Share

Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!
Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!
Penulis: Sri Pulungan

Bab 1

Penulis: Sri Pulungan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-27 09:53:38

"Garis dua?" gumamku lirih saat menatap test pack di tangan yang gemetar.

Senyumku merekah perlahan. Tanganku terangkat, mengusap perutku yang masih rata. Rasanya seperti mimpi. Setelah penantian panjang, akhirnya ada kehidupan kecil yang tumbuh di dalam rahimku. Aku membayangkan reaksi mas Arfan, apakah ia akan terkejut? Atau justru menangis haru, seperti di video-video kejutan kehamilan yang sering aku tonton?

Dengan hati-hati, kusimpan test pack itu di laci meja rias. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan kami yang keempat. Aku sudah menyiapkan semuanya: dekorasi sederhana di ruang makan, hidangan favorit Arfan, dan kue kecil bertuliskan "Happy 4th Anniversary." Malam ini, aku akan memberinya kabar paling bahagia dalam hidup kami.

Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Aku sempat ragu, tapi rasa penasaran mengalahkan keraguanku.

“Halo?” sapaku hati-hati.

Tak ada jawaban. Hanya suara napas berat di ujung sana, sebelum akhirnya terdengar suara pria, berat dan tegas.

“Kami dari rumah sakit. Cepat datang. Suami Ibu dalam kondisi sekarat.”

Dunia seketika berhenti. Jantungku berdenyut keras. Jemariku mencengkeram ponsel erat-erat.

"Apa maksud Anda? Siapa ini?" tanyaku terguncang.

Namun, sambungan sudah terputus.

Aku berdiri terpaku. Tubuhku mendadak terasa dingin. Ini pasti salah paham. Suamiku baik-baik saja, bukan? Baru tadi pagi kami berbicara, dan dia mengatakan akan pulang tepat waktu untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami.

Tanpa berpikir panjang, aku meraih kunci mobil dan berlari keluar. Langit malam tampak gelap, seolah mencerminkan ketakutanku yang semakin menyesakkan dada.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, pikiranku dipenuhi berbagai kemungkinan. Kecelakaan? Serangan jantung? Atau sesuatu yang lebih buruk? Aku menggeleng, mencoba menepis pikiran-pikiran buruk itu.

Setibanya di rumah sakit, aku langsung menuju bagian informasi. "Suamiku... suamiku dibawa ke sini. Namanya Arfan," ucapku tergesa-gesa.

Perawat di balik meja tampak ragu sebelum menunjuk ke arah ruang gawat darurat. "Dia ada di sana, tapi..."

Aku tak menunggu perawat itu menyelesaikan kalimatnya. Dengan langkah gemetar, aku berlari ke arah yang ditunjukkan. Saat aku sampai, seorang dokter baru saja keluar dari ruangan dengan wajah serius.

"Keluarga pasien?" tanyanya.

Aku mengangguk cepat. "Saya istrinya. Apa yang terjadi? Bagaimana kondisi suami saya?"

Dokter itu menghela napas. "Kami sudah melakukan yang terbaik. Suami Anda mengalami kecelakaan serius—mobilnya ditabrak dari samping. Dia kehilangan banyak darah dan..."

Aku menahan napas, menunggu kelanjutannya.

"Dia dalam kondisi kritis. Kami butuh persetujuan Anda untuk tindakan operasi segera."

Dunia terasa runtuh di hadapanku. Aku baru saja hendak memberinya kabar bahagia, tapi sekarang... aku dihadapkan pada ketakutan terbesar dalam hidupku.

Tanganku gemetar saat menandatangani surat persetujuan operasi. "Tolong... selamatkan dia," bisikku dengan suara nyaris tak terdengar.

Dokter mengangguk sebelum kembali masuk ke ruang operasi. Aku jatuh terduduk di kursi tunggu, air mata yang kutahan akhirnya jatuh.

Aku menatap kosong ke arah pintu ruang operasi yang tertutup rapat. Waktu seakan berjalan begitu lambat, setiap detik terasa seperti satu abad. Dalam hatiku, aku terus berdoa, memohon agar Arfan bisa selamat.

Aku ingin dia tetap di sisiku. Aku ingin dia tahu bahwa aku mengandung anak kami. Aku ingin dia melihat bayi kami lahir dan tumbuh bersama kami.

