Share

Bab 4

Author: Sri Pulungan
last update Last Updated: 2025-03-27 11:33:51

Aku duduk di depan rumah sakit, menatap kosong ke arah lalu lintas yang ramai. Sudah tiga hari berlalu, dan Mas Arfan masih belum sadar. Namun, yang lebih menyakitkan adalah ibu mertuaku yang terus melarangku untuk menemuinya.

Setiap kali aku mencoba masuk, para pengawal selalu menghadang dengan alasan yang sama, "Perintah Ibu." Aku tahu ibu mertuaku tidak pernah menyukaiku, tapi aku tak menyangka ia bisa setega ini.

Aku menghela nafas panjang, berusaha menenangkan diri. Aku harus menemukan cara untuk menemui Mas Arfan, apapun resikonya. Aku tidak bisa terus menunggu sementara kebenaran tentang kecelakaannya masih menggantung di udara.

Ponselku bergetar. Aku segera meraihnya dan melihat nama Pak Rudi di layar. Tanpa ragu, aku menjawab.

"Ada kabar, Pak?" tanyaku langsung.

"Kami sudah menemukan sopir itu. Setelah penyelidikan, tidak ada hal-hal yang mencurigakan."

Aku terdiam sejenak, mencerna kata-kata Pak Rudi. "Tidak ada yang mencurigakan?" ulangku, memastikan aku tidak salah dengar.

"Ya," jawab Pak Rudi. "Sopir itu memang berada di lokasi kejadian, tapi dia mengaku tidak tahu apa-apa. Dia hanya kebetulan ada di sana setelah kecelakaan terjadi."

Aku mengerutkan kening. "Tapi rekaman CCTV menunjukkan truk itu mengikuti mobil Mas Arfan sebelum kecelakaan. Itu bukan kebetulan, Pak."

Pak Rudi menghela napas. "Kami tetap menyelidikinya, tapi sejauh ini tidak ada bukti yang cukup untuk menuduh siapa pun."

Frustrasi menyelimuti pikiranku. Ini tidak masuk akal. Terlalu banyak kejanggalan, dan aku yakin ada seseorang yang berusaha menutupi kebenaran.

"Apa aku bisa bicara langsung dengan sopir itu?" tanyaku.

Pak Rudi terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku akan mencoba mengaturnya. Tapi sementara itu, sebaiknya kamu tetap waspada. Jika memang ada seseorang yang ingin mencelakai suamimu, bukan tidak mungkin kamu juga menjadi target berikutnya."

Aku menelan ludah. Aku tahu risiko yang kuhadapi, tapi aku tidak akan mundur.

"Baik, Pak. Tolong kabari saya secepatnya jika ada perkembangan."

Setelah menutup telepon, aku kembali menatap rumah sakit di depanku. Aku tidak bisa hanya duduk diam menunggu. Aku harus bertindak.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benakku—menyamar sebagai petugas kebersihan untuk masuk ke ruang perawatan Mas Arfan.

Aku segera berdiri dan berjalan ke area belakang rumah sakit, tempat para karyawan keluar-masuk. Aku tahu ini berisiko, tapi aku tidak punya pilihan lain.

Di dekat tempat parkir, aku melihat seorang petugas kebersihan perempuan sedang beristirahat, asyik bermain ponsel. Seragamnya longgar, dengan topi dan masker yang sedikit melorot.

Aku mendekatinya dengan hati-hati. "Mbak," sapaku pelan.

Ia mendongak, menatapku dengan curiga. "Iya, ada apa?"

Aku menggigit bibir, lalu menarik napas dalam-dalam. "Saya… benar-benar butuh bantuan Mbak. Saya harus masuk ke dalam rumah sakit, tapi saya dilarang. Bisa tolong pinjamkan seragam Mbak sebentar saja?"

Perempuan itu mengernyit. "Hah? Kenapa saya harus bantu kamu?"

Aku merogoh dompet dan mengeluarkan sejumlah uang. "Tolong, ini penting. Saya hanya butuh sebentar. Mbak bisa ambil ini sebagai gantinya."

