Share

Bab 2

Author: Sri Pulungan
last update Last Updated: 2025-03-27 11:16:39

Aku menatap ibu mertuaku dengan dada sesak. Air matanya mengalir deras, tapi sorot penuh kebencian itu seolah mengiris hatiku. Aku ingin berteriak bahwa aku juga kehilangan, bahwa aku mencintai Arfan lebih dari apapun. Tapi di matanya, aku hanya pembawa sial.

"Ibu, aku mohon... jangan menyalahkanku," suaraku hampir berbisik, berusaha tetap tenang meski tubuhku gemetar. "Aku juga ingin Mas Arfan selamat. Aku mencintainya, Bu..."

Namun, ibu mertuaku tak mau mendengar. Dengan mata yang menyala amarah, ia menudingku.

"Kalau kau benar-benar mencintainya, kenapa sejak kau masuk ke dalam hidupnya, selalu ada masalah? Kenapa hidupnya justru penuh musibah setelah menikah denganmu?"

Aku ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa aku pun bertanya-tanya siapa yang tega mencelakai suamiku. Tapi sebelum aku sempat berbicara, suara tegas menghentikan kami.

"Ibu, cukup."

Aku menoleh dan melihat seorang pria yang baru saja memasuki ruang ICU. Pak Rudi.

"Ibu boleh marah, boleh bersedih, tapi ini bukan saatnya mencari kambing hitam," lanjutnya, tenang tapi tegas. "Kami sedang menyelidiki kecelakaan ini, dan ada kemungkinan besar ini bukan sekadar musibah biasa."

Ibu mertuaku terkejut. "Maksudmu?"

Pak Rudi menghela napas, lalu menatap kami dengan serius. "Berdasarkan rekaman CCTV, mobil Arfan ditabrak oleh truk yang melaju dengan kecepatan tinggi. Yang janggal, truk itu tidak berusaha menghindar atau mengerem. Seolah-olah sengaja menabraknya."

Aku menegang. Aku sudah mendengar hal ini sebelumnya, tapi mendengarnya lagi membuat ketakutanku semakin nyata.

"Apa maksudmu? Ada yang ingin mencelakai anakku?" tanya ibu mertuaku, suaranya bergetar.

"Kami belum bisa memastikan, tapi kemungkinannya cukup besar," jawab Pak Rudi. "Karena itu, saya butuh kerja sama kalian. Apakah ada seseorang yang mungkin punya dendam atau masalah dengan Arfan?"

Aku berpikir keras. Arfan memang sibuk dengan pekerjaannya, tapi setahuku, dia bukan tipe orang yang suka mencari musuh.

Namun, sebelum aku bisa menjawab, ibu mertuaku lebih dulu angkat bicara.

"Kalau ada yang membenci Arfan, aku yakin itu karena perempuan ini!" Ia menatapku tajam. "Mungkin musuhnya adalah orang yang tidak suka dia menikah denganmu!"

Aku membeku. Apakah mungkin ada seseorang dari masa lalu Arfan atau keluarganya yang masih menyimpan dendam?

Pak Rudi tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk. "Baiklah, kami akan menyelidiki lebih lanjut. Jika kalian mengingat sesuatu yang mencurigakan, segera hubungi saya."

Ia menyerahkan kartunya pada ibu mertuaku, lalu menatapku sejenak dengan penuh pengertian sebelum pergi.

Aku kembali menoleh ke arah Arfan yang masih terbaring lemah di ranjang ICU.

Sudah dua hari berlalu, dan Mas Arfan belum juga sadar. Aku menghabiskan hampir setiap detik di sampingnya, menggenggam tangannya yang dingin, berdoa agar ia segera terbangun. Selang oksigen dan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya membuat hatiku semakin nyeri.

Aku ingin memberitahunya tentang bayi kami. Aku ingin melihat matanya berbinar bahagia saat tahu bahwa ia akan menjadi seorang ayah. Tapi bagaimana jika...

Tidak! Aku menggeleng cepat, menolak membiarkan pikiranku mengarah ke hal yang lebih buruk. Mas Arfan pasti akan bangun. Ia harus bangun.

Pintu ICU terbuka, membuatku menoleh. Ibu mertuaku masuk, diikuti dua orang pengawal.

"Seret dia keluar. Jangan biarkan dia mendekati putraku lagi!"

