Share

Bab 5

Author: Sri Pulungan
last update Huling Na-update: 2025-03-27 11:33:56

Aku keluar dari rumah sakit dengan hati penuh kecamuk. Besok pagi, Mas Arfan akan dibawa pergi, dan aku harus mencari cara untuk mencegahnya. Aku tahu, melawan ibu mertuaku secara langsung adalah hal yang mustahil, pengaruh dan kekuasaannya terlalu besar. Namun, aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus berani. Aku harus menemuinya.

Dengan langkah tegas, aku menuju rumah keluarga suamiku, tempat ibu mertuaku tinggal. Aku sadar, ini langkah berisiko. Sejak awal pernikahan, ia tak pernah menyukaiku, dan setelah kecelakaan yang menimpa Mas Arfan, kebenciannya semakin jelas.

Di depan gerbang rumah megah itu, aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Seorang pelayan membukakan pintu, menatapku dengan ragu.

"Saya ingin bertemu dengan Ibu," kataku, berusaha terdengar tegas meskipun hatiku berdebar kencang.

Pelayan itu tampak bimbang, tapi sebelum sempat menjawab, suara dingin dari dalam rumah terdengar.

"Biarkan dia masuk."

Aku menegakkan tubuh dan melangkah masuk ke ruang tamu yang luas dan mewah. Di sana, ibu mertuaku duduk anggun di sofa dengan secangkir teh di tangannya. Tatapannya tanpa ekspresi, seolah aku hanyalah debu di rumah ini.

"Ada urusan apa kau kemari?" suaranya tajam, menusuk.

Aku mengepalkan jemari, berusaha menahan gejolak di dadaku. "Saya mohon, Bu. Jangan bawa Mas Arfan ke luar negeri."

Ia mengangkat alis, lalu tersenyum sinis. "Ada hak apa kau meminta ini dariku?"

"Aku istrinya, Bu. Aku tidak ingin dipisahkan darinya."

"Kau terlalu banyak bicara. Sudah kukatakan, menjauhlah dari anakku," ujarnya pelan, tetapi penuh nada ancaman.

Aku berlutut. "Aku mohon, Bu…"

Namun, ia hanya menatapku dingin, seolah permohonanku tak berarti apa-apa. Aku bisa merasakan dinginnya lantai marmer menusuk kulitku, tapi aku tidak peduli. Aku harus melakukan sesuatu.

"Kumohon, Bu… beri aku kesempatan. Mas Arfan membutuhkan aku." Suaraku bergetar, tapi aku berusaha agar tak terdengar lemah.

Ibu mertuaku mendecakkan lidah, lalu meletakkan cangkir tehnya di atas meja. Gerakannya tenang—terlalu tenang.

"Kesempatan?" katanya pelan. "Apa kau pikir aku akan mengubah keputusanku hanya karena kau menangis dan berlutut di hadapanku?"

Aku menggigit bibir, menahan air mata yang mulai menggenang.

"Mas Arfan adalah suamiku, Bu," kataku lirih. "Aku berhak berada di sisinya. Jika benar Ibu menginginkan yang terbaik untuknya, mengapa justru ingin memisahkan kami?"

Senyum sinis tersungging di wajahnya. Ia bangkit, langkahnya anggun saat mendekatiku.

"Karena aku tidak pernah menginginkanmu dalam keluarga ini," bisiknya tajam. "Dan sekarang, aku akhirnya punya alasan untuk menyingkirkanmu."

Jantungku berdegup kencang. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat bulu kudukku meremang.

Aku mengepalkan tangan, berusaha menguatkan diri. "Ibu mungkin bisa mengatur banyak hal, tapi tidak dengan perasaan Mas Arfan. Jika dia sadar, dia pasti menolak pergi. Dia akan mencariku."

Ibu mertuaku tersenyum miring. "Nafeeza, kau pikir cinta bisa menyembuhkan Arfan? Dia butuh pengobatan yang mahal, dan hanya aku yang bisa memberikannya. Atau kau ingin aku menghentikan pengobatannya?"

Darahku seakan membeku. Tanganku mengepal erat, berusaha menahan amarah yang membara di dadaku.

"Ibu tidak bisa melakukan itu," suaraku lirih, nyaris bergetar. "Mas Arfan adalah anak Ibu. Bagaimana bisa Ibu mengancam nyawanya hanya demi menyingkirkanku?"

Ia menatapku puas, menikmati keterkejutanku. "Aku melakukan ini demi Arfan. Dia butuh perawatan terbaik, dan itu hanya bisa ia dapatkan jika pergi ke luar negeri. Kau? Apa yang bisa kau berikan? Air mata? Janji manis?"

