Share

Bab 3

Author: Sri Pulungan
last update Last Updated: 2025-03-27 11:33:45

"Baik, di mana saya bisa menemui Bapak?" tanyaku tegas.

"Datang saja ke kantor polisi," jawabnya.

Aku mengangguk, meski tahu Pak Rudi tidak bisa melihatnya. Setelah menutup telepon, aku menatap rumah sakit di depanku. Perasaan campur aduk memenuhi dadaku. Aku ingin kembali masuk, ingin berada di sisi Mas Arfan, tapi kata-kata ibu mertuaku masih menggema di kepalaku. Aku telah diusir, dan jika aku nekat kembali, mereka tidak akan membiarkanku mendekat.

Tanganku refleks menyentuh perutku. Aku tidak bisa tinggal diam. Jika ada seseorang yang memang ingin mencelakai suamiku, aku harus mengetahui kebenarannya.

Dengan langkah cepat, aku menuju pinggir jalan dan menghentikan taksi pertama yang melintas. Begitu duduk di dalamnya, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, jantungku terus berdebar kencang, dan rasa cemas tak kunjung surut.

Perjalanan terasa begitu lama, seolah waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Namun akhirnya, aku tiba di kantor polisi. Pak Rudi sudah menunggu di depan gedung dengan ekspresi serius.

"Terima kasih sudah datang," katanya begitu aku menghampirinya. "Mari kita bicara di dalam."

Aku mengikutinya masuk ke sebuah ruangan kecil yang tampak seperti ruang penyelidikan. Pak Rudi menutup pintu lalu duduk di seberangku.

"Apa yang Bapak temukan?" tanyaku langsung, tak sabar menunggu.

Pak Rudi mengeluarkan beberapa lembar dokumen dan meletakkannya di atas meja. "Kami menemukan rekaman CCTV dari jalan sebelum kecelakaan terjadi. Truk yang menabrak mobil suami Anda bukan sekadar kebetulan. Dari rekaman ini, terlihat bahwa truk tersebut sudah mengikuti mobil Arfan beberapa kilometer sebelum kejadian. Pengemudinya juga tidak menunjukkan tanda-tanda mengerem atau mencoba menghindar."

Aku menggigit bibir, hatiku mencelos. "Jadi… ini benar-benar percobaan pembunuhan?"

"Itu kemungkinan besar," Pak Rudi mengangguk. "Tapi bukan itu saja."

Aku menatapnya penuh tanya, menunggu penjelasannya.

"Kami menelusuri lebih jauh dan menemukan sesuatu yang mencurigakan." Pak Rudi menyodorkan selembar foto. Aku mengambilnya dengan tangan gemetar. Dalam foto itu, terlihat seorang pria berdiri di dekat truk yang menghantam mobil Mas Arfan. Wajahnya agak buram, tapi aku merasa pernah melihatnya sebelumnya.

Aku mengernyit, mencoba mengingat. Lalu, dadaku serasa diremas begitu menyadarinya. "Ini… ini sopir pribadi keluarga suamiku," bisikku, mataku membelalak.

Pak Rudi mengangguk pelan. "Kami juga berpikir begitu. Sopir ini sudah bekerja cukup lama untuk keluarga Arfan, bukan?"

Aku mengangguk cepat. "Ya, dia sudah bekerja sejak Mas Arfan masih remaja."

Aku menggigit bibir, mencoba mencerna informasi ini. Jika benar sopir keluarga suamiku terlibat, maka ini bukan hanya sekadar kecelakaan.

"Apakah ada seseorang dalam keluarga yang mungkin menyuruhnya melakukan ini?" tanya Pak Rudi hati-hati.

Pikiran itu membuatku tercekat. Aku menatap Pak Rudi dengan ngeri.

Apakah mungkin… ibu mertuaku?

Aku tahu ia membenciku, tapi apakah ia benar-benar tega mencelakai anaknya sendiri hanya untuk menyingkirkanku? Atau… ada orang lain yang memiliki kepentingan tersembunyi?

Aku menarik napas dalam-dalam. Apa pun jawabannya, satu hal yang pasti: aku harus menemukan kebenaran sebelum semuanya terlambat.