Matanya melirik uang di tanganku, lalu kembali menatapku ragu. Setelah beberapa detik berpikir, akhirnya dia menghela napas. "Baiklah, tapi cepat. Saya nggak mau ketahuan."

Aku segera mengambil seragamnya dan mengenakannya di toilet karyawan. Setelah memasang topi dan masker dengan benar, aku menatap bayanganku di cermin. Aku hampir tidak mengenali diriku sendiri.

Dengan langkah mantap, aku mendorong troli pembersih dan masuk ke dalam rumah sakit. Aku harus bertindak alami, tidak boleh terlihat mencurigakan.

Saat melewati lorong menuju ICU, aku melihat dua pengawal ibu mertuaku masih berjaga di depan pintu. Aku menundukkan kepala, berusaha tidak menarik perhatian.

Saat mereka sedikit lengah, aku mendorong troli ke dekat ruangan dan membuka pintu pelan-pelan. Aku berhasil masuk!

Aku berjalan mendekati ranjang Mas Arfan. Hatiku mencelos melihatnya masih terbaring lemah dengan berbagai selang medis terpasang di tubuhnya. Wajahnya pucat, nafasnya teratur dengan bantuan alat oksigen.

"Mas…" bisikku, air mata menggenang di mataku. Aku menggenggam tangannya, merasakan kehangatannya.

Belum sempat aku berkata apa-apa lagi, suara langkah kaki terdengar mendekat. Panik, aku buru-buru bersembunyi di balik tirai kamar perawatan.

Pintu terbuka.

"Apa ada yang masuk?" suara ibu mertuaku terdengar dingin dan tajam.

Jantungku berdegup kencang. Aku menahan napas, berharap tidak ketahuan.

Sesaat, ruangan hening. Aku bisa mendengar nafas sendiri yang kutahan dalam-dalam. Dari celah tirai, aku melihat ibu mertuaku melangkah mendekat ke ranjang Mas Arfan, diikuti salah satu pengawalnya.

"Pastikan tidak ada orang yang berani macam-macam," ujarnya dingin.

"Baik, Bu," jawab pengawal itu tegas. Matanya menyapu setiap sudut ruangan, membuatku semakin menundukkan kepala di balik tirai.

Ibu mertuaku menghela napas. "Arfan… Kamu harus segera sadar. Aku tidak bisa membiarkan perempuan itu kembali masuk ke dalam hidupmu. Dia hanya membawa sial."

Dadaku mencengkeram sakit. Aku sudah tahu beliau membenciku, tapi mendengarnya langsung begitu menusuk hati.

Tak lama kemudian, seorang dokter masuk dan menyampaikan rencana pemindahan Mas Arfan ke rumah sakit luar negeri—tentu saja dengan biaya yang sangat mahal. Sebagai ibu rumah tangga, aku tak mungkin mampu membayarnya.

Aku menahan isak yang hampir lolos. Rumah sakit luar negeri? Itu berarti aku akan semakin sulit menemui Mas Arfan. Jika dia dibawa tanpa sepengetahuanku, aku mungkin tak akan pernah tahu kebenaran tentang kecelakaannya.

"Ini keputusan terbaik untuk Arfan," suara ibu mertuaku terdengar mantap. "Aku sudah mengurus semua administrasinya. Besok pagi, dia akan dibawa pergi."

Besok pagi?!

Panik melandaku. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Aku harus bertindak sebelum semuanya terlambat.

Setelah ibu mertuaku dan dokter pergi, aku keluar dari persembunyian dan kembali ke sisi ranjang Mas Arfan. Aku menggenggam tangannya erat.

"Mas, aku di sini… Aku nggak akan biarkan mereka memisahkan kita."

Jari-jari Mas Arfan tiba-tiba bergerak lemah. Air mataku menetes tanpa bisa kucegah.

Aku mengusap wajahnya dengan lembut. "Aku janji, Mas. Aku akan cari tahu siapa yang melakukan ini."

