Aku menatap ibu mertuaku dengan dada sesak. Air matanya mengalir deras, tapi sorot penuh kebencian itu seolah mengiris hatiku. Aku ingin berteriak bahwa aku juga kehilangan, bahwa aku mencintai Arfan lebih dari apapun. Tapi di matanya, aku hanya pembawa sial.
"Ibu, aku mohon... jangan menyalahkanku," suaraku hampir berbisik, berusaha tetap tenang meski tubuhku gemetar. "Aku juga ingin Mas Arfan selamat. Aku mencintainya, Bu..." Namun, ibu mertuaku tak mau mendengar. Dengan mata yang menyala amarah, ia menudingku. "Kalau kau benar-benar mencintainya, kenapa sejak kau masuk ke dalam hidupnya, selalu ada masalah? Kenapa hidupnya justru penuh musibah setelah menikah denganmu?" Aku ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa aku pun bertanya-tanya siapa yang tega mencelakai suamiku. Tapi sebelum aku sempat berbicara, suara tegas menghentikan kami. "Ibu, cukup." Aku menoleh dan melihat seorang pria yang baru saja memasuki ruang ICU. Pak Rudi. "Ibu boleh marah, boleh bersedih, tapi ini bukan saatnya mencari kambing hitam," lanjutnya, tenang tapi tegas. "Kami sedang menyelidiki kecelakaan ini, dan ada kemungkinan besar ini bukan sekadar musibah biasa." Ibu mertuaku terkejut. "Maksudmu?" Pak Rudi menghela napas, lalu menatap kami dengan serius. "Berdasarkan rekaman CCTV, mobil Arfan ditabrak oleh truk yang melaju dengan kecepatan tinggi. Yang janggal, truk itu tidak berusaha menghindar atau mengerem. Seolah-olah sengaja menabraknya." Aku menegang. Aku sudah mendengar hal ini sebelumnya, tapi mendengarnya lagi membuat ketakutanku semakin nyata. "Apa maksudmu? Ada yang ingin mencelakai anakku?" tanya ibu mertuaku, suaranya bergetar. "Kami belum bisa memastikan, tapi kemungkinannya cukup besar," jawab Pak Rudi. "Karena itu, saya butuh kerja sama kalian. Apakah ada seseorang yang mungkin punya dendam atau masalah dengan Arfan?" Aku berpikir keras. Arfan memang sibuk dengan pekerjaannya, tapi setahuku, dia bukan tipe orang yang suka mencari musuh. Namun, sebelum aku bisa menjawab, ibu mertuaku lebih dulu angkat bicara. "Kalau ada yang membenci Arfan, aku yakin itu karena perempuan ini!" Ia menatapku tajam. "Mungkin musuhnya adalah orang yang tidak suka dia menikah denganmu!" Aku membeku. Apakah mungkin ada seseorang dari masa lalu Arfan atau keluarganya yang masih menyimpan dendam? Pak Rudi tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk. "Baiklah, kami akan menyelidiki lebih lanjut. Jika kalian mengingat sesuatu yang mencurigakan, segera hubungi saya." Ia menyerahkan kartunya pada ibu mertuaku, lalu menatapku sejenak dengan penuh pengertian sebelum pergi. Aku kembali menoleh ke arah Arfan yang masih terbaring lemah di ranjang ICU. Sudah dua hari berlalu, dan Mas Arfan belum juga sadar. Aku menghabiskan hampir setiap detik di sampingnya, menggenggam tangannya yang dingin, berdoa agar ia segera terbangun. Selang oksigen dan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya membuat hatiku semakin nyeri. Aku ingin memberitahunya tentang bayi kami. Aku ingin melihat matanya berbinar bahagia saat tahu bahwa ia akan menjadi seorang ayah. Tapi bagaimana jika... Tidak! Aku menggeleng cepat, menolak membiarkan pikiranku mengarah ke hal yang lebih buruk. Mas Arfan pasti akan bangun. Ia harus bangun. Pintu ICU terbuka, membuatku menoleh. Ibu mertuaku masuk, diikuti dua orang pengawal. "Seret dia keluar. Jangan