****

Aku kembali ke rumah sakit tanpa membuang waktu. Aku harus meminta penjelasan pada ibu mertuaku.

Begitu tiba, aku berjalan cepat menuju ruang perawatan Mas Arfan. Namun, baru beberapa langkah mendekati ICU, dua pria berbadan tegap—pengawal yang tadi menyeretku keluar—langsung menghadang.

"Nyonya tidak diizinkan masuk," kata salah satu dari mereka dengan nada dingin.

Aku mengepalkan tangan, menahan amarah dan frustrasi. "Aku istrinya! Aku berhak melihat suamiku!"

"Perintah dari Ibu," jawab pengawal itu tanpa ekspresi.

Dadaku terasa sesak. Dari celah pintu ICU yang terbuka sedikit, aku bisa melihat Mas Arfan masih terbaring lemah dengan selang oksigen, tak sadarkan diri. Air mataku hampir tumpah, tapi aku meneguhkan hati.

"Baik," kataku akhirnya, menahan getaran di suaraku. "Aku ingin bicara dengan ibu mertuaku. Sekarang."

Para pengawal saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk. "Ikut kami."

Aku mengikuti mereka menuju ruangan khusus di lantai atas. Begitu pintu terbuka, ibu mertuaku sudah duduk di sofa dengan elegan, wajahnya penuh ketegasan.

"Apa lagi yang kau inginkan?" tanyanya dingin begitu melihatku.

Aku menatapnya lurus. "Aku ingin bertanya sesuatu pada Ibu," suaraku bergetar, tapi aku tidak boleh goyah. "Tentang kecelakaan Mas Arfan."

Ekspresi ibu mertuaku tetap tenang, tapi aku melihat sedikit perubahan di matanya. "Apa maksudmu?"

Aku maju selangkah, menggenggam foto yang tadi diberikan Pak Rudi. "Apakah Ibu mengenali orang ini?" tanyaku, menyodorkan foto sopir keluarga.

Ia melirik foto itu sekilas, lalu mendengus. "Tentu saja. Dia sopir keluarga kami. Kenapa kau bertanya tentang dia?"

Aku menelan ludah. "Karena dia ada di sekitar lokasi kejadian sebelum kecelakaan."

Sekilas, ada bayangan terkejut di wajah ibu mertuaku. Namun, dalam sekejap, ia kembali tenang. "Lalu? Kau menuduhku?"

"Aku hanya ingin tahu," kataku tegas. "Apakah Ibu tahu sesuatu yang bisa membantu penyelidikan?"

Ia menyipitkan mata, menatapku tajam. "Walaupun aku tahu, kenapa aku harus memberitahumu?"

Darahku mendidih. "Karena ini tentang nyawa anak Ibu! Mas Arfan hampir mati!"

Tamparan keras mendarat di pipiku. Aku terhuyung, tapi tetap berdiri tegak.

"Jangan berani-berani menguliahi aku!" suaranya bergetar oleh emosi. "Arfan adalah anakku! Aku yang lebih tahu apa yang terbaik untuknya!"

Pipiku masih terasa panas akibat tamparannya. Aku ingin berteriak, ingin melawan, tapi aku tahu itu tidak akan ada gunanya.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Kalau begitu, buktikan, Bu," kataku lirih tapi tegas. "Kalau Ibu benar-benar mencintai Mas Arfan, maka Ibu juga pasti ingin tahu siapa yang mencoba membunuhnya."

“Tentu saja aku ingin tahu. Aku akan pastikan pelakunya dihukum seberat-beratnya. Dan jangan terlalu ikut campur, biarkan polisi yang menyelidikinya,” katanya dengan tegas.

Aku mengepalkan tangan, menahan emosi. "Kalau begitu, izinkan aku membantu penyelidikan ini."

Ibu mertuaku mendengus. "Kau bukan siapa-siapa. Dan jangan mengacaukan penyelidikan polisi.”

Aku menatapnya tajam. "Aku istrinya. Aku berhak mencari tahu siapa yang mencoba membunuhnya."

Mata ibu mertuaku menyipit, sorotnya penuh kewaspadaan. "Hati-hati dengan ucapanmu."