Aku tahu waktu tidak berpihak padaku. Besok pagi Mas Arfan akan dibawa pergi, dan aku hanya punya beberapa jam untuk bertindak.

Dengan tekad yang membara, aku berbisik, "Aku akan kembali, Mas. Aku akan cari cara."

Lalu, aku melangkah keluar dari ruangan dengan satu tujuan, mencegah kepergian Mas Arfan, bagaimanapun caranya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 166

    Di ruang gawat darurat, tim medis langsung mengambil alih Nafeeza. Rafa harus menunggu di luar, menggenggam erat tangan Danis yang masih menangis tersedu di pelukannya. Waktu terasa berjalan lambat, setiap detik seperti siksaan. Setelah beberapa jam menunggu dalam cemas, akhirnya seorang dokter keluar dengan wajah serius namun sedikit lebih tenang. DOKTER JAGA (tegas, menatap Rafa): “Syukurlah, luka di kepala Ibu Nafeeza berhasil kami tangani. Ia sempat kehilangan banyak darah, tapi sekarang kondisinya stabil. Kami akan tetap observasi beberapa hari.” Rafa menghela napas panjang, hampir terjatuh karena lega. Ia menunduk mencium kening Danis. RAFA (lirih, parau): “Dengar itu, Nak… Mama selamat…” Tak lama, perawat memberi izin untuk menjenguk sebentar. Rafa masuk ke ruang perawatan, hatinya bergetar saat melihat Nafeeza berbaring dengan infus di tangan, wajahnya pucat namun damai. Rafa duduk di kursi samping ranjang, meraih tangan istrinya perlahan. RAFA (berbisik): “Feeza… aku d

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 165

    Tak lama setelah Rafa menutup telepon, suara sirine terdengar mendekat. Dua mobil polisi berhenti di depan gerbang besar rumah keluarga Mahendra. Para satpam langsung membukakan jalan.Beberapa petugas berseragam masuk, dipimpin seorang perwira muda yang tampak tegas.POLISI (serius, menatap ruangan): “Kami mendapat laporan. Mana yang bernama Arfan?”Arfan tersentak, wajahnya memucat sepersekian detik, lalu buru-buru menegakkan dada.ARFAN (mencoba tenang, menyeringai): “Ya, saya Arfan. Dan ini semua jebakan. Kalian tidak tahu siapa Rafa sebenarnya.”Rafa melangkah ke depan, wajahnya dingin.RAFA (tegas): “Pak, tolong amankan dia untuk diperiksa. Hasil laboratorium jelas menunjukkan ada racun dalam darah istri saya. Kami curiga dialah dalangnya.”Polisi mengangguk, dua petugas maju hendak menahan Arfan. Namun tiba-tiba Nafeeza berdiri dari sofa, tubuhnya masih gemetar.NAFEEZA (panik, berteriak): “Jangan! Jangan bawa Arfan! Dia tidak bersalah!”Semua orang terkejut. Rafa menoleh denga

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 164

    Malam itu, setelah berbicara dengan ibunya, Arfan tak bisa lagi duduk diam. Ia nekat mengendarai mobil menuju kediaman keluarga Mahendra. Dengan wajah dingin penuh tekad, ia turun di depan pagar besar rumah itu.SATPAM (cepat menghadang, tegas): “Maaf, Pak Arfan. Sesuai instruksi, Anda tidak diizinkan masuk.”Arfan mendengus, menatap garang ke arah pagar.ARFAN (sinis, menggertak): “Kalian pikir bisa menghalangi aku?”Rafa yang mendengar kegaduhan segera turun ke halaman. Ia berdiri tegak di balik satpam, wajahnya penuh ketegasan.RAFA (dengan suara dingin, menekan): “Satpam, tahan dia. Jangan biarkan dia masuk satu langkah pun. Ini rumahku, dan Feeza berada di sini sebagai istriku yang sah.”Arfan tersenyum miring, matanya menatap tajam ke arah Rafa.ARFAN (mengejek): “Kau boleh punya surat nikah, Rafa… tapi hatinya tetap padaku. Percaya saja, dia tidak akan pernah mengakuimu.”Belum sempat Rafa membalas, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari lantai dua. Nafeeza muncul di balkon kamar