biarkan dia mendekati putraku lagi!" Aku terperanjat. "Bu, apa maksud Ibu?" tanyaku, suaraku bergetar. Ibu mertuaku menatapku dengan kebencian yang begitu kentara. "Aku sudah cukup sabar melihatmu di sini! Kau hanya membawa kesialan bagi Arfan! Sejak menikah denganmu, hidupnya selalu dalam bahaya. Dan sekarang, lihat dia! Terbaring di ranjang, tidak bisa bicara, tidak bisa bergerak! Aku tidak mau kau ada di dekatnya lagi!" Dua pria berbadan tegap mendekat, bersiap menarik lenganku. Aku mundur selangkah, jantungku berdegup kencang. "Ibu, tolong... Aku mohon, jangan lakukan ini..." Tapi ibu mertuaku tak peduli. Ia mengangguk pada pengawalnya, dan dalam hitungan detik, aku merasakan cengkraman kuat di lenganku. "Jangan! Lepaskan aku!" Aku meronta, berusaha melepaskan diri. "Aku istrinya! Aku berhak berada di sini!" "Tidak lagi," ibu mertuaku menyeringai sinis. "Mulai sekarang, aku melarangmu menemui Arfan. Aku akan meminta pihak rumah sakit memastikan kau tidak bisa masuk ke ruangannya lagi." Tanganku mengepal. Dadaku terasa sesak oleh ketidakadilan ini. Aku ingin berteriak, ingin memohon agar ia mau melihatku bukan sebagai musuh, tapi sebagai seseorang yang juga mencintai Arfan. Namun, percuma. Ia sudah membenciku sejak awal, dan sekarang, ia akhirnya menemukan alasan untuk menyingkirkanku. Pengawal itu menyeretku keluar dari ruang ICU. Aku meronta, tapi mereka terlalu kuat. "Lepaskan aku! Aku mohon, jangan lakukan ini!" suaraku parau, nyaris putus asa. Aku masih bisa melihat sekilas Arfan yang terbaring lemah di tempat tidurnya, nafasnya diatur oleh selang oksigen. Air mataku mengalir tanpa bisa kutahan. Bagaimana mungkin aku dilarang menemui suamiku sendiri? Di luar ruang ICU, seorang perawat mendekat dengan wajah bingung. "Maaf, ada apa ini?" Ibu mertuaku mendahuluiku menjawab. "Aku ibu kandung pasien, dan aku tidak ingin perempuan ini ada di sini lagi! Pastikan dia tidak boleh masuk ke ruangannya!" Perawat itu menatapku dengan ragu. "Tapi, Bu, dia istrinya—" "Istrinya atau bukan, aku yang bertanggung jawab atas perawatan anakku. Aku tidak ingin dia ada di sini lagi," potongnya tajam. Aku menggeleng cepat, mencoba mencari dukungan dari perawat itu. "Aku mohon, aku hanya ingin menemani suamiku…" Namun, ibu mertuaku menoleh ke pengawal. "Antarkan dia keluar dari rumah sakit ini. Aku tidak mau melihatnya lagi." Mereka menyeretku pergi, langkahku terseret di lantai rumah sakit yang dingin. Hatiku hancur berkeping-keping. Aku harus kembali. Aku harus mencari cara untuk melihat Arfan. Saat aku diantar ke luar rumah sakit dan ditinggalkan begitu saja di depan pintu masuk, aku berdiri terhuyung. Malam sudah turun, udara dingin menusuk kulitku. Aku menatap gedung rumah sakit dengan nafas tersengal, tanganku menggenggam perutku yang masih menyimpan rahasia tentang bayi kecil kami. Aku tidak bisa menyerah. Lalu, ponselku bergetar di dalam tas. Dengan tangan gemetar, aku merogohnya dan melihat nama yang tertera di layar. Pak Rudi. Harapan kecil menyelinap di hatiku. Aku segera mengangkat panggilan itu. "Halo?" suaraku bergetar. "Ada yang perlu saya bicarakan dengan Anda," suara Pak Rudi terdengar serius di seberang sana. "Saya baru saja mendapat informasi baru tentang kecelakaan Pak Arfan. Saya pikir ini bukan hanya kecelakaan biasa." Jantungku berdegup kencang. "Apa maksud Bapak?" "Ada seseorang yang mungkin terlibat dalam kejadian ini." Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih rendah. "Dan saya curiga, orang itu ada di sekitar suami Anda selama ini." Aku menggenggam ponsel erat, berusaha menenangkan detak jantungku yang berdebar kencang. "Maksud Pak Rudi... ada seseorang yang sengaja mencelakai Mas Arfan? Siapa?" Di seberang telepon, Pak Rudi menghela napas. "Saya belum bisa memastikan, tapi ada petunjuk yang mengarah ke kemungkinan itu. Saya ingin Anda bertemu dengan saya secepatnya. Bisa sekarang?" Aku melirik rumah sakit yang berdiri megah di depanku. Air mata masih menggenang di pelupuk mataku, tetapi keteguhan mulai tumbuh di dalam hati. Jika memang ada seseorang yang ingin mencelakai Mas Arfan, aku harus mengetahuinya. Aku tidak bisa hanya berdiam diri.Rafa mengangguk mantap, walau matanya tak menatap langsung ke arah Nafeeza.“Serius. Papa nggak suka simpan makanan mahal. Katanya, ‘kalau nggak dimakan, mubazir. Kalau dimakan, takut darah tinggi.” Rafa menirukan suara ayahnya, berusaha terdengar santai.Nafeeza mengangguk pelan, meski wajahnya belum sepenuhnya lepas dari rasa curiga. Tapi sebelum ia bisa berkata lebih jauh, mobil Rafa melambat, lalu berhenti di ujung gang kecil yang remang.“Aku parkir di sini aja, ya. Gangnya sempit,” ujar Rafa.Namun belum sempat Nafeeza menjawab, Rafa menegang. Tatapannya membeku menatap sesuatu di kejauhan.Nafeeza ikut menoleh.Sebuah mobil hitam, terparkir di sisi jalan, sedikit tersembunyi di balik bayangan pepohonan.Nafeeza membeku.Itu mobil yang sangat dikenalnya.Mobil Arfan.“Rafa…” Nafeeza bersuara lirih, nadanya gemetar. “Itu…”“Aku tahu,” potong Rafa pelan. Tangannya menggenggam kemudi lebih erat.Dari kejauhan, bayangan seorang pria tampak berdiri di sisi mobil, menyandarkan tubuhny
Sore merambat perlahan menjadi senja. Cahaya keemasan menembus kisi jendela, jatuh lembut menimpa wajah Nafeeza yang tetap tenang, walau jantungnya berdegup cepat. Di sampingnya, Rafa duduk dengan sikap waspada, bersandar santai namun siap bergerak bila sesuatu yang tak diinginkan tiba-tiba terjadi.Tuan Mahendra duduk tegak, tangan terlipat di pangkuan. Ada keheningan yang tak disengaja, tapi penuh arti, seolah masing-masing dari mereka tengah menimbang langkah yang akan diambil berikutnya.“Rafa,” suara berat Mahendra akhirnya pecah, “kamu belum pernah serius mengenalkan perempuan manapun kepada kami sebelumnya. Tapi sekarang...”Matanya menatap tajam ke arah Nafeeza. “Kamu membawanya ke sini. Bukan sekadar makan siang biasa. Kamu ingin kami mengenalnya.”Rafa mengangguk perlahan.“Saya serius dengan Nafeeza, Pa.”Nafeeza menahan napas. Kata-kata itu sederhana, tapi maknanya menggelegak seperti ombak besar yang menghantam tenangnya permukaan air.Tuan Mahendra menyilangkan kaki deng
Beberapa hari kemudian, di sebuah lingkungan sederhana di pinggiran kota, sepasang suami istri lansia tampak sibuk membersihkan rumah mungil dengan pagar kayu dan halaman kecil di depannya. Mereka mengenalkan diri sebagai Pak Mahmud dan Bu May identitas baru yang mereka ciptakan.Tak ada yang tahu bahwa di balik kemeja lusuh dan sandal jepit Pak Mahmud tersembunyi nama besar Mahendra, pemilik Mahendra Corp, yang biasa tampil dalam jas mahal dan wawancara media. Tak ada pula yang menyangka bahwa Bu May, yang kini sibuk menjemur pakaian di halaman, dulunya mengenakan perhiasan berlian dan duduk di kursi undangan gala dinner.*****Di tempat lain..Cahaya matahari menembus lembut tirai jendela rumah kontrakan sederhana yang ditinggali Nafeeza dan putranya, Danis. Suara ketel air yang mendidih bersahutan dengan suara notifikasi dari ponselnya.Nafeeza segera mengusap tangannya dengan handuk kecil, lalu meraih ponsel dari meja makan. Nama Rafa muncul di layar. Ia segera menjawab, suaranya