Air mataku semakin deras mengalir. Aku memeluk perutku yang masih rata, berusaha mencari ketenangan.

Tiba-tiba, seseorang duduk di sampingku. Aku menoleh dan melihat seorang pria paruh baya dengan wajah penuh simpati.

"Ibu istri Arfan?" tanyanya pelan.

Aku mengangguk, masih terisak.

"Saya Pak Rudi, polisi yang menangani kecelakaan suami ibu," lanjutnya.

Jantungku mencelos. Polisi?

"Ada yang ingin saya tanyakan, tapi saya mengerti kalau ibu masih syok. Jika ibu siap, tolong hubungi saya," katanya sambil menyerahkan kartu namanya.

Aku menatap kartu itu dengan tangan gemetar. "Apa yang sebenarnya terjadi pada suami saya, Pak?" tanyaku dengan suara serak.

Pak Rudi menghela napas. "Kami masih menyelidiki, tapi ada sesuatu yang janggal. Mobil suami ibu ditabrak oleh sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi.”

Aku menatap Pak Rudi dengan dada berdegup kencang. "Maksudnya... ini bukan kecelakaan biasa?" tanyaku, nyaris berbisik.

Pak Rudi tampak ragu sejenak sebelum mengangguk. "Ada kemungkinan begitu, Bu. Truk itu langsung kabur setelah kejadian, dan berdasarkan rekaman CCTV, terlihat seperti disengaja."

Darahku seolah membeku. Disengaja? ulangku dalam hati, hampir tak percaya.

"Kami belum bisa memastikan sepenuhnya, tapi dari rekaman yang kami lihat, truk itu tidak berusaha menghindar atau mengerem sebelum menabrak mobil suami ibu," jelasnya dengan nada serius.

Aku merasa lemas. Ini bukan sekadar kecelakaan, seseorang mungkin sengaja mencelakai Arfan. Tapi siapa?

Sebelum aku bisa mengajukan lebih banyak pertanyaan, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah letih. Aku langsung berdiri, nafasku tercekat.

"Dokter, bagaimana suami saya?" tanyaku dengan suara bergetar.

Dokter menatapku sejenak sebelum menghela napas. "Operasi berjalan lancar, tapi kondisi suami Anda masih kritis. Dia mengalami cedera parah di kepala dan pendarahan dalam yang cukup serius."

Aku menutup mulut, menahan isak tangis.

"Kami akan memindahkannya ke ICU. Dua puluh empat jam kedepan akan sangat menentukan," lanjut dokter itu.

Aku mengangguk lemah. Setidaknya Arfan masih hidup. Itu satu-satunya harapan yang bisa kupeluk saat ini.

Setelah Arfan dipindahkan ke ICU, aku diizinkan untuk melihatnya sebentar. Melihat tubuhnya yang terbaring lemah dengan selang dan alat medis yang menempel di mana-mana membuat hatiku semakin hancur.

Aku menggenggam tangannya yang dingin, menempelkan telapak tanganku ke punggung tangannya.

"Sayang, aku di sini," bisikku, menahan air mata yang terus menggenang.

Aku ingin memberitahunya tentang bayi kami, tentang kehidupan kecil yang tumbuh di dalam rahimku. Aku ingin dia tahu bahwa dia harus bertahan—untukku, untuk bayi kami.

Namun, saat itu juga, sebuah ketakutan baru muncul di benakku. Jika ini bukan kecelakaan biasa, ada seseorang di luar sana yang ingin mencelakai Arfan.

Dan jika mereka belum berhasil... apakah mereka akan mencoba lagi?

Aku mengeratkan genggamanku pada tangan Arfan yang dingin. Dalam hati, aku berjanji akan mencari tahu siapa yang melakukan ini. Aku tak akan diam saja.

Tapi sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, suara lirih terdengar dari depan pintu.

"Arfan... apa yang terjadi padamu, Nak?"

Aku menoleh. Itu suara ibu mertuaku.

Dan saat tatapannya bertemu denganku, wajahnya dipenuhi kemarahan.

"Dasar perempuan pembawa sial! Kalau terjadi sesuatu pada anakku, aku tidak akan memaafkanmu!"

Aku tertegun, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Mataku menatap ibu mertuaku yang berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh amarah dan kesedihan.

"Ibu..." suaraku lirih, nyaris tak terdengar.