Aku terperanjat. "Bu, apa maksud Ibu?" tanyaku, suaraku bergetar.

Ibu mertuaku menatapku dengan kebencian yang begitu kentara. "Aku sudah cukup sabar melihatmu di sini! Kau hanya membawa kesialan bagi Arfan! Sejak menikah denganmu, hidupnya selalu dalam bahaya. Dan sekarang, lihat dia! Terbaring di ranjang, tidak bisa bicara, tidak bisa bergerak! Aku tidak mau kau ada di dekatnya lagi!"

Dua pria berbadan tegap mendekat, bersiap menarik lenganku. Aku mundur selangkah, jantungku berdegup kencang. "Ibu, tolong... Aku mohon, jangan lakukan ini..."

Tapi ibu mertuaku tak peduli. Ia mengangguk pada pengawalnya, dan dalam hitungan detik, aku merasakan cengkraman kuat di lenganku.

"Jangan! Lepaskan aku!" Aku meronta, berusaha melepaskan diri. "Aku istrinya! Aku berhak berada di sini!"

"Tidak lagi," ibu mertuaku menyeringai sinis. "Mulai sekarang, aku melarangmu menemui Arfan. Aku akan meminta pihak rumah sakit memastikan kau tidak bisa masuk ke ruangannya lagi."

Tanganku mengepal. Dadaku terasa sesak oleh ketidakadilan ini. Aku ingin berteriak, ingin memohon agar ia mau melihatku bukan sebagai musuh, tapi sebagai seseorang yang juga mencintai Arfan. Namun, percuma. Ia sudah membenciku sejak awal, dan sekarang, ia akhirnya menemukan alasan untuk menyingkirkanku.

Pengawal itu menyeretku keluar dari ruang ICU. Aku meronta, tapi mereka terlalu kuat. "Lepaskan aku! Aku mohon, jangan lakukan ini!" suaraku parau, nyaris putus asa.

Aku masih bisa melihat sekilas Arfan yang terbaring lemah di tempat tidurnya, nafasnya diatur oleh selang oksigen. Air mataku mengalir tanpa bisa kutahan. Bagaimana mungkin aku dilarang menemui suamiku sendiri?

Di luar ruang ICU, seorang perawat mendekat dengan wajah bingung. "Maaf, ada apa ini?"

Ibu mertuaku mendahuluiku menjawab. "Aku ibu kandung pasien, dan aku tidak ingin perempuan ini ada di sini lagi! Pastikan dia tidak boleh masuk ke ruangannya!"

Perawat itu menatapku dengan ragu. "Tapi, Bu, dia istrinya—"

"Istrinya atau bukan, aku yang bertanggung jawab atas perawatan anakku. Aku tidak ingin dia ada di sini lagi," potongnya tajam.

Aku menggeleng cepat, mencoba mencari dukungan dari perawat itu. "Aku mohon, aku hanya ingin menemani suamiku…"

Namun, ibu mertuaku menoleh ke pengawal. "Antarkan dia keluar dari rumah sakit ini. Aku tidak mau melihatnya lagi."

Mereka menyeretku pergi, langkahku terseret di lantai rumah sakit yang dingin. Hatiku hancur berkeping-keping.

Aku harus kembali. Aku harus mencari cara untuk melihat Arfan.

Saat aku diantar ke luar rumah sakit dan ditinggalkan begitu saja di depan pintu masuk, aku berdiri terhuyung. Malam sudah turun, udara dingin menusuk kulitku. Aku menatap gedung rumah sakit dengan nafas tersengal, tanganku menggenggam perutku yang masih menyimpan rahasia tentang bayi kecil kami.

Aku tidak bisa menyerah.

Lalu, ponselku bergetar di dalam tas. Dengan tangan gemetar, aku merogohnya dan melihat nama yang tertera di layar.

Pak Rudi.

Harapan kecil menyelinap di hatiku. Aku segera mengangkat panggilan itu.

"Halo?" suaraku bergetar.

"Ada yang perlu saya bicarakan dengan Anda," suara Pak Rudi terdengar serius di seberang sana. "Saya baru saja mendapat informasi baru tentang kecelakaan Pak Arfan. Saya pikir ini bukan hanya kecelakaan biasa."

Jantungku berdegup kencang. "Apa maksud Bapak?"