Malam itu begitu sunyi. Nafeeza duduk di meja kerjanya yang menghadap jendela, membiarkan angin malam menyusup lewat celah kecil yang tak sempat ditutup rapat. Hembusannya membawa aroma lembap dedaunan yang baru saja tersentuh embun.Di pangkuannya, Danis tertidur pulas, anak kecil yang selama ini menjadi jangkar hatinya, satu-satunya alasan ia tetap bertahan meski dunia kerap mengguncangnya. Nafeeza menatap wajah mungil itu, mengusap rambutnya perlahan, seolah ingin menitipkan seluruh doanya pada tiap hela napas anak itu.Di atas meja, sketchbook terbuka. Garis-garis kasar rancangan taman terapung yang tadi siang ia presentasikan mulai ia sempurnakan dengan sapuan pensil lembut. Namun pikirannya tak bisa tenang. Ia terus kembali pada satu nama.Rafa.Senyum tenangnya. Tatapan matanya yang selalu mendengarkan, bukan menghakimi. Dan yang paling membekas, kalimat terakhir yang ia ucapkan tadi siang, begitu sederhana, tapi menggetarkan seluruh harapan yang lama terkubur."Besok aku janji
Beberapa hari kemudian…Nafeeza berdiri di depan lobi gedung Mahendra Corp. Raksasa properti itu berkantor di menara kaca 38 lantai, berdiri megah di kawasan pusat bisnis. Nafeeza mengenakan setelan monokrom elegan dengan ransel ramping di bahu, wajahnya tenang tapi matanya menyimpan ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Ia melangkah masuk, disambut pendingin ruangan yang menusuk dan aroma kopi dari kafe di lobby. Seorang resepsionis langsung menghampirinya.“Selamat pagi. Ibu Nafeeza dari Avila Studio, ya? Kami sudah menunggu. Silakan ke lantai 30. Asisten direktur akan menyambut Anda.”Di dalam lift, Nafeeza memandangi refleksinya pada dinding logam. Ia menarik napas dalam-dalam. Dalam hati, ia bertanya-tanya, mengapa Mahendra begitu tertarik pada proyek ini? Dan… siapa sebenarnya Tuan Mahendra?**Di lantai 30, Rian sudah menunggunya. Kali ini mengenakan batik modern dengan lengan digulung rapi.“Selamat datang, Bu Nafeeza,” katanya dengan sopan. “Tuan Mahendra sedang menyelesaik
Beberapa hari berlalu, suasana di kontrakan Nafeeza kembali hangat. Tawa riang Danis mulai kembali memenuhi halaman. Bocah itu berlari-lari bersama teman-temannya, sementara Bibi Rara, yang baru saja pulih dari rawat inap, mengawasinya dari kursi rotan dengan senyum mengembang. Nafeeza, yang selama ini hidup dalam bayang-bayang kekhawatiran, mulai merasakan ketenangan yang lama hilang. Pelan, tapi pasti, luka-luka di hatinya mulai mengering.Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.Pagi itu, saat Nafeeza sedang merapikan jilbabnya di depan cermin sebelum berangkat kerja, suara Bibi Rara terdengar dari arah ruang depan.“Bu… ada tamu,” panggilnya pelan.“Siapa, Bi?” Nafeeza menyahut, masih menata kerudungnya.“Katanya dia… neneknya Danis.”Tangan Nafeeza membeku di udara. Matanya membelalak. Nafasnya tercekat.Ia melangkah ke ruang tamu dengan hati yang berdegup tak menentu. Dan di sana, berdiri seorang perempuan paruh baya dengan busana rapi dan tas bermerek menggantung di lengannya.