Namun, tatapan ibu mertuaku semakin tajam. Ia melangkah mendekat, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. "Sejak Arfan menikah denganmu, hidupnya selalu penuh masalah! Dan sekarang... dia terbaring seperti ini! Ini semua salahmu!" suaranya bergetar, matanya basah oleh air mata.

Aku menelan ludah, mencoba memahami rasa sakit yang dirasakannya. Aku juga hancur. Aku juga takut kehilangan Arfan. Tapi dituduh sebagai penyebabnya? Hatiku terasa ditusuk.

"Ibu, saya juga ingin Arfan selamat. Saya tidak menginginkan semua ini terjadi..." suaraku bergetar.

"Kalau benar begitu, kenapa justru ada masalah terus? Kenapa sejak menikah denganmu, Arfan selalu dalam bahaya?" suaranya meninggi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 90

    Di saat yang sama, Yuliana juga mulai mengatur rencananya.Ia duduk bersama seorang pria berjas abu-abu, pengacara keluarga lamanya.“Buatkan saya dokumen hak perwalian,” katanya. “Saya ingin memastikan kalau sesuatu terjadi pada Arfan, hak asuh Danis tidak langsung jatuh ke tangan Nafeeza.”Pengacara itu tampak ragu. “Bukankah dia ibu kandungnya?”Yuliana tersenyum samar. “Justru karena itu. Saya tidak ingin cucu saya dibesarkan dalam ketidakseimbangan. Saya ingin antisipasi… sebelum semuanya terlambat.”“Maaf, Bu Yuliana, permintaan ini agak… sensitif. Secara hukum, Nafeeza adalah ibu kandung Danis. Kecuali ada bukti bahwa dia tidak layak, atau berbahaya bagi anaknya, hak asuh otomatis jatuh padanya jika sesuatu terjadi pada Pak Arfan,” kata sang pengacara.Yuliana menyipitkan mata. “Saya tidak minta kamu mengajari saya soal hukum. Saya minta kamu cari celahnya. Entah itu lewat evaluasi psikologis, atau rekayasa riwayat yang membuat dia terlihat tidak stabil.”Pengacara itu menarik

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 89

    Senyum licik itu belum sepenuhnya hilang dari wajah Nyonya Yuliana saat pelayan masuk membawakan teh hangat tambahan. Setelah Arfan pergi, suasana kembali hening, tapi di dalam pikirannya, rencana-rencana terus bergerak.“Perempuan kampung itu benar-benar keras kepala,” gumamnya sambil menyesap teh. “Tapi dia lupa siapa yang pegang kuasa sebenarnya.”Sudah sejak awal Yuliana tak pernah menyukai Nafeeza. Bukan karena pribadi atau sikapnya, melainkan karena asal-usulnya. Baginya, Nafeeza bukan pasangan sepadan untuk Arfan, pewaris keluarga pemilik jaringan properti dan logistik ternama.“Aku sudah buat dia keluar dari hidup Arfan sekali, dan aku bisa melakukannya lagi,” bisiknya dingin.Namun kali ini, segalanya berbeda. Nafeeza tidak lagi lemah. Ia berdiri tegak, berani menentang bahkan ketika tak punya apa-apa. Yuliana tahu, jika ia ingin merebut Danis, ia tak bisa melawan langsung. Ia harus bermain lebih licik, lebih halus. Jika ia bisa menyerang dari sisi citra, ia bisa menekan po

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 88

    Arfan menghela nafas panjang. “Mama nggak akan ikut campur lagi, aku pastikan itu.”“Seperti dulu kamu pastikan bahwa kamu akan selalu percaya padaku?” Nafeeza menatapnya tajam. “Aku sudah cukup dengar janji, Arfan. Sekarang aku cuma percaya pada tindakan.”Arfan terdiam. Wajahnya lelah, dipenuhi penyesalan. Tangannya merogoh saku jaket, lalu mengeluarkan sebuah amplop coklat yang sudah agak kusut.“Apa ini?” tanya Nafeeza curiga.“Sesuatu yang harusnya jadi milikmu sejak lama.” Ia menyodorkan amplop itu. “Aku sudah serahkan pengalihan nama rumah lama kita atas namamu. Dan juga beberapa aset yang dulu… kamu tinggalkan. Aku mau Danis punya masa depan lebih baik.”Nafeeza menatap amplop itu lama. Ia tak menyentuhnya.“Kamu pikir uang dan rumah bisa menyelesaikan semua ini?” suaranya nyaris berbisik. “Kamu pikir itu bisa menghapus lima tahun hidupku yang terbuang?”“Tidak,” jawab Arfan cepat. “Aku tahu itu nggak cukup. Tapi ini satu-satunya cara yang kupunya untuk menunjukkan bahwa aku s