"Ada seseorang yang mungkin terlibat dalam kejadian ini." Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih rendah. "Dan saya curiga, orang itu ada di sekitar suami Anda selama ini."

Aku menggenggam ponsel erat, berusaha menenangkan detak jantungku yang berdebar kencang. "Maksud Pak Rudi... ada seseorang yang sengaja mencelakai Mas Arfan? Siapa?"

Di seberang telepon, Pak Rudi menghela napas. "Saya belum bisa memastikan, tapi ada petunjuk yang mengarah ke kemungkinan itu. Saya ingin Anda bertemu dengan saya secepatnya. Bisa sekarang?"

Aku melirik rumah sakit yang berdiri megah di depanku. Air mata masih menggenang di pelupuk mataku, tetapi keteguhan mulai tumbuh di dalam hati. Jika memang ada seseorang yang ingin mencelakai Mas Arfan, aku harus mengetahuinya. Aku tidak bisa hanya berdiam diri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 166

    Di ruang gawat darurat, tim medis langsung mengambil alih Nafeeza. Rafa harus menunggu di luar, menggenggam erat tangan Danis yang masih menangis tersedu di pelukannya. Waktu terasa berjalan lambat, setiap detik seperti siksaan. Setelah beberapa jam menunggu dalam cemas, akhirnya seorang dokter keluar dengan wajah serius namun sedikit lebih tenang. DOKTER JAGA (tegas, menatap Rafa): “Syukurlah, luka di kepala Ibu Nafeeza berhasil kami tangani. Ia sempat kehilangan banyak darah, tapi sekarang kondisinya stabil. Kami akan tetap observasi beberapa hari.” Rafa menghela napas panjang, hampir terjatuh karena lega. Ia menunduk mencium kening Danis. RAFA (lirih, parau): “Dengar itu, Nak… Mama selamat…” Tak lama, perawat memberi izin untuk menjenguk sebentar. Rafa masuk ke ruang perawatan, hatinya bergetar saat melihat Nafeeza berbaring dengan infus di tangan, wajahnya pucat namun damai. Rafa duduk di kursi samping ranjang, meraih tangan istrinya perlahan. RAFA (berbisik): “Feeza… aku d

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 165

    Tak lama setelah Rafa menutup telepon, suara sirine terdengar mendekat. Dua mobil polisi berhenti di depan gerbang besar rumah keluarga Mahendra. Para satpam langsung membukakan jalan.Beberapa petugas berseragam masuk, dipimpin seorang perwira muda yang tampak tegas.POLISI (serius, menatap ruangan): “Kami mendapat laporan. Mana yang bernama Arfan?”Arfan tersentak, wajahnya memucat sepersekian detik, lalu buru-buru menegakkan dada.ARFAN (mencoba tenang, menyeringai): “Ya, saya Arfan. Dan ini semua jebakan. Kalian tidak tahu siapa Rafa sebenarnya.”Rafa melangkah ke depan, wajahnya dingin.RAFA (tegas): “Pak, tolong amankan dia untuk diperiksa. Hasil laboratorium jelas menunjukkan ada racun dalam darah istri saya. Kami curiga dialah dalangnya.”Polisi mengangguk, dua petugas maju hendak menahan Arfan. Namun tiba-tiba Nafeeza berdiri dari sofa, tubuhnya masih gemetar.NAFEEZA (panik, berteriak): “Jangan! Jangan bawa Arfan! Dia tidak bersalah!”Semua orang terkejut. Rafa menoleh denga

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 164

    Malam itu, setelah berbicara dengan ibunya, Arfan tak bisa lagi duduk diam. Ia nekat mengendarai mobil menuju kediaman keluarga Mahendra. Dengan wajah dingin penuh tekad, ia turun di depan pagar besar rumah itu.SATPAM (cepat menghadang, tegas): “Maaf, Pak Arfan. Sesuai instruksi, Anda tidak diizinkan masuk.”Arfan mendengus, menatap garang ke arah pagar.ARFAN (sinis, menggertak): “Kalian pikir bisa menghalangi aku?”Rafa yang mendengar kegaduhan segera turun ke halaman. Ia berdiri tegak di balik satpam, wajahnya penuh ketegasan.RAFA (dengan suara dingin, menekan): “Satpam, tahan dia. Jangan biarkan dia masuk satu langkah pun. Ini rumahku, dan Feeza berada di sini sebagai istriku yang sah.”Arfan tersenyum miring, matanya menatap tajam ke arah Rafa.ARFAN (mengejek): “Kau boleh punya surat nikah, Rafa… tapi hatinya tetap padaku. Percaya saja, dia tidak akan pernah mengakuimu.”Belum sempat Rafa membalas, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari lantai dua. Nafeeza muncul di balkon kamar

