mengelus pipiku, lembut. Mengirimkan getar ke seluruh tubuhk
Cerita 12 - Ancaman[Keluarlah, makan bersama kami]Pesan dari suamiku muncul di notifikasi layar. Tentu saja aku mengabaikannya. Kumatikan layar ponsel, kemudian pesan itu kembali muncul.[Apa aku perlu ke kamar sekarang?]Lelaki itu mulai mengancam. Aku menimbang-nimbang hal yang seharusnya kulakukan. Haruskah aku keluar dan bergabung makan malam bersama mereka? Atau justru tetap di kamarku, makan sendirian seperti biasa.Aku terpaksa berdiri, memaksa kakiku melangkah keluar dari area kamarku. Dengan langkah gontai, aku menuju ruang makan. Lia terkejut melihat kemunculanku. “Teteh? Tumben Teteh keluar?”Sejak dulu dia selalu tahu, aku gemar menyendiri. Meski begitu dia sangat menghargai privasiku.“Boleh aku makan bareng?” Aku melirik ke arah Ferry yang tersenyum kecil penuh arti. Aku seperti boneka yang sedang dimainkan. Terpaksa melakukan sesuatu diluar kehendakku.“Tentu saja boleh, Teh.” Lia men
Cerita 11 - Ciuman Pertama Setelah peristiwa ke bengkel kemarin, aku terus menutup diri di kamar. Menolak keluar kecuali ada hal darurat. Kubuat kamarku senyaman mungkin untuk kutinggali selama dua puluh empat jam penuh. Kamar berukuran 3x4 meter persegi itu menjelma menjadi rumah bagiku. Di mana aku menyiapkan makanan, mengerjakan pekerjaanku sebagai penulis novel bestseller yang menghasilkan ribuan dollar per bulannya. Tidak ada seorang pun yang mengetahui pekerjaanku, bahkan keluargaku. Mereka hanya menganggapku seorang pengangguran tak berguna. Walau aku tidak pernah merengek meminta bantuan mereka. Di antara kami berdua, aku dan Lia, hanya Lia yang menempuh jenjang perguruan tinggi. Sedangkan aku terpaksa bekerja di minimarket untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tak lagi ditanggung orang tuaku.