Beberapa hari telah berlalu sejak Aurel resmi ditahan. Berita tentang keterlibatannya dalam percobaan pembunuhan terhadap Nafeeza mengguncang jagat maya dan media nasional. Publik tak percaya. Aurel, putri pengusaha sukses dan tunangan CEO Veranza Corp, berubah dari “gadis emas” menjadi headline memalukan.Namun bagi Arfan, badai ini bukan kejutan. Ia telah lama mencium kejanggalan. Dan kini, setelah semuanya terang, ia hanya ingin menatap masa depan bersama putranya… dan Nafeeza.Pagi itu, cuaca mendung menggelayuti langit Jakarta. Arfan baru saja tiba di kantornya ketika sekretarisnya memberitahu bahwa ada dua tamu penting menunggu di ruang pertemuan utama.“Pak Irwan dan nyonya Marisa… orang tua Nona Aurel,” katanya pelan.Arfan mengangguk, meski hatinya sempat mengeras.Ruang pertemuan itu senyap saat Arfan melangkah masuk. Di ujung meja duduk sepasang suami istri paruh baya, berpakaian rapi, wajah mereka penuh beban. Marisa menatap Arfan dengan mata berkaca. Sementara pak Irwan t
Langkah Arfan menggema saat ia memasuki gudang kosong. Beberapa anak buahnya berdiri tegak di sisi kanan dan kiri, menciptakan jalur lurus menuju kursi di tengah ruangan. Di sana, Randy duduk terikat, wajahnya lebam, bibir pecah, dan pelipisnya masih meneteskan darah kering.Arfan berdiri di hadapan Randy, menatapnya dalam-dalam. Hening mencekam menyelimuti udara. Hanya suara langkah tikus di sudut gudang dan desah nafas Randy yang terdengar.“Aku mempercayaimu, Randy,” suara Arfan berat dan dingin. “Lebih dari siapapun.”Randy mengangkat wajahnya perlahan, darah mengalir dari ujung bibirnya. “Tuan… aku… aku minta maaf.”“Maaf?” Arfan tersenyum miris, lalu menendang kursi di depan Randy hingga terlempar. “Sudah bertahun-tahun kau di sisiku. Kau kupercayai lebih dari keluargaku sendiri. Dan kau, kau malah mengkhianatiku.”Randy terisak, tubuhnya gemetar. “Aku… dipaksa. Aurel… dia mengancamku. Keluargaku… Ibuku yang sakit, adikku… semua dalam cengkeramannya. Dia ancam akan menghancurkan
Hening kembali menyelimuti ruangan begitu langkah kaki Arfan menghilang di balik pintu yang kini tertutup rapat. Nafeeza berdiri diam, seperti baru saja melawan badai. Namun kali ini, ia tidak roboh. Tidak hancur. Ia berdiri tegak, meski hatinya masih bergetar.Rafa mendekat perlahan, matanya mengamati Nafeeza dengan seksama. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya, suaranya lirih, seolah tak ingin membangunkan Danis.Nafeeza menarik napas panjang, menatap pintu itu sesaat sebelum menggeleng pelan. “Aku baik… Aku hanya belum pernah merasakan lega seperti ini sebelumnya.” Ia tersenyum tipis, namun senyum itu datang dari tempat yang tulus, dari luka yang perlahan sembuh.Rafa mengangguk. Ia tahu, luka seperti ini tak bisa disembuhkan hanya dengan kata-kata. Tapi kehadiran… kadang cukup. Ia duduk disisi tempat tidur, diam di dekat Nafeeza, seperti jangkar yang menahan kapal agar tak terombang-ambing kembali.“Terima kasih, Rafa.” Nafeeza menoleh padanya, kali ini dengan tatapan yang lebih dalam. “