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 163

    Dokter Samuel membersihkan tenggorokannya pelan, berusaha mengembalikan fokus ke pemeriksaan.DOKTER SAMUEL (lembut, menenangkan): “Ny. Nafeeza, izinkan saya memeriksa sebentar, ya. Hanya detak jantung, tekanan darah, dan kondisi umum. Tidak ada jarum suntik, tidak ada obat. Semuanya di depan Anda.”Nafeeza masih ragu, namun saat Danis menggenggam tangannya erat, hatinya luluh sedikit.DANIS (polos, manja): “Mama… biarin dokter periksa, ya? Biar Mama cepat sembuh.”Nafeeza terdiam, lalu menghela napas panjang. Ia mengangguk pelan, tapi tatapannya tetap penuh kewaspadaan.NAFEEZA (datar, tapi menyerah): “Baiklah. Tapi aku akan perhatikan setiap gerakanmu, Dokter.”Dokter Samuel tersenyum tipis, lalu mulai memeriksa dengan hati-hati. Ia menempelkan stetoskop ke dada Nafeeza, menghitung detak jantung, kemudian mengukur tekanan darah. Semuanya ia lakukan dengan gerakan perlahan, agar Nafeeza tidak semakin panik.Beberapa menit berlalu. Pemeriksaan selesai tanpa hambatan.DOKTER SAMUEL (me

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 162

    Nafeeza menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Tubuhnya terasa hangat di rumah itu, ada rasa akrab yang membuatnya ingin bersandar dan percaya, namun ingatannya menolak. Ia hanya mengingat satu hal dengan jelas: Arfan adalah suaminya. Semua yang lain, Rafa, rumah ini, masih terasa asing, bahkan menakutkan dalam ketidakpastian.NAFEEZA (dengan suara dingin tapi bergetar): “Rafa… aku tidak mempercayaimu. Aku… aku harus kembali ke Arfan. Kau… kau hanya pura-pura peduli, kan?”Rafa menatap istrinya, hatinya perih melihat kegelisahan itu. RAFA (tenang, menahan emosi): “Aku tidak berpura-pura, Feeza… Tidak pernah. Dari dulu sampai sekarang, semua yang kulakukan, menunggu, mencari, melindungimu, semua itu nyata. Kau boleh lupa padaku, tapi hatiku tidak pernah lupa padamu.”Nafeeza menatap Rafa sebentar, tubuhnya merasakan kenyamanan aneh di dekatnya, seolah hatinya mengenali sesuatu yang lama terlupakan. Tapi akalnya terus memaksa, ia harus tetap waspada. Ia tahu Rafa tidak akan

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 161

    Suasana di depan rumah semakin memanas. Rafa berdiri tegak dengan wajah penuh amarah yang ditahan. Para satpam masih menutup akses, sementara Ny. Prameswari mulai terisak karena tak tahan melihat putranya dihalangi untuk menjemput istri sahnya.Beberapa menit kemudian, suara sirine terdengar dari kejauhan. Dua mobil polisi berhenti di depan pagar rumah Arfan. Dari dalam, seorang perwira polisi turun dengan sikap tegas, membawa berkas perintah pengadilan yang sudah ditandatangani.POLISI (lantang, menunjukkan surat):“Ini surat perintah resmi dari pengadilan negeri. Atas dasar laporan dan dokumen sah, kami diperintahkan untuk mengevakuasi Ny. Nafeeza Mahendra dari kediaman ini dan menyerahkannya ke wali sah sekaligus suaminya, Tuan Rafa Mahendra.”Kepala keamanan menelan ludah, jelas bingung. Ia melirik ke arah rumah besar itu, menunggu instruksi.RAFA (dengan suara tegas, penuh tekanan): “Kalian dengar sendiri. Ini bukan perintahku, ini perintah hukum. Jika kalian tetap menghalangi, k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status