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 163

    Dokter Samuel membersihkan tenggorokannya pelan, berusaha mengembalikan fokus ke pemeriksaan.DOKTER SAMUEL (lembut, menenangkan): “Ny. Nafeeza, izinkan saya memeriksa sebentar, ya. Hanya detak jantung, tekanan darah, dan kondisi umum. Tidak ada jarum suntik, tidak ada obat. Semuanya di depan Anda.”Nafeeza masih ragu, namun saat Danis menggenggam tangannya erat, hatinya luluh sedikit.DANIS (polos, manja): “Mama… biarin dokter periksa, ya? Biar Mama cepat sembuh.”Nafeeza terdiam, lalu menghela napas panjang. Ia mengangguk pelan, tapi tatapannya tetap penuh kewaspadaan.NAFEEZA (datar, tapi menyerah): “Baiklah. Tapi aku akan perhatikan setiap gerakanmu, Dokter.”Dokter Samuel tersenyum tipis, lalu mulai memeriksa dengan hati-hati. Ia menempelkan stetoskop ke dada Nafeeza, menghitung detak jantung, kemudian mengukur tekanan darah. Semuanya ia lakukan dengan gerakan perlahan, agar Nafeeza tidak semakin panik.Beberapa menit berlalu. Pemeriksaan selesai tanpa hambatan.DOKTER SAMUEL (me

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 162

    Nafeeza menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Tubuhnya terasa hangat di rumah itu, ada rasa akrab yang membuatnya ingin bersandar dan percaya, namun ingatannya menolak. Ia hanya mengingat satu hal dengan jelas: Arfan adalah suaminya. Semua yang lain, Rafa, rumah ini, masih terasa asing, bahkan menakutkan dalam ketidakpastian.NAFEEZA (dengan suara dingin tapi bergetar): “Rafa… aku tidak mempercayaimu. Aku… aku harus kembali ke Arfan. Kau… kau hanya pura-pura peduli, kan?”Rafa menatap istrinya, hatinya perih melihat kegelisahan itu. RAFA (tenang, menahan emosi): “Aku tidak berpura-pura, Feeza… Tidak pernah. Dari dulu sampai sekarang, semua yang kulakukan, menunggu, mencari, melindungimu, semua itu nyata. Kau boleh lupa padaku, tapi hatiku tidak pernah lupa padamu.”Nafeeza menatap Rafa sebentar, tubuhnya merasakan kenyamanan aneh di dekatnya, seolah hatinya mengenali sesuatu yang lama terlupakan. Tapi akalnya terus memaksa, ia harus tetap waspada. Ia tahu Rafa tidak akan

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 161

    Suasana di depan rumah semakin memanas. Rafa berdiri tegak dengan wajah penuh amarah yang ditahan. Para satpam masih menutup akses, sementara Ny. Prameswari mulai terisak karena tak tahan melihat putranya dihalangi untuk menjemput istri sahnya.Beberapa menit kemudian, suara sirine terdengar dari kejauhan. Dua mobil polisi berhenti di depan pagar rumah Arfan. Dari dalam, seorang perwira polisi turun dengan sikap tegas, membawa berkas perintah pengadilan yang sudah ditandatangani.POLISI (lantang, menunjukkan surat):“Ini surat perintah resmi dari pengadilan negeri. Atas dasar laporan dan dokumen sah, kami diperintahkan untuk mengevakuasi Ny. Nafeeza Mahendra dari kediaman ini dan menyerahkannya ke wali sah sekaligus suaminya, Tuan Rafa Mahendra.”Kepala keamanan menelan ludah, jelas bingung. Ia melirik ke arah rumah besar itu, menunggu instruksi.RAFA (dengan suara tegas, penuh tekanan): “Kalian dengar sendiri. Ini bukan perintahku, ini perintah hukum. Jika kalian tetap menghalangi, k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status