Di saat yang sama, Yuliana juga mulai mengatur rencananya.Ia duduk bersama seorang pria berjas abu-abu, pengacara keluarga lamanya.“Buatkan saya dokumen hak perwalian,” katanya. “Saya ingin memastikan kalau sesuatu terjadi pada Arfan, hak asuh Danis tidak langsung jatuh ke tangan Nafeeza.”Pengacara itu tampak ragu. “Bukankah dia ibu kandungnya?”Yuliana tersenyum samar. “Justru karena itu. Saya tidak ingin cucu saya dibesarkan dalam ketidakseimbangan. Saya ingin antisipasi… sebelum semuanya terlambat.”“Maaf, Bu Yuliana, permintaan ini agak… sensitif. Secara hukum, Nafeeza adalah ibu kandung Danis. Kecuali ada bukti bahwa dia tidak layak, atau berbahaya bagi anaknya, hak asuh otomatis jatuh padanya jika sesuatu terjadi pada Pak Arfan,” kata sang pengacara.Yuliana menyipitkan mata. “Saya tidak minta kamu mengajari saya soal hukum. Saya minta kamu cari celahnya. Entah itu lewat evaluasi psikologis, atau rekayasa riwayat yang membuat dia terlihat tidak stabil.”Pengacara itu menarik
Senyum licik itu belum sepenuhnya hilang dari wajah Nyonya Yuliana saat pelayan masuk membawakan teh hangat tambahan. Setelah Arfan pergi, suasana kembali hening, tapi di dalam pikirannya, rencana-rencana terus bergerak.“Perempuan kampung itu benar-benar keras kepala,” gumamnya sambil menyesap teh. “Tapi dia lupa siapa yang pegang kuasa sebenarnya.”Sudah sejak awal Yuliana tak pernah menyukai Nafeeza. Bukan karena pribadi atau sikapnya, melainkan karena asal-usulnya. Baginya, Nafeeza bukan pasangan sepadan untuk Arfan, pewaris keluarga pemilik jaringan properti dan logistik ternama.“Aku sudah buat dia keluar dari hidup Arfan sekali, dan aku bisa melakukannya lagi,” bisiknya dingin.Namun kali ini, segalanya berbeda. Nafeeza tidak lagi lemah. Ia berdiri tegak, berani menentang bahkan ketika tak punya apa-apa. Yuliana tahu, jika ia ingin merebut Danis, ia tak bisa melawan langsung. Ia harus bermain lebih licik, lebih halus. Jika ia bisa menyerang dari sisi citra, ia bisa menekan po
Arfan menghela nafas panjang. “Mama nggak akan ikut campur lagi, aku pastikan itu.”“Seperti dulu kamu pastikan bahwa kamu akan selalu percaya padaku?” Nafeeza menatapnya tajam. “Aku sudah cukup dengar janji, Arfan. Sekarang aku cuma percaya pada tindakan.”Arfan terdiam. Wajahnya lelah, dipenuhi penyesalan. Tangannya merogoh saku jaket, lalu mengeluarkan sebuah amplop coklat yang sudah agak kusut.“Apa ini?” tanya Nafeeza curiga.“Sesuatu yang harusnya jadi milikmu sejak lama.” Ia menyodorkan amplop itu. “Aku sudah serahkan pengalihan nama rumah lama kita atas namamu. Dan juga beberapa aset yang dulu… kamu tinggalkan. Aku mau Danis punya masa depan lebih baik.”Nafeeza menatap amplop itu lama. Ia tak menyentuhnya.“Kamu pikir uang dan rumah bisa menyelesaikan semua ini?” suaranya nyaris berbisik. “Kamu pikir itu bisa menghapus lima tahun hidupku yang terbuang?”“Tidak,” jawab Arfan cepat. “Aku tahu itu nggak cukup. Tapi ini satu-satunya cara yang kupunya untuk menunjukkan bahwa aku s
Rafa mengangguk mantap, walau matanya tak menatap langsung ke arah Nafeeza.“Serius. Papa nggak suka simpan makanan mahal. Katanya, ‘kalau nggak dimakan, mubazir. Kalau dimakan, takut darah tinggi.” Rafa menirukan suara ayahnya, berusaha terdengar santai.Nafeeza mengangguk pelan, meski wajahnya belum sepenuhnya lepas dari rasa curiga. Tapi sebelum ia bisa berkata lebih jauh, mobil Rafa melambat, lalu berhenti di ujung gang kecil yang remang.“Aku parkir di sini aja, ya. Gangnya sempit,” ujar Rafa.Namun belum sempat Nafeeza menjawab, Rafa menegang. Tatapannya membeku menatap sesuatu di kejauhan.Nafeeza ikut menoleh.Sebuah mobil hitam, terparkir di sisi jalan, sedikit tersembunyi di balik bayangan pepohonan.Nafeeza membeku.Itu mobil yang sangat dikenalnya.Mobil Arfan.“Rafa…” Nafeeza bersuara lirih, nadanya gemetar. “Itu…”“Aku tahu,” potong Rafa pelan. Tangannya menggenggam kemudi lebih erat.Dari kejauhan, bayangan seorang pria tampak berdiri di sisi mobil, menyandarkan tubuhny
Sore merambat perlahan menjadi senja. Cahaya keemasan menembus kisi jendela, jatuh lembut menimpa wajah Nafeeza yang tetap tenang, walau jantungnya berdegup cepat. Di sampingnya, Rafa duduk dengan sikap waspada, bersandar santai namun siap bergerak bila sesuatu yang tak diinginkan tiba-tiba terjadi.Tuan Mahendra duduk tegak, tangan terlipat di pangkuan. Ada keheningan yang tak disengaja, tapi penuh arti, seolah masing-masing dari mereka tengah menimbang langkah yang akan diambil berikutnya.“Rafa,” suara berat Mahendra akhirnya pecah, “kamu belum pernah serius mengenalkan perempuan manapun kepada kami sebelumnya. Tapi sekarang...”Matanya menatap tajam ke arah Nafeeza. “Kamu membawanya ke sini. Bukan sekadar makan siang biasa. Kamu ingin kami mengenalnya.”Rafa mengangguk perlahan.“Saya serius dengan Nafeeza, Pa.”Nafeeza menahan napas. Kata-kata itu sederhana, tapi maknanya menggelegak seperti ombak besar yang menghantam tenangnya permukaan air.Tuan Mahendra menyilangkan kaki deng
Beberapa hari kemudian, di sebuah lingkungan sederhana di pinggiran kota, sepasang suami istri lansia tampak sibuk membersihkan rumah mungil dengan pagar kayu dan halaman kecil di depannya. Mereka mengenalkan diri sebagai Pak Mahmud dan Bu May identitas baru yang mereka ciptakan.Tak ada yang tahu bahwa di balik kemeja lusuh dan sandal jepit Pak Mahmud tersembunyi nama besar Mahendra, pemilik Mahendra Corp, yang biasa tampil dalam jas mahal dan wawancara media. Tak ada pula yang menyangka bahwa Bu May, yang kini sibuk menjemur pakaian di halaman, dulunya mengenakan perhiasan berlian dan duduk di kursi undangan gala dinner.*****Di tempat lain..Cahaya matahari menembus lembut tirai jendela rumah kontrakan sederhana yang ditinggali Nafeeza dan putranya, Danis. Suara ketel air yang mendidih bersahutan dengan suara notifikasi dari ponselnya.Nafeeza segera mengusap tangannya dengan handuk kecil, lalu meraih ponsel dari meja makan. Nama Rafa muncul di layar. Ia segera menjawab, suaranya