"Aku hanya mencari kebenaran," balasku dingin.

Sejenak, ia terdiam. Lalu, dengan suara lebih tenang, ia berkata, "Baik. Jika kau ingin mencari tahu, silahkan.”

Begitu keluar dari ruangan, aku merasakan udara di luar terasa lebih berat. Aku tidak hanya harus mencari tahu siapa yang berusaha mencelakai Mas Arfan, tetapi juga menghadapi kemungkinan bahwa orang-orang terdekatnya, termasuk keluarganya sendiri, terlibat dalam rencana jahat ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 166

    Di ruang gawat darurat, tim medis langsung mengambil alih Nafeeza. Rafa harus menunggu di luar, menggenggam erat tangan Danis yang masih menangis tersedu di pelukannya. Waktu terasa berjalan lambat, setiap detik seperti siksaan. Setelah beberapa jam menunggu dalam cemas, akhirnya seorang dokter keluar dengan wajah serius namun sedikit lebih tenang. DOKTER JAGA (tegas, menatap Rafa): “Syukurlah, luka di kepala Ibu Nafeeza berhasil kami tangani. Ia sempat kehilangan banyak darah, tapi sekarang kondisinya stabil. Kami akan tetap observasi beberapa hari.” Rafa menghela napas panjang, hampir terjatuh karena lega. Ia menunduk mencium kening Danis. RAFA (lirih, parau): “Dengar itu, Nak… Mama selamat…” Tak lama, perawat memberi izin untuk menjenguk sebentar. Rafa masuk ke ruang perawatan, hatinya bergetar saat melihat Nafeeza berbaring dengan infus di tangan, wajahnya pucat namun damai. Rafa duduk di kursi samping ranjang, meraih tangan istrinya perlahan. RAFA (berbisik): “Feeza… aku d

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 165

    Tak lama setelah Rafa menutup telepon, suara sirine terdengar mendekat. Dua mobil polisi berhenti di depan gerbang besar rumah keluarga Mahendra. Para satpam langsung membukakan jalan.Beberapa petugas berseragam masuk, dipimpin seorang perwira muda yang tampak tegas.POLISI (serius, menatap ruangan): “Kami mendapat laporan. Mana yang bernama Arfan?”Arfan tersentak, wajahnya memucat sepersekian detik, lalu buru-buru menegakkan dada.ARFAN (mencoba tenang, menyeringai): “Ya, saya Arfan. Dan ini semua jebakan. Kalian tidak tahu siapa Rafa sebenarnya.”Rafa melangkah ke depan, wajahnya dingin.RAFA (tegas): “Pak, tolong amankan dia untuk diperiksa. Hasil laboratorium jelas menunjukkan ada racun dalam darah istri saya. Kami curiga dialah dalangnya.”Polisi mengangguk, dua petugas maju hendak menahan Arfan. Namun tiba-tiba Nafeeza berdiri dari sofa, tubuhnya masih gemetar.NAFEEZA (panik, berteriak): “Jangan! Jangan bawa Arfan! Dia tidak bersalah!”Semua orang terkejut. Rafa menoleh denga

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 164

    Malam itu, setelah berbicara dengan ibunya, Arfan tak bisa lagi duduk diam. Ia nekat mengendarai mobil menuju kediaman keluarga Mahendra. Dengan wajah dingin penuh tekad, ia turun di depan pagar besar rumah itu.SATPAM (cepat menghadang, tegas): “Maaf, Pak Arfan. Sesuai instruksi, Anda tidak diizinkan masuk.”Arfan mendengus, menatap garang ke arah pagar.ARFAN (sinis, menggertak): “Kalian pikir bisa menghalangi aku?”Rafa yang mendengar kegaduhan segera turun ke halaman. Ia berdiri tegak di balik satpam, wajahnya penuh ketegasan.RAFA (dengan suara dingin, menekan): “Satpam, tahan dia. Jangan biarkan dia masuk satu langkah pun. Ini rumahku, dan Feeza berada di sini sebagai istriku yang sah.”Arfan tersenyum miring, matanya menatap tajam ke arah Rafa.ARFAN (mengejek): “Kau boleh punya surat nikah, Rafa… tapi hatinya tetap padaku. Percaya saja, dia tidak akan pernah mengakuimu.”Belum sempat Rafa membalas, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari lantai dua. Nafeeza muncul di balkon kamar