Aku menggeleng. "Aku memang tidak punya kekayaan seperti Ibu, tapi aku punya sesuatu yang lebih besar—cinta dan kesetiaan untuk Mas Arfan. Dia bukan hanya butuh pengobatan, tapi juga dukungan dari orang yang mencintainya."

Ia terkekeh kecil, lalu menyesap tehnya perlahan.

"Cinta dan kesetiaan?" Tatapannya merendahkan. "Dengar, Nafeeza. Aku bisa mengatur segalanya dalam hidup Arfan, termasuk siapa yang pantas berada di sisinya. Dan kau…" ia menatapku tajam, "tidak pernah menjadi bagian dari rencanaku."

Aku menarik nafas dalam. "Kalau aku pergi, apakah Ibu benar-benar akan memastikan Mas Arfan mendapatkan perawatan terbaik?"

Matanya menyipit. "Tentu saja. Aku tidak sekejam yang kau kira. Aku hanya ingin kau menjauh dari hidupnya, bukan mencelakainya."

Aku menggigit bibir. Ini tidak adil. Aku dipaksa memilih, kehilangan suamiku atau mempertaruhkan nyawanya.

"Tapi bagaimana kalau Mas Arfan mencariku?" tanyaku, mencoba menantangnya.

Ia tersenyum tipis. "Dia tidak akan mengingatmu lagi."

Jantungku mencelos. "Apa maksud Ibu?"

Senyumnya semakin lebar. "Arfan mengalami cedera otak akibat kecelakaan itu, kau tahu? Kemungkinan besar dia akan kehilangan sebagian ingatannya. Dan aku pastikan, bagian yang hilang adalah ingatan tentangmu."

Aku terhuyung ke belakang. "Tidak… itu tidak mungkin…"

"Kenyataan memang sering kali menyakitkan."

Air mataku jatuh. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus bertindak sebelum semuanya terlambat. Aku harus menyelamatkan Mas Arfan, sebelum aku benar-benar terhapus dari hidupnya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 120

    Beberapa hari setelah pertemuan itu...Di sebuah unit apartemen mewah milik Aurel, dua perempuan kembali duduk berhadapan. Kali ini tanpa basa-basi, tanpa sapaan basa. Hanya dingin dan hitam dalam tatapan.Arlena menatap jendela sejenak, lalu berkata pelan, "Aku sudah pikirkan cara paling efektif memutus semua keterikatan Arfan dengan Nafeeza."Aurel menyesap anggurnya, lalu mendongak malas. "Kau selalu punya rencana kotor. Ayo, buat aku terkejut."Arlena menoleh cepat. Tatapannya tajam. "Kita culik Danis."Hening panjang menyelimuti ruangan. Bahkan jam di dinding seakan berhenti berdetak.Aurel meletakkan gelasnya. "Kau... bercanda?""Aku sangat serius." Arlena condong ke depan. "Selama Danis ada, Arfan akan selalu kembali menoleh ke Nafeeza. Tapi kalau anak itu menghilang... semua akan berubah."Aurel memicingkan mata. "Kau tidak takut Arfan akan semakin membenci kita?"Arlena tersenyum tipis. “Bukan kita. Hanya ‘penculik yang tak dikenal’. Kita cukup bayar orang yang paham cara ber

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 119

    Arfan berdiri mematung di balkon kamarnya, ponsel masih tergenggam erat di tangan, layar gelap. Napasnya naik-turun tak beraturan.Ia baru saja menerima kabar dari Rafa. Suara marah tadi masih bergema di telinganya:“Anakmu histeris karena ibumu dan Arlena menariknya paksa dari sekolah! Kau tahu itu bisa dianggap penculikan, Fan?!”Arfan mengusap wajahnya kasar. Rahangnya mengeras. Ia meraih jaket, hendak keluar, tapi langkahnya terhenti saat menatap pantulan dirinya di cermin. “Aku bahkan... belum punya keberanian untuk menatap mata anakku sendiri.”Tangannya menggenggam pagar balkon erat. Ingatan masa lalu kembali menyergap, bagaimana ia memperlakukan Nafeeza saat paling membutuhkannya, dan kini, ia bahkan tidak punya hak moral untuk membela siapapun pun.Tapi amarahnya terlalu besar untuk diredam.***Tak lama kemudian…Arfan masuk ke rumah besar orang tuanya dengan langkah panjang dan dingin. Pintu ruang tamu dibanting terbuka. Ny. Yuliana yang sedang minum teh bersama Arlena la