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 87

    Rafa mengangguk mantap, walau matanya tak menatap langsung ke arah Nafeeza.“Serius. Papa nggak suka simpan makanan mahal. Katanya, ‘kalau nggak dimakan, mubazir. Kalau dimakan, takut darah tinggi.” Rafa menirukan suara ayahnya, berusaha terdengar santai.Nafeeza mengangguk pelan, meski wajahnya belum sepenuhnya lepas dari rasa curiga. Tapi sebelum ia bisa berkata lebih jauh, mobil Rafa melambat, lalu berhenti di ujung gang kecil yang remang.“Aku parkir di sini aja, ya. Gangnya sempit,” ujar Rafa.Namun belum sempat Nafeeza menjawab, Rafa menegang. Tatapannya membeku menatap sesuatu di kejauhan.Nafeeza ikut menoleh.Sebuah mobil hitam, terparkir di sisi jalan, sedikit tersembunyi di balik bayangan pepohonan.Nafeeza membeku.Itu mobil yang sangat dikenalnya.Mobil Arfan.“Rafa…” Nafeeza bersuara lirih, nadanya gemetar. “Itu…”“Aku tahu,” potong Rafa pelan. Tangannya menggenggam kemudi lebih erat.Dari kejauhan, bayangan seorang pria tampak berdiri di sisi mobil, menyandarkan tubuhny

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 86

    Sore merambat perlahan menjadi senja. Cahaya keemasan menembus kisi jendela, jatuh lembut menimpa wajah Nafeeza yang tetap tenang, walau jantungnya berdegup cepat. Di sampingnya, Rafa duduk dengan sikap waspada, bersandar santai namun siap bergerak bila sesuatu yang tak diinginkan tiba-tiba terjadi.Tuan Mahendra duduk tegak, tangan terlipat di pangkuan. Ada keheningan yang tak disengaja, tapi penuh arti, seolah masing-masing dari mereka tengah menimbang langkah yang akan diambil berikutnya.“Rafa,” suara berat Mahendra akhirnya pecah, “kamu belum pernah serius mengenalkan perempuan manapun kepada kami sebelumnya. Tapi sekarang...”Matanya menatap tajam ke arah Nafeeza. “Kamu membawanya ke sini. Bukan sekadar makan siang biasa. Kamu ingin kami mengenalnya.”Rafa mengangguk perlahan.“Saya serius dengan Nafeeza, Pa.”Nafeeza menahan napas. Kata-kata itu sederhana, tapi maknanya menggelegak seperti ombak besar yang menghantam tenangnya permukaan air.Tuan Mahendra menyilangkan kaki deng

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 85

    Beberapa hari kemudian, di sebuah lingkungan sederhana di pinggiran kota, sepasang suami istri lansia tampak sibuk membersihkan rumah mungil dengan pagar kayu dan halaman kecil di depannya. Mereka mengenalkan diri sebagai Pak Mahmud dan Bu May identitas baru yang mereka ciptakan.Tak ada yang tahu bahwa di balik kemeja lusuh dan sandal jepit Pak Mahmud tersembunyi nama besar Mahendra, pemilik Mahendra Corp, yang biasa tampil dalam jas mahal dan wawancara media. Tak ada pula yang menyangka bahwa Bu May, yang kini sibuk menjemur pakaian di halaman, dulunya mengenakan perhiasan berlian dan duduk di kursi undangan gala dinner.*****Di tempat lain..Cahaya matahari menembus lembut tirai jendela rumah kontrakan sederhana yang ditinggali Nafeeza dan putranya, Danis. Suara ketel air yang mendidih bersahutan dengan suara notifikasi dari ponselnya.Nafeeza segera mengusap tangannya dengan handuk kecil, lalu meraih ponsel dari meja makan. Nama Rafa muncul di layar. Ia segera menjawab, suaranya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status