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 163

    Dokter Samuel membersihkan tenggorokannya pelan, berusaha mengembalikan fokus ke pemeriksaan.DOKTER SAMUEL (lembut, menenangkan): “Ny. Nafeeza, izinkan saya memeriksa sebentar, ya. Hanya detak jantung, tekanan darah, dan kondisi umum. Tidak ada jarum suntik, tidak ada obat. Semuanya di depan Anda.”Nafeeza masih ragu, namun saat Danis menggenggam tangannya erat, hatinya luluh sedikit.DANIS (polos, manja): “Mama… biarin dokter periksa, ya? Biar Mama cepat sembuh.”Nafeeza terdiam, lalu menghela napas panjang. Ia mengangguk pelan, tapi tatapannya tetap penuh kewaspadaan.NAFEEZA (datar, tapi menyerah): “Baiklah. Tapi aku akan perhatikan setiap gerakanmu, Dokter.”Dokter Samuel tersenyum tipis, lalu mulai memeriksa dengan hati-hati. Ia menempelkan stetoskop ke dada Nafeeza, menghitung detak jantung, kemudian mengukur tekanan darah. Semuanya ia lakukan dengan gerakan perlahan, agar Nafeeza tidak semakin panik.Beberapa menit berlalu. Pemeriksaan selesai tanpa hambatan.DOKTER SAMUEL (me

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 162

    Nafeeza menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Tubuhnya terasa hangat di rumah itu, ada rasa akrab yang membuatnya ingin bersandar dan percaya, namun ingatannya menolak. Ia hanya mengingat satu hal dengan jelas: Arfan adalah suaminya. Semua yang lain, Rafa, rumah ini, masih terasa asing, bahkan menakutkan dalam ketidakpastian.NAFEEZA (dengan suara dingin tapi bergetar): “Rafa… aku tidak mempercayaimu. Aku… aku harus kembali ke Arfan. Kau… kau hanya pura-pura peduli, kan?”Rafa menatap istrinya, hatinya perih melihat kegelisahan itu. RAFA (tenang, menahan emosi): “Aku tidak berpura-pura, Feeza… Tidak pernah. Dari dulu sampai sekarang, semua yang kulakukan, menunggu, mencari, melindungimu, semua itu nyata. Kau boleh lupa padaku, tapi hatiku tidak pernah lupa padamu.”Nafeeza menatap Rafa sebentar, tubuhnya merasakan kenyamanan aneh di dekatnya, seolah hatinya mengenali sesuatu yang lama terlupakan. Tapi akalnya terus memaksa, ia harus tetap waspada. Ia tahu Rafa tidak akan

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 161

    Suasana di depan rumah semakin memanas. Rafa berdiri tegak dengan wajah penuh amarah yang ditahan. Para satpam masih menutup akses, sementara Ny. Prameswari mulai terisak karena tak tahan melihat putranya dihalangi untuk menjemput istri sahnya.Beberapa menit kemudian, suara sirine terdengar dari kejauhan. Dua mobil polisi berhenti di depan pagar rumah Arfan. Dari dalam, seorang perwira polisi turun dengan sikap tegas, membawa berkas perintah pengadilan yang sudah ditandatangani.POLISI (lantang, menunjukkan surat):“Ini surat perintah resmi dari pengadilan negeri. Atas dasar laporan dan dokumen sah, kami diperintahkan untuk mengevakuasi Ny. Nafeeza Mahendra dari kediaman ini dan menyerahkannya ke wali sah sekaligus suaminya, Tuan Rafa Mahendra.”Kepala keamanan menelan ludah, jelas bingung. Ia melirik ke arah rumah besar itu, menunggu instruksi.RAFA (dengan suara tegas, penuh tekanan): “Kalian dengar sendiri. Ini bukan perintahku, ini perintah hukum. Jika kalian tetap menghalangi, k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status