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 118

    Dua malam kemudian.Kafe di lantai paling atas Hotel Verdana tampak lengang malam itu. Hanya ada cahaya remang dari lampu gantung dan denting piano lembut di kejauhan. Di sudut ruangan yang paling terpencil, duduk dua perempuan yang terlihat seperti dua dunia berbeda, tapi sebenarnya saling menyalak dari dalam.Aurel datang lebih dulu, duduk dengan anggun dalam balutan dress hitam dengan lipstik merah darah. Matanya tajam, tubuhnya tegak. Seperti panther yang siap mencabik.Arlena muncul sepuluh menit kemudian, mengenakan blazer putih gading dan rok pensil. Rambutnya disanggul elegan. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya menusuk balik.“Akhirnya,” Aurel menyambut dengan senyum dingin. “Kau datang juga. Kupikir kau akan bersembunyi selamanya di balik roknya Ny. Yuliana.”“Aku datang karena aku tahu... ular sepertimu lebih berbahaya di balik layar,” jawab Arlena tanpa senyum. Ia duduk, menatap langsung ke mata Aurel. “Jadi katakan. Apa yang kau inginkan dariku?”Aurel menyandarkan tubuh,

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 117

    Tiga hari setelah pertemuan Arfan dan Arlena, Nyonya Yuliana mengatur rencana berikutnya.Pagi itu, ia menjemput Arlena dengan mobil pribadinya. Di dalam mobil, Arlena duduk tenang, anggun dalam balutan setelan warna gading lembut. Wajahnya tampak polos, tapi matanya menyimpan perhitungan.“Kita akan menemui Danis,” ucap Yuliana sambil menatap jalanan dari balik kaca mobil. “Aku sudah lama ingin melihat cucuku. Dan ini saatnya kau juga mengenalnya, Lena. Anak kecil itu masih polos. Kalau kau bisa mendekatinya… Arfan tak akan mungkin mengabaikanmu.”Arlena tersenyum, lembut namun penuh perhitungan. “Saya akan melakukan yang terbaik, Tante.”“Tentu. Aku tahu itu,” Yuliana menyahut yakin. “Danis butuh figur perempuan yang lembut, dewasa, dan stabil. Bukan Nafeeza yang terlalu emosional. Apalagi... dia bukan ibu kandung Danis.”Arlena hanya menunduk pelan, menyembunyikan senyumnya. Ia tahu, ini bukan hanya tentang merebut hati anak kecil. Ini tentang membentuk narasi yang perlahan akan me

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 116

    Keesokan harinya, pukul tujuh pagi, suasana di rumah orang tua Arfan terasa berbeda. Meja makan sudah tertata rapi. Menu sarapan khas favorit Arfan disajikan lengkap: nasi uduk hangat, telur balado, irisan timun dan sambal kacang buatan tangan Nyonya Yuliana sendiri, yang biasanya hanya muncul di hari-hari istimewa.Arfan baru tiba. “Ma, Mama telepon tadi... ada apa?” tanyanya, heran melihat meja sarapan yang seolah disiapkan untuk menyambut tamu kehormatan.Nyonya Yuliana tersenyum. “Kau masih ingat rasa masakan Mama, kan? Duduklah. Sarapan dulu.”Arfan mendekat dan duduk, meskipun matanya masih penuh tanya. “Mama jarang begini. Biasanya kita cuma ngopi sambil debat soal saham Veranza grup.”Yuliana tertawa kecil. Tapi tawanya hanya sekilas.Setelah mengambilkan teh hangat untuk Arfan, ia duduk di seberang, menatap putranya dengan sorot yang tak biasa.“Arfan... ada hal yang ingin Mama bicarakan. Soal Arlena.”Arfan mendadak kaku.“Mama tahu kamu tidak mencintainya. Tapi kemarin... d

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 115

    Dengan tenang, Aurel menyelipkan flashdisk itu ke dalam laptop. Layar menyala dengan cepat menampilkan folder berisi rekaman-rekaman rahasia. Aurel menyeringai. "Bahkan orang sepolos sepertimu, Arlena... punya sisi gelap. Aku hanya butuh membukanya sedikit." ** Sementara itu di apartemen Arlena, suasana tampak tenang. Terlalu tenang, hingga detak jarum jam terdengar seperti palu. Arlena duduk di depan meja rias, matanya menatap kosong pantulan dirinya. Rambutnya sedikit berantakan, matanya mulai menghitam karena kurang tidur. Telepon genggamnya bergetar. Satu pesan masuk. Nomor Tidak Dikenal: “Jangan lupa menutup tirai malam ini. Aku lebih suka melihatmu hanya dari satu sisi.” Arlena langsung berdiri. Ia menarik tirai dengan panik, lalu menengok ke luar. Gelap. Tidak ada siapa-siapa. Tapi entah mengapa, jantungnya seperti diremas dari dalam. Sementara itu, Arfan baru tiba. Ia langsung diterima oleh pengawal pribadi yang kini berjaga selama 24 jam. “Dia di atas. Tidak mau tu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status